Jumat, 28 Maret 2008

Aturan kelola pesisir tetap berlaku

Tanggal : 28 Maret 2008
Sumber : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id51054.html
Oleh Aprika R. Hernanda

JAKARTA: Meski masih menuai kontroversi di sejumlah pihak, Departemen Kelautan dan Perikanan tetap berkeras menuntaskan aturan tentang Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3) hingga Juni 2008.


Hak pengelolaan kawasan perairan pesisir yang bisa diberikan kepada investor selama 20 tahun itu memicu pertentangan dari sejumlah pihak karena dianggap merugikan nelayan.

Sekretaris Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Irwandi Idris mengakui kontroversi itu muncul akibat perbedaan pengertian tentang HP3 tersebut.

"Ini amanat UU No.27 Tahun 2007 untuk segera diselesaikan pada Juni nanti. Memang sampai sekarang masih banyak perbedaan pengertian karena sosialisasi yang belum cukup," katanya kemarin.

Padahal, lanjutnya, pemerintah telah memperhitungkan kepentingan publik, termasuk nelayan dalam pemberian HP3 itu kepada pemodal sehingga memungkinkan pemanfaatan perairan itu bagi kepentingan umum.

Dia menjelaskan HP3 itu bukan pemberian hak milik secara mutlak sebagai hak eksklusif pemanfaatan perairan setempat. HP3 itu, katanya, hanya merupakan hak pengelolaan sehingga kawasan ini masih dapat dimanfaatkan juga untuk kepentingan umum yang tidak berbenturan dengan peruntukan kawasan itu sendiri.

Dengan begitu, tegasnya, kalangan umum maupun nelayan masih dapat memanfaatkan areal itu kendati hak pengelolaannya sudah diberikan kepada investor atau pemodal tertentu.

"Tidak seperti sekarang, di beberapa pantai yang sudah diusahakan oleh swasta, nelayan atau orang umum tidak boleh masuk. Nanti kalau dengan HP3, nelayan dan umum justru masih bisa masuk dan memanfaatkan asal tidak berbenturan."

Dalam ketentuan pemberian HP3 itu, kata Irwandi, pemegang hak dilarang menutup akses publik sehingga perairan yang dikuasakan kepadanya tidak menjadi kawasan eksklusif dan tertutup.

Kehilangan lokasi

Manager Eksekutif Nasional Walhi untuk Kampanye Kelautan dan Pesisir Riza Damanik menyatakan rencana pemberlakuan HP3 kepada investor atau pemilik modal harus digagalkan.

Kebijakan itu dinilai bakal merugikan nelayan yang akan kehilangan lokasi karena pengkavlingan perairan oleh pemerintah yang diperuntukan bagi kalangan pemodal besar.

"Pemerintah gagal menjamin kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir karena tidak serius melindungi hak-hak penghidupan kalangan itu menyusul penerbitan UU No. 27/2007."

Dari Malang, Jawa Timur, Agus Malio Siagian, Sekjen DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) menilai� kebijakan pemerintah yang akan mengatur tata guna laut dengan mengavling (cluster) laut kepada perusahaan-perusahaan perikanan besar justru akan menjadikan nelayan tradisional menjadi ilegal jika memasuki kavling laut yang sudah dikuasai perusahaan tertentu. (Bambang Sutejo/k24)

Oleh Aprika R. Hernanda
Bisnis Indonesia

Rabu, 26 Maret 2008

Peran Iptek Tingkatkan Hasil Tangkapan Nelayan

Tanggal : 26 Maret 2008
Sumber : http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=154610

Oleh : RASIDI BURHAN, S.St.Pi

Pada Idul Fitri 1428H bulan Oktober tahun 2007, saya mudik ke kampung halaman yaitu kota Singkawang Kalimantan Barat, seorang teman nelayan yang juga masih terhitung keluarga berdiskusi dengan saya. Dari hasil dikusi tersebut ada dua masalah yang pada saat itu belum mendapatkan jawaban yang pasti, pertama; mengapa ikan di laut kita semakin berkurang ! Kedua; agar mendapatkan ikan yang banyak, kemanakah kami harus menangkap ikan dan bagaimana memperkecil biaya BBM? Dari hasil diskusi tersebut saya mencoba mencari jawabannya.


Ikan Kian Berkurang

Pada tahun 60-an, produksi perikanan tangkap Indonesia sangatlah melimpah dimana pada saat itu para pemimpin bangsa dan para nelayan memiliki pemikiran dan perasaan yang sejalan dan sama-sama menyatakan “Potensi perikanan laut Indonesia sangatlah melimpah, dimana lautnya kaya raya akan sumber daya alamnya.” Tetapi keadaan ini tidak berlangsung selamanya. Pada awal tahun 2000-an, pejabat, wartawan dan siapa saja yang mengunjungi nelayan pada musim ikan akan tetap menyatakan bahwa "ikan kita masih melimpah". Hal tersebut karena memang terlihat bahwa hasil tangkapan ikan yang banyak dan ikannya pun besar-besar. Namun memori otak para nelayan yang telah menekuni pekerjaan ini puluhan tahun pasti tidak akan lupa bahwa musim ikan tahun ini tidaklah sebanyak tahun-tahun dulu lagi. Ukuran ikannya pun makin tahun makin mengecil, solar yang diperlukan untuk melaut semakin banyak, dan lain-lain.

Pada tahun 2004, produksi perikanan tangkap negara kita telah mencapai 4,8 ton atau 77,4% MSY dan jumlah nelayan pun telah naik menjadi 3,4 juta orang (Statistik Perikanan 2004). Berdasarkan data tersebut secara nasional potensi perikanan laut Indonesia di abad 21 ini mungkin sudah tidak melimpah lagi. Gambaran rata-rata pendapatan nelayan Indonesia yang terlihat dari produktivitas rata-rata nelayan Indonesia pun nilainya dibawah negara-negara lain. Produktivitas nelayan Indonesia secara rata-rata maksimal hampir seperdelapan nelayan negara tetangga Malaysia dan sepertigapuluh nelayan Rusia. Indonesia memiliki terlalu banyak nelayan dan kekurangan akan stok ikan. (Majalah Damersal 2006).

Lantas bagaimana dengan produksi perikanan tangkap yang ada di daerah kita Kalimantan Barat ? Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar, produksi perikanan tangkap kita sangat bervariasi yaitu 64.896,1ton pada Tahun 2002, 63.613,1 ton Tahun 2003, 65.413,1 ton Tahun 2004, 60.615,8 Tahun 2005 dan 56.160,0 Tahun 2006 dengan jumlah armada kapal penangkapan ikan dengan kisaran diatas 6.000 buah pada tahun 2002 s/d 2003 dan lebih dari 7.000 - 8.695 buah pada Tahun 2004 s/d 2006. Dari hasil data diatas apakah dapat kita simpulkan bahwa keberadaan ikan atau stok ikan yang ada di Kalbar sudah berkurang ?

Dari pengamatan penulis, produksi perikanan tangkap yang ada di Kalbar dari tahun 2002 s/d 2005 tidak mengalami penurunan signifikan, tetapi dengan semakin mahalnya harga BBM jumlah produksi perikanan tangkap pada tahun 2005 s/d 2006 mengalami penurunan signifikan yaitu 5.000 - 9.000 ton dalam jangka waktu 2 tahun dimana penurunan kapal penangkap tidak mengalami penurunan, malah jumlah armada kapal penangkap ikan mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Banyak pakar perikanan dan masyarakat awam mengatakan potensi sumber daya perikanan Kalbar sudah menurun. Hal yang bertolak belakang apabila kita melihat di TPI Sungai Rengas, Pol Airud Siantan dan Lanal Jeruju, puluhan bahkan ratusan kapal-kapal asing dari berbagai negara tetangga tertangkap dan ditambat di pelabuhan-pelabuhan tersebut belum lagi kapal-kapal penangkap ikan asing yang masih berkeliaran di sekitar perairan Kalbar.

Bagaimana kita dapat mengatakan ikan kita semakin berkurang, dimana nelayan asing dari berbagai negara tetangga yang jaraknya bermil-mil dan sama-sama menggunakan BBM rela untuk menangkap ikan di perairan kita ! Itu merupakan suatu fakta yang menunjukkan potensi sumber daya kelautan Kalbar masih sangat produktif, tinggal bagaimana kita dapat mengelola dengan memanfaatkan teknologi yang ada dalam meningkatkan usaha perikanan tangkap.


Perkecil Biaya BBM

Menurut penulis, pemerintah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar harus menerapkan pola pengelolaan sumber daya kelautan secara terpadu dan berkelanjutan dengan menerapkan teknologi yang ada. Berdasarkan pengalaman penulis, Negara-negara lain sudah memanfaatkan teknologi dalam melakukan pengelolaan sumberdaya kelautannya. Dalam melakukan operasi penangkapan ikan/mencari daerah tangkapan ikan (fishing ground), nelayan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh (inderaja) menggunakan satelit.

Saat ini sudah banyak satelit menyediakan data pencitraan di perairan yang dapat diolah guna memprediksi keberadaan ikan seperti NOOA, Sea Star, Feng Yun dll dimana setiap satelit tersebut mempunyai karakteristik pencitraan yang bervariasi. Dengan adanya data pencitraan satelit dapat kita kolaborasikan dengan ilmu oseanografi meliputi suhu air laut, kadar garam (salinitas) pergerakan angin dan musim, dll. Tinggal bagaimana kita dapat memanfaatkan data-data dari hasil teknologi pencitraan satelit dan ilmu oseanografi tersebut dalam memprediksi daerah sebaran ikan.

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi dan ilmu dalam rangka pengelolaan sumber daya kelautan, kita juga harus memperhatikan aspek sumber daya manusia (SDM) harus dapat mendukung dalam penerapan ilmu dan teknologi tersebut. Dengan cara tersebut nelayan tidak lagi mencari daerah tangkapan ikan dulu yang dapat meningkatnya biaya BBM, tapi nelayan dapat langsung menuju perairan yang menjadi daerah tangkapan ikan (fishing ground) sehingga dapat menghemat biaya BBM.

Dengan menggunakan data dari satelit-satelit tersebut dapat dilakukan pemetaan suhu permukaan laut (SPL) dan kandungan khlorofil secara nerreal-time. Dari peta sebaran SPL dan khlorofil tersebut dapat diperoleh informasi tentang fenomena oseanografi, khususnya thermal front dan upwelling yang merupakan indikator daerah potensi penangkapan ikan. Penggunaan teknologi penginderaan jauh (inderaja) khususnya satelit dikolaborasikan dengan data cuaca, data oseanografi khususnya kesuburan perairan dan tingkah laku ikan, didukung dengan metode pengolahan dan analisis yang teruji akurasinya, merupakan salah satu alternatif yang sangat tepat dalam mempercepat penyediaan informasi zona potensi ikan harian dan prediksi daerah penangkapan ikan untuk keperluan peningkatan hasil tangkapan ikan. Identifikasi daerah potensi penangkapan ikan dan prediksi daerah penangkapan ikan menggunakan teknologi penginderaan jauh merupakan cara identifikasi tidak langsung. Dari data penginderaan jauh dilakukan identifikasi parameter-parameter oseanografi yang berkaitan erat dengan habitat ikan atau daerah yang diduga potensial sebagai tempat berkumpulnya ikan sesuai dengan karakteristik ikan (fish behavior), seperti daerah terjadinya termal front atau upwelling.

Parameter lain yang sekarang dapat dideteksi dengan menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh adalah kesuburan perairan, yang sangat erat hubungannya dengan daerah potensi berkumpulnya ikan. Zona potensi ikan ditentukan dengan kombinasi data/peta sebaran suhu permukaan laut, kandungan klorofil, pola arus laut, cuaca, serta karakter toleransi biologis ikan terhadap suhu air. Dari hasil pengamatan secara multitemporal dapat diketahui bahwa sebaran suhu permukaan laut di wilayah perairan laut Indonesia berubah dengan cepat.

Di Indonesia sendiri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sudah menyediakan layanan peta potensi perikanan dan peta prediksi daerah penangkapan ikan (PPDPI) yang dapat diakses di situs www.dkp.go.id yang dapat memberikan gambaran dalam menentukan daerah penangkapan ikan. Dalam situs tersebut, peta prediksi daerah penangkapan ikan di update setiap 3 hari sekali ini sangat membantu nelayan, tinggal bagaimana sosialisasi dari pemerintah daerah (DKP Propinsi) dapat menjembatani/ mentransfer data-data tersebut sehingga dapat dengan mudah diimplementasikan oleh nelayan. Sekali lagi sosialisasi dalam penenrapan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada nelayan menjadi kunci utama, baik dalam menyebarkan peta prediksi daerah penangkapan tersebut.

Kolaborasi data pencitraan satelit dan ilmu oseanografi dalam memprediksikan daerah sebaran ikan untuk mempermudah dalam inventarisir dan memudahkan akses para pengguna, dapat kita sajikan dengan menggunakan basis data atau lebih dikenal dengan istilah sistem informasi geografis (GIS). Dimana basis data tadi dapat kita kelompok-kelompokan berdasarkan daerah/wilayah/kota. Sehingga dapat membantu dalam penerapan pengelolaan sumberdaya kelautan yang terpadu dan berkelanjutan serta dapat meningkatkan penghasilan nelayan. **



* Penulis adalah warga Singkawang, kini sedang menuntut ilmu di Program Magister

Bidang Keahlian Teknik dan Manajemen Pantai Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya

Selasa, 25 Maret 2008

Indonesia, Agraris atau Bahari?

Tanggal : 25 Maret 2008
Sumber : http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=4524
Oleh
Emal Zain MTB (Jurnalis ITS Online)

Belakangan, kencang tersiar berbagai informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan laut. Di ITS semisal, bisa jadi karena memiliki Fakultas Teknologi Kelautan, selentingan tentang laut tak bisa kita hindari. Mulai dari Pelayaran IPTEK, Ocean Week, rencana keberangkatan ITS Maritime Chellenge ke Finlandia, HUT FTK ke-25, sampai gencarnya opini para mahasiswa Pasca sarjana Kelautan ITS. Tanda-tanda kecil perubahan laut Indonesia.

Kampus ITS, ITS Online
- Sekali lagi! Mungkin semua itu karena akhir-akhir ini saya cukup dekat dengan FTK. Seandainya saya sering berada di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, bisa jadi saya mengopinikan bahwa robotika akan menjadi primadona Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, sepintas memang ada yang patut kita renungkan dari kelautan kita, Laut Indonesia. Sekitar dua dari tiga luas Indonesia adalah perairan. Berada pada iklim tropis, pertemuan dua lempeng besar, dan pergerakan arus laut yang melewati Indonesia, menjadi tidak ada keraguan bahwa berjuta potensi terdapat di dalamnya.

Ironisnya, hanya mereka yang kesehariannya bergelut dengan kelautan saja yang memahami kondisi di atas. Awam hanya pernah mendengar banyak kapal tenggelam atau ikan yang dicuri nelayan asing. Indonesia memiliki laut yang luas. Kebanyakan orang hanya mengetahui sebatas kalimat tersebut. Di lain sisi, laut pun belum mampu memberi sumbangsih yang cukup berarti bagi persoalan bangsa ini

Jika boleh mengintip ke belakang dengan bijak, tentunya kita tidak lupa dengan kalimat yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Sedari duduk di bangku sekolah dasar pun, saya sudah diberitakan tentang Indonesia yang Agraris. Mengapa disebut demikian, saya pikir banyak alasannya. Mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Sebagian besar tata guna lahan pun dijadikan untuk pertanian atau perkebunan. Hebatnya lagi, swasembada beras pun pernah dicapai bangsa ini.

Benarkah demikian? Ternyata dibalik itu terdapat kenyataan yang cukup menyakitkan. Program revolusi hijau yang digalakkan pemerintah kala itu mengabaikan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro pada sektor pertanian, salah satunya dengan mengkonversi lahan pertanian menjadi daerah industri, real estate, pembangunan DAM, serta sektor non pertanian lainnya.

Sementara saat ini, pemerintah belum memilki agenda jelas dalam meluruskan ketimpangan tersebut. Alih-alih yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia tidak lagi mampu berswasembada beras, petani pun merana karena pemerintah lebih memilih impor karena harga yang murah. Terakhir harga kebutuhan pokok berbasis pertanian sudah didikte dunia, ketika harga kedelai dunia naik, Indonesia pun ak mampu menahan kenaikan harga di dalam negri. Lepas dari itu, kelaparan dan kekurangan gizi merebak di mana-mana. Lalu masih pantaskah Indonesia dikatakan sebagai Negara Agraris?

Kembali ke persoalan laut Indonesia. Walaupun banyak yang belum mengetahui begitu besarnya potensi laut yang ada, tidak bisa dipungkiri potensi itu memang ada. Dari bibir pantai hingga laut yang paling dalam sekalipun banyak potensi yang dapat dikeruk. Bahkan Pakar Kelautan ITS, Prof Ir Soegiono mengatakan dengan ikan saja sebenarnya Indonesia mampu hidup, bermodalkan gas dan batubara dari laut saja Indonesia tidak perlu berhutang lagi. Namun kenyatannya, laut kita memang belum terasa kiprahnya.

Dalam beberapa hal, potensi kelautan memang lebih besar dibanding pertanian Indonesia. Tidak hanya karena luas, tapi juga keanekaragaman potensinya. Saat ini kelautan Indonesia belum terlihat taringnya, tapi mereka sudah mulai dan sedang 'unjuk gigi'. Satu hal yang saya rasakan adalah semangat dan mimpi-mimpi mereka akan kejayaan laut Indonesia akan datang.

Dari sini saya berpikir sah-sah saja jika kita menyebut Indonesia sebagai Negara Bahari. Toh sebelumnya kita juga sering mendengar bahwa "nenek moyangku seorang pelaut". Bahkan civitas kelautan pun sudah menanamkan pada diri mereka bahwa Indonesia adalah negri bahari.

Lantas bagaimana dengan Agraris? Tidaklah saya berani mengatakan Indonesia bukan Negara Agraris lagi. Kecuali jika saya mahasiswa pertanian, akan saya katakan bahwa Indonesia masih Agraris.


Jumat, 14 Maret 2008

Kontroversi Hak Pengusahaan Pesisir

Tanggal : 14 Maret 2008
Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.14.0059150&channel=2&mn=155&idx=155

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang memberikan hak pengusahaan perairan pesisir untuk kurun waktu 20 tahun hingga kini masih menuai kontroversi. Sejumlah kalangan meragukan hak pengelolaan pesisir itu mampu melindungi nelayan dan masyarakat pesisir terhadap kepentingan pemilik modal.

Guna menopang hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), pemerintah berencana menerbitkan aturan zonasi kawasan pesisir tahun ini. Pengaturan tata ruang itu memisahkan kawasan perikanan budidaya dan tangkap sehingga mendorong pengelolaan kawasan secara eksklusif.

Menurut Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Ma’arif, penerbitan HP3 bertujuan mendorong orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Pengaplingan pesisir untuk menopang HP3 dilakukan bersama-sama oleh pemerintah daerah, masyarakat pesisir, dan pengusaha. Pemberian HP3 dinilai akan memberikan kepastian hukum untuk berinvestasi sekaligus perlindungan kawasan.

”HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir dan menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum dalam mengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap ikan di perairan,” katanya.

Meski demikian, pelaksanaan HP3 menuai keraguan. Sejumlah kalangan khawatir HP3 yang membuka peluang bagi privatisasi pesisir tidak mampu melindungi nelayan.

Selain itu, privatisasi pesisir selama puluhan tahun dikhawatirkan mengancam kelestarian sumber daya pesisir.


Hapuskan HP3

Pekan lalu, perwakilan organisasi nelayan dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggelar unjuk rasa di Kantor DKP. Mereka menuntut HP3 dihapuskan karena mengancam pencarian nelayan dan pencemaran laut.

Pengurus Solidaritas Nelayan Arakan Rudi Haniko mengatakan, penerbitan HP3 tidak memerhatikan kondisi nelayan tradisional. Lokasi tangkapan ikan selama ini cenderung tidak menentu.

Menjelang musim-musim tertentu, seperti musim angin barat yang kerap diwarnai cuaca buruk dan gelombang pasang, nelayan di sejumlah wilayah juga cenderung berpindah ke lokasi yang lebih aman untuk memperoleh hasil tangkapan.

”Jika pengaplingan pesisir dilakukan, ruang gerak nelayan akan sangat terbatas. Kami bisa kehilangan pencarian,” ungkap Rudi.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Riza Damanik mengatakan, pemerintah harus belajar dari penerapan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang hingga kini masih semrawut dan menuai pertentangan.

Pengelolaan kawasan konservasi selama ini cenderung kaku dan mengabaikan kearifan lokal masyarakat pesisir. Nelayan tradisional tidak dilibatkan dalam pengelolaan kawasan, bahkan dilarang mendekati kawasan konservasi, di antaranya di Taman Nasional Bunaken.

”Pengelolaan kawasan yang mengabaikan peran masyarakat akan terus menimbulkan gejolak dan pertentangan di masyarakat,” ujar Riza.

Kerusakan wilayah pesisir di dunia sesungguhnya cukup mengkhawatirkan. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, 30 persen kegiatan penangkapan ikan bersifat merusak.

Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, kerusakan terumbu karang di Indonesia mencapai 33,17 persen dari total luas terumbu karang 85.700 hektar.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengatakan, penerbitan HP3 merupakan kebijakan eksperimen pemerintah sebagai bentuk kompromi pendekatan pasar dan populis. Undang-undang yang kompromistis itu hampir tidak ditemukan di negara-negara lainnya.

Menurut Arif, situasi perekonomian nasional menghendaki sumbangan ekonomi dari sektor perikanan sehingga pemerintah berupaya menerapkan kebijakan yang propasar dengan memberi nilai ekonomis pada laut dan mendorong investasi di pulau-pulau kecil.

Kebijakan HP3 itu bermakna multitafsir. Di satu sisi, hal itu mendorong optimalisasi pengelolaan perairan Indonesia yang luas dengan potensi sumber daya yang besar, selain itu juga memberikan perlindungan terhadap aktivitas nelayan dan masyarakat adat.

Namun, di sisi lain, HP3 memberi peluang bagi privatisasi sumber daya pesisir selama 20 tahun, dapat diperpanjang, dan dialihkan kepada pihak lain.

Kebijakan yang memungkinkan pengalihan hak pengelolaan pesisir memungkinkan terjadinya pemusatan hak pengusahaan pesisir kepada pemodal kuat. Hal itu membuka celah bagi penguasaan pesisir oleh segelintir pemilik modal.

Dualisme penafsiran UU itu pada akhirnya membuat HP3 sulit untuk diterapkan secara seimbang karena timbulnya tarik-menarik kepentingan.


Pemerintah terlambat

Sementara itu, posisi nelayan cenderung lemah karena tidak memiliki wadah yang solid untuk menyalurkan aspirasi sebagai dampak kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan sektor bahari. Akibatnya, kepentingan nelayan mudah tersingkir oleh kepentingan pemilik modal.

”Posisi nelayan yang lemah menyebabkan perencanaan, zonasi, dan pengelolaan pesisir berpotensi memarjinalkan masyarakat nelayan. Hal ini harus disikapi dengan hati-hati oleh pemerintah,” kata Arif.

Sementara itu, pemerintah terlambat menerbitkan aturan turunan UU yang memberikan penjelasan lebih rinci tentang pemanfaatan pesisir dan jaminan perlindungan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Padahal, aturan turunan itu seharusnya ditetapkan Oktober tahun lalu. Kesimpangsiuran aturan turunan menyebabkan UU itu terus menuai perdebatan.

Arif mengatakan, pemerintah harus mampu menempatkan nelayan sebagai aktor utama pengelolaan sumber daya pesisir, seperti diterapkan oleh sejumlah negara yang maju di bidang perikanan. Penempatan nelayan sebagai aktor utama terbukti mampu melindungi kelestarian sumber daya pesisir.

Perlindungan terhadap masyarakat pesisir di antaranya sudah dilakukan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemprov NTB menerbitkan perda yang berisi pengakuan terhadap pengelolaan sumber daya pesisir masyarakat yang disebut awig-awig.

Dengan sistem awig-awig itu, praktik pengeboman ikan turun drastis. Karena itu, keberadaan UU Nomor 27 Tahun 2007 harus menjadi pedoman bagi pengelolaan kawasan pesisir dengan menempatkan nelayan sebagai aktor utama.

Arif mengatakan, pemerintah daerah harus segera membentuk komite masyarakat yang beranggotakan masyarakat, LSM, dan akademisi untuk ikut dalam tahap perencanaan zonasi perairan, pengelolaan pesisir, kawasan konservasi, hingga alur pelayaran nelayan.

Selain itu, menyusun aturan turunan seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang menjamin perlindungan terhadap nelayan dalam pengelolaan pesisir.

Dirjen Perikanan Tangkap Ali Supardan mengatakan, HP3 akan memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan pesisir tanpa mengesampingkan usaha nelayan dan masyarakat pesisir.

Data sementara DKP menyebutkan, jumlah nelayan di laut Indonesia hingga 2007 mencapai 1,96 juta orang. Sebanyak 7,5 persen atau 6,4 juta ton per tahun dari potensi lestari ikan dunia ada di perairan Indonesia.

Sekitar 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk budidaya ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya dengan potensi produksi 47 juta ton per tahun.

Total nilai ekonomi produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dollar AS per tahun. Sementara itu, hampir 70 persen produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tidak bisa ditawar lagi, harus mengoptimalkan peran nelayan kecil sebagai subyek pengelolaan.

Dengan menguatnya peran masyarakat, diharapkan sejumlah persoalan pesisir, termasuk kemiskinan dan kerusakan ekologis, akan teratasi. (bm lukita grahadyarini/ ryo

Rabu, 12 Maret 2008

Resolusi Nelayan Indonesia

Tanggal : 12 Maret 2008
Sumber : http://sarekathijauindonesia.org/?q=en/content/resolusi-nelayan-indonesia


Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Kami nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia yang menghadiri Temu Konsolidasi Organisasi Nelayan Indonesia, pada tanggal 4-5 Maret 2008, di Gedung YTKI-Jakarta, menyampaikan kesaksian dan tuntutan pada pengurus negara Indonesia, sebagai berikut:

  1. Bahwa sejak rezim Orde Baru, nasib nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia senantiasa terpinggirkan. Program pembangunan yang dilakukan lebih menitikberatkan pada persoalan pertanian dan pembangunan infrastruktur darat. Nelayan dan masyarakat pesisir tidak menjadi sektor penting bagi program pembangunan. Padahal faktanya, lebih dari 67% kabupaten/kota di Indonesia merupakan kabupaten/kota pesisir atau yang berhadapan langsung dengan perairan laut. Kenyataan lainnya, lebih dari 65% total penduduk Indonesia tinggal dan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir dan laut;
  2. Bahwa rezim SBY-JK, tidak lebih baik dari pada rezim-rezim sebelumnya. Politik ekonomi yang dibangun oleh rezim ini masih merujuk pada watak dan corak kepemimpinan yang anti rakyat, menghamba dan tunduk-tertindas pada kekuatan pemodal dan sangat tergantung pada utang luar negeri;
  3. Bahwa rezim SBY-JK, telah dengan sengaja mempertontonkan keberpihakannya kepada pemodal sekaligus anti nelayan melalui UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK). Dengan sertifikat HP-3 (Hak Penguasaan Perairan Pesisir) pengurus negara memberikan keistimewaan pada pemodal besar untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan nelayan dan masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, hingga lebih dari 20 tahun. Demikian sama halnya, dengan keberadaan UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA).
  4. Bahwa politik konservasi laut yang dianut oleh SBY-JK, telah membatasi akses nelayan untuk mengelola sumber-sumber kehidupan di wilayah laut dan pesisir. Pendekatan konservasi laut yang bias darat, anti nelayan, dan syarat utang luar negeri terbukti telah menyebabkan konflik yang merugikan kehidupan nelayan baik berupa harta benda hingga korban jiwa. Kasus Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur (2003-2004); Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara (2002-2007); dan Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara (2001-2005) adalah sejumlah konflik yang melibatkan aparat keamanan (TNI/POLRI), Balai Pengelola Taman Nasional, dan di sokong oleh lembaga-lembaga konservasi internasional seperti WWF, TNC, NRM dan CI;
  5. Bahwa pemerintahan SBY-JK dengan sengaja membiarkan praktek-praktek pembuangan limbah tambang dan industri (tailing) yang mengakibatkan tercemar dan hancurnya sumber-sumber kehidupan nelayan di laut. Laut bukanlah tong sampah bagi kepentingan industri;
  6. Bahwa politik pembangunan yang dijalankan dewasa ini, masih menempatkan perempuan nelayan sebagai sub-ordinat dari kepentingan pembangunan sektor kelautan dan perikanan;
  7. Bahwa politik adu-domba untuk memecah-belah kelompok nelayan dan masyarakat pesisir melalui dana pemberdayaan masyarakat (community development) yang berasal dari perusahan-perusahaa n perusak lingkungan (seperti industri tambang dan migas) telah memicu konflik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dibanyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia;
  8. Bahwa konflik perikanan antara nelayan tradisional Indonesia berhadapan dengan industri perikanan dan kapal-kapal asing semakin marak terjadi akhir-akhir ini. Kasus nelayan tradisional di kabupaten Bengkalis propinsi Riau melawan kelompok Jaring Batu/Jaring Dasar sejak tahun 1983 sampai sekarang, dapat disebut mewakili konflik tersebut. Pemerintah pusat dan daerah terlihat terus membiarkan konflik terjadi hingga menimbulkan korban jiwa dan material. Setidaknya tercatat 5 (lima) orang nelayan tradisional telah tewas dalam konflik ini;
  9. Bahwa kami juga menilai politik klaim atas nama Nelayan Indonesia yang senantiasa diterapkan pemerintah melalui organisasi seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) selama ini, sama sekali tidak membawa manfaat yang optimal bagi kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat nelayan dan pesisir Indonesia.
  10. Bahwa berdasarkan kesaksian, penilaian, dan fakta-fakta di atas, maka Kami menuntut kepada pengurus negara:
    1. Tingkatkan jaminan keselamatan serta kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir dengan menerapkan kebijakan ekonomi politik yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dasar nelayan dan masyarakat pesisir termasuk aman dari ancaman bencana;
    2. Segera merubah total seluruh kebijakan ekonomi politik untuk tidak lagi menghamba pada kuasa pemodal serta tergantung pada utang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang selama ini membiayai proyek-proyek kelautan dan perikanan di Indonesia, seperti Bank Dunia dan ADB/Bank Pembangunan Asia; termasuk bantuan dari lembaga-lembaga konservasi internasional seperti WWF, TNC, NRM, dan CI yang anti-rakyat dan justru memperdagangkan sumber-sumber kehidupan nelayan;
    3. Cabut UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
    4. Hentikan pengkaplingan dan zonasi kawasan pesisir dan laut atas nama Taman Nasional dan konservasi laut;
    5. Hentikan program reklamasi pantai;
    6. Hentikan praktek perikanan ilegal (illegal fishing) di seluruh perairan Indonesia;
    7. Hentikan ekspansi industri pertambakan dan perikanan;
    8. Hentikan pembuangan limbah ke laut;
    9. Hentikan eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut, seperti pasir laut;
    10. Hentikan tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap nelayan di seluruh Indonesia;
    11. Tingkatkan kualitas hidup perempuan nelayan untuk mendapatkan hak-haknya atas pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir.

Kami menyerukan seluruh nelayan dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk terus merapatkan barisan dan mengokohkan persatuan rakyat demi terwujudnya kesejahteraan nelayan Indonesia.
Demikian resolusi nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia ini kami sampaikan.

Nelayan Indonesia Bersatulah!!

Kamis, 06 Maret 2008

Enam Kata Keramat Untuk Pesisir

Tanggal : 6 Maret 2008
Sumber : http://g1s.org/lingkungan-hidup/enam-kata-keramat-untuk-pesisir-722/

Oleh Dr. Satia Negara Lubis & Dr. Matius Bangun

Tidak bodoh, tidak sakit dan tidak lapar adalah enam kata yang dijadikan satu semboyan kuat dan terlontar oleh "abah" salah satu calon Gubernur Sumut pada Debat Cagubsu Waspada baru-baru ini. Enam kata itu tampaknya sederhana, bijak, tidak klise, praktis, mudah dicerna dan terkesan lucu apalagi diucapkan dengan gaya yang lucu. Tetapi sesungguhnya itu adalah kata yang mampu menjawab semua pertanyaan tentang Sumatera Utara dan mampu pula memporakporandakan semua jawaban yang aneh-aneh dari calon lainnya.

Tentu saja tulisan ini tidak membahas bagaimana prosesi debat Cagubsu itu dan tulisan ini bukan pula sebagai dukungan atau bantahan pada salah satu Cagubsu. Kami hanya tertarik pada semboyan itu dan coba mengaitkannnya dengan kondisi pesisir kita saat ini. Itu pun kami kaitkan karena calon Cagubsu yang melontarkan enam kata keramat itu sangat dekat dengan pesisir. Tentu saja sekaligus memberi tips kecil buat Cagubsu untuk melengkapkan kata menjadi aksi nyata.


Pesisir Timur-Barat

Wilayah Pesisir Timur Sumatera Utara dikelompokkan menjadi dua wilayah yaitu : (1) Wilayah up-land atau kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan daerah belakang yang berpengaruh terhadap ekosistem kawasan di bawahnya (kawasan pantai pesisir hingga laut). Yang termasuk wilayah up-land: daerah atas adalah Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kab. Langkat, Kab. Labuhan Batu, Kab. Deli Serdang dan Kab. Serdang Bedagai dan (2).Wilayah low-land atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang masih dipengaruhi oleh pasang surut pada keenam Kabupaten/Kota tersebut sampai 4 mil ke arah laut.

Kawasan Pantai Timur Sumatera Utara merupakan wilayah pesisir yang mempunyai hamparan mangrove dari daerah pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah pantai selatan Kabupaten Labuhan Batu dengan ketebalan yang bervariasi antara 50-150 meter. Daerah pantai di kawasan Pantai Timur Sumut didominasi oleh pantai berpasir, bak pasir kwarsa maupun feldspar. Keadaan fisik pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh gerakan ombak, khususnya dalam pembentukan ukuran partikel. Luas kawasan Pesisir Timur Sumatera Utara adalah 43.133,44 km2. Kawasan ini cukup subur, suhu udara tinggi, kelembaban udara tinggi dan curah hujan relatif tinggi. Topografi pantai umumnya landai dengan laut yang dangkal.

Sedangkan wilayah pantai pesisir barat Sumatera Utara terdiri dari 6 Kabupaten/Kota ini memiliki hamparan mangrove sekitar 14.270 Ha yang membujur dari pantai selatan Kabupaten Mandailing Natal sampai ke pantai selatan Kabupaten Tapanuli Tengah serta di daerah pulau-pulau di Kabupaten Nias dengan ketebalan antara 50-150 meter. Terumbu karang di Pantai Barat Sumatera Utara terdapat di tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan yang tumbuh pada kedalaman 3-10 meter.

Daerah pantai di kawasan Pantai Barat Sumatera Utara sangat bervariasi yaitu daerah yang curam, berbatu dan di beberapa daerah terdapat pantai yang didominasi rawa. Kondisi pantai semacam ini banyak ditemukan di daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Sibolga dan Mandailing Natal. Sedangkan Pantai Kabupaten Nias dan Kab. Nias Selatan didominasi oleh pantai berbatu dan berpasir, khususnya yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Banyaknya terdapat pulau-pulau kecil merupakan ciri yang dimiliki oleh kawasan pesisir barat Sumatera Utara.

Potensi lestari MSY (maximum sustainable yield) Pantai Timur Sumatera Utara (Selat Malaka) menurut hasil survey Ditjen Perikanan (1983) adalah 263.300 ton/tahun. Pantai berpasir yang mendominasi daerah Pantai Timur Sumatera Utara yang terdiri dari pasir kwarsa, feldspar serta sisa-sisa pecahan terumbu karang merupakan peluang bagi pengembangan wisata pantai/wisata bahari seperti Pantai Cermin, Pantai Sialang Buah, Pantai Klang (Kab. Serdang Bedagai); Pantai Kuala Indah, Pantai Sejarah, Pantai Pasir Putih, Pulau Salah Nama dan Pulau Pandan (Kab. Asahan).

Potensi lestari (maximum sustainable yield) sumberdaya hayati perikanan laut Pantai Barat Sumatera Utara adalah 228.834 ton/tahun. Produksi perikanan Pantai Barat berdasarkan hasil tangkapan yang didaratkan adalah sebesar 107.780,5 ton (47%) pada tahun 2000, berarti masih terdapat peluang pemanfaatan sebesar 121.053,5 ton (53%) di Pantai Barat Sumatera Utara. Pesisir barat Sumatera Utara yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia memiliki topografi pantai yang curam dan perairan yang relatif dalam.


SDM Bodoh, Sakit, Lapar

Ironis sekali, di tengah kekayaan pesisir yang cukup besar rakyatnya hidup pada rumah-rumah yang berdinding tepas beratap rumbia dan berlantaikan tanah. Di pesisir banyak anak-anak tidak sekolah dan harus ke laut menjadi buruh siapa saja. Di pesisir banyak jeritan kemiskinan dan stress menghadapi kehidupan yang tidak menentu. Di pesisir jutaan anak-anak tidak sehat karena mereka tidak tahu bagaimana agar sehat. Sedih karena kekayaan yang jelas tampat di hadapannya itu tidak dapat mereka serap layaknya nelayan-nelayan di negeri jiran yang memiliki garasi mobil pada rumah-rumah permanen mereka. Nelayan-nelayan itu hanyalah buruh dari toke-toke yang hidup mewah di tengah keringat mereka dan dari sejak zaman nenek moyang mereka mereka tetap buruh yang menjadi sapi perah. Mereka adalah SDM yang bodoh, sakit dan lapar
Sebenarnya enam kata yang dilontarkan salah seorang Cagubsu kita itu memiliki ruh kemanusiaan yang berintikan pada kualitas sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia merupakan hal pokok yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Tentu saja infrastruktur penting tetapi bukan yang pertama mengingat masalah sumberdaya manusia menyangkut pendidikan agar tidak bodoh, kesehatan agar tidak sakit dan ketenagakerjaan agar tidak lapar.

Coba kita simak perbandingan ini. Jumlah penduduk di wilayah Pantai Timur adalah 6.947.200 jiwa sedangkan Pantai Barat adalah 2.575.300 jiwa (101, 68 jiwa/km+) tetapi tingkat pendidikan masyarakat di wilayah pesisir pantai timur rata-rata lebih tinggi dibanding tingkat pendidikan masyarakat di wilayah pesisir pantai barat. Penduduk pantai timur yang berpendidikan SMTP sampai Perguruan Tinggi hanya 33,08% sehingga rendahnya tingkat pendidikan tersebut menyebabkan rendahnya daya serap terhadap Iptek sehingga sering menjadi kendala bagi peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Idealnya untuk mengelola sumberdaya pesisir yang kaya dibutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai bidangnya, mulai dari tingkat ahli madya sampai sarjana, karena pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut membutuhkan teknologi sederhana sampai teknologi yang tinggi. Tetapi sungguh disayangkan Perguruan Tinggi yang bergerak di bidang Kelautan dan Perikanan di Sumatera Utara memang agak terlambat berdirinya, karena setelah terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan baru muncul perguruan tinggi yang berbau kelautan dan perikanan di beberapa Kabupaten/Kota. Dan itu pun memiliki daya serap yang terbatas pada kalangan mereka yang mampu dan hidup bukan di pesisir.

Di Pesisir rendahnya kualitas sumberdaya manusia antara lain disebabkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat karena banyak di antara masyarakat pesisir tidak memiliki dana yang cukup untuk melanjutkan pendidikan anak-anak mereka. Pendidikan yang rendah menggiring masyarakat pesisir tidak mengerti arti sehat dan kalaupun mereka mengerti mereka beranggapan sehat itu terlalu mahal dibandingkan pendapatan mereka sehingga jangan heran sanitasi lingkungan pemukiman wilayah pesisir menjadi sangat buruk.


Tips Buat Cagubsu

Untuk menjadikan masyarakat pesisir baik yang ada di Pantai Timur maupun Barat Sumatera Utara tidak bodoh, tidak lapar dan tidak sakit beberapa tips dapat dijalankan oleh Cagubsu yang nantinya terpilih menjadi Gubsu :

1. Agar tidak bodoh maka sebaiknya di wilayah pesisir sarana dan prasarana pendidikan SD dan SLTP serta tenaga guru di dioptimalkan, Frekwensi program pelatihan dan keterampilan masyarakat dalam pengelolaan SDA wilayah pesisir didasarkan kepada kebutuhan bukan pendekatan proyek, mengusulkan dan menyiapkan serta mengimplementasi materi pelajaran tentang pengelolaan wilayah pesisir dalam kurikulum muatan lokal SD dan SLTP. Dan jangan lupa dan jangan ragu berikan sekolah gatis pada masyarakat pesisir yang kurang mampu.

2. Agar tidak sakit maka sebaiknya di wilayah pesisir sarana dan prasarana kesehatan ditingkatkan, kebutuhan tenaga medis sesuai dengan kepadatan penduduk disesuaikan dan mengembangkan rencana perbaikan sistem sanitasi pemukiman dan lingkungan dalam program penyuluhan kesehatan secara kontinu dan terpadu (bukan asal jadi). Jangan lupa dan jangan ragu untuk menggratiskan biaya untuk sehat bagi mayarakat pesisir yang idak mampu

3. Agar tidak lapar maka sebaiknya pengelolaan di wilayah pesisir mulai dari proses perencanaan sampai pengawasan dan evaluasi serta kepedulian dan tanggung jawab melibatkan mayarakat secara aktif dengan pemberdayaan lembaga lokal setempat yang selama ini sudah hilang. Hal ini penting mengingat hampir 75 persen bantuan pemerintah di wilayah pesisir tidak menyentuh pada kenaikan pendapatan nelayan tetapi justru membengkakkan pendapatan toke-toke dan nelayan tetap menjadi buruh yang cari makan dua minggu dimakan habis satu minggu. Dan cobalah memberikan perlindungan dan pendampingan pada nelayan dengan sungguh-sungguh mengingat persoalan-persoalan legislasi usaha kecil mikro dan transfer teknologi yang menggiring mereka pada tidak lapar sering jalan di tempat dan pengambil kebijakanpun pura-pura bodoh.


Penutup

Tidak bodoh, tidak lapar dan tidak sakit adalah anugrah besar bagi bangsa ini dan menjadi cita-cita rakyat yang kini sedang bodoh, sedang lapar dan sedang sakit. Lihatlah mereka di pesisir itu yang terkagum-kagum dengan enam kata keramat itu tetapi mereka terngangap-ngangap menanti implementasi. Mudah-mudah tidak ada dusta di antara kita.

Pengelolaan Pesisir dan Laut, Kunci Kedaulatan NKRI

Tanggal : 6 Maret 2008
Sumber : http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=4434


W
ilayah pesisir dan laut merupakan kawasan tempat berinteraksinya berbagai “kekuatan” yang berasal dari daratan dan lautan. Interaksi yang terjadi menentukan “karakteristik” suatu wilayah pesisir dan lautan termasuk mencerminkan “kedaulatan” suatu negara yang mempunyai kebudayaan bahari.

Kampus ITS, ITS Online - Interaksi wilayah pesisir dan laut mempengaruhi kondisi sumberdaya dan lingkungan di wilayah tersebut melalui aktifitasnya yang dilakukan baik di daratan, kawasan perairan pesisir maupun kawasan laut. Sebagai agen yang baik dan aktif, peranan manusia sangatlah penting dalam menentukan keseimbangan interaksi antara berbagai kekuatan asal daratan maupun lautan. Peranan manusia tercermin dari pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang dilakukan.

Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka perlu adanya pendekatan terpadu dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, baik dari segi keterpaduan disiplin ilmu yang multidisiplin, kegiatan kemaritiman yang arahan dan tujuan lebih ditekankan kepada kegiatan sektoral barlandaskan konsep kedaulatan kebaharian. Kedaulatan atau dalam bahasa asing disebut “Souvereignity” bermakna kekuasaan tertinggi suatu negara yang mana di dalam negara tersebut tidak dihinggapi adanya kekuasaan lain. Asal mula suatu negara ada atau timbul karena adanya kebutuhan keinginan manusia yang beraneka macam.

Keserakahan untuk menguasai kawasan kepulauan negara lain seperti halnya kepulauan Indonesia selalu terlintas dalam benak berbagai negara perbatasan bilamana hal itu memungkinkan untuk dilakukan, hal ini didasari akan lemahnya kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengaplikasikan segudang atau bahkan lebih rencana pemberdayaan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir kepulauan Indonesia yang begitu melimpah. Jika ditinjau dari segi Geografis Indonesia sebagai negara bahari (archipelagic state), mempunyai luas wilayah yang membentang mulai dari 95’ sampai dengan 141’ BT dan di antara 60’ LU dan 110’ LS, sedangkan luas wilayah perairan Indonesia tercatat mencapai kurang lebih 7,9 juta km2 (termasuk Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE), dengan panjang garis pantai 95.181 km. Potensi sumberdaya kelautan yang adalah salah satu pilar penopang dari sekian pilar penopang pembangunan adalah potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang berjumlah 17.504, dengan rincian 9.634 pulau belum memiliki nama.

Perlu disadari bahwa pulau-pulau kecil yang sebagian besar terletak pada bagian batas luar perairan Indonesia dan yang belum bernama tersebut memiliki sumber kekayaan pesisir dan laut yang teramat sangat melimpah, selain itu sejauh peninjauan saya, keberadaan pulau-pulau kecil pada lintas garis batas kepulauan Indonesia pada bagian terluar masih kurang di perdulikan oleh pemerintah sebagai penguasa pengambil kebijakan. Saya teringat akan kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan yang telah direbut oleh negara tetangga Malaysia. Jika dikaji dari aspek ekonomi, bangsa ini telah mengalami kerugian yang tidak dapat di hitung baik dari segi kerugian akan sumberdaya hayati perairan pesisir dan laut, maupun dari segi luasan wilayah. Perubahan garis pantai yang secara jelas mengandung makna bahwa dengan hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan memberikan arti penting dalam perubahan luasan wilayah teritorial kawasan laut Indonesia.

Tidak hanya demikian seperti yang telah disebutkan di atas, jika kita mau untuk berkata jujur pada diri kita sendiri dan pada bangsa ini, dengan hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan telah memberikan jawaban bagi negara lain yakni betapa lemahnya Kedaulatan Negara Kita, disini sebenarnya letak “Lemahnya Kunci Kedaulatan Negara Kita”. Kita sebagai bangsa yang besar dan yang memiliki sumber kekayaan alam laut yang begitu melimpah perlu melakukan berbagai tindakan preventif dalam mengatasi tindakan-tindakan negara lain yang sengaja ingin merampas akan kedaulatan negara ini selangkah demi selangkah. Yang telah terjadi biarlah berlalu dan usahakanlah jangan pernah terjadi lagi, begitulah kata orang bijak.

Sejalan dengan pernyataan di atas untuk tidak pernah terjadi lagi akan pengalaman pahit oleh bangsa ini, maka pemerintah sudah seharusnya melakukan pengelolaan dan pendayagunaan sumberdaya pulau-pulau kecil yang berada di bagian terluar kepulauan Indonesia. Pengelolaan dan pendayagunaan sumberdaya pulau-pulau kecil perlu dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity) dan kedaulatan (souvereignity) dengan mempertimbangkan tiga aspek utama yaitu keberadaan secara terus menerus (continuous presence) di pulau tersebut, penguasaan secara efektif (effective occupation) termasuk aspek administrasi, serta perlindungan dan pelestarian ekologis (maintenance and ecology preservation).

Ketiga aspek utama tersebut akan dapat dilaksanakan apabila pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penguasa tunggal dalam pengambil kebijakan dapat bekerja sama baik dengan pemerintah daerah, aparat penegak hukum, aparat pengawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, para swasta maupun para lembaga swadaya masyarakat dalam hal ini para nelayan juga dilibatkan serta para institusi baik pemerintah maupun swasta dan para mahasiswa.

Sejalan dengan hal tersebut, untuk merealisasikan berbagai aspek seperti yang telah disebutkan diatas, perlu adanya kebijakan dan program kerja yang bersifat operasional dengan kerjasama secara sinergis lintas sektor ke arah peningkatan kualitas lingkungan pesisir dan laut dan pulau-pulau kecil yang meliputi :
*Penataan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil termasuk produk hukumnya (PP, Perda, dll),
*Meningkatkan kualitas lingkungan dan produktivitas sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil,
*Konservasi meliputi, perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan ekosistem pesisir dan laut serta keanekaragaman hayati laut. Kebijakan ini perlu juga dijabarkan ke dalam implementasi dengan beberapa program kegiatan kebaharian seperti,
*Pengembangan dan perumusan kebijakan umum yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan laut secara berkelanjutan,
*Penataan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang diarahkan pada sinkronisasi dan integrasi penataan daerah dan nasional,
* Pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi laut dan pengembangan konservasi jenis dan genetik biota laut langka dan ekosistem lainnya.

Dengan adanya langkah-langkah kebijakan seperti yang telah disebutkan diatas diharapkan dapat turut membantu dalam perwujudan pengokohan ‘Kedaulatan” Negara ini, sehingga permasalahan Pulau Sipadan dan Ligitan tidak terjadi lagi.Semoga…!

“Jika saya dapat merubah dunia ini dengan setitik pijakan ujung pena akan saya lakukan”, jika saya dapat merubah bangsa ini dari keterpurukan kemiskinan hanya dengan melalui himbauan pemikiran ilmiah berupa tulisan, mengapa tidak saya lakukan …?

DKP siap cairkan dana sosial mikro

Tanggal : 6 Maret 2008
Sumber : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/ritel-ukm-mikro/1id47639.html
Oleh
Aprika R. Hernanda

JAKARTA: Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) akan menyalurkan dana� sosial mikro bagi masyarakat pesisir dan pembudi daya ikan di 115 kabupaten/kota sekitar Rp40 miliar mulai April 2008.

Bantuan ini akan didistribusikan secara perorangan maupun kelompok melalui koperasi atau lembaga keuangan mikro setempat, dengan prioritas untuk pengusaha pemula dan perempuan pengusaha.

Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) DKP Syamsul Ma'arif mengatakan bantuan ini menggantikan dana bergulir program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).

"Sekarang bentuknya bantuan sosial mikro atau BSM. Ini yang akan diberikan kepada masyarakat pesisir, nelayan dan pembudi daya ikan," katanya usai membuka sosialisasi program bantuan sosial mikro, kemarin.

Setiap kabupaten/kota akan mendapatkan alokasi sekitar Rp400 juta untuk disalurkan ke penerima bantuan dalam bentuk barang atau sarana usaha dan penangkapan ikan senilai maksimal hingga Rp10 juta.

Anggaran sekitar Rp40 miliar itu siap dicairkan, mengingat perangkat aturannya� diterbitkan pada 3 Maret 2008, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 7/2008 tentang Bantuan Sosial Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pembudidaya Ikan.

Bantuan itu akan disalurkan setelah pemerintah menerima proposal yang diseleksi oleh dinas setempat dengan dibantu koperasi atau LKM.

Syamsul menambahkan penyaluran bantuan ini juga akan menyertakan jaringan LKM Swamina, yang dibangun DKP melalui program PEMP pada 2004-2006.

"Tetapi bisa juga dengan koperasi. Mekanismenya, calon penerima bantuan bisa mengajukan proposal terkait dengan barang apa yang dia perlukan. Nanti akan diseleksi oleh dinas dengan bantuan koperasi atau LKM," tuturnya.

Dia mengakui penyaluran bantuan ini berisiko tinggi terhadap tindak penyelewengan. Karena itu, DKP menyiapkan tenaga pendampingan yang akan ditempatkan di setiap desa untuk mengawasi penyaluran bantuan.

Menurut Syamsul, penyaluran bantuan hingga 80% sudah cukup baik. Apalagi pada tahun lalu, DKP hanya berhasil menyalurkan 30% dana PEMP dari anggaran senilai Rp146 miliar, karena keterlambatan pencairan.

Kebijakan Pemerintah Miskinkan Nelayan

Tanggal : 6 Maret 2008
Sumber : http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Kebijakan-Pemerintah-Memiskinkan-Nelayan-Indonesia-1447.html

Oleh
Kurniawan Tri Yunanto

VHRmedia.com, Jakarta - Sejumlah nelayan dari 13 provinsi berunjuk rasa di Departemen Kelautan dan Perikanan, Kamis (6/3). Mereka menolak ketimpangan kebijakan pemerintah bagi masyarakat pesisir.

Para nelayan menilai program pembangunan yang dilakukan hingga saat ini lebih menitikberatkan pada persoalan pertanian dan pembangunan infrastruktur darat. Nelayan dan masyarakat pesisir tidak menjadi sektor penting bagi program pembangunan. Padahal, lebih dari 67% kabupaten/kota di Indonesia merupakan kabupaten/kota pesisir dengan perairan laut. Selain itu, lebih dari 65% total penduduk Indonesia tinggal dan menggantungkan hidupnya pada sumber daya pesisir dan laut.

"Politik konservasi laut yang dianut SBY-JK telah membatasi akses nelayan untuk mengelola sumber-sumber kehidupan di wilayah laut dan pesisir. Pendekatan konservasi laut yang bias darat, antinelayan, dan sarat utang luar negeri terbukti telah menyebabkan konflik yang merugikan kehidupan nelayan," kata Zubaidah, perwakilan nelayan asal Kamal Muara, Jakarta Utara, ketika membacakan Resolusi Nelayan Indonesia di depan Departemen Kelautan dan Perikanan.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dianggap sengaja mempertontonkan keberpihakan kepada pemodal sekaligus antinelayan melalui UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK). Dengan sertifikat hak penguasaan perairan pesisir (HP3), pemerintah memberikan keistimewaan pada pemodal besar untuk menguasai dan mengekspolitasi sumber kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.

Atas dasar itu, dalam resolusi tersebut nelayan mendesak negara agar meningkatkan jaminan keselamatan serta kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir dengan menerapkan kebijakan ekonomi politik yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dasar nelayan dan masyarakat pesisir. Nelayan juga meminta pencabutan UU 27/2007, menghentikan pengaplingan dan zonasi kawasan pesisir dan laut atas nama taman nasional dan konservasi laut. "Kami menyerukan kepada seluruh nelayan dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk terus merapatkan barisan dan mengokohkan persatuan rakyat demi terwujudnya kesejahteraan nelayan Indonesia," teriak Zubaidah.

Sebagai catatan, kebijakan yang merugikan nelayan berupa harta benda hingga korban jiwa dapat dilihat dalam kasus penindasan terhadap nelayan di Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur (2003-2004), Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara (2002-2007), dan Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara (2001-2005).

Pada 4-5 Maret lalu sejumlah oganisasi nelayan mengadakan konsolidasi serta merumuskan sejumlah agenda dan rekomendasi penting soal organisasi, politik, dan ekonomi yang menjadi agenda kolektif nelayan Indonesia. (E5)

Minggu, 02 Maret 2008

Kelola Lautmu, Berantaskan Kemiskinan

Tanggal : 02 Maret 2008
Sumber : http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=4419


A
nugerah terbesar bagi bangsa Indonesia adalah sebagai Negara Kepulauan atau sebagai Negara Bahari (archipelagic state) yang mana letaknya sangat unik dan strategis dalam konfigurasi peta bahari dunia, berupa untaian pulau-pulau yang sambung-menyambung dan merentang di antara Benua Asia dan Australia serta melintang di antara Samudera Hindia dan Pasifik. Sebagai Negara bahari yang beriklim tropik, Indonesia sangat kaya dengan potensi sumberdaya biologi yang dinyatakan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk sumberdaya biologi kelautannya.

Kampus ITS, ITS Online - Anugerah potensi kekayaan bahari yang strategis tersebut telah memberikan keuntungan dan kemungkinan bagi Indonesia untuk memanfaatkan aturan konvensi kebaharian Internasional, sebagaimana diatur dalam United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982).

Dari 7000 species ikan yang telah dikenal di dunia, Indonesia memiliki 2000 jenis species diantaranya (Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Ditjen KP3K, DKP, 2006). Perairan Indo-Pasifik yang sebagian besar terletak di Indonesia merupakan pusat keanekaragaman terumbu karang dunia dengan lebih dari 400 species termasuk juga ganggang laut terbesar di berbagai wilayah pantai. Potensi sumberdaya biologi mempunyai arti strategis karena merupakan sumber makanan dan obat-obatan bagi umat manusia, disamping fungsi-fungsi estetika yang juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

Sumberdaya biologi kelautan memiliki keanekaragaman hayati yang besar bila ditinjau dari luasnya habitat yaitu 2,4 juta ha kawasan hutan bakau dan 8,5 juta ha terumbu karang. Secara biologi, kawasan pantai dan laut Indonesia mempunyai arti global karena perairan Indonesia merupakan tempat bertelurnya ikan-ikan yang migran (highly migratory species) seperti Tuna, Lumba-lumba, berbagai jenis ikan paus dan penyu.

Disamping keunggulan potensi yang dimiliki, prospek pasar produk kelautan dan perikanan dimasa akan datang menunjukkan pangsa yang terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dunia yang akan terus memperbesar permintaan pangan. Masyarakat saat ini semakin sadar bahwa kebutuhan gizi hanya akan terpenuhi dari produk pangan yang menyediakan kandungan protein yang tinggi dan kolesterol rendah.


Potensi Sumber Daya Ikan

Disamping kebutuhan pangan, manusia juga membutuhkan kelengkapan hidup yang lain seperti kosmetika dan obat-obatan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut banyak terkandung di dalam sumberdaya hayati di perairan Indonesia. Fakta nyata, laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 95,181 km dengan potensi sumberdaya terutama potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar. Potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun.

Potensi sumberdaya ikan tersebut apabila dikelompokkan berdasarkan jenis ikan maka jenis ikan pelagis besar (Ikan Tuna) 1,16 juta ton, pelagis kecil (Ikan Kembung) 3,6 juta ton, demersal (Ikan yang hidup di dasar perairan) 1,36 juta ton, Udang Penaeid 0,094 juta ton, Lobster 0,004 juta ton, Cumi-Cumi 0,028 juta ton dan ikan karang konsumsi 0,14 juta ton. (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006). Potensi-potensi kelautan dan perikanan dapat dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan ekonomi yang diperkirakan sebesar US$ 82 milliar per tahun.

Potensi tersebut meliputi potensi perikanan tangkap US$ 15,1 milliar per tahun, potensi budidaya laut sebesar US$ 46,7 milliar per tahun, potensi perairan umum sebesar US$ 1,1 milliar per tahun, potensi budidaya tambak sebesar US$ 10 milliar per tahun, potensi budidaya air tawar sebesar US$ 5,2 milliar per tahun dan bioteknologi kelautan sebesar US$ 4 milliar per tahun (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).

Menyimak potensi akan kekayaan alam yang begitu melimpah terlintas sebuah ironi kehidupan masyarakat pesisir, yakni hidup miskin ditengah kekayaan potensi sumberdaya perikanan yang ada disekitarnya. Senada dengan hal tersebut sebuah kalimat yang pernah dilontarkan oleh Peter Pearse seorang ekonom dari Kanada It begins with a paradox! Ketika melihat kenyataan pahit bahwa nelayan di pantai timur Kanada terbelenggu oleh kemiskinan di tengah melimpahnya sumberdaya perikanan wilayah tersebut.


Permasalahan Kemiskinan Nelayan

Kondisi yang sama juga dialami oleh nelayan kita. Permasalahan nelayan dan kemiskinan bukan disebabkan oleh monopoli negara-negara berkembang semata, kemiskinan nelayan timbul manakala terjadi mismanagement terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan, jadi memang kuncinya disini adalah pada aspek pengelolaan dan pemahaman permasalahan kemiskinan. Menelaah masalah kemiskinan nelayan, tak ubahnya seperti mengupas bawang merah. Lapis demi lapis harus dikupas sebelum menemukan akar permasalahan kemiskinan itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut perlu adanya sistim managemen yang baik dan terarah yang berlandaskan pemikiran kearah “Maintenance and Ecology Preservation Sustainable”.

Pemerintah Daerah dalam hal ini dimintakan untuk pro aktif dalam melaksanakan perwujudan pemberantasan kemiskinan di daerahnya masing-masing. Seiring dengan proses penerapan otonomi daerah sebagai implementasi UU No.22/1999 jo. UU 32/2004, maka terdapat beberapa pengaturan kewenangan kepada Pemerintah Daerah antara lain : *eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati laut, *penataan ruang, *administrasi dan *penegakan hukum. Pelaksanaan otonomi daerah mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah harus mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hayati kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, bila ingin mendapatkan manfaat terbesar dari potensi alam tersebut.

Seiring dengan hal tersebut, dengan otonomi daerah maka Pemerintah Daerah memiliki dasar yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil (KP3K) secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Keterpaduan tersebut sangat dan mutlak diperlukan, karena pada hakekatnya pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian potensi sumberdaya yang dimiliki. Dampak langsung dari penerapan otonomi daerah adalah bergesernya kewenangan, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan mempunyai konsekuensi langsung terhadap sumber pembiayaan pembangunan di daerah.

Dengan kewenangan tersebut maka daerah memiliki harapan, terutama dalam hal landasan hukum (jurisdiksi) dan peluang untuk memperoleh nilai tambah atas sumberdaya alam yang nantinya akan digunakan untuk memberantas kemiskinan daerah.
Dalam melakukan kebijakan pengelolaan pesisir dan laut, maka pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya-upaya yang bersifat reaktif dan pro aktif. Upaya reaktif lebih dititik beratkan pada rehabilitasi dan pemulihan ekosistim yang rusak, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat pesisir, pengembangan mata pencaharian altenatif serta pengkayaan sumberdaya pesisir.

Secara pro aktif pemerintah mendesentralisasikan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, menyusun kebijakan umum yang memberikan arahan bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir secara lestari, merumuskan perencanaan pengelolaan pesisir secara terpadu serta menyusun rancangan undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir agar pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut diregulasi secara bertanggung jawab dengan landasan hukum yang tegas.

Salah satu strategi dalam mengelola sumberdaya pesisir dan kelautan di daerah yang berbasiskan Otonomi Daerah yang mana untuk mengatasi kelemahan kapasitas manajemen kelembagaan pembangunan pesisir dan kelautan di daerah adalah dengan mengembangkan “Program Mitra Bahari”. Dengan adanya Program Mitra Bahari diharapkan dapat menjalin hubungan kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dan Universitas, antara Pemerintah Daerah dan Swasta, terutama antara Pemerintah Daerah dan Nelayan, yang notabene adalah untuk memaksimalkan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dalam Memberantaskan Kemiskinan. Semoga ……..!

Penulis
Ho Putra Setiawan
Mahasiswa Program Pascasarjana

Sabtu, 01 Maret 2008

Nelayan pesisir mendapat bantuan biaya rumpon

Tanggal : 1 Maret 2008
Sumber : http://www.karangasem-bangkit.org/index.php?option=com_content&task=view&id=667&Itemid=54
Oleh Agus


Bantuan dana bergulir yang dikucurkan pusat lewat Pemkab Karangasem untuk sektor perikanan laut membuahkan hasil. Dari hasil kunjungan Bupati Wayan Geredeg ke perkampungan nelayan di Desa Labarsari, Abang, Rabu (27/2) kemarin, bantuan senilai Rp 60 juta per kelompok itu cukup sukses mengangkat kesejahteraan warga pesisir khususnya nelayan.

Dari 10 kelompok tersebar di Kecamatan Kubu, Abang, Manggis dan Karangasem, kelompok nelayan Bayu Segera, Desa Labasari, Abang, merupakan salah satu yang merasa sangat terbantu dengan bantuan bergulir tersebut. Menurut ketua kelompok Wayan Dangin, bantuan yang diterima 18 Desember 2007 lalu itu sudah dapat dirasakan manfaatnya. Bahkan dengan modal dana tersebut, kelompok nelayannya yang beranggotakan 35 orang sudah bisa membuat dua buah rumpon seharga Rp 20 juta. ‘'Awalnya bantuan yang ada kami pergunakan membeli 10 mesin tempel dan 10 jaring. Selama dua bulan kami sudah bisa mendapat untung 16,5 juta yang sudah kami pergunakan untuk membuat rumpon,'' jelas Dangin.

Dangan adanya rumpon, menurut Dangin, anggota kelompok nelayannya berharap bisa meningkatkan hasil tangkapan. Diperkirakan kedua rumpon tersebut menghasilkan 4 ton ikan tiap kali i panen dengan intensitas panen 2 sampai 3 kali per bulan. Tahun 2008 ini kelompok nelayan Bayu Segara optimis dapat menambah 10 rumpon lagi, cuma mereka masih mengeluhkan masalah pemasaran.

Terkait keluhan tersebut, Bupati Geredeg yang sempat ikut bersama-sama nelayan melepas rumpon ke laut, berjanji mencarikan solusinya. Geredeg juga berharap nelayan memanfaatkan fasilitas yang sudah ada seperti tempat pelelangan ikan (TPI) di Abang yang telah dilengkapi cold storage (tempat pendingin) yang berkapasitas 50 ton. Selain untuk menyimpan hasil tangkapan agar tahan lama, keberadaan mesin itu juga untuk menjaga stabilitas harga. ''Ke depan kita berharap pengelolaan dana bergulir seperti ini bisa ditingkatkan dan dikembangkan untuk kelompok yang lebih besar seperti kelompok ternak ataupun kelompok industri rumah tangga,'' ungkap Geredeg.