Sumber: Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Soen’an Hadi Poernomo
Minggu, 16 November 2008
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN HARUS INDONESIA-AUSTRALIA SEPAKAT TINGKATKAN KERJASAMA HADAPI IUU FISHING
Sumber: Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Soen’an Hadi Poernomo
Jumat, 07 November 2008
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN HARUS SEKTOR KELAUTAN MEMERLUKAN KEBIJAKAN YANG INTEGRATIF
Sumber: Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Dr. Soen’an Hadi Poernomo, M.Ed.
Rabu, 22 Oktober 2008
Malaysia Masih Langgar Kedaulatan RI di Ambalat
Minggu, 19 Oktober 2008
DPRDSU Minta Danlantamal Belawan Tertibkan Operasi Pukat Grandong
Selasa, 14 Oktober 2008
Menyoal proyek utang di sektor kelautan
Jumat, 10 Oktober 2008
Aparat Harus Kembalikan Kapal Nelayan
Aparat Harus Kembalikan Kapal Nelayan
Kamis, 09 Oktober 2008
Indonesia Produsen Rumput Laut Terbesar
Rabu, 08 Oktober 2008
Ekspor Pasir Timah Digagalkan Produk Asal China Ditahan
Selasa, 02 September 2008
MASALAH PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO BRANTAS KE LAUT
Minggu, 31 Agustus 2008
Kelautan dan Perikanan Berpotensi Sumbang Rp 750 Triliun
Ketua Umum HNSI, Yusuf Sholichien di Jakarta, Sabtu (30/8) mengatakan, sumbangan sektor kelautan dan perikanan terhadap anggaran negara sebesar itu bisa direalisasikan jika pengolaannya dilakukan secara maksimal serta mendapatkan perhatian dari pemerintah. "Hingga saat ini perhatian pemerintah terhadap sektor kelautan dan perikanan masih sangat minim sehingga kontribusi terhadap pendapatan negara juga rendah. Dari anggaran 100 miliar dollar AS dari kelautan bisa 75 miliar dollar," katanya di sela Wisuda Program Diploma 4 Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta, Angkatan 40. Dikatakannya, saat ini kontribusi sektor kelautan dan perikanan baru sekitar 10 persen dari total anggaran belanja negara. Menurut dia, potensi ekonomi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia sebenarnya sangat besar tidak hanya berasal dari hasil tangkapan ikan namun juga sumber daya mineral ataupun kekayaan alam lainnya di laut. Namun, tambahnya, karena minimnya perhatian pemerintah terhadap sektor ini maka potensi yang besar itu banyak yang hilang dan tidak bisa dimanfaatkan oleh negara maupun masyarakat Indonesia.
Dia mencontohkan, setiap tahun Indonesia kehilangan hasil senilai Rp 30-RP 40 triliun akibat penangkapan ikan secara ilegal baik dilakukan oleh nelayan asing maupun dari dalam negeri. "Indonesia merupakan negara bahari dengan luas lautan mencapai dua per tiga luas tanah air, seharusnya sektor kelautan dan perikanan mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah," katanya. Yusuf mengungkapkan, pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang Paripurna DPR pada 15 Agustus 2008 lalu memperlihatkan rendahnya perhatian pemerintah pada sektor kelautan dan perikanan.
Dalam pidato pengantar nota keuangan dan RAPBN 2009 itu, menurut dia, sama sekali tidak menyinggung pembangunan sektor kelautan dan perikanan ataupun kehidupan nelayan sementara sektor lain seperti pertanian, kesehatan dan pendidikan mendapat perhatian yang tinggi. "Bahkan anggaran pembangunan untuk sektor kelautan dan perikanan juga sangat kecil dibanding sektor pertanian. Ini diskriminasi, " kata Purnawirawan angkatan laut ini. Sementara itu Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi dalam pidatonya di hadapan 334 wisudawan mengatakan, saat ini produk perikanan menjadi salah satu andalan bagi devisa negara.
Menurut dia, pertumbuhan ekspor produk perikanan Indonesia selama lima tahun terakhir (2003-2007) mengalami kenaikan rata-rata 8,23 persen. Posisi nilai ekspor produk perikanan Indonesia di pasar dunia pada tahun 2006 menduduki peringkat 10 dengan pasar utama Amerika, Jepang dan Eropa. Berdasarkan catatan Departemen kelautan dan perikanan (DKP) selama tiga tahun terakhir volume ekspor produk perikanan Indonesia yakni 857.992 ton dengan nilai 1,91 miliar dollar AS pada 2005. Kemudian naik menjadi 926.478 ton pada 2006 senilai 2,10 miliar dollar AS dan pada 2007 mencapai 2,30 miliar dollar AS meskipun dari volume turun menjadi 837.783 ton
Jumat, 22 Agustus 2008
Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional
Sumber: http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0808/ 22/opi01. html
Oleh : M Riza Damanik
Adalah Aliman seorang nelayan Banten yang tewas diempas gelombang Laut Jawa, di awal Januari 2008 lalu. Entah karena tidak sempat mendengar peringatan Badan Meteorologi dan Geofisika akan bahaya gelombang tinggi yang menerpa Selat Sunda dan Perairan Jawa—atau justru sudah mendengar—namun tiga minggu tidak melaut akibat gelombang tinggi menjadi alasan yang tidak relevan di tengah keterdesakan kebutuhan hidup keluarga. Aliman dan keluarganya adalah satu dari ribuan bahkan jutaan nelayan Indonesia yang kurang beruntung tersebut.Sejumlah peristiwa; perubahan iklim, gelombang pasang, tsunami, banjir, kenaikan harga BBM dan langkanya minyak tanah dan solar, telah berhasil menghentikan hampir seluruh kegiatan perikanan nelayan tradisional dan tanpa adanya dukungan nyata dari negara untuk membenahinya dan meminimalisasi dampak yang disebabkannya; dan bahkan di banyak kasus seolah diabaikan (by omission). Dalam catatan sejarah pergerakan Indonesia, perjuangan nelayan tidak terekam jejaknya dengan jelas. Namun terlepas dari samarnya rekam jejak perjuangan nelayan dalam catatan sejarah, faktanya perjuangan nelayan terus menggelinding menuju satu tujuan yakni terbebasnya dari kemiskinan. Konon, jauh sebelum negeri ini merdeka, nelayan dengan kelompok-kelompok komunitasnya menjadi simbol kuatnya negeri bahari—Nusantara. Dengan berbekal kebersamaan, terbentuk unit-unit usaha yang berada tepat pada pelabuhan-pelabuhan strategis, yang menjadi pusat perdagangan, bahkan tempat bongkar-muat dan transaksi perdagangan komoditas lokal (seperti rempah-rempah) yang dihasilkan petani dan nelayan Indonesia. Paradigma DaratNamun kini, cerita ini bak cerita usang. Bahkan tidak ada dalam mozaik sejarah kebangkitan bangsa kini. Kemunduran ekonomi pun terjadi, sejalan dengan perhatian para penguasa negeri yang berpindah ke wilayah daratan dan semakin masuk ke wilayah pedalaman—era Mataram melanjutkannya— hingga kemampuan dan teknologi kelautan yang telah dikuasai ratusan tahun sebelumnya ditinggalkan secara perlahan-lahan.Armada nelayan, armada perang, dan armada dagang tidak lagi menjadi fokus. Kultur pedalaman inilah yang selanjutnya diwariskan dan dan dikokohkan oleh Orde Baru (Orba). Paradigma pembangungan kelautan telah bergeser menjadi “paradigma pedalaman”. Mulai dari kebijakan politik ekologis konservasi laut yang anti nelayan, kebijakan industeri yang menempatkan perairan pesisir sebagai kantung-kantung pembuangan limbah, kebijakan moderenisasi alat tangkap—hingga penggunaan alat tangkap trawl di wilayah tangkap tradisional—yang semua menjadi bagian kelam kebijakan negara yang merugikan nelayan tradisional Indonesia. Keterpurukan ini diikuti pula dengan sistem pendidikan dan doktrinasi sosio-kultural yang tidak menempatkan arah pembangunan negeri kepulauan sebagai landas pikir dan tindak. Akibatnya, nelayan pun jauh dari kebutuhan akan pendidikan, dan tertinggal dalam aktivitas politik. Ditambah lagi, politik orientasi pertahanan keamanan yang juga mengandalkan “paradigma darat” dengan indikasi kekuatan di darat lebih dominan ketimbang kekuatan di laut. Akibatnya, ruang laut justeru dikuasai oleh kapal-kapal asing yang setiap saat mengeruk sumber daya perikanan kita, padahal dalam sebuah kesempatan seorang pemikir kebangsaan pernah mengatakan, melalui daratan Indonesia hanya mampu menemukan provinsi, atau bahkan tidak lebih dari 3 negara yang bersandingan langsung dengannya. Berbeda melalui laut, Indonesia bisa menemukan banyak negara, dan bahkan sejumlah benua lain di muka bumi.Salah satu sektor sumber daya yang diutamakan dalam liberalisasi perdagangan adalah sektor perikanan, yang justru paling rentan. Lembaga Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa 70 persen stok ikan komersial telah mengalami over-exploitation. Mengapa tidak, lebih dari 2,6 miliar masyarakat dunia atau 20 persen protein hewani masyarakat dunia berasal dari ikan. Sektor ini merupakan sumber utama lapangan pekerjaan, pangan dan pendapatan. Bisa dibayangkan, antara tahun 1994-2004, ekspor bersih negara berkembang tumbuh dari 4,6 miliar dolar AS menjadi 20,4 miliar dolar AS. Namun di sisi yang lain, FAO juga memperkirakan jutaan masyarakat dunia yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari adalah mereka yang hidup dari kegiatan perikanan. Lalu kemana sesunguhnya sumberdaya perikanan tersebut termanfaatkan?Organisasi Nelayan Nasional Agenda liberalisasi sektor perikanan telah memaksa Indonesia untuk menambah produksi perikanannya hingga 12,73 juta ton pada tahun 2009, yang merupakan rentetan target ekspor perikanan sebesar 2,8 miliar dolar AS di tahun yang sama. Apa yang salah dari hal tersebut? Penetapan target kuota perikanan yang ambisius, telah memberikan keleluasaan sektor industi untuk menguasai kegiatan perikanan Indonesia. Sejumlah regulasi dalam “mematangkan” agenda privatisasi sudah disiapkan. Sebut saja UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memandatkan pengusahaan perairan pesisir pada sektor swasta (termasuk asing) hingga lebih dari 20 tahun. Juga lahirnya keputusan menteri yang mengisyaratkan pemberian izin beroperasinya trawl di perairan Indonesia. Hal ini tidak hanya telah mengancam kebutuhan ikan dalam negeri, juga turut mengkebiri fitrah nelayan dan petambak tradisional Indonesia. Menjelang 63 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (1945-2008), tepatlah kiranya mengambil pelajaran dari gerakan nelayan selama ini, utamanya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya. Mempercayakan agenda tersebut kepada penyelenggara negara dalam waktu yang cukup panjang, telah menghantarkan agenda kesejahteraan nelayan pada nomor akhir dari prioritas negara, bahkan tidak banyak pemimpin negeri yang berani lantang menyuarakan pentingnya perubahan yang fundamental. Hadirnya Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI) yang digagas oleh lebih dari 17 organisasi nelayan kepulaun diawal tahun 2008 lalu, dapat dipandang sebagai jawaban dari kegelisahan yang telah mengkristal di seluruh penjuru negeri. Terapi yang ditawarkan adalah hadirnya semangat solidaritas dan kemandirian gerakan nelayan nusantara; serta pentingnya mengawali pendidikan masif bagi seluruh nelayan Indonesia. Pilihan akhirnya, hanya dengan organisasi nelayan yang solid, cerdas dan mandiri, keluarga nelayan Indonesia bisa bangkit dari keterpurukannya.Chalid Muhammad, seorang tokoh muda Indonesia pernah mengatakan bahwa karakter nelayan adalah mereka yang pantang mundur dan tunduk kepada segala bentuk ketidak-adilan. Dengan begitu, sebagai pahlawan dalam pemenuhan protein utama anak-anak bangsa kedepan, nelayan sepatutnya mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lainnya di negeri bahari Indonesia. Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sekaligus Anggota Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI).
Selasa, 12 Agustus 2008
Selamatkan Subun binatang Laut Yang Terancam Punah
Sumber : Mukhtar A.Pi
Tugas mengamankan SD Ikan, bukan hanya bagi petugas keamanan seperti TNI&DKP, mengingat wilayah NKRI yg memang sangat luas serta keterbatasan personil & peralatan. Alangkah lebih baik apabila instansi terkait mempunyai & mendukung kebijakan untuk menambah & memperbaharui kapasitas nelayan Indonesia agar mampu mencari ikan sampai daerah perbatasan. apabila berjalan maka insya Allah secara otomatis laut Indonesia akan aman, kesejahteraan nelayan meningkat serta dpt mengurangi angka penggangguran.
Ratusan Spesies Terumbu Karang Terancam Punah
Sumber : Mukhtar A.Pi
Di Bali, lokasi yang mengalami kerusakan berdasarkan penelitian The Nature Conservancy adalah Pantai Sanur (Denpasar). Adapun terumbu karang di lokasi lain, seperti Pantai Amed (Karangasem) , Nusa Penida (Klungkung), Tejakula (Buleleng), dan Serangan (Denpasar), berangsur membaik.
Senior Advisor Marine Science Indonesia Marine Program Office Conservation International, Mark Erdmann, di Denpasar, Senin (28/7), mengatakan, perlu ada gerakan untuk mengingatkan para pelaku industri pariwisata yang mulai membahayakan biota laut.
Kebakaran
Semak belukar seluas 5 hektar di petak 36 K, juga semak belukar dan 10 pohon pinus di petak 36 H seluas 0,35 hektar di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terbakar. Kawasan itu merupakan wilayah penambangan pasir dan batu Jurangjero.
Api mulai tampak hari Minggu (27/7) pukul 17.00 dan berhasil dipadamkan pada Senin pukul 11.00. Kepala TNGM Tri Prasetyo mengatakan, pihaknya masih berjaga-jaga untuk mengantisipasi timbulnya kebakaran kembali di area itu dan mencari penyebabnya.
Kawasan lereng Gunung Merbabu di Kabupaten Magelang juga terbakar. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu Wilayah II Anggit Haryoso mengatakan, kebakaran terjadi pada Senin petang. Hingga pukul 20.00, api belum dapat dipadamkan. Belum diketahui luas area yang terbakar. (AYS/EGI) Denpasar, Kompas - Pengirim : Mukhtar, A.Pi Forum Illegal Fishing Indonesia.
Batas Wilayah Laut Tidak Sesuai Lagi
Sumber : Mukhtar A.Pi
Senin, 11 Agustus 2008
Nasib Batas wilayah laut kita........ ......... ......?
Sumber : Mukhtar A.Pi
kalau melihat berbagai permasalahan yang ada terutama Ilegal fishing, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mempertegas batas wilayah laut terhadap 10 negara tetangga diantaranya Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Papua Nugini dan Timor Leste. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya klaim terhadap kawasan laut oleh negara tetangga. sehingga tidak merugikan negara dan nelayan kita.
karena Perluasan landas kontinen ini memang dimungkinkan dan diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Conventions on the Law of the Sea, UNCLOS) Pasal 76. Dalam Konvensi ini dikatakan bahwa landas kontinen sebuah negara pantai (coastal state) dapat mencapai batas terluar tepian kontinennya atau sampai pada jarak 200 mil laut (M) dari garis pangkal (garis pantai) jika batas terluar tepian kontinennya tidak mencapai jarak 200 M. Selanjutnya dikatakan bahwa negara pantai juga bisa menambah landas kontinennya melebihi 200 M dari garis pangkal (Landas Kontinen Ekstensi, LKE). Jika menginginkan LKE, negara pantai tersebut harus mendelineasi batas terluar landas kontinen yang baru dan mengajukannya kepada Komisi PBB (Commission on the limits of the Continental Shelf, CLCS).
seperti Australia misalnya telah mengajukannya LKE kepada CLCS pada tahun 2004. Pengajuan ini nampaknya sudah mendapat rekomendasi/ persetujuan dari CLCS seperti yang diungkapkan Resources Minister, Martin Ferguson, di berbagai media. Tidak tanggung-tanggung, perluasan ini menjapai 2,5 juta km² yang diklaim setara dengan lima kali wilayah Prancis. Perluasan ini tentunya memungkinkan Australia untuk menambah potensi eksploitasi migas dan sumberdaya laut lainnya di masa depan. sementara Indonesia yang merupakan negara kepulauan belum melakukan atau mengajukan LKE ini (catatan mohon di koreksi bila ada data tantang pengajuan LKE ini karena sejauh ini saya belum mendapatkan informasi).. .
sehingga mengapa kasus pengakapan nelayan NTT oleh polisi air Australia yang terjadi beberapa waktu lalu kemungkinan Australian telah menglaim bahwa nelayan Indonesia telah melanggar batas wilayah... jika kita melihat kondisi waktu itu Nelayan kita berbekal dengan GPS yang mungkin menurut koordinat mereka masih di wilayah Indonesia... hanya kausus ini sulit untuk di tuntut karena Polisi Australia terlebih dahulu menghancurkan GPS yang ada sebagai barang bukti pembelaan.
Reklamasi Pantai yang dilakukan Pemerintah Singapura saat ini dengan menambah luas daratan kearah laut dengan memanfaatkan pasir dari kepulauan Riau boleh jadi mereka nantinya akan mengajukan LKE juga sehingga batas wilayah laut mereka akan berteambah pula demikian dengan Malaysia yang telah berhasil memenangkan Pulau Sipadan dan Ligitan. kemengan ini pemerintah kerajaan malaysia mengajukan pulau sipadan sebagai salah satu kandidat Pemilihan tujuh kajaiban dunia persi bukan buatan manusia, yang saat ini poling tersebut masih berlangsung.
Demikian pula dengan Timor leste dimana mereka lebih banyak bekerja sama dengan Australia yang sdh barang tentu mereka akan mengikuti negeri kanguru tersebut.... .istilah negara-negara. .. tetangga siapa yang cepat dia yang dapat dan pemerintah kita apakah hanya menunggu atau jaga gawang aja....... Sumber :
Selasa, 29 Juli 2008
Pusat Riset Tsunami Minim Peralatan
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/
Meski demikian, pusat riset yang baru didirikan itu minim peralatan penunjang kegiatan.
Kuntoro mengakui, pihaknya belum memasok banyak peralatan bagi pembangunan pusat riset itu karena semua program yang ada dan dijalankan belum terintegrasi dengan baik. Lembaga BRR, katanya, akan menyuplai alat yang dibutuhkan oleh pusat riset itu bila lembaga ini membutuhkannya.
”Teknologi terus berkembang,” kata Kuntoro singkat.
Kepala Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Dirhamsyah mengatakan bahwa saat ini pihaknya baru memiliki beberapa peralatan sederhana, seperti GPS (global positioning system), yang telah diterapkan di sembilan lokasi di seluruh wilayah Aceh.
Peralatan lainnya, kata Dirhamsyah, baru sebatas antena untuk penerima sinyal GPS dan beberapa komputer untuk mengolah data perubahan posisi peralatan GPS tersebut di lapangan.
Dia mengatakan, minimnya peralatan karena lembaganya bukan merupakan sebuah lembaga pengambil keputusan jika terjadi bencana alam, seperti tsunami. Lembaga tersebut berperan sebagai think tank yang akan memberikan berbagai pilihan kebijakan. (MHD)
Senin, 28 Juli 2008
Penebangan Liar Hutan Di Indonesia Sama Dengan "Harakiri"
Sumber: http://www.antara.co.id/arc/
"Tanpa kita sadari, Indonesia tengah melakukan harakiri terhadap sumberdaya hutannya. Dan selama 30 tahun proses eksploitasi hutan nasional, justru terjadi peningkatan sejak era otonomi," kata Kepala Subdit Pemolaan dan Pengembangan Direktorat Konservasi Kawasan Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan, Ir. Wiratno MSc,di Yogyakarta, Selasa.
Eksploitasi terhadap hutan tropis semakin meningkat bahkan disertai dengan tindakan penebangan liar terjadi karena ketimpangan sebaran sumberdaya alam, selain gaya hidup boros di negara maju yang ditiru masyarakat dunia bahkan menjadi trend gaya hidup modern.
"Kondisi tersebut menyebabkan ada aliran energi dari selatan ke utara dan hutan adalah salah satu sumberdaya strategis yang diperebutkan dalam globalisasi seperti ini," katanya.
Menurut dia, teknologi satelit bahkan membuat negara-negara maju dapat dengan leluasa mengetahu kondisi kekayaan alam di negara lain, terutama yang terletak di belahan bumi bagian selatan.
Pada saat stok kayu di hutan tropis mulai menipis, terjadi perambahan hutan ke kawasan hutan konservasi termasuk di dalamnya taman nasional, seperti Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah atau di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Langkat Sumatera Utara.
"Penebangan kayu secara ilegal di TNGL dapat berjalan lancar karena didukung oleh modal yang kuat, tersedianya peralatan kerja dan tenaga kerja yang mudah didapat serta dilindungi oknum aparat, pejabat, dan lemahnya pengamanan polisi kehutanan di lapangan," ujarnya.
Ia mengatakan, rumitnya permasalahan dalam berbagai kasus penebangan liar, perlu mendapat dukungan dari pemerintah yang "legitimate" dan kuat, karena bila tidak maka harakiri hutan akan terus terjadi.
"Politik nasional harus berpihak pada konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan dan dikelola dengan nuansa investasi," lanjutnya.
Jika rehabilitasi dan konservasi tersebut tidak dapat dilakukan maka hutan Indonesia, yaitu yang berada di dataran rendah Sumatera diperkirakan akan habis pada 2015 dan di Kalimantan pada 2010.
Pada dasarnya, kata Wiratno, dampak kerusakan hutan tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya tetapi mampu melewati batas negara seperti banjir, tanah longsor, kebakaran dan kabut asap.
Sedangkan dampak berantai antara lain adalah menurunnya kesuburan tanah, hama, penyakit, dan kekeringan,katanya.(*)
Minggu, 27 Juli 2008
Sosialisasi Mitigasi Bencana Masih Kurang
Sumber: mailing list
Oleh: Djuni Pristiyanto
26/07/2008 08:11:44 YOGYA (KR) - Indonesia sering diterjang tsunami, namun kesiapan menghadapi bencana itu belum efektif. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman atau informasi tentang tsunami dan bahayanya. Karena itu pemerintah gencar melakukan sosialisasi tentang tsunami dan mitigasi atau tindakan mengurangi dampak bencana.
”Untuk peralatan dan teknologi antisipasi bencana kita cukup memadai. Yang kurang hanya sosialisasi kepada masyarakat,” kata Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departeman Kelautan dan Perikanan, Prof Dr M Syamsul Maarif MEng kepada wartawan, dalam acara workshop internasional pencegahan bencana gempa dan tsunami yang digelar di Hyatt Regency Yogyakarta, Selasa (22/7).
Syamsul menjelaskan, salah satu yang ditekankan dalam sosialisasi adalah membangun ketahanan masyarakat pesisir (coastal community resilience), sehingga mereka mampu mandiri dan punya kemampuan untuk survive. ”Upaya kami antara lain mendorong masyarakat agar mampu mencari pendapatan alternatif yang tak tergantung hasil laut,” jelas Syamsul.
Sementara Ketua Panitia workshop Dr Ir Subandono Diposaptono MEng menyatakan, bencana dahsyat tsunami yang mengguncang Aceh dan sekitarnya pada Desember 2004 telah mengubah paradigma penanganan bencana.
”Bencana itu membangun kesadaran masyarakat global, termasuk Indonesia, akan perlunya sistem peringatan dini tsunami (tsunami early warning system = TEWS),” ungkap Subandono.
Salah satu komponen TEWS adalah pelampung suar (buoy) yang juga dikenal sebagai tsunameter. Kawasan Indonesia membutuhkan sedikitnya 22 buoy, yang seluruhnya akan selesai terpasang akhir tahun ini. ”Dari 22 buoy tersebut, Indonesia melalui BPPT membuat 11 buah, 9 buah bantuan Jerman dan 2 dari AS,” kata Subandono.
Sedang Shigeo Takahashi dari Port and Airport Research Institute (PARI) Jepang mengutarakan rencana mengimplementasikan sistem penanganan bencana di Indonesia. ”Jepang yang dikelilingi zona subduksi sangat berpengalaman dalam menangani tsunami. Ada dua hal sangat penting yang perlu diimplementasikan di Indonesia, yaitu tindakan penanganan terjadinya tsunami khususnya yang berkaitan dengan struktur dan infrastruktur, serta monitoring penerapan TEWS,” paparnya. (*-4)-c
http://222.124.164.132/web/
Jumat, 25 Juli 2008
BBM NAIK, KAPAL IKAN ASING MERAJALELA
Sumber: http://mail.google.com/mail/?shva=1#inbox/11b5731974ba22b2
Oleh : Muhamad Karim
(Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim)
Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hampir 30 % berdampak pada sektor perikanan karena kapal asing semakin merajalela. Terbukti, pada akhir Mei 2008 kapal pengawasan berhasil menangkap 15 unit kapal asing di perairan Kepulauan Natuna. Bahkan, nelayan dari pantai selatan Jawa di Kabupaten Cianjur melaporkan maraknya kapal – kapal modern berbendera asing menangkap ikan dengan pukat harimau di perairan itu. Kedua peristiwa ini berlangsung pasca kenaikan BBM. Bukankah semuanya akan semakin menghancurkan sumberdaya perikanan kita? Apa penyebabnya dan kebijakan yang semestinya dilakukan?
Penyebab
Merajalelanya pencurian ikan pasca kenaikan BBM karena, pertama, armada perikaan rakyat maupun nasional praktis menghentikan aktivitasnya. Sebab, selain pasokan BBM terbatas dan dibatasi pembeliannya. Juga, biaya operasional penangkapan meningkat 30 – 40 % (termasuk BBM, makan dan minuman).
Kedua, armada perikanan skala besar mengalihkan wilayah penangkapannya ke wilayah pesisir demi menghemat BBM. Padahal, perairan pesisir sudah mengalami tangkap lebih (over exploitation). Akibatnya, mengancam sumber kehidupan nelayan tradisional. Juga, berpotensi menimbulkan konflik karena penyerobotan wilayah perikanan tradisional. Kasus semacam ini sudah terjadi di perairan pantai selatan Jawa khususnya daerah sekitar Kabupaten Cianjur. Nelayan tradisonal di daerah itu menemukan kapal-kapal asing bertonase besar dan berbendera asing menangkap ikan di perairan itu..
Ketiga, tidak adanya insentif pemerintah yang dapat menyelamatkan perikanan nasional yang amat bergantung pada ketersediaan BBM yang memadai. Umpamanya, mengapa pemerintah tidak memberikan subsidi khusus bagi nelayan? Padahal nelayan di negara-negara Uni Eropa semacam Belgia, Perancis justru menuntut subsidi BBM.
Keempat, kapal pengawas milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan patroli TNI AL juga menggunakan BBM. Praktis kenaikan BBM juga mengurangi aktivitas pengawasannya..
Kelima, kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia menggunakan BBM yang disubsidi oleh negaranya seperti China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Wajar saja kapal asing merajalela mencuri ikan di perairan Indonesia. Kondisi ini berdampak luas karena sumberdaya kita akan terkuras habis dan kontribusi sektor perikanan akan menurun drastis.
Kebijakan
Maraknya pencurian ikan pasca kenaikan BBM tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang jelas agar stok sumberdaya perikanan nasional tidak terkuras habis dan aktivitas armada perikanan nasional tetap beroperasi. Kebijakannya; pertama, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi khusus BBM bagi nelayan sehingga armada perikanan nasional tetap beroperasi. Mengapa? Sebab, komponen biaya terbesar dalam operasional penangkapan adalah BBM. Amat mustahil dengan harga BBM sekarang, armada perikanan nasional beroperasi normal. Hal serupa juga dapat diberikan pada kapal pengawasan, agar tetap beroperasi. Semestinya, nilai subsidi sektor perikanan 5,74 triliun (35 %). Angka ini berdasarkan (i) asumsi kenaikan harga BBM dunia sebesar (US$ 120/barrel) atau US$ 0,75 (75 sen) per liter dan kenaikan rata-rata biaya operasional. Jika dikonversi dalam rupiah (kurs tengah Rp 9.323), maka harga BBM sebesar 12,3 juta kilo liter untuk kebutuhan perikanan mencapai Rp 16,40 triliun. Bila subsidinya 35 %, harga BBM untuk perikanan semestinya Rp 4.575 per liter. Mengapa pemerintah tidak berani memberikan insentif ini? Padahal China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia melakukannya yang kapalnya mencuri ikan di perairan kita.
Kedua, pemerintah mengembangkan teknologi penangkapan ikan yang mampu menghemat penggunaan BBM. Umpamanya, mengembangkan (i) rumpon sehingga tidak perlu beroperasi berhari-hari mencari fishing ground ikan untuk menangkap ikan; dan (ii) budidaya perikanan laut (marine culture) berbasis ekosistem terumbu karang yang dinamakan sea farming yang memanfaatkan terumbu karang cincin (atol). Keduanya akan mengefisienkan penggunaan BBM, karena tidak perlu mengarungi lautan terlalu lama dan jauh. Cukup menangkap ikan di rumpon dan memanen ikan di karang atol.
Ketiga, mengembangkan pengawasan rakyat semesta berbasis penduduk yang bermukim di pulau - pulau kecil perbatasan (PPKB) dan wilayah pesisir serta pulau kecil yang berdekatan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pemerintah dapat memberikan pelatihan bagi mereka mengenai pemantauan kapal asing. Pemerintah juga memberi dukungan infrastruktur pengawasan misalnya Geographic Positioning System (GPS), kompas dan radar. Tak hanya itu. Dalam pengawasan ini perlu memberdayakan kearifan lokal masyarakat yang mampu membaca tanda-tanda alam, sehingga mendukung proses pengawasan. Hal ini penting karena perubahan cuaca, arus dan gelombang di lautan kerapkali sulit diprediksi. Apalagi perairan tersebut mengalami dinamika oseanografinya yang dinamis seperti perairan Aru, Arafura, Sulawesi bagian utara, Laut Cina Selatan dan Laut Banda.
Keempat, memberikan insentif dalam bentuk kompensasi kesehatan dan pendidikan bagi anak - anak nelayan tradisional yang orangtuanya berhasil melindungi fishing ground ikan dan ekosistem khas (misal; terumbu karang dan mangrove) secara mandiri. Pola ini selain meningkatkan produktivitas perikanan di suatu daerah. Juga, meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan anak nelayan yang bermukim di desa-desa pesisir.
Kelima, nelayan tradisional yang sukses mengelola dan melindungi fishing ground dan ekosistem khas secara mandiri, asetnya dinilai dalam bentuk saham. Pola ini merupakan cara mengkonsolidasikan nelayan tradisional (fish folk consolidation) agar memiliki hak akses dan aset atas sumberdaya kelautan secara berdaulat. Kongkritnya, model ini dapat diaplikasikan pada sistem rumpon dan Sea farming. Mengapa harus demikian? Sebab, selama ini pola-pola daerah perlindungan maupun konservasi laut belum memberikan hak akses dan kepemilikan aset kepada nelayan tradisional. Justru yang terjadi dalam UU No. 27 Tahun 2007 perairan pesisir diprivatisasi yang ujung-ujungnya menguntungkan pemilik modal saja. Model ini juga praktis menghemat BBM, karena mereka cukup datang dan menangkap ikan di wilayah yang dia kelola secara mandiri. Bisa saja ia menggunakan perahu motor tempel maupun perahu layar. Model ini pada gilirannya akan menciptakan kedaulatan nelayan atas sumberdaya pesisir, tanpa direcoki pemilik modal.
Pelbagai kebijakan yang diuraikan dalam artikel ini akan tidak sekadar mampu melindungi serbuan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Melainkan akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan tradisional sehingga keluar dari jeratan kemiskinan.
Senin, 21 Juli 2008
Pengerukan Pasir Laut Terus Marak
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/21/22010495/festival.perairan.pulau.makassar
Panitia mencatat 10.112 orang ambil bagian, mulai dari ritual budaya berupa, ritual laut (Tuturangiana Andaala), lomba renang antarpulau Makassar-Kota Bau-Bau, hingga atraksi parasailing, jetsky, banana boat, dan flying fish.
"Acara dirangkaikan pencanangan Gerakan Makan Ikan. Terhidang 22 ton yang dinikmati gratis pengunjung," ujar WaliKota Kota Bau-Bau MZ Amirul Tamim.
Ia menilai festival memberi nilai ekonomis bagi warga sekitar. Pengusaha jasa transportasi lintas Bau-Bau-Pulau Makassar misalnya, setiap hari memperoleh pendapatan Rp 1 juta per orang. Di sana beroperasi 217 perahu. (NAR)
Waspadai tinggi gelombang hingga 4 meter di laut jawa
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/13/21341829/waspadai.tinggi.gelombang.hingga.4.meter.di.laut.jawa
Rabu, 02 Juli 2008
Strategi Takalar Menuju 2012
MASALAH kemiskinan masih membelit pemerintah Takalar. Tahun ini, pemerintah setempat menyusun sejumlah program strategi penanggulangan kemiskinan. Ada enam kecamatan di wilayah pesisir menjadi sasaran program tersebut. Keenam kecamatan ini diklaim memiliki penduduk miskin terbesar di Takalar.
Keenam kecamatan itu adalah Kecamatan Galesong Utara, Galesong Selatan, Galesong, Sanrobone, Mappakasunggu, dan Mangarabombang. Hampir seluruh program satuan kerja perangkat daerah (SKPD) fokus keenam kecamatan tersebut.
Berupa apa program strategi itu? Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Takalar, Nirwan Nasrullah, menjelaskan, strategi utama penanggulangan kemiskinan dengan cara mengurangi beban hidup masyarakat pada sektor pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, perbaikan perumahan dan permukiman, serta infrastruktur (jalan, jembatan, irigasi, dan energi).
?Sektor tersebut plus penataan ruang wilayah dan pengembangan ekonomi lokal akan kami pusatkan di enam kecamatan pesisir pantai. Untuk pendidikan semua anak laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar hingga 100 persen pada tahun 2012 mendatang,? jelas Nirwan, 23 Juni lalu.
Untuk sektor perumahan dan permukiman, menurunkan proporsi penduduk tanpa akses sumber air minum hingga 50 persen pada 2012, penurunan proporsi penduduk tanpa akses sanitasi dasar hingga 50 persen pada 2012, dan berkurangnya perumahan kumuh hingga 50 persen hingga 2012 mendatang.
Selain itu, menerapkan program pendidikan dan kesehatan gratis, gerakan pengembangan beras, jagung, ubi kayu, dan rumput laut. ?Intinya ada gerakan pembangunan masyarakat desa pantai (gerbang masa depan). Sebab Pemkab Takalar mempunyai sasaran untuk mengurangi jumlah penduduk miskin pada 2013 mendatang hingga mencapai 7,9 persen,? papar Nirwan.
Bupati Takalar, Ibrahim Rewa, mengatakan, perlu ada penanganan terpadu berkesinambungan yang dilakukan SKPD untuk penanggulangan kemiskinan. Fokus perhatian adalah sarana air bersih dan pendidikan yang masih rawan di pesisir pantai.
?Program penanggulangan kemiskinan sudah harus berjalan dalam waktu enam bulan tersisa ini. Saya minta semua SKPD jalankan programnya mulai bulan depan,? tegas Ibrahim Rewa. (ramah@fajar.co.id)
Rabu, 09 April 2008
Negosiasi Batas Maritim Indonesia-Singapura
Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2007/04/11/Editor/edit03.htm
Oleh I Made Andi Arsana
Belakangan ini Indonesia dan Singapura cukup intensif mengadakan perundingan batas maritim. Isu seputar ini pun hangat diberitakan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Putaran ketiga perundingan yang berlangsung di Singapura baru saja berakhir 29 Maret 2007, yang diakui kedua belah pihak sebagai pertemuan yang bersahabat dan produktif. Hal itu terlihat dari rilis pers yang dipublikasikan di website Kementrian Luar Negeri Singapura.
Sudah banyak diberitakan, Singapura selama ini sangat aktif melakukan reklamasi. Hal itu juga menjadi perhatian banyak pengamat di Indonesia yang secara umum khawatir akan berpengaruh terhadap negosiasi batas maritim. Kekhawatiran itu cukup beralasan karena hal ini memang dimungkinkan dalam Konvensi PBB tentang hukum laut(UNCLOS) dan didukung oleh manual tentang aspek teknisnya (TALOS).
Beberapa berita dan opini serupa juga ada di berbagai media termasuk di Strait Times, 17 Maret 2007, berjudul "Jakarta Fears S'pore Will Use Reclaimed Shoreline to Decide Border".
Setelah putaran ketiga berlangsung, kekhawatiran seperti ini mungkin sudah tidak perlu lagi. Telah jelas dinyatakan Menteri Luar Negeri Singapura, George Yeo, perihal posisi Singapura bahwa reklamasi tersebut dilakukan di dalam laut teritorial Singapura dan tidak akan berpengaruh pada delimitasi batas maritim. Pernyataan itu ditegaskan ketika berbicara di depan parlemen pada 12 Februari 2007 seperti dikutip di website Singapore Government Media Release. Seandainya Singapura konsisten dengan pernyataannya, hal ini tentunya informasi yang sangat berarti bagi kemajuan negosiasi, setidaknya dalam perspektif Indonesia. Kini saatnya melangkah ke tahap berikutnya untuk segera menyelesaikan perjanjian 1973 yang tertunda.
Kedua negara ini juga telah menyetujui beberapa aspek teknis termasuk sama-sama telah mengemukakan pandangan masing- masing terhadap prinsip delimitasi. Meski demikian, tidak ditegaskan dalam rilis pers tersebut apakah ini sudah termasuk opsi delimitasi di sisi barat dan timur garis batas 1973.
Dua Isu
Setelah mengamati perkembangan negosiasi Indonesia-Singapura, ada setidaknya dua hal yang menjadi perhatian. Pertama, perihal pernyataan tidak berpengaruhnya reklamasi terhadap delimitasi batas maritim. Perlu diingat, delimitasi batas maritim jelas melibatkan titik pangkal dan garis pangkal. Dalam hal ini, perubahan titik dan garis pangkal akan mempengaruhi delimitasi batas maritim.
Reklamasi sendiri, secara terori, bisa dipandang sebagai tindakan untuk mengubah garis pangkal. Jika memang Singapura telah menegaskan reklamasi itu tidak akan mempengaruhi delimitasi batas maritim, artinya delimitasi akan memperhitungkan garis pantai Singapura yang asli, sebelum reklamasi. Ini harus menjadi catatan khusus karena berpengaruh pada aspek teknis yang dipertimbangkan.
Aspek teknis ini meliputi identifikasi objek-objek geografis pada peta laut yang akan digunakan dalam delimitasi. Obyek-obyek geografis, seperti misalnya garis pantai, yang ditampilkan pada peta laut harusnya yang merupakan representasi garis pantai Singapura sebelum reklamasi.
Pakar teknis yang terlibat dalam perundingan ini tentunya sudah mengantisipasi hal ini.
Isu yang kedua terkait datum geodesi yang digunakan dalam menentukan posisi (koordinat) titik-titik batas. Perlu dicatat bahwa perjanjian 1973 tidak menyebutkan secara spesifik datum geodesi yang digunakan. Kenyataannya, koordinat lintang bujur tanpa datum geodesi sesungguhnya tidak bermakna apa-apa. Koordinat semacam itu tidak mewakili suatu posisi di permukaan bumi. Bisa dikatakan, garis batas maritim yang ditentukan dalam perjanjian 1973 itu secara teorites tidak bisa dinyatakan posisinya di lapangan.
Secara teoretis, tanpa datum geodesi, tidak bisa dinyatakan adanya pelanggaran batas. Misalnya, petugas patroli sesungguhnya tidak bisa menyatakan sejauh mana sebuah kapal telah melewati garis batas karena garis batas sendiri tidak bisa ditentukan posisinya di lapangan.
Dalam kasus itu, alat navigasi modern seperti global positioning system (GPS) pun tidak akan membantu banyak karena GPS memiliki datum geodesi sedangkan garis batas tidak.
Dalam bahasa sederhana datum geodesi adalah kerangka yang digunakan untuk menyatakan suatu koordinat di permukaan bumi. Oleh karenanya ini adalah tanggung jawab pakar teknis (surveyor geodesi) untuk menghindari adanya kesalahan serupa dalam negosiasi batas maritim yang sedang berjalan.
Kedua isu di atas pastilah hanya sebagian saja dari keseluruhan persoalan yang dipertimbangkan. Negosiasi selanjutnya akan dilakukan di Indonesia yang tentunya membahas berbagai isu penting lainnya. Mari kita lihat dan dukung delegasi kedua negara untuk mencapai solusi yang adil bagi keduanya.
Penulis adalah dosen Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM, saat ini menjadi UN-Nippon research fellow dalam bidang "Ocean Affairs and the Law of the Sea" di Centre for Maritime Policy, University ofWollongong, Australia. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi