Jumat, 04 Agustus 2006

Hutan Bakau Pesisir Sulsel Perlu Direhabilitasi

Tanggal : 4 Agustus 2006
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0608/04/daerah/2854082.htm
Oleh
Reny Sri Ayu Taslim


Bencana tsunami di Aceh akhir 2004 tiba-tiba saja membuka mata banyak orang untuk melihat lagi kondisi pesisir masing-masing.

Mangrove atau bakau dan apa pun jenis tanaman air asin lainnya menjadi pembicaraan penting. Demikian pula Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang tergugah untuk merehabilitasi hutan bakaunya yang sudah kritis dan parah kondisinya.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah Sulsel Tan Malaka Guntur memaparkan, selama kira-kira 20 tahun terakhir, hutan bakau di sepanjang pesisir Sulsel berkurang hingga 90 persen. Sebagai gambaran, kalau 20 tahun lalu daerah ini masih memiliki 214.000 hektar (ha) hutan bakau, saat ini yang tersisa tinggal 26.000 ha. Areal sisa ini pun menunjukkan kecenderungan kian menyusut.

Menurut Tan Malaka, berkurangnya hutan mangrove terjadi di hampir seluruh pesisir Sulsel yang membentang di garis pantai sepanjang 1.973 kilometer (km). Akibatnya, nyaris di sepanjang pesisir Sulsel terjadi abrasi cukup parah.

"Abrasi ini bukan hanya menggerus jalan, tapi juga lahan pertanian, perkebunan, dan perkampungan penduduk. Sebagai contoh, abrasi di Kabupaten Pinrang dan Mangara Bombang di Kabupaten Takalar dan hampir di semua kabupaten," kata Tan Malaka.

Tidak adanya bakau, di beberapa desa di pesisir di Kabupaten Pangkep, terutama di wilayah yang berbatasan dengan laut lepas, membuat warga menderita bila air pasang.

"Kalau air pasang, terutama antara bulan November hingga Februari atau Maret, air masuk ke perkampungan dan rumah- rumah bisa terendam hingga sebatas betis atau paha orang dewasa. Makanya sekarang dibuat jalan-jalan desa yang posisinya cukup tinggi yang sekaligus bisa jadi semacam tanggul," ujar Abdul Djabar, Ketua Rukun Kampung Lamasik, Desa Boddie, Kecamatan Mandalle, Pangkep.

Hilangnya hutan bakau ini secara umum bukan hanya menyebabkan banyak orang terpaksa kehilangan rumah, sawah, dan kebun, tapi sekaligus menghilangkan mata pencarian. Kepiting dan beberapa jenis ikan dan udang yang berkembang biak di bawah akar-akar bakau, di sejumlah tempat di Sulsel, kini sudah punah.

Di Kecamatan Galesong Selatan di Kabupaten Takalar, misalnya, hilangnya hutan bakau dan penangkapan yang berlebihan membuat populasi kepiting rajungan mulai punah. Bahkan, sejumlah usaha rumahan yang bekerja sama dengan perusahaan pengekspor rajungan sudah berhenti berproduksi.

Di Desa Buku, Polman, hutan bakau juga menyebabkan kepiting yang pernah menjadi mata pencarian penduduk kini tinggal kenangan. Hal yang sama terjadi di Kecamatan Mandalle, Segeri, dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Pangkep. "Dulu banyak kepiting yang hidup di sini, tetapi sekarang sudah hampir tidak ada lagi. Kalaupun ada kepiting, jumlahnya sedikit dan ukurannya kecil-kecil," kata Abdul Jabar.

Di desa tersebut abrasi telah menggerus perkampungan dan tambak sehingga sebagian warga memilih merantau ke daerah lain hingga Malaysia. "Di sini rumah dan terutama mata pencarian mereka sudah hilang. Dulu di Pantai Buku banyak sekali kepiting dan banyak yang menjadikannya mata pencarian. Tetapi, sejak hutan bakau habis, kepiting tidak ada lagi," ungkap Ibrahim, Kepala Badan Perwakilan Desa Buku.


Rehabilitasi kawasan pesisir

Sebenarnya, ada hal yang lebih penting dari sekadar kehilangan permukiman, lahan pertanian, perkebunan, penghasilan, dan lainnya, yakni ancaman akan kehilangan segala-galanya bila terjadi bencana tsunami. Tanpa bakau, tsunami akan leluasa memorakporandakan kawasan pesisir. Di Sulsel, dari 23 kabupaten/kota, hanya empat kabupaten yang tidak berbatasan dengan laut.

