Sabtu, 19 Januari 2008

Memperkuat Industri Perkapalan

Tanggal : 19 Januari 2008
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/memperkuat-industri-perkapalan.html

Oleh M BADRUS ZAMAN, Pengamat Maritim, Staf Pengajar Teknik Sistem Perkapalan ITS Surabaya

Berita di harian SINDO pada 30 Januari 2008 tentang peresmian gedung National Ship Design & Engineering Center (NASDEC)-ITS Surabaya oleh Menteri Perindustrian Fahmi Idris menggugah insan di negeri ini, baik pelaku maritim, akademisi, industri dan lain-lain untuk semakin mengoptimalkan industri perkapalan yang selama ini terkungkung oleh banyak problem.

Sebagai negara maritim, Indonesia memang masih memiliki banyak problem di sektor industri perkapalan. Problem tersebut mulai rendahnya kualitas industri kapal nasional, seringnya kecelakaan kapal di laut, bahkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap optimalisasi sektor maritim. Problem seperti inilah yang menyebabkan negara kita belum bangkit dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Kapal sebagai sarana/alat transportasi dan sebagai sarana/alat kerja pertambangan, perikanan, pariwisata, maupun sebagai alat utama sistem pertahanan (alutsista), merupakan komoditas yang penting dan vital sehingga kapal dapat juga dikategorikan sebagai bagian dari infrastruktur pembangunan nasional dan industri perkapalan atau galangan kapal merupakan salah satu industri strategis serta industri masa depan yang penting untuk ditumbuh kembangkan. Lagi-lagi, beberapa problem memang menghambat laju perkembangan industri kapal nasional kita, yakni keuangan yang bergantung pada perbankan, kebijakan pemerintah, perpajakan (PPN), komponen yang masih impor, dan lain-lain.

Padahal ,saat ini,Indonesia berfasilitaskan 240 perusahaan kapal,160 building berthdan building dock, serta 210 floating dock. Tentunya kondisi ini harus dioptimalkan secara baik. Kebijakan pemerintah untuk tidak menganaktirikan sektor perkapalan sangat diharapkan. Sebab, industri galangan kapal merupakan salah satu industri strategis dan industri masa depan yang penting untuk dikembangkan sebagai penyedia sarana transportasi dan sarana kerja pertambangan, perikanan, pariwisata, serta penyedia alutsista.

Menurut Menteri Perindustrian Fahmi Idris,di sela-sela pembukaan National Ship Design and Engineering Center (NaSDEC) ITS Surabaya, industri perkapalan saat ini mulai memasuki zaman keemasan. Tingginya permintaan dari pasar lokal maupun global membuat kinerja industri perkapalan nasional menunjukkan peningkatan.

Bahkan, hingga 2009,demand kapal diperkirakan meningkat 44% dibandingkan 2004. Sementara itu,kinerja galangan kapal Indonesia dalam dua tahun belakangan ini, 2006–2007, menunjukkan perkembangan yang cukup membanggakan. Jurnal World Shipbuilding Statistics, edisi Juni 2007 (terbitan Fairplay Ltd) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara pembangun kapal dari 22 negara jajaran dunia.

Walau masih dalam urutan ke-21 dari 22 negara, prestasi itu dapat dijadikan momentum untuk terus memperkuat industri galangan kapal nasional yang hampir tanpa bantuan sama sekali dari pemerintah sejak diberlakukannya Instruksi Presiden (Inpres) 5 tahun 2005 oleh pemerintah.

Strategis
Kini,industri pelayaran nasional diincar oleh berbagai perusahaan galangan asing yang telah mengalami full book (kelebihan order). Saat ini, industri kapal Indonesia mulai diperhitungkan di kawasan ASEAN. Kemudian, sejak diberlakukannya peraturan baru keamanan pelayaran (safety of life at sea/SOLAS), pangsa pasar kapal dunia menjadi kian besar.

Untuk diketahui, SOLAS adalah peraturan yang dikeluarkan International Maritime Organization (IMO) yang menetapkan agar kapal tanker menggunakan konstruksi lambung ganda (double hull) maupun regulasi Common Structural Rules (CSR) dari International of Classification Societies (IACS). Sementara itu, pemerintah menitikberatkan pembangunan galangan kapal di empat cluster yakni Karimun, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Selain daerah ini, Dubai Docks World memproses pembangunan galangan kapal senilai USD500 juta di Batam.

Itu merupakan kesempatan emas bagi para pelaku maritim di negeri ini untuk terus memperkuat industri perkapalan. Tak kalah penting,industri perkapalan di Indonesia secara otomatis akan memengaruhi industri penunjang kapal dan industri lainnya. Saat ini, hampir 60% komponen kapal masih harus diimpor. Sisanya 40% menggunakan produk lokal. Salah satunya industri nasional kita hanya mampu menyediakan sebagian komponen konstruksi (pelat) dan sistem penggerak (poros) dalam porsi kecil dari interior desain kapal.

Alhasil,industri galangan kapal nasional tidak banyak memberikan nilai tambah yang real karena fungsinya yang hanya bersifat ’’tukang jahit”. Anehnya, komponen gerendel pintu dan jendela pun harus kita impor dari Taiwan, China, dan Korea Selatan (Korsel). Nah, mau tidak mau, kita harus meningkatkan kekuatan industri penunjang kapal ’’lokal”agar perekonomian dalam negeri ini semakin kukuh. Maka,kita perlu belajar dari negaranegara lain yang lebih dahulu maju dibandingkan Indonesia.

Negara itu bangkit karena mereka memiliki keunggulan - keunggulan. Kita lihat Republik Rakyat Tiongkok, ternyata dengan kemajuan teknologi, kondisi nasionalnya stabil dan kemudian ada kapital yang mengalir ke China karena peluang yang tersedia di negara itu. Kemudian,negara dianggap memiliki daya saing yang tinggi karena ada tiga pilar utama. Pertama, makro ekonomi yang baik. Kedua, public institution, dan ketiga adalah teknologi.

Ketiganya harus benar-benar dioptimalkan agar daya saing bangsa ini semakin membanggakan. Dengan demikian, semua pihak–baik pelaku maritim, pemerintah, industri, akademisi,dan masyarakat luas– harus bekerja sama dalam mewujudkan perkembangan industri perkapalan. Bagaimanapun, sektor perkapalan merupakan penopang kuat perekonomian di negeri ini. (*)

Kamis, 17 Januari 2008

Mendesak Penyelamatan Mangrove Pesisir Jawa Timur

Tanggal : 17 January 2008
Sumber : http://www.surya.co.id/web/index.php/Opini/Mendesak_Penyelamatan_Mangrove_Pesisir_Jawa_Timur.html
Oleh Prigi Arisandi (Tim Inti Dewan Lingkungan Hidup Jawa Timur)


Banyak kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa mangrove memiliki peran penting dalam menunjang kualitas dan keberlangsungan kehidupan di wilayah pesisir sekaligus menjaga sumber perikanan Mangrove atau hutan bakau banyak dijumpai di sepanjang pantai utara Jawa Timur. Hutan ini dicirikan dengan kemampuan hidup pada daerah yang tergenang pasang surut. Di sepanjang Pantura Jatim mangrove mudah dijumpai pada daerah Paiton, Pemandangan laut Bentar Kecamatan Gending Probolinggo, di kawasan Oso Wilangun atau di wilayah Romo Kali Sari. Perbedaan penetapan peruntukkan wilayah pesisir membawa dampak buruk terhadap keberadaan Mangrove.

Di Sidoarjo keberadaan mangrove dilindungi Perda 17 Tahun 2003 tentang kawasan lindung yang menetapkan sepanjang 400 meter pada daerah pasang surut merupakan kawasan lindung, untuk lebih melindungi mangrove dalam Perda ini juga diatur tentang sanksi Rp 5 juta bagi penebangan mangrove pada kawasan lindung, dengan kebijakan ini mangrove di Sidoarjo dapat dikatakan relatif terlindungi, hal ini berbeda dengan hutan mangrove di wilayah Kota Surabaya yang sebagian besar diubah menjadi kawasan pengembangan real estate dan budidaya perikanan payau di pesisir timur serta pengembangan kawasan industri dan pergudangan untuk Kawasan Surabaya Utara.

Dalam mengendalikan perambahan hutan dan konversi mangrove menjadi kawasan budidaya tambak air payau, Pemerintah Kota Surabaya Melalui Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian, dan Kehutanan Kota Surabaya sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan Kawasan Pesisir Timur Surabaya mengaku kesulitan karena belum adanya sosialisasi Peruntukan kawasan Pesisir Surabaya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya. Bahkan untuk wilayah Gresik sebagian besar mangrovenya telah direklamasi menjadi kawasan pergudangan dan industri.

Perbedaan peruntukkan di ketiga wilayah kabupaten/kota membawa dampak buruk terhadap kualitas lingkungan pesisir karena sebenarnya ketiga wilayah ini merupakan satu kesatuan wilayah yang memiliki satu fungsi ekosistem yang mendukung kualitas perairan di utara Jawa Timur sehingga peruntukkan dan pemanfaatannya tidak dapat dipisahkan menurut daerah administrasi, ditambah lagi tidak ada instansi atau dinas di lingkungan pemerintah kota/kabupaten yang berwenang terhadap pengelolaan kawasan mangrove sehingga mengakibatkan lepasnya pengawasan apabila terjadi perambahan kayu mangrove.

Banyak kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa mangrove memiliki peran penting dalam menunjang kualitas dan keberlangsungan kehidupan di wilayah pesisir sekaligus menjaga sumber perikanan.

Dari kajian yang dilakukan oleh Ecoton di sepanjang Jawa Timur masih terdapat 25 jenis vegetasi mangrove dari 12 famili keberdaan mangrove di Jatim didominasi pohon api-api (Familia Avicenniaceae), pohon bakau (Familia Rhizophoraceae), dan pohon bogem (Familia Sonneratiaceae) Ekosistem mangrove di Pantura Jatim memiliki 4 fungsi spesifik yang dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir yaitu :

Mangrove mensuplai nutrisi bagi peraian di sekitarnya. Dalam kajian yang dilakukan Ecoton tercatat lebih 7 ton/ha/tahun serasah (daun kering) diproduksi ekosistem mangrove di pesisir Surabaya. Hasil ini setara dengan produktivitas ekosistem mangrove umumnya yang tersebar dari daerah tropis sampai subtropis. Serasah mangrove memainkan peranan penting dalam proses ini karena serasah mengandung 40 persen senyawa larut dalam air yang diubah menjadi biomassa bakteri kurang dari delapan jam setelah gugur ke perairan mangrove. .

Hal ini membuat kawasan mangrove sering dikunjungi beragam satwa untuk mendapatkan nutrisi. Sekitar 90 persen dari jumlah ikan yang ditangkap dalam jarak 10 km dari pantai di Jawa dan Bali mengandung fragmen mangrove dalam ususnya.

Mangrove sebagai habitat burung air. Sebagai ekosistem yang subur dan kaya akan nutrisi membuat kawasan ini ramai dikunjungi beragam satwa seperti burung, bahkan pada musim barat (Oktober-Desember ) tercatat lebih 5.000-20.000 populasi burung yang menjadikan kawasan utara Jatim sebagai daerah mencari makan dan berkembang biak dari jenis kuntul (Ardeideae), pecuk (Phalacrocorax), kowak sampai tahun 2003 tercatat 43 burung air mengandalkan mangrove sebagai ekosistem yang menunjang kelestarian mereka.

Kawasan Pesisir Utara Jatim termasuk dalam satu kesatuan wilayah Pantura Jawa yang menjadi kawasan transit bagi burung-burung yang melakukan migrasi dari belahan bumi utara menuju bumi selatan untuk menghindari musim dingin. Tercatat lebih dari 43 jenis burung air dan 25 jenis burung migran. Bahkan di Daerah Curah Sawo Kecamatan Gending Probolinggo dan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik, pemilik tambak mendapatkan penghasilan tambahan dari telur-telur burung yang bersarang di atas mangrove di areal tambak mereka.

Mangrove berperan penting dalam siklus hidup biota yang bernilai ekonomis seperti kepiting, udang, bandeng dan ikan laut lainnya, karena pada masa bertelur dan memijahkan anaknya sebagian besar biota-biota itu bersiklus di kawasan pesisir yang bermangrove, baru setelah mereka dewasa akan kembali ke laut lepas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingginya populasi zooplankton (mata rantai penting dalam jaring-jaring makanan. Keberadaannya dapat menghubungkan antara produsen I dengan konsumen I) organisme ini sebagian besar akan tumbuh dewasa menjadi jenis ikan, udang, kepiting dan kerang.

Mangrove sebagai akumulator logam berat pencemar, mangrove memiliki mekanisme organ untuk melakukan resistensi terhadap kandungan logam berat dalam jaringannya, sehingga mangrove memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap logam berat yang mencemari lingkungan dan menyimpannya dalam jaringan daun, akar dan batang menjadikan logam berat berbahaya secara kimia akan mengalami inaktivisi, sehingga keberadaan mangrove di perairan pesisir utara Jatim dapat berperan menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran logan berat di perairan laut.

Kawasan rawa payau Everglades California yang ditumbuhi mangrove difungsikan sebagai filter aliran air dari kawasan industri di California, sebelum mencapai laut air limbah terlebih dahulu disaring mangrove, meskipun California merupakan kawasan industri besar di Amerika namun kandungan logam berat beracun seperti Tembaga, Kadmium diperairan pantai Califormia masih dibawah standar.

Selain empat fungsi spesifik mangrove secara umum juga memiliki peran dalam mengurangi abrasi atau erosi pantai, berfungsi sebagai filtrasi air laut sehingga dapat menghambat laju intrusi air laut, barrier bagi daratan terhadap angin laut, pengendali bagi vektor Malaria . Mengingat besarnya potensi dan ancaman terhadap kelestarian fungsi ekosistem mangrove, Pemprov Jatim harus mengambil dua langkah startegis yaitu,

Pertama Eksplorasi potensi dan daya dukung ekosistem pesisir khususnya ekosistem mangrove di Pantura Jatim mengingat pentingnya peran ekosistem ini dalam mendukung budidaya perairan payau dan menunjang kualitas lingkungan estuari (kawasan yang terpengaruh oleh sungai dan laut).

Kedua Pemerintah provinsi harus mengambil peran dominan dalam penyelamatan kawasan pesisir dengan menetapkan Tata Ruang dan Peruntukkan Pesisir Regional Jawa Timur. Hal ini mendesak dilakukan karena saat ini setiap daerah kabupaten/kota cenderung memanfaatkan kawasan pesisir hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Sabtu, 12 Januari 2008

Ekonomi perikanan masih terpuruk

Tanggal : 12 Januari 2008
Sumber : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id38618.html
Oleh : Suhana (Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB))


Tiga tahun sudah Kabinet Indonesia Bersatu menjalankan tugas pemerintahannya dalam mengawal pembangunan nasional, tak terkecuali sektor kelautan dan perikanan.

Dalam tiga tahun terakhir ini pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan belum menunjukkan adanya suatu peningkatan prestasi yang sangat menggembirakan.

Program Revitalisasi Perikanan ternyata belum terbukti secara nyata di lapangan, bahkan yang terjadi produksi perikanan tangkap nasional cenderung mengalami penurunan. Hal ini jauh dari yang diharapkan oleh Wakil Presiden RI dan yang dijanjikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan agar produksi perikanan meningkat sebesar 20% per tahun.

Berdasarkan data Food Outlook (FAO 2007) produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami penurunan sebesar� 4,55%. Penurunan tersebut lebih besar dari rata-rata penurunan produksi perikanan dari sepuluh negara produser perikanan dunia, yaitu sebesar 2,37%. Hal ini memperkuat dugaan para ahli bahwa kondisi sumber daya ikan di beberapa wilayah perairan sudah mengalami degradasi.

Hal yang cukup menggembirakan terjadi pada produksi perikanan budi daya nasional. Menurut catatan FAO (2007) terlihat bahwa produksi perikanan budi daya nasional mengalami peningkatan sebesar 16,67%. Peningkatan ini jauh lebih besar dari rata-rata peningkatan produksi perikanan budi daya di 10 negara produser perikanan budi daya dunia yang hanya mencapai sekitar 2,03%.

Penurunan jumlah tangkapan dan peningkatan produksi budi daya ternyata sejalan dengan menurunnya jumlah nelayan dan meningkatnya jumlah pembudi daya ikan.

Yang tak kalah menyedihkan lagi adalah nilai ekspor produk perikanan Indonesia yang terus mengalami penurunan. Berdasarkan data FAO (2007) terlihat bahwa nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 2006 hanya mencapai US$2 miliar.� Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekspor negara Vietnam dan Thailand yang sudah mencapai sekitar US$3,40 miliar dan US$5,20 miliar. Padahal, produksi perikanan kedua negara tersebut berada di bawah Indonesia.

Hal ini menunjukkan bahwa daya saing produk perikanan Indonesia masih jauh di bawah produk perikanan kedua negara tersebut. Jadi walaupun Indonesia merupakan negara kelima terbesar penghasil produksi perikanan dunia, tetapi nilai� ekspor perikanan Indonesia maksimal berada pada peringkat ke-10 dunia.

Perkembangan penanaman modal asing (PMA) sektor perikanan 2007 mengalami penurunan sebesar 25, 91% jika dibandingkan dengan tahun 2006. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM 2007) tercatat bahwa investasi sektor perikanan sampai Oktober tahun 2007 hanya mencapai sekitar US$24,3 juta, padahal pada 2006 mencapai sekitar US$32,8 juta. Nilai investasi perikanan tersebut pada 2008 diperkirakan akan tidak jauh berubah, karena terkait dengan semakin meningkatnya suhu politik menjelang pemilu 2009.

Sementara itu, penanaman modal dalam negeri (PMDN) sektor perikanan 2007 mengalami peningkatan sebesar 10,50% jika dibandingkan dengan 2006. Menurut catatan BKPM (2007) terlihat bahwa nilai investasi dalam negeri sektor perikanan mencapai sekitar US$3,1 juta, sementara nilai investasi sektor perikanan 2006 hanya mencapai sekitar US$0,2 juta.

Namun, jika dibandingkan dengan sektor primer lainnya, nilai investasi sektor perikanan masih jauh di bawah nilai investasi sektor tanaman pangan dan perkebunan, sektor peternakan dan sektor pertambangan.

Reorientasi revitalisasi

Berdasarkan hal tersebut di atas maka guna memperbaiki produksi perikanan, peningkatan nilai ekspor dan peningkatan nilai investasi perikanan, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya yang lebih komprehensif dan nyata dilapangan. Misalnya, reorietasi arah kebijakan revitalisasi Perikanan.

Menurut hemat penulis, revitalisasi perikanan perlu diarahkan kepada dua hal, yaitu revitalisasi lahan-lahan budi daya yang sudah mengalami degradasi seperti yang terjadi di wilayah Pantura Jawa.

Lahan budi daya di wilayah Pantura Jawa pada 1980-an merupakan salah satu primadona penghasil produksi budi daya terbesar di Indonesia. Namun, seiring dengan terus menurunya kualitas lahan budi daya, produksinya pun terus mengalami penurunan. Diperparah lagi belum adanya upaya nyata dari pemerintah dan para pengusaha untuk melakukan perbaikan kualitas lahan budi daya di wilayah tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka guna mempertahankan produksi perikanan nasional, revitalisasi lahan budi daya sangat diperlukan.

Selain itu, juga perlu adanya revitalisasi beberapa kawasan penangkapan ikan yang diduga sudah mengalami overfishing. Hal ini dapat dilakukan dengan cara moratorium sementara aktivitas penangkapan ikan di beberapa kawasan tersebut. Misalnya rencana pemerintah untuk menutup sementara aktivitas penangkapan ikan di wilayah Laut Arafura harus dilakukan secepatnya. Hal ini dimaksudkan agar kondisi sumber daya ikan di kawasan tersebut dapat kembali pulih seperti semula.�

Kedua, memperbaiki daya saing produk perikanan di pasar internasional. Pemerintah dan para pengusaha perikanan hendaknya dapat bekerja sama secara baik guna meningkatkan nilai daya saing produk perikanan tersebut.

Selama ini, kerja sama pemerintah dan para pengusaha tersebut terkesan tidak ada. Pemerintah hanya berkepentingan dengan pajak dari para pengusaha perikanan dan para pengusaha pun hanya berkepentingan untuk kelengkapan perizinan usaha. Namun, bagaimana upaya untuk menyusun strategi bersama dalam meningkatkan daya saing produk perikanan nasional masih jarang dilakukan oleh pemerintah dan para pengusaha.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam upaya meningkatkan daya saing produk perikanan, pemerintah dan para pengusaha harus duduk bersama guna berbagi peran bersama meningkatkan daya saing produk perikanan nasional.

Ketiga,� mendorong meningkatnya nilai investasi perikanan dari penanaman modal dalam negeri (PMDN). Hal ini dimaksudkan agar besarnya potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki bangsa ini dapat dinikmati oleh warga negaranya sendiri.

Oleh sebab itu, pemerintah harus memberikan berbagai kemudahan investasi dan insentif lainnya terhadap para pengusaha dalam negeri. Hal ini dimaksudkan agar para pengusaha dalam negeri mau lebih melihat peluang yang ada di sektor perikanan dan kelautan. Selain itu, juga pemerintah perlu untuk melakukan kajian lebih detail tentang usaha-usaha perikanan yang dapat dikembangkan di Indonesia di tahun-tahun yang akan datang.

Dus, tanpa adanya upaya nyata yang dilakukan oleh pemerintah dan para pengusaha perikanan, maka dikhawatirkan keterpurukan ekonomi perikanan akan semakin besar.

Jumat, 11 Januari 2008

Rakyat Butuh Listrik Murah dan Ramah Lingkungan

Tanggal : 11 Januari 2008
Sumber : http://sarekathijauindonesia.org/?q=id/content/pltn-kaltim-untuk-siapa%3F

Pemerintah 30 tahun "Gagap" Ngurus Listrik

Byarrrr pet….byarrr pet….byarrr pet…katanya mati lampu. Dan ini terjadi di semua wilayah Kalimantan, mulai Kaltim, Kalsel, Kalteng dan Kalbar. Tidak tanggung-tanggung mati hidup, mati hidup sudah berjalan hampir satu tahun belakangan ini, bahkan lebih. Sudah bisa ditebak, bahwa PLN tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik, itu kata pihak PLN. Lalu, solusinya apa? Nuclear-power-plantMuncul skenario PLTN..

Kenapa Skenario PLTN muncul di Kalimantan, setelah di Pulau Jawa tepatnya Muria Jawa tengah di tolak habis-habisan dari masyarakat sekitar proyek dan organisasi masa PBNU. Kenapa ini terjadi? Jawabannya, bahwa Pemerintah Daerah tidak serius mengurus sumberdaya alam untuk pemebuhan kebutuhan listrik. Bisa kita periksa ulang catatan pengelolaan sumberdaya alam di kaltim sepanjang 10 tahun terakhir. Sumber-sumber produktip dari alam untuk pasokan energi, dirusak dengan secara sistematis melalui pemberian konsesi-konsesi investasi mulai dari Hutan Tanaman Industri, Perkebunan Kelapa Sawit dan Pertambangan sekala besar. Sumber-sumber tersebut adalah potensi air, sungai yang dirusak. Padahal sumber ini dapat memasok kebutuhan energy listrik jangka panjang bila pemerintah serius menangani pembangunan Kalimantan Timur untuk kesejahteraan rakyat. Kerusakan yang tidak terhingga, maka akan menghasilkan bencana ekologis. Bila saja, kemampuan aparatur pemerintah daerah dan pusat dapat menyokong kebutuhan jangka panjang, maka, PLTN tidak menjadi pilihan sama sekali. PLTN sebuah teknologi yang mahal, tidak ramahg lingkungan dan akan mengancam jutaan rakyat Kalimantan Timur atas bahaya limbah radioaktifnya bila dikemudian hari terjadi insiden. Limbah Nuklir tidak dapat di daur ulang. Kalau saja dapat di daur ulang, maka beberapa negara yang menggunakan energi ini, sudah dipastikan dalam keadaam damai sepanjang masa. Apapu teknologinya, limbah ini tidak dapat di musnahkan, kecuali dibuang ke negara lain, apakah ada negara yang mau terima limbah nuklir? Jawabnya Tidak!!!

Dalam catatan statistik kebutuhan listrik di Kalimantan Timur terus meningkat dengan percepatan 12% per tahun, sementara Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya menyediakan energi listrik dengan peningkatan rata-rata 8,5% per tahun. Dengan demikian terjadi krisis energi listrik di hampir semua wilayah di Kalimantan Timur. Untuk mengantisipasi krisis energi energi listrik tersebut, Pemerintah daerah bersama DPRD Kalimantan Timur membuat terobosan dengan membentuk Perusahaan Daerah Ketenagalistrikan Kalimantan Timur yang akan membangun PLTU batubara sebesar 2 x 25 MW. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) memperkirakan hingga tahun 2016 kebutuhan energi listrik di Kaltim akan terus meningkat seiring pesatnya pembangunan. Diperkirakan hingga 2016 itu, kebutuhan energi listrik di Kaltim akan mencapai 1.000 Mega Watt (MW). Ditambahkannya, kondisi permintaan pemasangan listrik dari pelanggan sejak Januari 2006 sebanyak 134 MW. Dengan demikian, bila beban puncak tahun 2005 sebesar 260 MW, maka total kebutuhan listrik sebesar 394 MW. Untuk tahun 2009 dapat terpenuhi, tetapi skenario 2016 masih belum ada solusi.

Babak baru di akhir tahun 2007, bagi Kalimantan Timur adalah sebuah keyakinan, bahwa PLTN dapat memberikan kesejahteraan rakyat Kalimantan Timur, dari aspek penyediaan energi listrik. Rencana ini yang dimaksud akan di realisasikan tahun 2019, merupakan jawaban krisis energi listrik di Kalimantan Timur, ketika, sampai akhir tahun 2009 katanya energy listrik masih bisa dipenuhi. Protes datang dari kelompok peduli Lingkungan di sela-sela wacana yang sedang berkembang, apakah betul, sumberdaya alam Kaltim tidak mampu menyediakan listrik alternatif bagi rakyatnya? Lalu bagaimana cara mengelola listrik berbasis kemampuan dan daya dukungan lingkungan yang ditunjang kemandirian rakyat di Kaltim. Sebenarnya listrik PLTN untuk siapa?


Potensi Alam Untuk Energi Cukup Besar

Hasil survei menunjukan, bahwa Indonesia (termasuk Kalimantan Timur) memiliki sumber energi mikrohidro yang berpotensi menghasilkan 75 ribu megawatt (75.000 MW). Menurut Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, J Purwono, PLN baru menghasilkan 29.000 MW selama ini dari yang tersedia. Potensi Microhydro baru dimanfaatkan sekitar 5.000 MW, artinya masih ada tersisa sebanyak 70.000 MW potensi microhydro di Indonesia, bisa jadi di Kaltim memiliki potensi lebih dari 3.000 MW. Kalau kebutuhan sampai tahun 2020 akan aman listrik menggunakan microdydro ini. Belum lagi listrik energi matahari, angin, panas bumi dan gelombang.

Kalau kita periksa kembali, berdasarkan perhitungan saya, setidaknya ada lebih 100 sumber air terjun besar kecil di Kalimantan Timur, yang dapat menghasilkan listrik mulai dari 1 Mega Watt sampai paling kecil 10.000 watt. Kekayaan alam yang berlimpah, belum optimal dimanfaatkan sampai saat ini. Letak geografis Kalimantan Timur di sepanjang garis khatulistiwa membawa berkah berlimpah akan sinar surya. Dari surya, kita bisa memanen energi panas maupun mengubah cahayanya menjadi listrik melalui teknologi photovoltaic. Topografi yang bergunung-gunung dan hutan yang banyak memungkinkan beberapa daerah memiliki potensi sumber air yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan listrik, baik skala kecil maupun besar. Potensi yang lebih besar lagi adalah microhydro melalui "sodetan" garis lurus mengalirkan air sungai Mahakam, Kahayan dan sungai kayan. Di Kabupaten Paser saja terdapat 5 DAS besar yang dapat dibuat perangkat teknologinya melalui "sodetan" atau drainage kecil yang dapat memasok listrik lebih dari 1 mega watt. Energi surya yang belum dimanfaatkan, energi kincir angin baik tunggal maupun paralel.

Uji coba Microhydro disebuat desa terpencil Kampung Muluy Kabupaten Paser kaltim oleh masyarakat lokal yang dimdapingi oleh LSM lokal, dapat menghasilkan listrik 8.000 watt, karena keterbatasan anggaran masyarakat, maka turbin penggeral hanya mampu sebesar itu. Bila ditambah akan memiliki daya mencapai 40.000 watt, jumlah ini bisa memberikan listrik pada lebih dari 300 – 400 kepala keluarga. Satu contoh; penjajakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sampai saat ini baru di Lambakan, Kabupaten Paser dengan kapasitas 63 MW. Namun PLTA itu masih terkendala sertifikasi yang belum diterbitkan pemerintah pusat. Kenapa ini terjadi, karena pemerintah Gagap atas urusan listrik yang murah dan aman jangka panjang. Bila kita tengok kembali di perbatasan Kalimantan Timur dan malaysia, sumber energi air yang dapat memasok listrik cukup banyak, misalnya di Long titi, Long Pada, bila di manfaatkan dapat memasok kebutuhan listrik Kabupaten Malinau lebih dari 50%-nya. Kemudian di Pulau sebatik, air terjun yang dapat mengairi sawah sekitar 300 hektar, dapat memasok listrik sebesar lebih 10.000 watt untuk 3 kampung.


Secara Mandiri Rakyat Mampu Ngurus Listrik

Kebijakan ketenagalistrikan sampai saat ini masih monopoli pemerintah dan PLN. Tidak ada regulasi listrik untuk dikelola secara mandiri oleh rakyat. Kebijakan Nasional yang dituangkan sebatas pemanis belaka. Contoh kasus, penjajakan PLTA di kabupaten Paser menjadi terhambat karena jalur birokrasi yang diciptakan oleh sebuah kebijakan yang sarat dengan korupsi dan kolusi. Saya tidak habis berpikir, kenapa, sumber energi potensial masih terhambat karena urusan selembar kertas sertifikasi pemerintah pusat atau PLN? Sehingga jawabannya, adalah listrik biarkan di urus rakyat secara mandiri, tanpa ikut campur tangan pemerintah atau PLN yang sudah kelelahan ngurus listrik untuk rakyat – yang katanya selalu merugi.

Energi listrik potensial dari sumber-sumber alam jangan diserahkan ke para perusahaan swasta atau di privatisasi. Sumber-sumber alam yang vital, sebaiknya di nasionalisasi dan serahkan kepada rakyat untuk mengurusnya. Sebuah contoh kecil di Kampung Muluy, dengan investasi sekitar 350 juta, telah menghasilkan energi listrik untuk lebih dari 140 jiwa. Dengan membangun tata cara pengelolaan listrik kampung yang bersumber dari PLTA setempat, masyarakat kampung mampu melakukan pengelolaan, perawatan. Tanpa biaya mahal, 140 jiwa telah menikmati listrik selama 24 jam, dengan cukup Rp 10.000 per kepala keluarga iuran di tetapkan secara bersama. Lingkungan sekitar diantaranya hutan yang kaya akan biodiversity tetap terjaga, kebutuhan listrik keluarga dan industri desa terpenuhi.

Gambaran diatas merupakan salah satu contoh baik yang dihasilkan dari sebuah sistem yang didorong dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Setidaknya, di Kalimantan Timur masih ada ratusan lebih kampung yang memiliki sumber energi air yang dapat menghasilkan listrik bagi keluarganya. Tanpa harus campur tangan Perusahaan daerah yang sarat birokrasi dan biaya mahal, rakyat mampu melakukannya. Bagaimana mengurus listrik versi rakyat di pedesaan ini mendapat sokongan kebijakan pemerintah daerah agar beban listrik tidak tergantung dari PLN? Kebijakan Pemerintah diperlukan untuk mempercepat pasokan listrik desa secara swakelola. Minimal, sumbangan ini, bisa membuka jalan pikiran para birokrat dan elit politik di parlement yang sedang kesulitan berpikir. Kita harus memulainya, serahkan urusan listrik desa kepada rakyat, jangan serahkan kepada konglomerat yang berwatak kapitalisme akan menindas dan menghisap rakyat. (Koesnadi Wirasapoetra, 8 Januari 2008)