Rabu, 22 Oktober 2008

Malaysia Masih Langgar Kedaulatan RI di Ambalat

Tanggal: 22 Oktober 2008
Sumber: Ramadhian Fadillah - detikNews Jakarta.
Pihak Malaysia masih melanggar wilayah teritorial Indonesia di Ambalat. TNI beberapa kali memergoki angkatan perang Malaysia mengusik wilayah Indonesia."Unsur-unsur gelar TNI di blok Ambalat beberapa kali menemukan pelanggaran wilayah laut oleh kekuatan bersenjata," ujar Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso saat rapat kerja antara Komisi I DPR dengan Dephan dan Mabes TNI di ruang rapat DPR, Senayan, Jakarta (21/10/2008) .TNI mencurigai Malaysia mengincar blok Ambalat. Diperkirakan kandungan minyak dan gas bumi masih cukup hingga 30 tahun lagi di area seluas 15.235 kilometer persegi ini."Kalau tidak ada minyaknya tidak mungkin seperti ini," ungkap Djoko.Djoko menambahkan telah ada rapat di Menkopolhukam secara khusus untuk membahas masalah ini.TNI telah diperingatkan untuk menggelar kekuatan di Ambalat," jelas Djoko.Selain masalah perbatasan di blok Ambalat, TNI mencatat beberapa kawasan di perbatasan juga rawan terhadap masalah. Ada 10 titik sepanjang garis perbatasan di Kalimantan antara Malaysia dan RI.Sementara itu di perbatasan RI-Timor Leste yang masih bermasalah adalah Noelbesi (Kupang), Bijaelsunan Oben, Desa Tububanat, Nefonunpo, Imbate Nainanban, Sungkain Ninulat (TTU), Memo Dilomli, Desa Foho Aikakar, Fohotakis dan Kalanfehan (Kabupaten Belu).TNI juga mencatat beberapa aderah di Papua yang berbatasan dengan Papuan New Guinea masih rawan.

Minggu, 19 Oktober 2008

DPRDSU Minta Danlantamal Belawan Tertibkan Operasi Pukat Grandong

Tanggal: 19 Oktober 2008
Sumber: Illegal_Fishing_Indonesia@yahoogroups.com
Komisi B DPRD Sumut meminta Danlantamal Belawan untuk segera menertibkan 57 buah Pukat Grandong alias Pek Bot, karena sangat menyengsarakan ratusan nelayan tradisional di kawasan perairan tersebut.Hal itu diungkapkan anggota Komisi B (membidangi perikanan) DPRD Sumut Ir H Bustinursyah, MSc kepada wartawan, Jumat (17/10) di DPRD Sumut seusai menerima pengaduan DPC HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Medan dipimpin Ketuanya Azhar Ong.Menurut politisi PBB (Partai Bulan Bintang) ini, kehadiran pukat grandong di perairan itu telah merusak kawasan penangkapan nelayan tradisional sekira 0 hingga enam mil (zona I) dari bibir pantai. Para nakhoda pukat grandong paling banyak melakukan operasi ketika pasang mati saat nelayan tradisional tidak turun melaut.Bustinursyah yang akrab dipanggil Uca Sinulingga itu menegaskan, Komisi B akan mengundang Kadis Perikanan dan Kelautan Sumut sebagai mitra untuk meminta penjelasan terhadap beroperasinya alat tangkap yang menyisakan kerusakan dasar laut itu.Sementara itu, Azhar Hong didampingi Wakil Ketua HNSI Medan Ichsan Nasution, Ketua FKPPI Kecamatan Medan Belawan Edi Sofian Can, Sekretaris FKPPI Medan Belawan M Yazid Tanjung, Ketua PAC Partai Barnas Medan Belawan dan Drs. Syaifuddin Hazmi Lubis (Wakil Sekretaris IPQAH-Ikatan Persaudaraan Qari dan Qariah Medan), menegaskan, dari investigasi yang dilakukan ternyata ijin yang digunakan alat tangkap tersebut ijin jenis pukat teri. Menurut SK Mentan No.392/1980, tritorial penangkapan zona I yakni 0 hingga 6 mil yang diukur dari pasang surut terendah air laut. Di kawasan ini hanya dibenarkan alat tangkap yang menggunakan mata medang ukuran minimal dua inci.Sedang mata medang alat tangkap yang dioperasikan pukat grandong persis seperti kain kelambu, sehingga mengguras segala jenis ikan dari yang paling kecil hingga besar.Menghadapi kesulitan itu, kata Azhar, nelayan tradisional melalui HNSI sudah berulang kali membuat pengaduan ke Lantamal Belawan/Dan Satrol (Komandan Satuan Patroli),Air, Syahbandar dan Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut, namun tidak pernah ada tanggapan.Bahkan sebaliknya, operasi alat tangkap milik pengusaha setempat itu semakin mengganas dan ironisnya, meskipun alat tangkap itu memanipulasi penggunaan ijin pukat teri, namun tetap bebas ke luar masuk kuala yang dijaga ketat oleh petugas keamanan laut Syahbandar dan lain-lain. (M10/p)

Selasa, 14 Oktober 2008

Menyoal proyek utang di sektor kelautan

Tanggal: 14 Oktober 2008
Sumber: Bisnis Indonesia
Oleh Firdaus Cahyadi
Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, One World-Indonesia
Sore itu, 25 September 2008, ruang Baladewa Hotel Bumikarsa komplek Bidakara di kawasan Pancoran Jakarta dipenuhi wartawan dan beberapa aktivis LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Saat itu, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tengah menggelar sosialisasi ke masyarakat terutama media massa mengenai program COREMAP II.Program itu untuk menyelamatkan ekosistem terumbu karang di Indonesia. Ekosistem itu selain dapat berfungsi untuk melindungi pantai dari serangan abrasi juga merupakan habitat dari berbagai jenis ikan. Artinya, jika terumbu karang lestari, ikan akan berlimpah di kawasan itu.Proyek COREMAP II ini mendapatkan pembiayaan dari kucuran utang luar negeri Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB). Bahkan kedua lembaga bisnis bantuan internasional itu telah membagi-bagi lokasi proyeknya di Indonesia.ADB mendapat jatah untuk membiayai proyek di Tapanuli Tengah, Nias, Mentawai, Bintan, Natuna, Batam dan Lingga.
Sementara itu, Bank Dunia mendapat jatah untuk membiayai proyek di Biak, Raja Ampat, Pangkep, Selayar, Buton, Wakatobi, dan Sikka.Sekilas tidak ada masalah dalam proyek utang di sektor kelautan ini. Namun bila kita mencoba menoleh ke belakang, segera terlihat bahwa kedua lembaga bisnis bantuan itu ternyata memiliki rekam jejak (track record) yang tidak begitu bagus terkait dengan proyeknya di sektor kalautan.Catatan Down The Earth yang dipublikasikan pada 2003 menyebutkan bahwa proyek ADB dan Bank Dunia pada 1983 dan 1984 di sektor kalautan telah memicu pengembangan wilayah pertambakan udang intensif atau semi-intensif secara besar-besaran di Indonesia.Proyek itu telah menimbulkan alih fungsi hutan bakau menjadi kawasan pertambakan secara masif. Sampai 1998, wilayah pertambakan tersebut telah mencakup sekitar 305.000 hektare. Celakanya, pemerintah pada waktu itu mengatakan bahwa sekitar 860.000 hektare hutan bakau masih tersedia untuk dialihfungsikan menjadi tambak udang.Padahal terumbu karang, hutan bakau selain berfungsi melindungi pantai dari abrasi juga merupakan habitat yang baik bagi berbagai jenis ikan. Kehancuran hutan bakau tersebut selain mengakibatkan pemiskinan nelayan juga menjadikan kawasan pesisir Indonesia semakin rentan terhadap berbagai macam bencana ekologi.Bencana abrasiCatatan Coordinating Committee of ASIA (Asia Solidarity Againts Industrial Aquaculture) Riza Damanik menyebutkan bencana abrasi telah terjadi di lebih dari 750 desa pada periode 1996 hingga 1999.
Hingga 1999, sedikitnya 90% kawasan desa pesisir yang telah kehilangan ekosistem hutan bakaunya terkena bencana banjir.Pulau Jawa, salah satu pulau yang menjadi fokus ekspansi industri pertambakan di Indonesia, mengalami peningkatan jumlah desa pesisir yang terkena banjir hingga empat kali lipat dalam periode 1996 hingga 2003,� dengan jumlah 3.000 desa pesisir.Pada tahun 2006 saja, telah terjadi peningkatan anggaran di APBN dari Rp500 miliar menjadi Rp2,9 triliun untuk penanganan bencana di Indonesia. Hasil keuntungan yang diperoleh dari tambak udang pun tidak sebanding dengan biaya untuk mengatasi bencana ekologi dan rehabilitasi hutan bakau.Provinsi Lampung, tempat dua industri pertambakan udang terbesar di Indonesia berada, memiliki nilai ekspor udang pada periode Januari sampai Oktober 2006 sebesar kurang lebih Rp1,5 triliiun. Namun, dalam waktu yang bersamaan pula Pemprov Lampung juga membutuhkan sekitar Rp2 triliun untuk melakukan rehabilitasi hutan bakaunya.Ironisnya, kedua lembaga bisnis bantuan itu seperti lepas tangan untuk membiayai dampak sosial dari bencana ekologi yang dipicu oleh proyek perluasan tambak itu. Lagi-lagi Pemerintah Indonesia yang telah terjebak proyek utang tersebut justru harus membayar kerugiannya.Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu ungkapan yang tepat bagi negeri yang telah terjebak proyek utang seperti Indonesia ini. Betapa tidak, selain harus menanggung biaya untuk penanggulangan bencana ekologi dan rehabilitasi hutan bakau, Pemerintah Indonesia tatap berkewajiban membayar utang kepada kedua lembaga bisnis bantuan tersebut.Tampaknya proyek yang sarat ketidakadilan itu tidak pernah dipersoalkan lagi oleh ADB dan Bank Dunia. Buktinya, tanpa merasa bersalah, keduanya kembali mengucurkan proyek utangnya di sektor kelautan. Jika dulu proyek utangnya mengatasnamakan pengembangan tambak, kali ini mengatasnamakan perlindungan ekosistem terumbu karang.Seharusnya sisi kelam proyek ADB dan Bank Dunia di sektor kelautan itu dijadikan pelajaran berharga untuk lebih waspada menerima kucuran proyek utang baru. Setidaknya kedua lembaga bisnis bantuan itu harus dimintai pertanggungjawaban terlebih dahulu atas proyek utangnya di sektor kelautan pada era 1980-an sebelum mereka kembali mengucurkan proyek utang barunya ke Indonesia.Alih-alih meminta pertanggungjawaban proyek ADB dan Bank Dunia, Pemerintah Indonesia, justru berbangga dengan kucuran utang baru untuk proyek COREMAP II itu. Sepertinya, kisah pilu masyarakat pesisir yang kehilangan sumber-sumber kehidupannya akibat hancurnya hutan bakau menjadi tidak penting lagi.Dapat dianalogikan Indonesia seperti seorang anak balita. Agar berhenti menangis akibat dijitak oleh orang yang lebih dewasa, sang anak diberi permen manis. Sang anak pun diam dan tidak pernah mempersoalkan bahwa permen manis itu dapat merusak kesehatan giginya.Begitulah Indonesia, proyek COREMAP II selain membuat negeri ini terlena sehingga tak mempersoalkan lagi sisi kelam proyek utang kedua lembaga bisnis bantuan itu pada masa lalu juga telah melupakan bahwa proyek utang baru tersebut berpotensi membebani generasi mendatang. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi bila kita tidak terlalu lama mengabaikan akal sehat dan hati nurani.

Jumat, 10 Oktober 2008

Aparat Harus Kembalikan Kapal Nelayan

Tanggal: 10 Oktober 2008
Jakarta, CyberNews. Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) mengecam keras penangkapan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru pada tanggal 10 Mei 2008. Hal ini karena para nelayan tersebut hanya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Alasan penangkapan yang dilakukan oleh polisi air-udara Mabes Polri adalah karena melanggar aturan zona tangkap. Atas penangkapan tersebut, hakim kemudian memutuskan kurungan 3 bulan pada nahkoda, denda 50 juta dan pelelangan hasil tangkapan ikan.Menurut Sekretaris Jenderal PRP Irwansyah para nelayan keluar dari zona karena dipaksa oleh kondisi. "Kenaikan harga BBM membuat banyak nelayan gulung tikar. Hanya beberapa orang yang sampai saat ini dapat bertahan. Hal ini masih dipersulit dengan pengkaplingan laut yang menyebabkan para nelayan tradisional semakin terpojok dalam mencari hasil tangkapan dan kalah dengan para pemilik modal besar yang berusaha di bidang perikanan. Belum lagi pungli-pungli yang dilakukan aparat," ungkap Irwansyah.Akibat praktek-praktek tersebut banyak nelayan, demi mempertahankan hidupnya, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. "Demi mencukupi kehidupan keluarganya, mereka berupaya mencari hasil tangkapan di daerah yang sebenarnya bukan merupakan kaplingnya. Ini yang terjadi pada kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru," jelasnya.Untuk itu, kata Irwansyah, PRP meminta aparat segera membebaskan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru karena hingga saat ini belum dikembalikan. Padahal kapal tersebut merupakan satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan hidup para nelayan anggota Serikat Nelayan Tradisional (SNT).

Aparat Harus Kembalikan Kapal Nelayan

Tanggal: 10 Oktober 2008
Jakarta, CyberNews. Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) mengecam keras penangkapan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru pada tanggal 10 Mei 2008. Hal ini karena para nelayan tersebut hanya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Alasan penangkapan yang dilakukan oleh polisi air-udara Mabes Polri adalah karena melanggar aturan zona tangkap. Atas penangkapan tersebut, hakim kemudian memutuskan kurungan 3 bulan pada nahkoda, denda 50 juta dan pelelangan hasil tangkapan ikan.Menurut Sekretaris Jenderal PRP Irwansyah para nelayan keluar dari zona karena dipaksa oleh kondisi. "Kenaikan harga BBM membuat banyak nelayan gulung tikar. Hanya beberapa orang yang sampai saat ini dapat bertahan. Hal ini masih dipersulit dengan pengkaplingan laut yang menyebabkan para nelayan tradisional semakin terpojok dalam mencari hasil tangkapan dan kalah dengan para pemilik modal besar yang berusaha di bidang perikanan. Belum lagi pungli-pungli yang dilakukan aparat," ungkap Irwansyah.Akibat praktek-praktek tersebut banyak nelayan, demi mempertahankan hidupnya, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. "Demi mencukupi kehidupan keluarganya, mereka berupaya mencari hasil tangkapan di daerah yang sebenarnya bukan merupakan kaplingnya. Ini yang terjadi pada kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru," jelasnya.Untuk itu, kata Irwansyah, PRP meminta aparat segera membebaskan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru karena hingga saat ini belum dikembalikan. Padahal kapal tersebut merupakan satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan hidup para nelayan anggota Serikat Nelayan Tradisional (SNT).

Kamis, 09 Oktober 2008

Indonesia Produsen Rumput Laut Terbesar

Tanggal: 9 Oktober 2008
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Masyarakat Rumput Laut Indonesia Jana T Anggadiredja, di Jakarta, Kamis mengatakan Indonesia ditargetkan menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia pada 2010 dan siap melangkah menjadi negara industri terkemuka komoditas itu."Sebenarnya sejak 2007, kita sudah menjadi produsen bahan baku terbesar untuk jenis `euchuma sp`," katanya saat memberikan keterangan penyelenggaraan Forum Rumput Laut Indonesia yang akan diadakan di Makassar, 27-30 Oktober.Menurut data, pada 2007 produksi rumput laut Indonesia mencapai 94 ribu ton. Produk itu terbagi dalam jenis `euchuma dentuculatun` atau yang biasa dikembangkan untuk bahan baku kosmetik dan farmasi (karaginan) dan glacilaria (untuk agar-agar).Menurut dia, saat ini pemasok rumput laut terbesar adalah Sulawesi Selatan, diikuti Bali, Sumbawa, dan Jawa-Madura.Untuk mendukung langkah menjadi produsen rumput laut terbesar itu, kata Jana, berbagai asosiasi rumput laut telah merumuskan standar operasi bagi pengelolaan rumput laut, mulai memilih bibit hingga penanganan pascapanen.Dengan adanya standar operasi itu, katanya, diharapkan peningkatan kuantitas produksi rumput laut diikuti peningkatan kualitasnya.Menurut dia, sebagai refleksi dari keinginan untuk mempromosikan Indonesia sebagai negara besar penghasil rumput laut itu pula diadakan Forum Rumput Laut Indonesia di Makassar.Acara itu, katanya, akan menjadi ajang promosi hasil yang dicapai Indonesia dalam pengembangan rumput laut, sekaligus memperkenalkan potensi perairan Indonesia yang merupakan lahan pengembangan rumput laut."Forum itu juga untuk memperjelas posisi Indonesia sebagai salah satu negara terkemuka dalam pengembangan industri rumput laut seiring permintaan dan kebutuhan dunia yang semakin besar," katanya.Dalam forum itu, katanya, akan berbicara puluhan peneliti rumput laut dari 20 negara dan Kongres Petani Rumput Laut Indonesia serta pelatihan kepada para petani rumput laut.(*)

Rabu, 08 Oktober 2008

Ekspor Pasir Timah Digagalkan Produk Asal China Ditahan

Tanggal: 8 Oktober 2008
Jakarta, Kompas - Sebanyak 30 peti kemas berisi pasir timah siap ekspor digagalkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Rencananya, pasir timah itu bakal diekspor ke China dan Malaysia. Kerugian negara dari sektor pajak diperkirakan sebesar Rp 27,648 miliar.Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi di Jakarta, Selasa (7/10), mengatakan, penahanan (penegahan) ekspor pasir timah bercampur pasir alam sudah berlangsung dalam tiga bulan terakhir. Namun, kasus ini baru dapat dipublikasikan mengingat proses penangkapan tersangka membutuhkan waktu.”Pasir timah ini didatangkan dari Bangka, Ketapang, dan Surabaya. Kelihatannya semua dikumpulkan di Jakarta untuk diekspor dengan berbagai kamuflase dokumen,” kata Anwar.Berdasarkan kegiatan intelijen Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai serta Kantor Pelayanan Umum (KPU) BC Tipe A Tanjung Priok, ke-30 peti kemas itu dikirim dengan menggunakan tiga dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) terpisah.Ekspor pertama dilakukan CV LA menggunakan kapal MV Reflection Voy N067 sebanyak 15 peti kemas seberat 384 metrik ton dengan tujuan ekspor Fuzhou Shengsheng Mining Industry Co Ltd, Fujian, China.Kemudian, BC juga menahan 10 peti kemas pasir timah seberat 200 metrik ton yang akan diekspor CV IB dengan kapal MV Cape Norman Voy 8007 dengan tujuan ekspor LSK Enterprise Sdn Bhd Perak, Malaysia.Lima peti kemas pasir timah terakhir seberat 120 metrik ton direncanakan diekspor oleh PT LMI dengan kapal Barent Strait Voy 816N. Adapun tujuan ekspornya Maoming Kaisheng Development Co Ltd, China.Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen BC Agung Kuswandono mengatakan, pasir timah dan pasir alam merupakan jenis barang yang dilarang untuk diekspor. ”Barang itu telah diuji di Balai Pengujian dan Identifikasi Barang, Jakarta, dan laboratorium PT Timah Tbk,” ujar Agung.Selain menahan pasir timah, Ditjen BC juga menahan 170 peti kemas berisi aneka produk China, mulai dari mainan tulang anjing, tekstil, garmen, hingga peralatan elektronik.Bahkan, ada pula satu peti kemas yang dokumen impornya dipalsukan. Saat dibuka, peti hanya berisi minuman ringan, tetapi ternyata bagian dalamnya berisi ribuan bir kalengan.Anwar menegaskan, Ditjen BC memperketat kemungkinan masuknya produk impor dari negara yang kehilangan pasar di Amerika Serikat.Modus penyelundupan makin bervariasi. Tekstil, misalnya. Produk China itu diimpor dari Port Klang, Malaysia, ke Kuching. Kemudian, masuk ke Pontianak melalui darat dan dikirim melalui pelabuhan antarpulau.Menurut Anwar, tugas Ditjen BC sangat berat, apalagi Batam, Bintan, dan Karimun sekarang ini ditetapkan sebagai zona perdagangan bebas sehingga membutuhkan pengawasan lebih ketat.(OSA)