Peneliti yang juga Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Niarti Ningsih mengingatkan pemerintah akan bahaya pesisir tanpa bakau.

"Berkaca pada bencana tsunami di Aceh, Pangandaran, dan banjir bandang di Kabupaten Sinjai, penanaman kembali bakau harus lebih digiatkan. Di Sinjai, misalnya, kerusakan yang terjadi di Tongke-Tongke dan sekitarnya yang dipenuhi bakau masih lebih ringan ketimbang daerah lain," paparnya.

Karena berbagai alasan inilah Pemprov Sulsel bekerja sama dengan pemerintah kota/kabupaten dan masyarakat pesisir untuk merehabilitasi kawasan pesisir dengan menggalakkan kembali penanaman bakau.

Penanaman kembali bakau, kata Tan Malaka, tidak dilakukan sekaligus, tapi bertahap dan simultan di berbagai daerah. Misalnya, pemprov menanam 10 ha-20 ha di tiap kabupaten dan pemerintah kabupaten/kota juga menanam sejumlah itu.

"Modelnya semacam demplot. Agar masyarakat mau terlibat secara langsung dan intensif, kami memberikan insentif. Selain diberi bibit dan diajari cara menanam, mereka juga diberi modal sebagai tambahan penghasilan. Misalnya kami beri bibit rumput laut, alat menangkap ikan, dan lainnya. Jadi mereka punya motivasi untuk menanam dan menjaga bakau," ungkapnya.

Diharapkan, jika setiap tahun 20 kabupaten masing-masing menanam sedikitnya 20 ha bakau, maka setidaknya setiap tahun target perluasan hutan bakau 300 ha-500 ha bisa tercapai.

Sayangnya, rencana itu tidak mudah diwujudkan di lapangan. Faktanya, penanaman kembali bakau dan sejenisnya sungguh tidak mudah dilakukan. Sepanjang dua tahun penggalakan kembali penanaman bakau, tingkat keberhasilan di setiap tempat hampir sama, yakni hanya sekitar 20-30 persen.

"Kalau menanam pada musim kemarau tanamannya mati. Tetapi, kalau menanam pada saat air pasang dan ombak besar, baru ditanam sudah rusak dibawa ombak. Sekalipun sudah diberi patok penahan ombak, tapi kalau ombaknya besar, patoknya pun terbawa ombak," tutur M Gading, Ketua Kelompok Tani Makmur, Desa Boddie, Kecamatan Mandalle.

Seluruh kelompok tani di desa-desa di seluruh kabupaten di pesisir memang dilibatkan langsung dalam kegiatan ini.

Abdul Madjid dari kelompok tani di Kecamatan Segeri mengakui, "Selama dua tahun saya menanam bakau, bisa dibilang tingkat keberhasilannya hanya sekitar 20-30 persen."

Sebenarnya, selain bakau, di sejumlah pesisir, tanaman lokal yang oleh masyarakat sekitar disebut pohon api-api tumbuh subur. Fungsinya hampir seperti bakau karena juga tumbuh di air asin dengan tanah berpasir. Akarnya pun dinilai cukup kuat untuk menahan gerusan ombak di tanah. Bahkan, tanaman ini jauh lebih mudah tumbuh.

"Sejak dulu kebanyakan memang pohon api-api yang tumbuh. Pohon api-api ini biasanya tumbuh sendiri. Kalau buahnya sudah jatuh, biasanya tumbuh sendiri tanpa perlu dipelihara. Akarnya juga cukup kuat menahan ombak yang menggerus tanah. Bahkan, kalau ombak datang membawa tanah dan lumpur akan membuat tanah di bawah pohon bertambah tinggi karena tertahan di akar pohon," papar Abdul Jabar, warga Desa Boddie, Pangkep.

Menurut Niarti Ningsih yang meneliti bakau sejak tahun 1990-an, menanam bakau memang tidak bisa dilakukan asal-asalan karena perlu perlakuan khusus. Pada tanah berpasir, yang paling tepat ditanam adalah risophora. Sedangkan di lahan berlumpur dan berair, cocok untuk bakau dengan beberapa jenisnya. Untuk pesisir di laut lepas sebaiknya tanaman diberi pemecah ombak atau patok-patok yang cukup kuat menahan ombak.

Tidak ada komentar: