Selasa, 02 September 2008

MASALAH PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO BRANTAS KE LAUT

Tanggal: 2 September 2008
Sumber: http://rovicky. wordpress. com/2006/ 09/02/klh- harus-menkaji- ulang-pengertian -pencemaran- lingkungan/
Indonesia belakangan ini dirundung bencana, bencana alam maupun bencana yang dipicu oleh kelakuan manusia dalam usahanya untuk memodernisasikan negara Indonesia. Gejala bencana ini tidak ada yang sangat menarik perhatian adalah munculnya semburan lumpur panas di Sidoardjo yang boleh jadi dipicu dengan kegagalan pemboran explorasi sumur Banjar Panji oleh PT Lapindo Brantas dalam usaha pencaharian minyak dan gas bumi di daerah . Tentu hal ini dilakukan dalam rangka penambahan cadangan dan produksi minyak dan gas bumi Indonesia yang belakangan ini melorot, demi pertumbuhan ekonomi yang sehat, selain tentunya untuk mencari keuntungan yang besar bagi para pemilik saham perusahaan tersebut.
Terlepas apakah penyebab semburan ini adalah keteledoran para ahli pemboran Lapindo Brantas atau apakah pemboran yang gagal ini adalah sekedar pemicu akan terjadinya gejala ini (mungkin nantinya Pengadilan yang bisa memutuskan), yang menarik perhatian adalah gejala semburan lumpur ini yang boleh dikatakan unik di dunia. Yang jadi masalah adalah jumlah cairan yang konon terdiri dari 70% air dan 30 zat padat yang membanjiri daerah Sidoarjo dan mengancam pemukiman serta melumpuhkan perekonomian, khususnya industri dan transportasi di daerah sekitarnya. Jika pencemaran lingkungan tidak jadi masalah penyelesaiannya sederhana saja, alirkan lumpur panas yang tokh akhirnya akan mendingin juga ke laut, ke Selat Madura, dari mana lumpur itu berasal.
Dalam mass media dikhabarkan bahwa lumpur itu mengandung zat berbahaya dan beracun, antara lain kadar Hg (air raksa) yang tinggi. Sebagai seorang ahli geologi saya heran, bagaimana lumpur yang berasal dari perut bumi bisa mengandung zat2 tersebut? Rekan saya dari Tim Independent Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) yang telah mengambil contoh lumpur langsung dari lokasi semburan memberitakan bahwa hasil analisa kimia serta analisa lainnya tidak meununjukan kehadliran Hg atau logam berat lainnya (paling tidak semuanya jauh dibawah 0.10 mg/liter). Hasil analisa mikropaleontologi menunjukkan bahwa lumpur itu mengandung fosil foraminifera (cangkang zat renik bersel satu) yang dahulu hidup di lingkungan laut yang sama dengan di Selat Madura. Sejak dahulu para ahli geologi Belanda seperti Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa beberapa ratus ribu bahkan lebih 1 juta tahun (zaman Pleistocene) Selat Madura itu menjorok jauh ke barat hampir sampai kota Semarang. Sungai-sungai seperti Bengawan Solo dan lain-lain bermuara di selat Madura purba ini dan mengendapkan sedimen seperti pasir dan lumpur sebagai delta pada pantainya yang berangsur-angsur terjadi pendangkalan dan daratan pun bertambah ke arah pantai Selat Madura dekat Sidoarjo. Jadi pendangkalan serta penambahan daratan ke arah selat Madura memang sudah terjadi secara alami. Bahkan konon Bengawan Solo juga dulunya mengalir ke Selat Madura yang sekarang disebut Kali Brantas, dan oleh Belanda dialihkan ke arah utara yang sekarang disebut Ujung Pangkah. Pada ujung ini terjadi suatu delta yang praktis dikatakan sebagai delta yang dipicu ulah manusia.
Jadi sebetulnya dengan mengalirkan .lumpur ke arah Selat Madura saya yakin akan terjadi proses alami dan tidak mencemari lingkungan, karena lumpur Lapindo itu material yang berasal dari endapan Selat Madura kuno, dan sekarang dikembalikan ke Selat Madura modern. Yang akan terjadi mungkin adalah percepatan dalam pendangkalan serta majunya pantai barat Selat Madura, yang tokh secara alami sedang berlangsung.Dalam hal ini tentu yang jadi masalah adalah apakah yang disebut pencemaran lingkungan? Kalau limbah kimia atau limbah industri ataupun dari aktivitas manusia yang bersifat asing, maka saya sangat sangat setuju untuk dinyatakan sebagai pencemaran lingkungan yang harus dicegah sekuat tenaga. Contoh-contoh seperti Chernobyl, Peledakan Pabrik Kimia di India, tumpahnya minyak dari tanker Exxon Valdez dst, itu betul-betul dapat dinyatakan sebagai pencemaran lingkungan yang berat. Tetapi dalam hal lumpur Lapindo, kita ini menghadapi zat ataun bahan bumi (earth material) yang akan dimasukan ke dalam lingkungan yang kebetulan sama juga dengan lingkungan di mana lumpur itu terbentuk.
Kekhawatiran akan rusaknya biota dsb adalah sangat berlebihan dan boleh dikatakan merupakan paranoid yang sedang melanda kita semua, khususnya para ahli lingkungan. Dari prinsip dasar ilmu geologi saja kita tahu bahwa lingkungan kita itu tidak pernah tetap, gejala-gejala alam yang lambat maupun yang bersifat mendadak, seperti erupsi gunung api dapat “mencemari” lingkungan, merusak biota bahkan menyebabkan kepunahan species bahkan sampai kategori kelaspun (Ingat punahnya Dinosaurus?) . Dalam hal ini apakah suatu letusan gunung api di pantai yang menyemburkan abu serta lava pijar ke laut serta memusnahkan biota ditempat itu dapat dikatakan pencemaran lingkungan? Ini sering terjadi di Hawaii dan gunung api lainnya di Pasifik. Apakah letusan G. Merapi yang yang menghamburkan awan panas, abu dan gas yang beracun (saya yakin banyak gas H2S) serta mematikan kehidupan di daerah sekitarnya dianggap pencemaran lingkungan? Gunung-gunung api yang tidurpun seperti G. Tangkuban Perahu di utara Bandung dan banyak lagi di seluruh Indonesia, bahkan di dunia setiap harinya menghamburkan belerang murni dalam bentuk gas maupun gas H2S entah berapa ribu ton ke atmosfer. Tetapi tidak ada ahli lingkungan yang peduli serta mempermasalahkan “acid rain” yang ditimbulkan. Pada waktu G. Krakatau meletusdengan dahsyatnya pada tahun 1883 seluruh biota di lereng gunung itu hancur dan memusnahkan kehidupan. Namun hanya dalam beberapa puluh tahun saja kehidupan sudah pulih kembali, karena kekenyalan (resilience) dari alam itu sendiri untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan.Lokasi-lokasi semburan lumpur di Jawa TimurDalam hal semburan lumpur Lapindo ini memang merupakan gejala unik. Boleh jadi saja semburan liar ini disebabkan atau dipicu oleh kelalaian pemboran pada Banjar Panji-1, namun gejalanya sendiri lebih merupakan gejala alam yang menyangkut bahan alami bukan bahan asing untuk lingkungan bumi. Banyak para ahli geologi yang menganalogikan semburan lumpur ini dengan gejala alam yang disebut “mud-volcano” yang banyak tersebar di Indonesia (khusunya di Indonesia Timur dikenal dengan istilah poton), bahkan di Jawa Timur Utara pun banyak diketemukan, seperti Bleduk Kuwu dekat Purwodai, G. Anyar dekat Surabaya bahkan di selatan K Porong, yang di masa lalu menyemburkan lumpur tetapi sekarang sudah mati. Tentu pada waktu itu lumpur itu mengalir dengan sendirinya dan berakhir di laut dan ini merupakah gejala alamiah saja. Mungkin pada waktu itu belum ada KLH atau LSM-LSM lingkungan, bahkan manusiapun pada waktu itu belum ada untuk memprotes pencemaran lingkungan.
Dalam hal semburan lumpur di Sidoarjo, seandainya tidak ada bangunan seperti jalan, perumahan, pabrik dsb, maka secara alamiah lumpur it akhirnya akan mengalir ke laut (Selat Madura) juga. Saya yakin dalam keadaan sekarang lumpur panas ini dapat dialirkan dengan aman dalam saluran terbuka ke Selat Madura, tidak perlu dalam pipa (yang berpotensi untuk tersumbat), bahkan dialirkan lewat K. Porong, yang konon adalah juga buatan manusia. Saya kira air sungai dan air tanah di sekitar Sidoarjo itu sudah lebih tercemar oleh limbah industri daripada lumpur dari semburan yang masih murni. Water treatment yang diusulkan sebelum dialirkan ke laut adalah tidak masuk akal. Kalau memang harus dilakukan treatment, ya hasilnya tidak perlu dibuang kelaut, dijual saja ke PDAM atau perusahan air kemasan.Jadi sebetulnya mengapa masalah sederhana malah dijadikan sulit? Mungkin terpengaruh iklan rokok tertentu. Tentu banyak orang berprasangka adanya oknum-oknum tertentu yang mencari keuntungan dalam kesempitan.Sebagai penutup saya usulkan supaya KLH mengkaji ulang pengertian mengenai apa yang disebut pencemaran lingkungan. Sebaiknya para ilmiawan yang betul-betul mengerti mengenai proses alam seperti para ahli geologi juga dilibatkan, tetapi juga bukan para ahli geologi yang ikut hanyut dalam paranoid pencemaran lingkungan yang dewasa ini melanda masyarakat kita.