Sabtu, 08 Juni 2013

Reinventarisasi pulau-pulau kecil terluar

Tanggal : 13 Juni 2007
Oleh : Ketut Wikantika dan Rahma Hanifa
BERITA AMBALAT menjadi berita utama di media cetak maupun elektronik beberapa waktu lalu. Blok Ambalat khususnya “Block ND6 dan Block ND7” yang luasnya hampir sama dengan luas Jawa Barat menjadi pusat perhatian karena diklaim oleh Malaysia sebagai bagian dari wilayahnya. Dan Malaysia pun tidak sekedar klaim karena berdasarkan peta wilayah Malaysia tahun 1979 telah memasukkan Ambalat ke dalam wilayah Malaysia serta berdasarkan the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone 1958, the Continental Self Convention 1958. Tetapi klaim Malaysia ditolak tegas Indonesia karena tidak mengakui peta wilayah Malaysia tahun 1979 (peta ini juga digunakan oleh Malaysia dalam mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan), dan seharusnya Malaysia tidak menggunakan the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone 1958, melainkan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 khususnya pasal 83 karena Indonesia dan Malaysia sama-sama telah meratifikasinya. Selain itu, menurut pakar hukum laut internasional, Hasyim Djalal, Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim Malaysia merupakan kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan Timur. Antara Sabah, Malaysia, dan kedua blok itu terdapat laut dalam yang tak mungkin bisa dikatakan bahwa kedua blok itu kelanjutan alamiah Sabah. Kelanjutan alamiah dari daratan merupakan kewenangan negara atas wilayah laut yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Untuk itu, Indonesia harus dapat membuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur bukan kelanjutan alamiah dari Sabah tetapi merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur. Pada dasarnya penetapan batas laut antar negara (maritime delimitation) harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan bilateral atau multilateral bukan bersifat unilateral. Perlu dicatat bahwa sengketa Ambalat tidak bisa diajukan ke Mahkamah Internasional jika salah satu negara menolaknya.

Konvensi Hukum Laut Internasional 1982

Secara formal, Indonesia telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai Negara Kepulauan yang secara tertulis tertuang dalam konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (United Nations Convention On the Law Of the Sea) pada tahun 1982, dan telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang No. 17 tahun 1985. Sebagai konsekuensinya, Indonesia mempunyai tanggungjawab untuk memperjelas dan menegaskan batas wilayahnya dalam bentuk peta dengan skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai referensi datum geodetis yang diperlukan, menggambarkan perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen wilayah perairan Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan mendepositkannya pada Sekretaris Jenderal PBB. Hingga kini, wilayah laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Vietnam, India, Papua New Guinea, Palau, Timor Leste dan Australia, yang kesemuanya belum dapat diselesaikan. Batas wilayah dikatakan jelas dan tegas jika batas tersebut telah memiliki kepastian hukum dan batas tersebut dapat diukur serta diwujudkan dalam bentuk peta. Dalam mewujudkan ketegasan batas wilayah diperlukan survei pemetaan yang baik dan benar serta memenuhi standar dan aturan kartografis. Survei pemetaan ini dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran secara langsung ke lapangan ke wilayah melalui survei darat maupun laut, dengan survei udara, atau secara tidak langsung dengan menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh.

Arti strategis pulau-pulau terluar Indonesia

Banyak sengketa wilayah laut yang terjadi di beberapa negara di dunia yang memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya bahkan sampai menimbulkan perang, seperti antara Inggris dan Argentina yang memperebutkan kepulauan Malvinas. Kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia, merupakan pengalaman buruk Indonesia, karena disini terlihat bahwa Indonesia belum bisa mengelola dengan baik keberadaan pulau-pulau kecil termasuk karang-karang yang ada pada terluar wilayah Indonesia. Selain sebagai bukti kuat batas wilayah negara, pulau-pulau dan karang-karang tersebut juga mempunyai prospek yang menjanjikan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Ini berarti bahwa penanganannya tidak hanya dibebankan kepada Departemen Pertahanan dan Keamanan, TNI, Kepolisian, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Departemen Luar Negeri saja tetapi juga terkait dengan departemen lain seperti Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Oleh sebab itu perlu adanya sinergi antar departemen dan instansi terkait dalam pengelolaan pulau-pulau dan karang terluar Indonesia melalui promosi pariwisata, program transmigrasi, pembangunan pusat ekonomi baru. Banyak sekali pulau-pulau kecil yang mempunyai panorama pantai sangat indah dan alami sehingga ini merupakan aset yang sangat berharga dalam pengembangan pariwisata Indonesia khususnya pariwisata bahari. Departemen Pariwisata dan Kebudayaan bekerjasama dengan instansi terkait dapat mempromosikan keberadaan pulau-pulau indah tersebut untuk wisatawan domestik maupun mancanegara. Selama ini program perpindahan penduduk dari Jawa, Madura dan Bali biasanya menuju pulau-pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) dan berorientasi ke arah pertanian. Kenapa pola ini tidak dikombinasi dengan perpindahan penduduk ke pulau-pulau kecil terluar Indonesia sehingga secara geografis pemerataan distribusi penduduk Indonesia tetap tercapai dan bahkan tercapainya tujuan lain seperti pertahanan dan keamanan. Aktivitas penduduknya pun tidak hanya berorientasi pada pertanian saja tetapi juga perikanan. Dengan adanya penduduk di pulau-pulau terluar tersebut maka tidak mungkin akan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang memberikan dampak terhadap perekonomian nasional.

Studi kasus Indonesia-Singapura

Menurut Pasal 47 Ayat 1 UNCLOS, Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya, mencakup lebar (batas) Laut teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen. Garis pangkal kepulauan merupakan garis pangkal lurus yang ditarik menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau dan karang-karang terluar yang digunakan untuk menutup seluruh atau sebagian dari Negara Kepulauan. Penarikan garis pangkal lurus kepulauan dilakukan dengan memperhatikan tatanan letak kepulauan atau kelompok pulau-pulau yang letaknya berurutan dan bersambungan secara beraturan, oleh karena itu penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat dilakukan menyimpang dari arah konfigurasi umum kepulauan. Pengertian konfigurasi umum kepulauan merupakan pengertian yang tujuannya identik dengan pengertian arah umum pantai dan dimaksudkan untuk mencegah perluasan laut teritorial suatu negara dengan cara yang tidak sewajarnya. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh negara Indonesia adalah daerah perbatasannya dengan Singapura, dengan belum selesainya penetapan garis batas Indonesia-Singapura. Garis batas ini dibuat dalam tiga segmen yaitu garis-garis batas di sebelah barat, tengah, dan timur Singapura. Saat ini, garis batas yang sudah diselesaikan adalah di segmen tengah yang dibuat pada tahun 1972-1973. Permasalahan lain yang dihadapi adalah reklamasi Singapura. Data menunjukkan bahwa 25 tahun yang lalu luas Singapura hanyalah 527 kilometer persegi. Pada tahun 1998 luasnya sudah bertambah menjadi 674 kilometer persegi. Sampai dengan tahun 2010 Singapura menargetkan luas wilayahnya mencapai 834 kilometer persegi. Hal ini menjadi masalah karena di timur dan barat belum ada garis batas. Citra satelit Landsat-ETM (Enhanced Thematic Mapper) yang direkam pada 2 April 2002 digunakan untuk mengevaluasi batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura. Pulau-pulau terluar Indonesia yaitu Pulau Karimun Kecil, Nipa, Pelampong, Karang Helen Mars, Karang Benteng, Batu Berhanti, Pulau Nongsa, Tg Sading dan tg Berakit, yang berbatasan dengan Singapura diidentifikasi dengan citra satelit Landsat-ETM. Gambar 1 menunjukkan hasil dijitasi penarikan garis pangkal berdasarkan citra satelit Landsat-ETM. Masalah yang cukup krusial dalam pemisahan darat dan air adalah pada banyaknya awan dan kabut yang terdapat pada citra. Tetapi hal ini dapat diatasi jika mengkombinasikannya dengan data satelit SAR (synthetic aperture radar). Hal lain yang juga cukup sulit adalah identifikasi karang yang masuk definisi pulau. Identifikasi karang dilakukan dengan membandingkan citra satelit dengan Peta Garis Pangkal Wilayah Negara Kepulauan Indonesia, Laut Natuna dan Selat Malaka; Selat Singapore skala 1:200.000, Tahun 1999, dari Bakosurtanal. Hal lain yang perlu juga diperhatikan dalam menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh dalam penentuan batas wilayah laut adalah karakteristik pasang surut wilayah yang dikaji. Bagaimanapun juga, teknologi satelit penginderaan jauh dapat meminimalkan penggunaan waktu dan biaya dalam melakukan survei pulau-pulau serta karang terluar Indonesia. Monitoring keberadaan pulau-pulau dan karang tersebut pun dapat dilakukan dengan teknologi ini yaitu dengan data time series. Dengan adanya sistem inventarisasi pulau-pulau dan karang terluar Indonesia secara sistematik maka pengelolaannya akan lebih mudah baik yang terkait dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun untuk tujuan lainnya seperti pengembangan daerah wisata bahari, program transmigrasi maupun tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru. Mudah-mudahan tidak ada lagi sengketa batas wilayah negara seperti kasus Ambalat, dan tidak ada lagi keraguan pemerintah Indonesia untuk memperhatikan dan membangun pulau-pulau terluar di wilayah Indonesia.

Minggu, 16 November 2008

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN HARUS INDONESIA-AUSTRALIA SEPAKAT TINGKATKAN KERJASAMA HADAPI IUU FISHING

Tanggal: 16 November 2008
Sumber: Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Soen’an Hadi Poernomo


Pemerintah Indonesia dan Australia menyepakati berbagai upaya untuk mengatasi illegal fishing dan nelayan lintas batas. Bahasan tersebut adalah salah satu aspek yang dibicarakan dalam Australia-Indonesia Ministrial Forum (AIMF) di Canberra , Australia pada 12 November 2008.


Pertemuan tahunan yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pertanian, Menteri KLH, Menteri Perdagangan, dan Menteri Hukum dan HAM tersebut membahas bidang pertanian, kehutanan, pangan, pendidikan, pelatihan, energi, lingkungan, kesehatan, hukum, Iptek, perdagangan, industri, investasi, transportasi dan pariwisata.


Hal ini, sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, illegal fishing yang termasuk kejahatan penangkapan ikan dengan sengaja di wilayah terlarang atau daerah kedaulatan negara lain. Kedua, pelanggaran penangkapan ikan yang disebabkan oleh ketidaktahuan dan kemiskinan. Ketiga, nelayan pelintas batas yang secara tradisional turun-temurun menangkap ikan di suatu wilayah, sebagai contoh adalah nelayan dari Pulau Rote, NTT yang menangkap ikan di Pulau Ashmore (Pulau Pasir) yang termasuk yuridiksi Australia karena di daerah tersebut merupakan tempat makan nenek moyang nelayan Pulau Rote.


Terhadap kasus yang pertama, Indonesia dan Australia sepakat untuk melakukan koordinasi patroli, pertukaran informasi, pendidikan dan pelatihan, serta pengawasan dan monitoring bersama. Para pelaku perikanan illegal yang banyak dilakukan oleh negara ketiga ini tentu akan ditindak tegas, dan di wilayah Australia banyak dilakukan penenggelaman.


Terhadap nelayan yang melanggar perbatasan karena ketidaktahuan atau kemiskinan, Indonesia dan Australia melakukan laangkah-langkah persuatif, yang disebut Public Information Campaign atau sosialisasi pencegahan illegal fishing. Kegiatan yang berlangsung sejak tahun 2006 ini, senantiasa dilakukan perbaikan. Peta perbatasan bersama yang mudah dimengerti, tahun ini diperbaiki. Penyuluhan dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan penyuluh perikanan, menggunakan musik yang disukai warga setempat. Wilayah kampanye meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT, Maluku, dan Papua. Selanjutnya akan dikembangkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat nelayan tersebut.


Adapun terhadap nelayan Rote yang secara tradisional melakukan penangkapan ikan di kawasan yang menjadi yuridiksi Australia, telah dilakukan kesepakatan bersama antara Indonesia-Australia tahun 1974 yang dikenal sebagai MoU Box. Isinya memperbolehkan nelayan tradisional menangkap ikan tertentu di wilayah tertentu. Namun dalam pertemuan AIMF ini disepakati perlunya dicari titik temu bersama, terutama persepsi mengenai definisi ”nelayan tradisional” sehingga kepentingan nelayan untuk maju dapat didukung sekaligus upaya melestarikan sumberdaya perairan di wilayah tersebut.


Disamping mengenai illegal fishing dan MoU Box, bidang kelautan dan perikanan juga menyepakati kerjasama dalam kegiatan penelitian, pendidikan, pelatiahan, penangkapan ikan dan karantina ikan. Pada kesempatan tersebut, Pemerintah Australia juga menegaskan dukungannya terhadap penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Leaders Summit pada Mei 2009 yang akan datang.

Jumat, 07 November 2008

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN HARUS SEKTOR KELAUTAN MEMERLUKAN KEBIJAKAN YANG INTEGRATIF

Tanggal: 7 November 2008
Sumber:
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Dr. Soen’an Hadi Poernomo, M.Ed.

Potensi kelautan yang meliputi perikanan, pariwisata bahari dan jasa kelautan merupakan bidang pembangunan yang tidak dapat berdiri sendiri, karena melibatkan banyak sektor. Ketiga sektor di atas belum memberikan kontribusi yang signifikan kepada Negara, apabila dibandingkan dengqn potensi yang dimiliki. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai kebijakan yang tumpang tindih antar ketiga sektor tersebut. Disamping kurangnya dukungan dari sektor lainnya. Pengembangan ketiga sektor ini membutuhkan komitmen, koordinasi dan partisipasi aktif dari sektor yang terkait (stakeholders). Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kesamaan pola pikir dan pola tindak yang terintegrasi dari semua pihak dalam mewujudkan kebijakan lintas sektoral untuk mempercepat pembangunan perikanan, pariwisata bahari dan jasa kelautan. Hal ini dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi pada Workshop Perumusan Kebijakan Pembangunan Kelautan Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, (6/11).

Wilayah perairan yang sangat luas memang memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan, antara lain banyaknya sea lane of communication, tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan seperti illegal fishing, illegal logging, illegal mining, illegal migrant, human trafficking, atau kurang terjaminnya keselamatan pelayaran. Sebagai contoh kita lihat Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang seharusnya diterapkan di Indonesia sejak tahun 1994, karena sudah kita ratifikasi. Akan tetapi, kini UNCLOS 1982 yang telah berjalan selama 25 tahun belum juga dilaksanakan dengan positif. Sebagai negara kepulauan sudah saatnya melakukan evaluasi kebijakan tentang hal yang telah dilaksanakan dan belum dilaksanakan.

Indonesia memiliki sejumlah “pekerjaan rumah” yang perlu diselesaikan sebagai bentuk nyata dari komitmen nasional terhadap UNCLOS 1982. Pekerjaan rumah ini diantaranya menyelaraskan kepentingan nasional di bidang kelautan dan perikanan dengan ketentuan internasional yang mencakup beberapa hal sebagai berikut : (1). Mensinergikan Kewenangan Penegakan Hukum di Laut; (2). Implikasi Konvensi (UNCLOS 1982), yakni = aspek eksternal maupun internal, (3). Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan (4). Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Kondisi keselamatan, keamanan dan ketahanan di laut makin rumit dengan maraknya kejahatan lintas negara (Transnational Organized Crime-TOC). Hampir seluruh kejahatan yang termasuk kategori TOC menggunakan laut sebagai medianya, seperti peredaran obat terlarang (illicit drug trafficking), penyeludupan/ perdagangan manusia (trafficking in person), penyeludupan senjata (arm smuggling), dan perompakan di laut (44). Permasalahan keselamatan, keamanan dan ketahanan serta konflik kepentingan nasional dan internasional menjadi hal yang rumit. Untuk itu, kajian yang komprehensif perlu dilakukan untuk menyiapkan kebijakan tentang ketahanan wilayah laut.

Rabu, 22 Oktober 2008

Malaysia Masih Langgar Kedaulatan RI di Ambalat

Tanggal: 22 Oktober 2008
Sumber: Ramadhian Fadillah - detikNews Jakarta.
Pihak Malaysia masih melanggar wilayah teritorial Indonesia di Ambalat. TNI beberapa kali memergoki angkatan perang Malaysia mengusik wilayah Indonesia."Unsur-unsur gelar TNI di blok Ambalat beberapa kali menemukan pelanggaran wilayah laut oleh kekuatan bersenjata," ujar Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso saat rapat kerja antara Komisi I DPR dengan Dephan dan Mabes TNI di ruang rapat DPR, Senayan, Jakarta (21/10/2008) .TNI mencurigai Malaysia mengincar blok Ambalat. Diperkirakan kandungan minyak dan gas bumi masih cukup hingga 30 tahun lagi di area seluas 15.235 kilometer persegi ini."Kalau tidak ada minyaknya tidak mungkin seperti ini," ungkap Djoko.Djoko menambahkan telah ada rapat di Menkopolhukam secara khusus untuk membahas masalah ini.TNI telah diperingatkan untuk menggelar kekuatan di Ambalat," jelas Djoko.Selain masalah perbatasan di blok Ambalat, TNI mencatat beberapa kawasan di perbatasan juga rawan terhadap masalah. Ada 10 titik sepanjang garis perbatasan di Kalimantan antara Malaysia dan RI.Sementara itu di perbatasan RI-Timor Leste yang masih bermasalah adalah Noelbesi (Kupang), Bijaelsunan Oben, Desa Tububanat, Nefonunpo, Imbate Nainanban, Sungkain Ninulat (TTU), Memo Dilomli, Desa Foho Aikakar, Fohotakis dan Kalanfehan (Kabupaten Belu).TNI juga mencatat beberapa aderah di Papua yang berbatasan dengan Papuan New Guinea masih rawan.

Minggu, 19 Oktober 2008

DPRDSU Minta Danlantamal Belawan Tertibkan Operasi Pukat Grandong

Tanggal: 19 Oktober 2008
Sumber: Illegal_Fishing_Indonesia@yahoogroups.com
Komisi B DPRD Sumut meminta Danlantamal Belawan untuk segera menertibkan 57 buah Pukat Grandong alias Pek Bot, karena sangat menyengsarakan ratusan nelayan tradisional di kawasan perairan tersebut.Hal itu diungkapkan anggota Komisi B (membidangi perikanan) DPRD Sumut Ir H Bustinursyah, MSc kepada wartawan, Jumat (17/10) di DPRD Sumut seusai menerima pengaduan DPC HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Medan dipimpin Ketuanya Azhar Ong.Menurut politisi PBB (Partai Bulan Bintang) ini, kehadiran pukat grandong di perairan itu telah merusak kawasan penangkapan nelayan tradisional sekira 0 hingga enam mil (zona I) dari bibir pantai. Para nakhoda pukat grandong paling banyak melakukan operasi ketika pasang mati saat nelayan tradisional tidak turun melaut.Bustinursyah yang akrab dipanggil Uca Sinulingga itu menegaskan, Komisi B akan mengundang Kadis Perikanan dan Kelautan Sumut sebagai mitra untuk meminta penjelasan terhadap beroperasinya alat tangkap yang menyisakan kerusakan dasar laut itu.Sementara itu, Azhar Hong didampingi Wakil Ketua HNSI Medan Ichsan Nasution, Ketua FKPPI Kecamatan Medan Belawan Edi Sofian Can, Sekretaris FKPPI Medan Belawan M Yazid Tanjung, Ketua PAC Partai Barnas Medan Belawan dan Drs. Syaifuddin Hazmi Lubis (Wakil Sekretaris IPQAH-Ikatan Persaudaraan Qari dan Qariah Medan), menegaskan, dari investigasi yang dilakukan ternyata ijin yang digunakan alat tangkap tersebut ijin jenis pukat teri. Menurut SK Mentan No.392/1980, tritorial penangkapan zona I yakni 0 hingga 6 mil yang diukur dari pasang surut terendah air laut. Di kawasan ini hanya dibenarkan alat tangkap yang menggunakan mata medang ukuran minimal dua inci.Sedang mata medang alat tangkap yang dioperasikan pukat grandong persis seperti kain kelambu, sehingga mengguras segala jenis ikan dari yang paling kecil hingga besar.Menghadapi kesulitan itu, kata Azhar, nelayan tradisional melalui HNSI sudah berulang kali membuat pengaduan ke Lantamal Belawan/Dan Satrol (Komandan Satuan Patroli),Air, Syahbandar dan Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut, namun tidak pernah ada tanggapan.Bahkan sebaliknya, operasi alat tangkap milik pengusaha setempat itu semakin mengganas dan ironisnya, meskipun alat tangkap itu memanipulasi penggunaan ijin pukat teri, namun tetap bebas ke luar masuk kuala yang dijaga ketat oleh petugas keamanan laut Syahbandar dan lain-lain. (M10/p)

Selasa, 14 Oktober 2008

Menyoal proyek utang di sektor kelautan

Tanggal: 14 Oktober 2008
Sumber: Bisnis Indonesia
Oleh Firdaus Cahyadi
Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, One World-Indonesia
Sore itu, 25 September 2008, ruang Baladewa Hotel Bumikarsa komplek Bidakara di kawasan Pancoran Jakarta dipenuhi wartawan dan beberapa aktivis LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Saat itu, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tengah menggelar sosialisasi ke masyarakat terutama media massa mengenai program COREMAP II.Program itu untuk menyelamatkan ekosistem terumbu karang di Indonesia. Ekosistem itu selain dapat berfungsi untuk melindungi pantai dari serangan abrasi juga merupakan habitat dari berbagai jenis ikan. Artinya, jika terumbu karang lestari, ikan akan berlimpah di kawasan itu.Proyek COREMAP II ini mendapatkan pembiayaan dari kucuran utang luar negeri Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB). Bahkan kedua lembaga bisnis bantuan internasional itu telah membagi-bagi lokasi proyeknya di Indonesia.ADB mendapat jatah untuk membiayai proyek di Tapanuli Tengah, Nias, Mentawai, Bintan, Natuna, Batam dan Lingga.
Sementara itu, Bank Dunia mendapat jatah untuk membiayai proyek di Biak, Raja Ampat, Pangkep, Selayar, Buton, Wakatobi, dan Sikka.Sekilas tidak ada masalah dalam proyek utang di sektor kelautan ini. Namun bila kita mencoba menoleh ke belakang, segera terlihat bahwa kedua lembaga bisnis bantuan itu ternyata memiliki rekam jejak (track record) yang tidak begitu bagus terkait dengan proyeknya di sektor kalautan.Catatan Down The Earth yang dipublikasikan pada 2003 menyebutkan bahwa proyek ADB dan Bank Dunia pada 1983 dan 1984 di sektor kalautan telah memicu pengembangan wilayah pertambakan udang intensif atau semi-intensif secara besar-besaran di Indonesia.Proyek itu telah menimbulkan alih fungsi hutan bakau menjadi kawasan pertambakan secara masif. Sampai 1998, wilayah pertambakan tersebut telah mencakup sekitar 305.000 hektare. Celakanya, pemerintah pada waktu itu mengatakan bahwa sekitar 860.000 hektare hutan bakau masih tersedia untuk dialihfungsikan menjadi tambak udang.Padahal terumbu karang, hutan bakau selain berfungsi melindungi pantai dari abrasi juga merupakan habitat yang baik bagi berbagai jenis ikan. Kehancuran hutan bakau tersebut selain mengakibatkan pemiskinan nelayan juga menjadikan kawasan pesisir Indonesia semakin rentan terhadap berbagai macam bencana ekologi.Bencana abrasiCatatan Coordinating Committee of ASIA (Asia Solidarity Againts Industrial Aquaculture) Riza Damanik menyebutkan bencana abrasi telah terjadi di lebih dari 750 desa pada periode 1996 hingga 1999.
Hingga 1999, sedikitnya 90% kawasan desa pesisir yang telah kehilangan ekosistem hutan bakaunya terkena bencana banjir.Pulau Jawa, salah satu pulau yang menjadi fokus ekspansi industri pertambakan di Indonesia, mengalami peningkatan jumlah desa pesisir yang terkena banjir hingga empat kali lipat dalam periode 1996 hingga 2003,� dengan jumlah 3.000 desa pesisir.Pada tahun 2006 saja, telah terjadi peningkatan anggaran di APBN dari Rp500 miliar menjadi Rp2,9 triliun untuk penanganan bencana di Indonesia. Hasil keuntungan yang diperoleh dari tambak udang pun tidak sebanding dengan biaya untuk mengatasi bencana ekologi dan rehabilitasi hutan bakau.Provinsi Lampung, tempat dua industri pertambakan udang terbesar di Indonesia berada, memiliki nilai ekspor udang pada periode Januari sampai Oktober 2006 sebesar kurang lebih Rp1,5 triliiun. Namun, dalam waktu yang bersamaan pula Pemprov Lampung juga membutuhkan sekitar Rp2 triliun untuk melakukan rehabilitasi hutan bakaunya.Ironisnya, kedua lembaga bisnis bantuan itu seperti lepas tangan untuk membiayai dampak sosial dari bencana ekologi yang dipicu oleh proyek perluasan tambak itu. Lagi-lagi Pemerintah Indonesia yang telah terjebak proyek utang tersebut justru harus membayar kerugiannya.Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu ungkapan yang tepat bagi negeri yang telah terjebak proyek utang seperti Indonesia ini. Betapa tidak, selain harus menanggung biaya untuk penanggulangan bencana ekologi dan rehabilitasi hutan bakau, Pemerintah Indonesia tatap berkewajiban membayar utang kepada kedua lembaga bisnis bantuan tersebut.Tampaknya proyek yang sarat ketidakadilan itu tidak pernah dipersoalkan lagi oleh ADB dan Bank Dunia. Buktinya, tanpa merasa bersalah, keduanya kembali mengucurkan proyek utangnya di sektor kelautan. Jika dulu proyek utangnya mengatasnamakan pengembangan tambak, kali ini mengatasnamakan perlindungan ekosistem terumbu karang.Seharusnya sisi kelam proyek ADB dan Bank Dunia di sektor kelautan itu dijadikan pelajaran berharga untuk lebih waspada menerima kucuran proyek utang baru. Setidaknya kedua lembaga bisnis bantuan itu harus dimintai pertanggungjawaban terlebih dahulu atas proyek utangnya di sektor kelautan pada era 1980-an sebelum mereka kembali mengucurkan proyek utang barunya ke Indonesia.Alih-alih meminta pertanggungjawaban proyek ADB dan Bank Dunia, Pemerintah Indonesia, justru berbangga dengan kucuran utang baru untuk proyek COREMAP II itu. Sepertinya, kisah pilu masyarakat pesisir yang kehilangan sumber-sumber kehidupannya akibat hancurnya hutan bakau menjadi tidak penting lagi.Dapat dianalogikan Indonesia seperti seorang anak balita. Agar berhenti menangis akibat dijitak oleh orang yang lebih dewasa, sang anak diberi permen manis. Sang anak pun diam dan tidak pernah mempersoalkan bahwa permen manis itu dapat merusak kesehatan giginya.Begitulah Indonesia, proyek COREMAP II selain membuat negeri ini terlena sehingga tak mempersoalkan lagi sisi kelam proyek utang kedua lembaga bisnis bantuan itu pada masa lalu juga telah melupakan bahwa proyek utang baru tersebut berpotensi membebani generasi mendatang. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi bila kita tidak terlalu lama mengabaikan akal sehat dan hati nurani.

Jumat, 10 Oktober 2008

Aparat Harus Kembalikan Kapal Nelayan

Tanggal: 10 Oktober 2008
Jakarta, CyberNews. Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) mengecam keras penangkapan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru pada tanggal 10 Mei 2008. Hal ini karena para nelayan tersebut hanya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Alasan penangkapan yang dilakukan oleh polisi air-udara Mabes Polri adalah karena melanggar aturan zona tangkap. Atas penangkapan tersebut, hakim kemudian memutuskan kurungan 3 bulan pada nahkoda, denda 50 juta dan pelelangan hasil tangkapan ikan.Menurut Sekretaris Jenderal PRP Irwansyah para nelayan keluar dari zona karena dipaksa oleh kondisi. "Kenaikan harga BBM membuat banyak nelayan gulung tikar. Hanya beberapa orang yang sampai saat ini dapat bertahan. Hal ini masih dipersulit dengan pengkaplingan laut yang menyebabkan para nelayan tradisional semakin terpojok dalam mencari hasil tangkapan dan kalah dengan para pemilik modal besar yang berusaha di bidang perikanan. Belum lagi pungli-pungli yang dilakukan aparat," ungkap Irwansyah.Akibat praktek-praktek tersebut banyak nelayan, demi mempertahankan hidupnya, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. "Demi mencukupi kehidupan keluarganya, mereka berupaya mencari hasil tangkapan di daerah yang sebenarnya bukan merupakan kaplingnya. Ini yang terjadi pada kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru," jelasnya.Untuk itu, kata Irwansyah, PRP meminta aparat segera membebaskan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru karena hingga saat ini belum dikembalikan. Padahal kapal tersebut merupakan satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan hidup para nelayan anggota Serikat Nelayan Tradisional (SNT).