Minggu, 16 November 2008

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN HARUS INDONESIA-AUSTRALIA SEPAKAT TINGKATKAN KERJASAMA HADAPI IUU FISHING

Tanggal: 16 November 2008
Sumber: Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Soen’an Hadi Poernomo


Pemerintah Indonesia dan Australia menyepakati berbagai upaya untuk mengatasi illegal fishing dan nelayan lintas batas. Bahasan tersebut adalah salah satu aspek yang dibicarakan dalam Australia-Indonesia Ministrial Forum (AIMF) di Canberra , Australia pada 12 November 2008.


Pertemuan tahunan yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pertanian, Menteri KLH, Menteri Perdagangan, dan Menteri Hukum dan HAM tersebut membahas bidang pertanian, kehutanan, pangan, pendidikan, pelatihan, energi, lingkungan, kesehatan, hukum, Iptek, perdagangan, industri, investasi, transportasi dan pariwisata.


Hal ini, sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, illegal fishing yang termasuk kejahatan penangkapan ikan dengan sengaja di wilayah terlarang atau daerah kedaulatan negara lain. Kedua, pelanggaran penangkapan ikan yang disebabkan oleh ketidaktahuan dan kemiskinan. Ketiga, nelayan pelintas batas yang secara tradisional turun-temurun menangkap ikan di suatu wilayah, sebagai contoh adalah nelayan dari Pulau Rote, NTT yang menangkap ikan di Pulau Ashmore (Pulau Pasir) yang termasuk yuridiksi Australia karena di daerah tersebut merupakan tempat makan nenek moyang nelayan Pulau Rote.


Terhadap kasus yang pertama, Indonesia dan Australia sepakat untuk melakukan koordinasi patroli, pertukaran informasi, pendidikan dan pelatihan, serta pengawasan dan monitoring bersama. Para pelaku perikanan illegal yang banyak dilakukan oleh negara ketiga ini tentu akan ditindak tegas, dan di wilayah Australia banyak dilakukan penenggelaman.


Terhadap nelayan yang melanggar perbatasan karena ketidaktahuan atau kemiskinan, Indonesia dan Australia melakukan laangkah-langkah persuatif, yang disebut Public Information Campaign atau sosialisasi pencegahan illegal fishing. Kegiatan yang berlangsung sejak tahun 2006 ini, senantiasa dilakukan perbaikan. Peta perbatasan bersama yang mudah dimengerti, tahun ini diperbaiki. Penyuluhan dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan penyuluh perikanan, menggunakan musik yang disukai warga setempat. Wilayah kampanye meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT, Maluku, dan Papua. Selanjutnya akan dikembangkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat nelayan tersebut.


Adapun terhadap nelayan Rote yang secara tradisional melakukan penangkapan ikan di kawasan yang menjadi yuridiksi Australia, telah dilakukan kesepakatan bersama antara Indonesia-Australia tahun 1974 yang dikenal sebagai MoU Box. Isinya memperbolehkan nelayan tradisional menangkap ikan tertentu di wilayah tertentu. Namun dalam pertemuan AIMF ini disepakati perlunya dicari titik temu bersama, terutama persepsi mengenai definisi ”nelayan tradisional” sehingga kepentingan nelayan untuk maju dapat didukung sekaligus upaya melestarikan sumberdaya perairan di wilayah tersebut.


Disamping mengenai illegal fishing dan MoU Box, bidang kelautan dan perikanan juga menyepakati kerjasama dalam kegiatan penelitian, pendidikan, pelatiahan, penangkapan ikan dan karantina ikan. Pada kesempatan tersebut, Pemerintah Australia juga menegaskan dukungannya terhadap penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Leaders Summit pada Mei 2009 yang akan datang.

Jumat, 07 November 2008

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN HARUS SEKTOR KELAUTAN MEMERLUKAN KEBIJAKAN YANG INTEGRATIF

Tanggal: 7 November 2008
Sumber:
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Dr. Soen’an Hadi Poernomo, M.Ed.

Potensi kelautan yang meliputi perikanan, pariwisata bahari dan jasa kelautan merupakan bidang pembangunan yang tidak dapat berdiri sendiri, karena melibatkan banyak sektor. Ketiga sektor di atas belum memberikan kontribusi yang signifikan kepada Negara, apabila dibandingkan dengqn potensi yang dimiliki. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai kebijakan yang tumpang tindih antar ketiga sektor tersebut. Disamping kurangnya dukungan dari sektor lainnya. Pengembangan ketiga sektor ini membutuhkan komitmen, koordinasi dan partisipasi aktif dari sektor yang terkait (stakeholders). Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kesamaan pola pikir dan pola tindak yang terintegrasi dari semua pihak dalam mewujudkan kebijakan lintas sektoral untuk mempercepat pembangunan perikanan, pariwisata bahari dan jasa kelautan. Hal ini dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi pada Workshop Perumusan Kebijakan Pembangunan Kelautan Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, (6/11).

Wilayah perairan yang sangat luas memang memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan, antara lain banyaknya sea lane of communication, tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan seperti illegal fishing, illegal logging, illegal mining, illegal migrant, human trafficking, atau kurang terjaminnya keselamatan pelayaran. Sebagai contoh kita lihat Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang seharusnya diterapkan di Indonesia sejak tahun 1994, karena sudah kita ratifikasi. Akan tetapi, kini UNCLOS 1982 yang telah berjalan selama 25 tahun belum juga dilaksanakan dengan positif. Sebagai negara kepulauan sudah saatnya melakukan evaluasi kebijakan tentang hal yang telah dilaksanakan dan belum dilaksanakan.

Indonesia memiliki sejumlah “pekerjaan rumah” yang perlu diselesaikan sebagai bentuk nyata dari komitmen nasional terhadap UNCLOS 1982. Pekerjaan rumah ini diantaranya menyelaraskan kepentingan nasional di bidang kelautan dan perikanan dengan ketentuan internasional yang mencakup beberapa hal sebagai berikut : (1). Mensinergikan Kewenangan Penegakan Hukum di Laut; (2). Implikasi Konvensi (UNCLOS 1982), yakni = aspek eksternal maupun internal, (3). Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan (4). Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Kondisi keselamatan, keamanan dan ketahanan di laut makin rumit dengan maraknya kejahatan lintas negara (Transnational Organized Crime-TOC). Hampir seluruh kejahatan yang termasuk kategori TOC menggunakan laut sebagai medianya, seperti peredaran obat terlarang (illicit drug trafficking), penyeludupan/ perdagangan manusia (trafficking in person), penyeludupan senjata (arm smuggling), dan perompakan di laut (44). Permasalahan keselamatan, keamanan dan ketahanan serta konflik kepentingan nasional dan internasional menjadi hal yang rumit. Untuk itu, kajian yang komprehensif perlu dilakukan untuk menyiapkan kebijakan tentang ketahanan wilayah laut.