Sabtu, 25 November 2006

Melestarikan Terumbu Karang Raja Ampat

Tanggal : 25 November 2006
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0612/18/humaniora/3175322.htm


Sabtu (25/11) sekitar pukul 18.30 WIT, radio komunitas yang dipancarkan melalui frekuensi 107,7 FM mengudara dari pesisir Pulau Sonek, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat.

Nazar Onim (28), sang pengelola radio itu, langsung menyapa pendengar dengan berbagai lagu populer. Setelah itu, siaran diisi dengan penyuluhan masalah lingkungan, terutama penyelamatan terhadap terumbu karang di kawasan perairan Raja Ampat.

"Ancaman yang paling serius terhadap keselamatan terumbu karang di sini adalah aksi pengeboman dan pembiusan ikan. Karena itu, segala cara dipakai untuk menyadarkan masyarakat, termasuk melalui radio komunitas, guna menyelamatkan terumbu karang," kata Veronica Manohas (24), sarjana perikanan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang kini menjadi penyuluh senior Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau Coral Reef Rehabilitation and Management Project (Coremap) di Pulau Sonek.

Radio berdaya jangkau 10 kilometer itu mengudara antara pukul 18.30 dan 22.00 WIT. Ini disesuaikan dengan waktu pelayanan listrik di pulau itu.

Ruang siaran hanya menggunakan sebuah kamar berukuran sembilan meter persegi. Total biaya pendirian stasiun radio untuk Coremap itu sekitar Rp 40 juta.

Selain menyiarkan masalah lingkungan pesisir, pantai, dan laut, radio yang mengudara sejak tahun 2005 itu juga menyiarkan program penyuluhan pendidikan. Semua jenis siaran itu diselingi pilihan pendengar berupa pemutaran lagu-lagu sehingga pendengar tidak bosan.

Dalam menyadarkan masyarakat tentang penyelamatan terumbu karang, penyuluh Coremap selalu memadukan dengan perlindungan terhadap hutan. Hal itu penting sebab jika hutan ditebang otomatis terjadi banjir. Banjir itu masuk ke laut dan berpeluang merusak terumbu karang.

Aksi penyelamatan dan pelestarian terumbu karang itu dilakukan sejak tahun 2003 melalui Coremap yang dibiayai Bank Dunia. Dalam kegiatannya di lapangan, program tersebut benar-benar membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat. Semua perencanaan kegiatan dibuat dan dikerjakan sendiri oleh masyarakat. Manfaatnya pun nantinya dinikmati masyarakat.

"Membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat itu tidak mudah dan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Itu sebabnya dibutuhkan fasilitator yang ulet dan tangguh," ujar Bun Rahawarin (32), penyuluh senior Coremap Distrik Waigeo Selatan.


Terlengkap di dunia

Berdasarkan hasil penelitian The Nature Conservacy tahun 2002 terungkap, dari 537 jenis karang dunia, sebanyak 75 persen di antaranya terdapat di perairan Kepulauan Raja Ampat. Di sana ditemukan pula 1.074 jenis ikan karang dan 700 jenis moluska.

Bahkan, di beberapa kawasan, kondisi terumbu karang masih sangat baik dengan penutupan karang hidup mencapai 90 persen. Ini terdapat di Selat Dampier, yakni antara Pulau Waigeo dan Pulau Batanta, Kepulauan Kofiau, Kepulauan Misool Timur Selatan, dan Kepulauan Wayag.

Tipe terumbu karang di Raja Ampat sangat beragam, mulai dari berkontur landai hingga curam. Ada juga tipe atol dan tipe gosong atau taka. Di beberapa tempat, seperti di pesisir Kampung Saondarek, ketika pasang surut terendah bisa disaksikan hamparan terumbu karang tanpa menyelam dan dengan adaptasinya sendiri. Karang tersebut dapat hidup walaupun berada di udara terbuka dan terkena sinar matahari langsung.

Keanekaragaman dan keindahan bawah laut ini membuktikan terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat mampu bertahan terhadap berbagai ancaman, seperti pemutihan karang dan penyakit, dua jenis yang kini mulai mengancam kelangsungan hidup terumbu karang di seluruh dunia.

Kuatnya arus samudra di Raja Ampat memegang peran penting dalam menyebarkan larva karang dan ikan melewati Samudra Hindia dan Pasifik ke ekosistem karang lainnya. Kemampuan itu didukung oleh keragaman dan tingkat ketahanannya, menjadikan kawasan ini prioritas utama untuk dilindungi.


Makin berkurang

Keunggulan lain adalah kejernihan air laut secara vertikal, mencapai kedalaman 30 meter sampai 33 meter. Untuk jarak pandang horizontal, sekitar 15 sampai 20 meter pada kedalaman 10 meter.

"Kenyataan ini merupakan kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan terumbu karang secara optimal, bahkan sangat menarik bagi penyelam untuk menikmati keindahan bawah laut perairan Raja Ampat," tutur Asisten Direktur Coremap II Bidang Penyadaran dan Penyuluhan Masyarakat Miftaful Huda.

Keterlibatan Bank Dunia dalam program pelestarian dan rehabilitasi itu sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi terumbu karang di Indonesia. Hasil riset Pusat Penelitian Oseanografi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan 39,5 persen terumbu karang di Indonesia rusak berat, 33,5 persen rusak (ringan), 21,7 persen cukup baik, dan hanya 5,3 persen yang masih dalam kondisi prima.

Bahkan, terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat yang dalam kondisi sangat baik pun tersisa 60 persen. Itu terjadi karena maraknya pengeboman ikan dan penggunaan akar bore (cairan dari olahan akar pohon tertentu untuk meracuni ikan).


Daerah otonom

Sejak 12 April 2003, Kepulauan Raja Ampat resmi menjadi daerah otonom yang terpisah dari Kabupaten Sorong. Otonomi itu di satu sisi akan mempercepat pelayanan bagi masyarakat, tetapi di sisi lain dikhawatirkan mengancam kelestarian terumbu karang, sebab demi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), yang haram bisa saja jadi halal.

Apalagi, 89 persen dari total luas wilayah Kabupaten Raja Ampat, yakni 45.000 kilometer persegi, adalah laut. Selain itu, 80 persen dari 5.000 kilometer persegi wilayah daratan merupakan kawasan hutan lindung. Jika potensi itu tak dikelola dengan baik, hal itu berpeluang mengancam kelestarian terumbu karang.

Untuk itu, Departemen Kelautan dan Perikanan menetapkan tiga jenis program Coremap di Raja Ampat. Pertama, pengembangan budidaya perikanan, seperti rumput laut. Kegiatan ini untuk mencegah pengeboman dan pembiusan ikan di laut. Kedua, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Ketiga, perlindungan terhadap potensi sumber daya kelautan.

Dalam implementasinya, Departemen Kelautan dan Perikanan menggandeng Conservation International Indonesia, lembaga yang berpengalaman menangani konservasi laut. Proyek tersebut melibatkan pemuda, perempuan, dan tokoh masyarakat yang berjumlah 150 orang. Mereka dibagi dalam berbagai kelompok, antara lain kelompok konservasi, kelompok pengawas konservasi, serta Lembaga Pengelolaan Sumber Daya Terumbu Karang.

Jumat, 24 November 2006

Penguasaan teknologi kelautan sementara ini harus didahulukan daripada pengembangan ilmu pengetahuan tentang kelautan. Pasalnya, teknologi akan memung

Tanggal : 24 November 2006
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0611/24/jatim/59443.htm


Penguasaan teknologi kelautan sementara ini harus didahulukan daripada pengembangan ilmu pengetahuan tentang kelautan. Pasalnya, teknologi akan memungkinkan eksplorasi kekayaan laut.

Dekan Fakultas Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Asjhar Imron menuturkan, potensi kekayaan laut Indonesia amat sedikit yang telah dieksplorasi dan dinikmati oleh bangsa Indonesia. Pasalnya, bangsa ini tidak menguasai sebagian besar teknologi bidang kelautan.

"Padahal, potensi itu amat besar. Bangsa ini mempunyai cukup modal untuk sejahtera dari hasil eksplorasi kekayaan laut," tuturnya dalam Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan di ITS, Surabaya, Kamis (23/11).

Eksplorasi secara optimal hanya dimungkinkan dengan penguasaan teknologi kelautan. "Bangsa-bangsa yang menguasai teknologi maju bidang kelautan terbukti menjadi bangsa yang maju," tuturnya.

Penguasaan teknologi kelautan juga akan membuat bangsa Indonesia menguasai teknologi maju. Lazimnya, teknologi keluatan lebih maju dari teknologi yang diaplikasikan di darat.

Dengan demikian, akan lebih baik bila Indonesia sementara ini mengutamakan penguasaan teknologi dari pada ilmu pengetahuan bidang kelautan. Ilmu pengetahuan lazimnya mengembangkan penelitian dasar.

Penelitian itu membutuhkan serangkaian pengembangan sebelum siap diaplikasikan sebagai teknologi. Padahal, saat ini bangsa Indonesia amat membutuhkan eksplorasi segera atas potensi laut. (RAZ)

Selasa, 14 November 2006

Miangas, Kawasan Ekonomi Khusus Maritim

Tanggal : 14 November 2006
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/14/opi01.html
Oleh Muhamad Karim

Pemerintah telah menetapkan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang mencakup Karimun, Bintan, dan Kota Batam, ketiganya merupakan pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengembangkan pula gagasan ini di wilayah lain yang memiliki basis ekonomi yang khas, misalnya kelautan dan perikanan? Mungkinkah KEK dikembangkan di wilayah perbatasan seperti Miangas, di Sulawesi Utara atau Pulau Sebatik di daerah Nunukan, Kalimantan Timur?

Kita menamakannya sebagai kawasan ekonomi khusus maritim (Kektim). Beberapa yang potensial adalah Pulau Miangas yang berseberangan dengan General Santos, Filipina, yang merupakan daerah industri perikanan terbesar di Asia Tenggara, Pulau Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia dan pulau Natuna yang dulunya sudah ditetapkan sebagai kawasan pengembanan ekonomi terpadu (KAPET).

Sayangnya, KAPET tidak berkelanjutan dan sampai kini tidak ada lagi beritanya. Hemat penulis, Kektim ini berorientasi dan berbasiskan pada kekuatan sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang potensial seperti perikanan tangkap, industri perikanan, bioteknologi kelautan, budidaya laut, perkapalan, dan pariwisata bahari.

Pola pengembangannya dapat saja menduplikasi model kelembagaan otorita Batam, namun untuk Kektim lebih terkonsentrasi pada sumberdaya kelautan dan perikanan yang terpadu baik hulu maupun hilir.

Pemerintah tidak usah lagi memberikan izin kapal-kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia, tetapi pemerintah akan lebih tepat mengajak mereka untuk berinvestasi dalam bidang kelautan dan perikanan. Pemerintah tinggal menyiapkan paket kebijakan, aspek hukum dan kelembagaan yang mendukung investor dalam berinvestasi di daerah–daerah ekonomi khusus maritim itu.

Dukungan Pemerintah

Pengembangan Kektim sudah barang tentu membutuhkan dukungan pemerintah dari berbagai aspek. Hal ini penting karena daerah seperti pulau-pulau perbatasan dengan tetangga dihadapkan pada problem struktural yaitu kesenjangan pembangunan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan serta sumber daya alam.

Secara perinci problem tersebut antara lain (i) kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga (ii) kemiskinan masyarakat (iii) keterbatasan akses permodalan dan pasar bagi masyarakat, (iv) kebijakan fiscal dan moneter yang kurang kondusif (v) keterisolasian dan mobilitas penduduk akibat keterbatasan akses transportasi (vi) lemahnya penegakan hukum dan (vii) problem degradasi sumberdaya alam.

Dukungan pemerintah itu berupa, pertama, pembangunan infrastruktur strategis seperti pembangunan pelabuhan, jalan dan jembatan, cold storage dan pasar. Kedua, memperlancar akses armada transportasi laut seperti pelayaran perintis maupun kapal Pelni atau perintis dua kali seminggu. Ketiga, memperjelas status lahan di pulau-pulau kecil tersebut karena lahan-lahan tersebut akan mejadi lokasi untuk membangun infrastruktur pelabuhan, pengembangan akses jalan, industri pengolahan ikan, perkapalan, industri bioteknologi kelautan, perhotelan, pasar atau cottage.

Keempat, memperjelas kebijakan fiskal dan moneter. Umpamanya dalam bidang fiskal memberikan tax holiday, pajak bebas bea masuk barang dan jasa. Sementara itu, bidang moneter memberlakukan kebijakan membolehkan menggunakan dua mata uang, yaitu rupiah dan mata uang negara tetangga.

Kelima, memberikan dukungan aspek hukum dan kelembagaan yang akan mengelola kawasan otorita tersebut. Umpamanya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Kektim. Sementara itu, aspek kelembagaannya adalah membentuk badan pengelola model otorita Batam dahulu yang langsung diketuai Presiden RI dengan Ketua Hariannya instansi terkait.

Akan lebih baik apabila Ketua Hariannya adalah orang/pejabat negara yang memiliki akses kuat secara internasional dan posisi tawar politik tinggi di tingkat nasional. Di level implementasi dukungan kebijakan yang paling urgen adalah menyusun instrumen pendukungnya berupa Master Plan Kektim.

Keenam, gagasan ini tidak bermakna sama sekali bahkan mandek apabila tidak mendapatkan dukungan politik dari DPR maupun Presiden RI sendiri. Dukungan politik tersebut tidak sebatas melakukan upacara seremonial model Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) atau pembentukan tim koordinasi pengelolaan pulau-pulau perbatasan.

Ketujuh, antisipasi dampak social yang dulunya kurang terakomodir dalam kasus pengembangan Pulau Batam. Munculnya Kektim ini jangan sampai menjadi lahan baru berkembangnya bisnis obat terlarang, prostitusi, perjudian serta jaringan penyelundupan barang.


Mulai Saja dengan Miangas

Kedelapan, dukungan pertahanan dan keamanan, bukan melibatkan mereka dalam dunia bisnis, akan tetapi sebagai pihak yang memperkuat eksistensi NKRI dan konteks geo-politik, geostrategis maupun geo-ekonomi. Mengingat keterlibatan pihak-pihak asing dalam dunia bisnis dan investasi membutuhkan kenyamanan dan risiko yang rendah (low country risk).
Mengembangkan Kektim daerah perbatasan maritim akan berdampak pada, pertama, terjadinya pemanfaatan sumber daya kelautan danm perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam kurun waktu tahun 1999-2006 sejak pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dewan Maritim Indonesia (DMI), RPPK, belum ada output yang riil tentang pembangunan kelautan dan perikanan.

Semuanya jalan di tempat. Setidaknya dengan gagasan ini dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan dengan mengembangkan satu kawasan saja—umpamanya Pulau Miangas—output-nya akan kelihatan.

Kedua, terjadinya pemerataan pembangunan. Kesenjangan pembangunan, kawasan maupun sektoral antara wilayak perbatasan dengan wilayah lain di Indonesia akan semakin berkurang. Ketiga, terciptanya lapangan kerja baru.

Berkembangnya investasi akan berimpliksi pada meningkatkan permintaan tenaga kerja. Implikasinya mobilitas manusia dari daerah-daerah yang padat penduduknya padat dan banyak pengangguran akan ke sini.

Keempat, terciptanya multiplier effect secara ekonomi karena akan berkembang pulau sektor-sektor ekonomi non-formal, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan jasa. Umpamanya, sektor informal seperti warung makan, perbengkelan, restoran, guide untuk pariwisata, salon, angkutan umum dan masih banyak lagi lainnya.

Kelima, secara geo-politik dan geo-strategis kita bangsa Indonesia telah memosisikan kawasan perbatasan maritim sebagai “halaman depan” dari NKRI. Hal ini akan berimplikasi terhadap munculnya perubahan paradigma pembangunan bangsa dari orientasi kontinental menjadi maritim dengan langkah awalnya adalah kawasan ekonomi khusus maritim.

Penulis adalah anggota Dewan Direktur Ocean Watch dan peneliti pada Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB