Minggu, 16 November 2008

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN HARUS INDONESIA-AUSTRALIA SEPAKAT TINGKATKAN KERJASAMA HADAPI IUU FISHING

Tanggal: 16 November 2008
Sumber: Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Soen’an Hadi Poernomo


Pemerintah Indonesia dan Australia menyepakati berbagai upaya untuk mengatasi illegal fishing dan nelayan lintas batas. Bahasan tersebut adalah salah satu aspek yang dibicarakan dalam Australia-Indonesia Ministrial Forum (AIMF) di Canberra , Australia pada 12 November 2008.


Pertemuan tahunan yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pertanian, Menteri KLH, Menteri Perdagangan, dan Menteri Hukum dan HAM tersebut membahas bidang pertanian, kehutanan, pangan, pendidikan, pelatihan, energi, lingkungan, kesehatan, hukum, Iptek, perdagangan, industri, investasi, transportasi dan pariwisata.


Hal ini, sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, illegal fishing yang termasuk kejahatan penangkapan ikan dengan sengaja di wilayah terlarang atau daerah kedaulatan negara lain. Kedua, pelanggaran penangkapan ikan yang disebabkan oleh ketidaktahuan dan kemiskinan. Ketiga, nelayan pelintas batas yang secara tradisional turun-temurun menangkap ikan di suatu wilayah, sebagai contoh adalah nelayan dari Pulau Rote, NTT yang menangkap ikan di Pulau Ashmore (Pulau Pasir) yang termasuk yuridiksi Australia karena di daerah tersebut merupakan tempat makan nenek moyang nelayan Pulau Rote.


Terhadap kasus yang pertama, Indonesia dan Australia sepakat untuk melakukan koordinasi patroli, pertukaran informasi, pendidikan dan pelatihan, serta pengawasan dan monitoring bersama. Para pelaku perikanan illegal yang banyak dilakukan oleh negara ketiga ini tentu akan ditindak tegas, dan di wilayah Australia banyak dilakukan penenggelaman.


Terhadap nelayan yang melanggar perbatasan karena ketidaktahuan atau kemiskinan, Indonesia dan Australia melakukan laangkah-langkah persuatif, yang disebut Public Information Campaign atau sosialisasi pencegahan illegal fishing. Kegiatan yang berlangsung sejak tahun 2006 ini, senantiasa dilakukan perbaikan. Peta perbatasan bersama yang mudah dimengerti, tahun ini diperbaiki. Penyuluhan dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan penyuluh perikanan, menggunakan musik yang disukai warga setempat. Wilayah kampanye meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT, Maluku, dan Papua. Selanjutnya akan dikembangkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat nelayan tersebut.


Adapun terhadap nelayan Rote yang secara tradisional melakukan penangkapan ikan di kawasan yang menjadi yuridiksi Australia, telah dilakukan kesepakatan bersama antara Indonesia-Australia tahun 1974 yang dikenal sebagai MoU Box. Isinya memperbolehkan nelayan tradisional menangkap ikan tertentu di wilayah tertentu. Namun dalam pertemuan AIMF ini disepakati perlunya dicari titik temu bersama, terutama persepsi mengenai definisi ”nelayan tradisional” sehingga kepentingan nelayan untuk maju dapat didukung sekaligus upaya melestarikan sumberdaya perairan di wilayah tersebut.


Disamping mengenai illegal fishing dan MoU Box, bidang kelautan dan perikanan juga menyepakati kerjasama dalam kegiatan penelitian, pendidikan, pelatiahan, penangkapan ikan dan karantina ikan. Pada kesempatan tersebut, Pemerintah Australia juga menegaskan dukungannya terhadap penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Leaders Summit pada Mei 2009 yang akan datang.

Jumat, 07 November 2008

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN HARUS SEKTOR KELAUTAN MEMERLUKAN KEBIJAKAN YANG INTEGRATIF

Tanggal: 7 November 2008
Sumber:
Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Dr. Soen’an Hadi Poernomo, M.Ed.

Potensi kelautan yang meliputi perikanan, pariwisata bahari dan jasa kelautan merupakan bidang pembangunan yang tidak dapat berdiri sendiri, karena melibatkan banyak sektor. Ketiga sektor di atas belum memberikan kontribusi yang signifikan kepada Negara, apabila dibandingkan dengqn potensi yang dimiliki. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai kebijakan yang tumpang tindih antar ketiga sektor tersebut. Disamping kurangnya dukungan dari sektor lainnya. Pengembangan ketiga sektor ini membutuhkan komitmen, koordinasi dan partisipasi aktif dari sektor yang terkait (stakeholders). Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kesamaan pola pikir dan pola tindak yang terintegrasi dari semua pihak dalam mewujudkan kebijakan lintas sektoral untuk mempercepat pembangunan perikanan, pariwisata bahari dan jasa kelautan. Hal ini dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi pada Workshop Perumusan Kebijakan Pembangunan Kelautan Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, (6/11).

Wilayah perairan yang sangat luas memang memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan, antara lain banyaknya sea lane of communication, tidak dipatuhinya hukum nasional maupun internasional yang berlaku di perairan seperti illegal fishing, illegal logging, illegal mining, illegal migrant, human trafficking, atau kurang terjaminnya keselamatan pelayaran. Sebagai contoh kita lihat Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang seharusnya diterapkan di Indonesia sejak tahun 1994, karena sudah kita ratifikasi. Akan tetapi, kini UNCLOS 1982 yang telah berjalan selama 25 tahun belum juga dilaksanakan dengan positif. Sebagai negara kepulauan sudah saatnya melakukan evaluasi kebijakan tentang hal yang telah dilaksanakan dan belum dilaksanakan.

Indonesia memiliki sejumlah “pekerjaan rumah” yang perlu diselesaikan sebagai bentuk nyata dari komitmen nasional terhadap UNCLOS 1982. Pekerjaan rumah ini diantaranya menyelaraskan kepentingan nasional di bidang kelautan dan perikanan dengan ketentuan internasional yang mencakup beberapa hal sebagai berikut : (1). Mensinergikan Kewenangan Penegakan Hukum di Laut; (2). Implikasi Konvensi (UNCLOS 1982), yakni = aspek eksternal maupun internal, (3). Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan (4). Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Kondisi keselamatan, keamanan dan ketahanan di laut makin rumit dengan maraknya kejahatan lintas negara (Transnational Organized Crime-TOC). Hampir seluruh kejahatan yang termasuk kategori TOC menggunakan laut sebagai medianya, seperti peredaran obat terlarang (illicit drug trafficking), penyeludupan/ perdagangan manusia (trafficking in person), penyeludupan senjata (arm smuggling), dan perompakan di laut (44). Permasalahan keselamatan, keamanan dan ketahanan serta konflik kepentingan nasional dan internasional menjadi hal yang rumit. Untuk itu, kajian yang komprehensif perlu dilakukan untuk menyiapkan kebijakan tentang ketahanan wilayah laut.

Rabu, 22 Oktober 2008

Malaysia Masih Langgar Kedaulatan RI di Ambalat

Tanggal: 22 Oktober 2008
Sumber: Ramadhian Fadillah - detikNews Jakarta.
Pihak Malaysia masih melanggar wilayah teritorial Indonesia di Ambalat. TNI beberapa kali memergoki angkatan perang Malaysia mengusik wilayah Indonesia."Unsur-unsur gelar TNI di blok Ambalat beberapa kali menemukan pelanggaran wilayah laut oleh kekuatan bersenjata," ujar Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso saat rapat kerja antara Komisi I DPR dengan Dephan dan Mabes TNI di ruang rapat DPR, Senayan, Jakarta (21/10/2008) .TNI mencurigai Malaysia mengincar blok Ambalat. Diperkirakan kandungan minyak dan gas bumi masih cukup hingga 30 tahun lagi di area seluas 15.235 kilometer persegi ini."Kalau tidak ada minyaknya tidak mungkin seperti ini," ungkap Djoko.Djoko menambahkan telah ada rapat di Menkopolhukam secara khusus untuk membahas masalah ini.TNI telah diperingatkan untuk menggelar kekuatan di Ambalat," jelas Djoko.Selain masalah perbatasan di blok Ambalat, TNI mencatat beberapa kawasan di perbatasan juga rawan terhadap masalah. Ada 10 titik sepanjang garis perbatasan di Kalimantan antara Malaysia dan RI.Sementara itu di perbatasan RI-Timor Leste yang masih bermasalah adalah Noelbesi (Kupang), Bijaelsunan Oben, Desa Tububanat, Nefonunpo, Imbate Nainanban, Sungkain Ninulat (TTU), Memo Dilomli, Desa Foho Aikakar, Fohotakis dan Kalanfehan (Kabupaten Belu).TNI juga mencatat beberapa aderah di Papua yang berbatasan dengan Papuan New Guinea masih rawan.

Minggu, 19 Oktober 2008

DPRDSU Minta Danlantamal Belawan Tertibkan Operasi Pukat Grandong

Tanggal: 19 Oktober 2008
Sumber: Illegal_Fishing_Indonesia@yahoogroups.com
Komisi B DPRD Sumut meminta Danlantamal Belawan untuk segera menertibkan 57 buah Pukat Grandong alias Pek Bot, karena sangat menyengsarakan ratusan nelayan tradisional di kawasan perairan tersebut.Hal itu diungkapkan anggota Komisi B (membidangi perikanan) DPRD Sumut Ir H Bustinursyah, MSc kepada wartawan, Jumat (17/10) di DPRD Sumut seusai menerima pengaduan DPC HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Medan dipimpin Ketuanya Azhar Ong.Menurut politisi PBB (Partai Bulan Bintang) ini, kehadiran pukat grandong di perairan itu telah merusak kawasan penangkapan nelayan tradisional sekira 0 hingga enam mil (zona I) dari bibir pantai. Para nakhoda pukat grandong paling banyak melakukan operasi ketika pasang mati saat nelayan tradisional tidak turun melaut.Bustinursyah yang akrab dipanggil Uca Sinulingga itu menegaskan, Komisi B akan mengundang Kadis Perikanan dan Kelautan Sumut sebagai mitra untuk meminta penjelasan terhadap beroperasinya alat tangkap yang menyisakan kerusakan dasar laut itu.Sementara itu, Azhar Hong didampingi Wakil Ketua HNSI Medan Ichsan Nasution, Ketua FKPPI Kecamatan Medan Belawan Edi Sofian Can, Sekretaris FKPPI Medan Belawan M Yazid Tanjung, Ketua PAC Partai Barnas Medan Belawan dan Drs. Syaifuddin Hazmi Lubis (Wakil Sekretaris IPQAH-Ikatan Persaudaraan Qari dan Qariah Medan), menegaskan, dari investigasi yang dilakukan ternyata ijin yang digunakan alat tangkap tersebut ijin jenis pukat teri. Menurut SK Mentan No.392/1980, tritorial penangkapan zona I yakni 0 hingga 6 mil yang diukur dari pasang surut terendah air laut. Di kawasan ini hanya dibenarkan alat tangkap yang menggunakan mata medang ukuran minimal dua inci.Sedang mata medang alat tangkap yang dioperasikan pukat grandong persis seperti kain kelambu, sehingga mengguras segala jenis ikan dari yang paling kecil hingga besar.Menghadapi kesulitan itu, kata Azhar, nelayan tradisional melalui HNSI sudah berulang kali membuat pengaduan ke Lantamal Belawan/Dan Satrol (Komandan Satuan Patroli),Air, Syahbandar dan Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut, namun tidak pernah ada tanggapan.Bahkan sebaliknya, operasi alat tangkap milik pengusaha setempat itu semakin mengganas dan ironisnya, meskipun alat tangkap itu memanipulasi penggunaan ijin pukat teri, namun tetap bebas ke luar masuk kuala yang dijaga ketat oleh petugas keamanan laut Syahbandar dan lain-lain. (M10/p)

Selasa, 14 Oktober 2008

Menyoal proyek utang di sektor kelautan

Tanggal: 14 Oktober 2008
Sumber: Bisnis Indonesia
Oleh Firdaus Cahyadi
Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, One World-Indonesia
Sore itu, 25 September 2008, ruang Baladewa Hotel Bumikarsa komplek Bidakara di kawasan Pancoran Jakarta dipenuhi wartawan dan beberapa aktivis LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Saat itu, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tengah menggelar sosialisasi ke masyarakat terutama media massa mengenai program COREMAP II.Program itu untuk menyelamatkan ekosistem terumbu karang di Indonesia. Ekosistem itu selain dapat berfungsi untuk melindungi pantai dari serangan abrasi juga merupakan habitat dari berbagai jenis ikan. Artinya, jika terumbu karang lestari, ikan akan berlimpah di kawasan itu.Proyek COREMAP II ini mendapatkan pembiayaan dari kucuran utang luar negeri Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB). Bahkan kedua lembaga bisnis bantuan internasional itu telah membagi-bagi lokasi proyeknya di Indonesia.ADB mendapat jatah untuk membiayai proyek di Tapanuli Tengah, Nias, Mentawai, Bintan, Natuna, Batam dan Lingga.
Sementara itu, Bank Dunia mendapat jatah untuk membiayai proyek di Biak, Raja Ampat, Pangkep, Selayar, Buton, Wakatobi, dan Sikka.Sekilas tidak ada masalah dalam proyek utang di sektor kelautan ini. Namun bila kita mencoba menoleh ke belakang, segera terlihat bahwa kedua lembaga bisnis bantuan itu ternyata memiliki rekam jejak (track record) yang tidak begitu bagus terkait dengan proyeknya di sektor kalautan.Catatan Down The Earth yang dipublikasikan pada 2003 menyebutkan bahwa proyek ADB dan Bank Dunia pada 1983 dan 1984 di sektor kalautan telah memicu pengembangan wilayah pertambakan udang intensif atau semi-intensif secara besar-besaran di Indonesia.Proyek itu telah menimbulkan alih fungsi hutan bakau menjadi kawasan pertambakan secara masif. Sampai 1998, wilayah pertambakan tersebut telah mencakup sekitar 305.000 hektare. Celakanya, pemerintah pada waktu itu mengatakan bahwa sekitar 860.000 hektare hutan bakau masih tersedia untuk dialihfungsikan menjadi tambak udang.Padahal terumbu karang, hutan bakau selain berfungsi melindungi pantai dari abrasi juga merupakan habitat yang baik bagi berbagai jenis ikan. Kehancuran hutan bakau tersebut selain mengakibatkan pemiskinan nelayan juga menjadikan kawasan pesisir Indonesia semakin rentan terhadap berbagai macam bencana ekologi.Bencana abrasiCatatan Coordinating Committee of ASIA (Asia Solidarity Againts Industrial Aquaculture) Riza Damanik menyebutkan bencana abrasi telah terjadi di lebih dari 750 desa pada periode 1996 hingga 1999.
Hingga 1999, sedikitnya 90% kawasan desa pesisir yang telah kehilangan ekosistem hutan bakaunya terkena bencana banjir.Pulau Jawa, salah satu pulau yang menjadi fokus ekspansi industri pertambakan di Indonesia, mengalami peningkatan jumlah desa pesisir yang terkena banjir hingga empat kali lipat dalam periode 1996 hingga 2003,� dengan jumlah 3.000 desa pesisir.Pada tahun 2006 saja, telah terjadi peningkatan anggaran di APBN dari Rp500 miliar menjadi Rp2,9 triliun untuk penanganan bencana di Indonesia. Hasil keuntungan yang diperoleh dari tambak udang pun tidak sebanding dengan biaya untuk mengatasi bencana ekologi dan rehabilitasi hutan bakau.Provinsi Lampung, tempat dua industri pertambakan udang terbesar di Indonesia berada, memiliki nilai ekspor udang pada periode Januari sampai Oktober 2006 sebesar kurang lebih Rp1,5 triliiun. Namun, dalam waktu yang bersamaan pula Pemprov Lampung juga membutuhkan sekitar Rp2 triliun untuk melakukan rehabilitasi hutan bakaunya.Ironisnya, kedua lembaga bisnis bantuan itu seperti lepas tangan untuk membiayai dampak sosial dari bencana ekologi yang dipicu oleh proyek perluasan tambak itu. Lagi-lagi Pemerintah Indonesia yang telah terjebak proyek utang tersebut justru harus membayar kerugiannya.Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu ungkapan yang tepat bagi negeri yang telah terjebak proyek utang seperti Indonesia ini. Betapa tidak, selain harus menanggung biaya untuk penanggulangan bencana ekologi dan rehabilitasi hutan bakau, Pemerintah Indonesia tatap berkewajiban membayar utang kepada kedua lembaga bisnis bantuan tersebut.Tampaknya proyek yang sarat ketidakadilan itu tidak pernah dipersoalkan lagi oleh ADB dan Bank Dunia. Buktinya, tanpa merasa bersalah, keduanya kembali mengucurkan proyek utangnya di sektor kelautan. Jika dulu proyek utangnya mengatasnamakan pengembangan tambak, kali ini mengatasnamakan perlindungan ekosistem terumbu karang.Seharusnya sisi kelam proyek ADB dan Bank Dunia di sektor kelautan itu dijadikan pelajaran berharga untuk lebih waspada menerima kucuran proyek utang baru. Setidaknya kedua lembaga bisnis bantuan itu harus dimintai pertanggungjawaban terlebih dahulu atas proyek utangnya di sektor kelautan pada era 1980-an sebelum mereka kembali mengucurkan proyek utang barunya ke Indonesia.Alih-alih meminta pertanggungjawaban proyek ADB dan Bank Dunia, Pemerintah Indonesia, justru berbangga dengan kucuran utang baru untuk proyek COREMAP II itu. Sepertinya, kisah pilu masyarakat pesisir yang kehilangan sumber-sumber kehidupannya akibat hancurnya hutan bakau menjadi tidak penting lagi.Dapat dianalogikan Indonesia seperti seorang anak balita. Agar berhenti menangis akibat dijitak oleh orang yang lebih dewasa, sang anak diberi permen manis. Sang anak pun diam dan tidak pernah mempersoalkan bahwa permen manis itu dapat merusak kesehatan giginya.Begitulah Indonesia, proyek COREMAP II selain membuat negeri ini terlena sehingga tak mempersoalkan lagi sisi kelam proyek utang kedua lembaga bisnis bantuan itu pada masa lalu juga telah melupakan bahwa proyek utang baru tersebut berpotensi membebani generasi mendatang. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi bila kita tidak terlalu lama mengabaikan akal sehat dan hati nurani.

Jumat, 10 Oktober 2008

Aparat Harus Kembalikan Kapal Nelayan

Tanggal: 10 Oktober 2008
Jakarta, CyberNews. Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) mengecam keras penangkapan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru pada tanggal 10 Mei 2008. Hal ini karena para nelayan tersebut hanya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Alasan penangkapan yang dilakukan oleh polisi air-udara Mabes Polri adalah karena melanggar aturan zona tangkap. Atas penangkapan tersebut, hakim kemudian memutuskan kurungan 3 bulan pada nahkoda, denda 50 juta dan pelelangan hasil tangkapan ikan.Menurut Sekretaris Jenderal PRP Irwansyah para nelayan keluar dari zona karena dipaksa oleh kondisi. "Kenaikan harga BBM membuat banyak nelayan gulung tikar. Hanya beberapa orang yang sampai saat ini dapat bertahan. Hal ini masih dipersulit dengan pengkaplingan laut yang menyebabkan para nelayan tradisional semakin terpojok dalam mencari hasil tangkapan dan kalah dengan para pemilik modal besar yang berusaha di bidang perikanan. Belum lagi pungli-pungli yang dilakukan aparat," ungkap Irwansyah.Akibat praktek-praktek tersebut banyak nelayan, demi mempertahankan hidupnya, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. "Demi mencukupi kehidupan keluarganya, mereka berupaya mencari hasil tangkapan di daerah yang sebenarnya bukan merupakan kaplingnya. Ini yang terjadi pada kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru," jelasnya.Untuk itu, kata Irwansyah, PRP meminta aparat segera membebaskan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru karena hingga saat ini belum dikembalikan. Padahal kapal tersebut merupakan satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan hidup para nelayan anggota Serikat Nelayan Tradisional (SNT).

Aparat Harus Kembalikan Kapal Nelayan

Tanggal: 10 Oktober 2008
Jakarta, CyberNews. Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) mengecam keras penangkapan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru pada tanggal 10 Mei 2008. Hal ini karena para nelayan tersebut hanya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Alasan penangkapan yang dilakukan oleh polisi air-udara Mabes Polri adalah karena melanggar aturan zona tangkap. Atas penangkapan tersebut, hakim kemudian memutuskan kurungan 3 bulan pada nahkoda, denda 50 juta dan pelelangan hasil tangkapan ikan.Menurut Sekretaris Jenderal PRP Irwansyah para nelayan keluar dari zona karena dipaksa oleh kondisi. "Kenaikan harga BBM membuat banyak nelayan gulung tikar. Hanya beberapa orang yang sampai saat ini dapat bertahan. Hal ini masih dipersulit dengan pengkaplingan laut yang menyebabkan para nelayan tradisional semakin terpojok dalam mencari hasil tangkapan dan kalah dengan para pemilik modal besar yang berusaha di bidang perikanan. Belum lagi pungli-pungli yang dilakukan aparat," ungkap Irwansyah.Akibat praktek-praktek tersebut banyak nelayan, demi mempertahankan hidupnya, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. "Demi mencukupi kehidupan keluarganya, mereka berupaya mencari hasil tangkapan di daerah yang sebenarnya bukan merupakan kaplingnya. Ini yang terjadi pada kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru," jelasnya.Untuk itu, kata Irwansyah, PRP meminta aparat segera membebaskan kapal nelayan Margi Luwi Utomo Baru karena hingga saat ini belum dikembalikan. Padahal kapal tersebut merupakan satu-satunya alat untuk memenuhi kebutuhan hidup para nelayan anggota Serikat Nelayan Tradisional (SNT).

Kamis, 09 Oktober 2008

Indonesia Produsen Rumput Laut Terbesar

Tanggal: 9 Oktober 2008
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Masyarakat Rumput Laut Indonesia Jana T Anggadiredja, di Jakarta, Kamis mengatakan Indonesia ditargetkan menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia pada 2010 dan siap melangkah menjadi negara industri terkemuka komoditas itu."Sebenarnya sejak 2007, kita sudah menjadi produsen bahan baku terbesar untuk jenis `euchuma sp`," katanya saat memberikan keterangan penyelenggaraan Forum Rumput Laut Indonesia yang akan diadakan di Makassar, 27-30 Oktober.Menurut data, pada 2007 produksi rumput laut Indonesia mencapai 94 ribu ton. Produk itu terbagi dalam jenis `euchuma dentuculatun` atau yang biasa dikembangkan untuk bahan baku kosmetik dan farmasi (karaginan) dan glacilaria (untuk agar-agar).Menurut dia, saat ini pemasok rumput laut terbesar adalah Sulawesi Selatan, diikuti Bali, Sumbawa, dan Jawa-Madura.Untuk mendukung langkah menjadi produsen rumput laut terbesar itu, kata Jana, berbagai asosiasi rumput laut telah merumuskan standar operasi bagi pengelolaan rumput laut, mulai memilih bibit hingga penanganan pascapanen.Dengan adanya standar operasi itu, katanya, diharapkan peningkatan kuantitas produksi rumput laut diikuti peningkatan kualitasnya.Menurut dia, sebagai refleksi dari keinginan untuk mempromosikan Indonesia sebagai negara besar penghasil rumput laut itu pula diadakan Forum Rumput Laut Indonesia di Makassar.Acara itu, katanya, akan menjadi ajang promosi hasil yang dicapai Indonesia dalam pengembangan rumput laut, sekaligus memperkenalkan potensi perairan Indonesia yang merupakan lahan pengembangan rumput laut."Forum itu juga untuk memperjelas posisi Indonesia sebagai salah satu negara terkemuka dalam pengembangan industri rumput laut seiring permintaan dan kebutuhan dunia yang semakin besar," katanya.Dalam forum itu, katanya, akan berbicara puluhan peneliti rumput laut dari 20 negara dan Kongres Petani Rumput Laut Indonesia serta pelatihan kepada para petani rumput laut.(*)

Rabu, 08 Oktober 2008

Ekspor Pasir Timah Digagalkan Produk Asal China Ditahan

Tanggal: 8 Oktober 2008
Jakarta, Kompas - Sebanyak 30 peti kemas berisi pasir timah siap ekspor digagalkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Rencananya, pasir timah itu bakal diekspor ke China dan Malaysia. Kerugian negara dari sektor pajak diperkirakan sebesar Rp 27,648 miliar.Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi di Jakarta, Selasa (7/10), mengatakan, penahanan (penegahan) ekspor pasir timah bercampur pasir alam sudah berlangsung dalam tiga bulan terakhir. Namun, kasus ini baru dapat dipublikasikan mengingat proses penangkapan tersangka membutuhkan waktu.”Pasir timah ini didatangkan dari Bangka, Ketapang, dan Surabaya. Kelihatannya semua dikumpulkan di Jakarta untuk diekspor dengan berbagai kamuflase dokumen,” kata Anwar.Berdasarkan kegiatan intelijen Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai serta Kantor Pelayanan Umum (KPU) BC Tipe A Tanjung Priok, ke-30 peti kemas itu dikirim dengan menggunakan tiga dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) terpisah.Ekspor pertama dilakukan CV LA menggunakan kapal MV Reflection Voy N067 sebanyak 15 peti kemas seberat 384 metrik ton dengan tujuan ekspor Fuzhou Shengsheng Mining Industry Co Ltd, Fujian, China.Kemudian, BC juga menahan 10 peti kemas pasir timah seberat 200 metrik ton yang akan diekspor CV IB dengan kapal MV Cape Norman Voy 8007 dengan tujuan ekspor LSK Enterprise Sdn Bhd Perak, Malaysia.Lima peti kemas pasir timah terakhir seberat 120 metrik ton direncanakan diekspor oleh PT LMI dengan kapal Barent Strait Voy 816N. Adapun tujuan ekspornya Maoming Kaisheng Development Co Ltd, China.Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen BC Agung Kuswandono mengatakan, pasir timah dan pasir alam merupakan jenis barang yang dilarang untuk diekspor. ”Barang itu telah diuji di Balai Pengujian dan Identifikasi Barang, Jakarta, dan laboratorium PT Timah Tbk,” ujar Agung.Selain menahan pasir timah, Ditjen BC juga menahan 170 peti kemas berisi aneka produk China, mulai dari mainan tulang anjing, tekstil, garmen, hingga peralatan elektronik.Bahkan, ada pula satu peti kemas yang dokumen impornya dipalsukan. Saat dibuka, peti hanya berisi minuman ringan, tetapi ternyata bagian dalamnya berisi ribuan bir kalengan.Anwar menegaskan, Ditjen BC memperketat kemungkinan masuknya produk impor dari negara yang kehilangan pasar di Amerika Serikat.Modus penyelundupan makin bervariasi. Tekstil, misalnya. Produk China itu diimpor dari Port Klang, Malaysia, ke Kuching. Kemudian, masuk ke Pontianak melalui darat dan dikirim melalui pelabuhan antarpulau.Menurut Anwar, tugas Ditjen BC sangat berat, apalagi Batam, Bintan, dan Karimun sekarang ini ditetapkan sebagai zona perdagangan bebas sehingga membutuhkan pengawasan lebih ketat.(OSA)

Selasa, 02 September 2008

MASALAH PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO BRANTAS KE LAUT

Tanggal: 2 September 2008
Sumber: http://rovicky. wordpress. com/2006/ 09/02/klh- harus-menkaji- ulang-pengertian -pencemaran- lingkungan/
Indonesia belakangan ini dirundung bencana, bencana alam maupun bencana yang dipicu oleh kelakuan manusia dalam usahanya untuk memodernisasikan negara Indonesia. Gejala bencana ini tidak ada yang sangat menarik perhatian adalah munculnya semburan lumpur panas di Sidoardjo yang boleh jadi dipicu dengan kegagalan pemboran explorasi sumur Banjar Panji oleh PT Lapindo Brantas dalam usaha pencaharian minyak dan gas bumi di daerah . Tentu hal ini dilakukan dalam rangka penambahan cadangan dan produksi minyak dan gas bumi Indonesia yang belakangan ini melorot, demi pertumbuhan ekonomi yang sehat, selain tentunya untuk mencari keuntungan yang besar bagi para pemilik saham perusahaan tersebut.
Terlepas apakah penyebab semburan ini adalah keteledoran para ahli pemboran Lapindo Brantas atau apakah pemboran yang gagal ini adalah sekedar pemicu akan terjadinya gejala ini (mungkin nantinya Pengadilan yang bisa memutuskan), yang menarik perhatian adalah gejala semburan lumpur ini yang boleh dikatakan unik di dunia. Yang jadi masalah adalah jumlah cairan yang konon terdiri dari 70% air dan 30 zat padat yang membanjiri daerah Sidoarjo dan mengancam pemukiman serta melumpuhkan perekonomian, khususnya industri dan transportasi di daerah sekitarnya. Jika pencemaran lingkungan tidak jadi masalah penyelesaiannya sederhana saja, alirkan lumpur panas yang tokh akhirnya akan mendingin juga ke laut, ke Selat Madura, dari mana lumpur itu berasal.
Dalam mass media dikhabarkan bahwa lumpur itu mengandung zat berbahaya dan beracun, antara lain kadar Hg (air raksa) yang tinggi. Sebagai seorang ahli geologi saya heran, bagaimana lumpur yang berasal dari perut bumi bisa mengandung zat2 tersebut? Rekan saya dari Tim Independent Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) yang telah mengambil contoh lumpur langsung dari lokasi semburan memberitakan bahwa hasil analisa kimia serta analisa lainnya tidak meununjukan kehadliran Hg atau logam berat lainnya (paling tidak semuanya jauh dibawah 0.10 mg/liter). Hasil analisa mikropaleontologi menunjukkan bahwa lumpur itu mengandung fosil foraminifera (cangkang zat renik bersel satu) yang dahulu hidup di lingkungan laut yang sama dengan di Selat Madura. Sejak dahulu para ahli geologi Belanda seperti Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa beberapa ratus ribu bahkan lebih 1 juta tahun (zaman Pleistocene) Selat Madura itu menjorok jauh ke barat hampir sampai kota Semarang. Sungai-sungai seperti Bengawan Solo dan lain-lain bermuara di selat Madura purba ini dan mengendapkan sedimen seperti pasir dan lumpur sebagai delta pada pantainya yang berangsur-angsur terjadi pendangkalan dan daratan pun bertambah ke arah pantai Selat Madura dekat Sidoarjo. Jadi pendangkalan serta penambahan daratan ke arah selat Madura memang sudah terjadi secara alami. Bahkan konon Bengawan Solo juga dulunya mengalir ke Selat Madura yang sekarang disebut Kali Brantas, dan oleh Belanda dialihkan ke arah utara yang sekarang disebut Ujung Pangkah. Pada ujung ini terjadi suatu delta yang praktis dikatakan sebagai delta yang dipicu ulah manusia.
Jadi sebetulnya dengan mengalirkan .lumpur ke arah Selat Madura saya yakin akan terjadi proses alami dan tidak mencemari lingkungan, karena lumpur Lapindo itu material yang berasal dari endapan Selat Madura kuno, dan sekarang dikembalikan ke Selat Madura modern. Yang akan terjadi mungkin adalah percepatan dalam pendangkalan serta majunya pantai barat Selat Madura, yang tokh secara alami sedang berlangsung.Dalam hal ini tentu yang jadi masalah adalah apakah yang disebut pencemaran lingkungan? Kalau limbah kimia atau limbah industri ataupun dari aktivitas manusia yang bersifat asing, maka saya sangat sangat setuju untuk dinyatakan sebagai pencemaran lingkungan yang harus dicegah sekuat tenaga. Contoh-contoh seperti Chernobyl, Peledakan Pabrik Kimia di India, tumpahnya minyak dari tanker Exxon Valdez dst, itu betul-betul dapat dinyatakan sebagai pencemaran lingkungan yang berat. Tetapi dalam hal lumpur Lapindo, kita ini menghadapi zat ataun bahan bumi (earth material) yang akan dimasukan ke dalam lingkungan yang kebetulan sama juga dengan lingkungan di mana lumpur itu terbentuk.
Kekhawatiran akan rusaknya biota dsb adalah sangat berlebihan dan boleh dikatakan merupakan paranoid yang sedang melanda kita semua, khususnya para ahli lingkungan. Dari prinsip dasar ilmu geologi saja kita tahu bahwa lingkungan kita itu tidak pernah tetap, gejala-gejala alam yang lambat maupun yang bersifat mendadak, seperti erupsi gunung api dapat “mencemari” lingkungan, merusak biota bahkan menyebabkan kepunahan species bahkan sampai kategori kelaspun (Ingat punahnya Dinosaurus?) . Dalam hal ini apakah suatu letusan gunung api di pantai yang menyemburkan abu serta lava pijar ke laut serta memusnahkan biota ditempat itu dapat dikatakan pencemaran lingkungan? Ini sering terjadi di Hawaii dan gunung api lainnya di Pasifik. Apakah letusan G. Merapi yang yang menghamburkan awan panas, abu dan gas yang beracun (saya yakin banyak gas H2S) serta mematikan kehidupan di daerah sekitarnya dianggap pencemaran lingkungan? Gunung-gunung api yang tidurpun seperti G. Tangkuban Perahu di utara Bandung dan banyak lagi di seluruh Indonesia, bahkan di dunia setiap harinya menghamburkan belerang murni dalam bentuk gas maupun gas H2S entah berapa ribu ton ke atmosfer. Tetapi tidak ada ahli lingkungan yang peduli serta mempermasalahkan “acid rain” yang ditimbulkan. Pada waktu G. Krakatau meletusdengan dahsyatnya pada tahun 1883 seluruh biota di lereng gunung itu hancur dan memusnahkan kehidupan. Namun hanya dalam beberapa puluh tahun saja kehidupan sudah pulih kembali, karena kekenyalan (resilience) dari alam itu sendiri untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan.Lokasi-lokasi semburan lumpur di Jawa TimurDalam hal semburan lumpur Lapindo ini memang merupakan gejala unik. Boleh jadi saja semburan liar ini disebabkan atau dipicu oleh kelalaian pemboran pada Banjar Panji-1, namun gejalanya sendiri lebih merupakan gejala alam yang menyangkut bahan alami bukan bahan asing untuk lingkungan bumi. Banyak para ahli geologi yang menganalogikan semburan lumpur ini dengan gejala alam yang disebut “mud-volcano” yang banyak tersebar di Indonesia (khusunya di Indonesia Timur dikenal dengan istilah poton), bahkan di Jawa Timur Utara pun banyak diketemukan, seperti Bleduk Kuwu dekat Purwodai, G. Anyar dekat Surabaya bahkan di selatan K Porong, yang di masa lalu menyemburkan lumpur tetapi sekarang sudah mati. Tentu pada waktu itu lumpur itu mengalir dengan sendirinya dan berakhir di laut dan ini merupakah gejala alamiah saja. Mungkin pada waktu itu belum ada KLH atau LSM-LSM lingkungan, bahkan manusiapun pada waktu itu belum ada untuk memprotes pencemaran lingkungan.
Dalam hal semburan lumpur di Sidoarjo, seandainya tidak ada bangunan seperti jalan, perumahan, pabrik dsb, maka secara alamiah lumpur it akhirnya akan mengalir ke laut (Selat Madura) juga. Saya yakin dalam keadaan sekarang lumpur panas ini dapat dialirkan dengan aman dalam saluran terbuka ke Selat Madura, tidak perlu dalam pipa (yang berpotensi untuk tersumbat), bahkan dialirkan lewat K. Porong, yang konon adalah juga buatan manusia. Saya kira air sungai dan air tanah di sekitar Sidoarjo itu sudah lebih tercemar oleh limbah industri daripada lumpur dari semburan yang masih murni. Water treatment yang diusulkan sebelum dialirkan ke laut adalah tidak masuk akal. Kalau memang harus dilakukan treatment, ya hasilnya tidak perlu dibuang kelaut, dijual saja ke PDAM atau perusahan air kemasan.Jadi sebetulnya mengapa masalah sederhana malah dijadikan sulit? Mungkin terpengaruh iklan rokok tertentu. Tentu banyak orang berprasangka adanya oknum-oknum tertentu yang mencari keuntungan dalam kesempitan.Sebagai penutup saya usulkan supaya KLH mengkaji ulang pengertian mengenai apa yang disebut pencemaran lingkungan. Sebaiknya para ilmiawan yang betul-betul mengerti mengenai proses alam seperti para ahli geologi juga dilibatkan, tetapi juga bukan para ahli geologi yang ikut hanyut dalam paranoid pencemaran lingkungan yang dewasa ini melanda masyarakat kita.

Minggu, 31 Agustus 2008

Kelautan dan Perikanan Berpotensi Sumbang Rp 750 Triliun

Tanggal: 31 Agustus 2008
Sumber: Kompas. Minggu, 31 Agustus 2008
JAKARTA, MINGGU - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) mengungkapkan, sektor kelautan dan perikanan berpotensi memberikan sumbangan terhadap anggaran negara sebesar Rp 750 triliun dari rencana APBN 2009 lebih dari Rp 1.000 triliun.

Ketua Umum HNSI, Yusuf Sholichien di Jakarta, Sabtu (30/8) mengatakan, sumbangan sektor kelautan dan perikanan terhadap anggaran negara sebesar itu bisa direalisasikan jika pengolaannya dilakukan secara maksimal serta mendapatkan perhatian dari pemerintah. "Hingga saat ini perhatian pemerintah terhadap sektor kelautan dan perikanan masih sangat minim sehingga kontribusi terhadap pendapatan negara juga rendah. Dari anggaran 100 miliar dollar AS dari kelautan bisa 75 miliar dollar," katanya di sela Wisuda Program Diploma 4 Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta, Angkatan 40. Dikatakannya, saat ini kontribusi sektor kelautan dan perikanan baru sekitar 10 persen dari total anggaran belanja negara. Menurut dia, potensi ekonomi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia sebenarnya sangat besar tidak hanya berasal dari hasil tangkapan ikan namun juga sumber daya mineral ataupun kekayaan alam lainnya di laut. Namun, tambahnya, karena minimnya perhatian pemerintah terhadap sektor ini maka potensi yang besar itu banyak yang hilang dan tidak bisa dimanfaatkan oleh negara maupun masyarakat Indonesia.

Dia mencontohkan, setiap tahun Indonesia kehilangan hasil senilai Rp 30-RP 40 triliun akibat penangkapan ikan secara ilegal baik dilakukan oleh nelayan asing maupun dari dalam negeri. "Indonesia merupakan negara bahari dengan luas lautan mencapai dua per tiga luas tanah air, seharusnya sektor kelautan dan perikanan mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah," katanya. Yusuf mengungkapkan, pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang Paripurna DPR pada 15 Agustus 2008 lalu memperlihatkan rendahnya perhatian pemerintah pada sektor kelautan dan perikanan.

Dalam pidato pengantar nota keuangan dan RAPBN 2009 itu, menurut dia, sama sekali tidak menyinggung pembangunan sektor kelautan dan perikanan ataupun kehidupan nelayan sementara sektor lain seperti pertanian, kesehatan dan pendidikan mendapat perhatian yang tinggi. "Bahkan anggaran pembangunan untuk sektor kelautan dan perikanan juga sangat kecil dibanding sektor pertanian. Ini diskriminasi, " kata Purnawirawan angkatan laut ini. Sementara itu Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi dalam pidatonya di hadapan 334 wisudawan mengatakan, saat ini produk perikanan menjadi salah satu andalan bagi devisa negara.

Menurut dia, pertumbuhan ekspor produk perikanan Indonesia selama lima tahun terakhir (2003-2007) mengalami kenaikan rata-rata 8,23 persen. Posisi nilai ekspor produk perikanan Indonesia di pasar dunia pada tahun 2006 menduduki peringkat 10 dengan pasar utama Amerika, Jepang dan Eropa. Berdasarkan catatan Departemen kelautan dan perikanan (DKP) selama tiga tahun terakhir volume ekspor produk perikanan Indonesia yakni 857.992 ton dengan nilai 1,91 miliar dollar AS pada 2005. Kemudian naik menjadi 926.478 ton pada 2006 senilai 2,10 miliar dollar AS dan pada 2007 mencapai 2,30 miliar dollar AS meskipun dari volume turun menjadi 837.783 ton

Jumat, 22 Agustus 2008

Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional

Tanggal: 22 Agustus 2008
Sumber: http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0808/ 22/opi01. html
Oleh : M Riza Damanik

Adalah Aliman seorang nelayan Banten yang tewas diempas gelombang Laut Jawa, di awal Januari 2008 lalu. Entah karena tidak sempat mendengar peringatan Badan Meteorologi dan Geofisika akan bahaya gelombang tinggi yang menerpa Selat Sunda dan Perairan Jawa—atau justru sudah mendengar—namun tiga minggu tidak melaut akibat gelombang tinggi menjadi alasan yang tidak relevan di tengah keterdesakan kebutuhan hidup keluarga. Aliman dan keluarganya adalah satu dari ribuan bahkan jutaan nelayan Indonesia yang kurang beruntung tersebut.Sejumlah peristiwa; perubahan iklim, gelombang pasang, tsunami, banjir, kenaikan harga BBM dan langkanya minyak tanah dan solar, telah berhasil menghentikan hampir seluruh kegiatan perikanan nelayan tradisional dan tanpa adanya dukungan nyata dari negara untuk membenahinya dan meminimalisasi dampak yang disebabkannya; dan bahkan di banyak kasus seolah diabaikan (by omission). Dalam catatan sejarah pergerakan Indonesia, perjuangan nelayan tidak terekam jejaknya dengan jelas. Namun terlepas dari samarnya rekam jejak perjuangan nelayan dalam catatan sejarah, faktanya perjuangan nelayan terus menggelinding menuju satu tujuan yakni terbebasnya dari kemiskinan. Konon, jauh sebelum negeri ini merdeka, nelayan dengan kelompok-kelompok komunitasnya menjadi simbol kuatnya negeri bahari—Nusantara. Dengan berbekal kebersamaan, terbentuk unit-unit usaha yang berada tepat pada pelabuhan-pelabuhan strategis, yang menjadi pusat perdagangan, bahkan tempat bongkar-muat dan transaksi perdagangan komoditas lokal (seperti rempah-rempah) yang dihasilkan petani dan nelayan Indonesia. Paradigma DaratNamun kini, cerita ini bak cerita usang. Bahkan tidak ada dalam mozaik sejarah kebangkitan bangsa kini. Kemunduran ekonomi pun terjadi, sejalan dengan perhatian para penguasa negeri yang berpindah ke wilayah daratan dan semakin masuk ke wilayah pedalaman—era Mataram melanjutkannya— hingga kemampuan dan teknologi kelautan yang telah dikuasai ratusan tahun sebelumnya ditinggalkan secara perlahan-lahan.Armada nelayan, armada perang, dan armada dagang tidak lagi menjadi fokus. Kultur pedalaman inilah yang selanjutnya diwariskan dan dan dikokohkan oleh Orde Baru (Orba). Paradigma pembangungan kelautan telah bergeser menjadi “paradigma pedalaman”. Mulai dari kebijakan politik ekologis konservasi laut yang anti nelayan, kebijakan industeri yang menempatkan perairan pesisir sebagai kantung-kantung pembuangan limbah, kebijakan moderenisasi alat tangkap—hingga penggunaan alat tangkap trawl di wilayah tangkap tradisional—yang semua menjadi bagian kelam kebijakan negara yang merugikan nelayan tradisional Indonesia. Keterpurukan ini diikuti pula dengan sistem pendidikan dan doktrinasi sosio-kultural yang tidak menempatkan arah pembangunan negeri kepulauan sebagai landas pikir dan tindak. Akibatnya, nelayan pun jauh dari kebutuhan akan pendidikan, dan tertinggal dalam aktivitas politik. Ditambah lagi, politik orientasi pertahanan keamanan yang juga mengandalkan “paradigma darat” dengan indikasi kekuatan di darat lebih dominan ketimbang kekuatan di laut. Akibatnya, ruang laut justeru dikuasai oleh kapal-kapal asing yang setiap saat mengeruk sumber daya perikanan kita, padahal dalam sebuah kesempatan seorang pemikir kebangsaan pernah mengatakan, melalui daratan Indonesia hanya mampu menemukan provinsi, atau bahkan tidak lebih dari 3 negara yang bersandingan langsung dengannya. Berbeda melalui laut, Indonesia bisa menemukan banyak negara, dan bahkan sejumlah benua lain di muka bumi.Salah satu sektor sumber daya yang diutamakan dalam liberalisasi perdagangan adalah sektor perikanan, yang justru paling rentan. Lembaga Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa 70 persen stok ikan komersial telah mengalami over-exploitation. Mengapa tidak, lebih dari 2,6 miliar masyarakat dunia atau 20 persen protein hewani masyarakat dunia berasal dari ikan. Sektor ini merupakan sumber utama lapangan pekerjaan, pangan dan pendapatan. Bisa dibayangkan, antara tahun 1994-2004, ekspor bersih negara berkembang tumbuh dari 4,6 miliar dolar AS menjadi 20,4 miliar dolar AS. Namun di sisi yang lain, FAO juga memperkirakan jutaan masyarakat dunia yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari adalah mereka yang hidup dari kegiatan perikanan. Lalu kemana sesunguhnya sumberdaya perikanan tersebut termanfaatkan?Organisasi Nelayan Nasional Agenda liberalisasi sektor perikanan telah memaksa Indonesia untuk menambah produksi perikanannya hingga 12,73 juta ton pada tahun 2009, yang merupakan rentetan target ekspor perikanan sebesar 2,8 miliar dolar AS di tahun yang sama. Apa yang salah dari hal tersebut? Penetapan target kuota perikanan yang ambisius, telah memberikan keleluasaan sektor industi untuk menguasai kegiatan perikanan Indonesia. Sejumlah regulasi dalam “mematangkan” agenda privatisasi sudah disiapkan. Sebut saja UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memandatkan pengusahaan perairan pesisir pada sektor swasta (termasuk asing) hingga lebih dari 20 tahun. Juga lahirnya keputusan menteri yang mengisyaratkan pemberian izin beroperasinya trawl di perairan Indonesia. Hal ini tidak hanya telah mengancam kebutuhan ikan dalam negeri, juga turut mengkebiri fitrah nelayan dan petambak tradisional Indonesia. Menjelang 63 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (1945-2008), tepatlah kiranya mengambil pelajaran dari gerakan nelayan selama ini, utamanya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya. Mempercayakan agenda tersebut kepada penyelenggara negara dalam waktu yang cukup panjang, telah menghantarkan agenda kesejahteraan nelayan pada nomor akhir dari prioritas negara, bahkan tidak banyak pemimpin negeri yang berani lantang menyuarakan pentingnya perubahan yang fundamental. Hadirnya Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI) yang digagas oleh lebih dari 17 organisasi nelayan kepulaun diawal tahun 2008 lalu, dapat dipandang sebagai jawaban dari kegelisahan yang telah mengkristal di seluruh penjuru negeri. Terapi yang ditawarkan adalah hadirnya semangat solidaritas dan kemandirian gerakan nelayan nusantara; serta pentingnya mengawali pendidikan masif bagi seluruh nelayan Indonesia. Pilihan akhirnya, hanya dengan organisasi nelayan yang solid, cerdas dan mandiri, keluarga nelayan Indonesia bisa bangkit dari keterpurukannya.Chalid Muhammad, seorang tokoh muda Indonesia pernah mengatakan bahwa karakter nelayan adalah mereka yang pantang mundur dan tunduk kepada segala bentuk ketidak-adilan. Dengan begitu, sebagai pahlawan dalam pemenuhan protein utama anak-anak bangsa kedepan, nelayan sepatutnya mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lainnya di negeri bahari Indonesia. Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sekaligus Anggota Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI).

Selasa, 12 Agustus 2008

Selamatkan Subun binatang Laut Yang Terancam Punah

Tanggal : 9 Agustus 2008
Sumber : Mukhtar A.Pi


Menurut salah seorang yang tergabung dalam Forum Illegal Fishing Indonesia yaitu M. Sugihartono, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Batanghari Jambi(UNBARI) dan Staf pengajar pada Jurusan Perikanan UNBARI mengatakan Di Jambi ada suatu kawasan khusus yang didiami oleh binatang laut (Sumbun: nama daerah,Solen grandis:nama ilmiah) masih ada di Jambi, yang kita ketahui di Cina sudah menjadi Fosil.
Namun demikian untuk daerah tersebut belum ada penetapan atau peraturan seperti DPL (daerah perlindungan Laut) oleh pihak instansi terkait, karena pada musim tertentu April - Agustus merupakan musim sumbun ada.
Penangkapan, Ekploitasi belum ada peraturan untuk itu, terutama ukuran yang boleh di tangkap. kegiatan ini, bila musim di ekploitasi oleh masyarakat secara besar-besaran dan di jual hingga ke mancanegara (singapura)dan anehnya sebagian kecil dari masyarakat jambi sendiri yang mengenal itu sumbun.Mohon kiranya DKP yang menangani ini bersama, kita lestarikan, dikhawatirkan hal yang sama akan terjadi seperti di Cina (Fosil).
Menuurut (Prezant, 1998) species Subun binatang Laut Yang Terancam Punah masuk dalam Subclass Heterodonta, Superfamily Solenoidae, Family Solenidae, and biasa di sebut Razor shells. Solen mempunyai sekitar 65 species, tersebar di Indonesia, Thailand, China and Australia. Di Thailand disebut Hoi lord. Menurut dosen sy, di Thailand solen tidak mengenal musim, setiap saat bisa di tangkap,& dimanfaatkan untuk Seafood di restoran2. Harga /kg di pasar sekitar 60bath (Rp.18.000).
Masalah keamanan ikan Indonesia tidak hanya di illegal fishing, banyak Sumberdaya laut kita lolos dengan harga murah, apalagi secara illegal, lewat darat maupun udara & yang lebih nampak mungkin kasus pada SD pertanian...

Tugas mengamankan SD Ikan, bukan hanya bagi petugas keamanan seperti TNI&DKP, mengingat wilayah NKRI yg memang sangat luas serta keterbatasan personil & peralatan. Alangkah lebih baik apabila instansi terkait mempunyai & mendukung kebijakan untuk menambah & memperbaharui kapasitas nelayan Indonesia agar mampu mencari ikan sampai daerah perbatasan. apabila berjalan maka insya Allah secara otomatis laut Indonesia akan aman, kesejahteraan nelayan meningkat serta dpt mengurangi angka penggangguran.
saya mendukung pelestarian species tersebut pak, sehingga perlunya penelitian ttg solen serta pengaturan dalam pemanfaatannya, insya Allah akan tetap lestari dan bermanfaat sampai anak cucu kita....

(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari)

Ratusan Spesies Terumbu Karang Terancam Punah

Tanggal : 9 Agustus 2008
Sumber : Mukhtar A.Pi

Sedikitnya 600 atau 75 persen dari sekitar 800 spesies terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia. Namun, lebih dari separuh spesies di Indonesia terancam punah akibat kerusakan terumbu karang yang mencapai 65 persen di kawasan seluas 51.000 meter persegi di seluruh Nusantara.

Di Bali, lokasi yang mengalami kerusakan berdasarkan penelitian The Nature Conservancy adalah Pantai Sanur (Denpasar). Adapun terumbu karang di lokasi lain, seperti Pantai Amed (Karangasem) , Nusa Penida (Klungkung), Tejakula (Buleleng), dan Serangan (Denpasar), berangsur membaik.

Senior Advisor Marine Science Indonesia Marine Program Office Conservation International, Mark Erdmann, di Denpasar, Senin (28/7), mengatakan, perlu ada gerakan untuk mengingatkan para pelaku industri pariwisata yang mulai membahayakan biota laut.

Kebakaran

Semak belukar seluas 5 hektar di petak 36 K, juga semak belukar dan 10 pohon pinus di petak 36 H seluas 0,35 hektar di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terbakar. Kawasan itu merupakan wilayah penambangan pasir dan batu Jurangjero.

Api mulai tampak hari Minggu (27/7) pukul 17.00 dan berhasil dipadamkan pada Senin pukul 11.00. Kepala TNGM Tri Prasetyo mengatakan, pihaknya masih berjaga-jaga untuk mengantisipasi timbulnya kebakaran kembali di area itu dan mencari penyebabnya.

Kawasan lereng Gunung Merbabu di Kabupaten Magelang juga terbakar. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu Wilayah II Anggit Haryoso mengatakan, kebakaran terjadi pada Senin petang. Hingga pukul 20.00, api belum dapat dipadamkan. Belum diketahui luas area yang terbakar. (AYS/EGI) Denpasar, Kompas -
Pengirim : Mukhtar, A.Pi Forum Illegal Fishing Indonesia.

Batas Wilayah Laut Tidak Sesuai Lagi

Tanggal : 9 Agustus 2008
Sumber :
Mukhtar A.Pi

Menurut Salah seorang yang tergabung dalam Forum Illegal Fishing yang berdomisili di Samarinda, saat ini saya sedang melanjutkan study di Department Aquatic Science, Faculty of Scieance at Burapha University Thaliand, mengatakan, berbagai permasalahan Kelauatan di Indonesia batas wilayah laut kita saat ini sudah tidak sesuai dengan penetapan pada saat deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang juga menjadikan dasar untuk menjadi Negara kepulauan (Archipelagic State) yang selanjunya di akui secara international pada 10 Desember 1982 dan dengan adanya ZEE dimana Indonesia sangat di untungkan. akan tetapi semua itu hanya sebuah sejarah yang disimpan rapih dalam museum atau arsip belaka, belakangan ini telah terjadi pergeseran luas wilayah lautan Indonesia yang tidak kita sadari, jika dilakukan perhitungan kembali akan nampak negitu luas wilayah laut kita yang berkurang.
hal ini disebabkan adanya adanya klaim negara-negara tetangga berdasarkan sejarah dan reklamasi, seperti Singapura yang melakukan reklamasi pantai dengan memanfaatkan pasir dari kepulauan Riu untuk memperluas wilayah daratan mereka yang secara otomatis batas laut pun akan berubah, lepasnya Timor Leste dari Negara Kesatuan RI, kekalahan Indonesia di Denhag Belanda pada saat memperebutkan Sipadan dan Ligitan yang di menangkan oleh Malaysia. yang kesemua itu sangat berdampak pada daerah penagkapan ikan.....
yang mendapat kerugian dan penderitaan adalah nelayan RI yang selama ini melakukan penangkapan ikan di wilayah perbatasan sering di tangkap oleh Polisi atau Angkatan Laut Negara Tetangga dengan alasan melewati batas wilayah, yang sesungguhnya Nelayan kita mengkalim itu masih wilayah RI (mungkin dulu)... seperti penangkapan kapal nelayan NTT oleh polisi laut Ustralia yang langsung di tenggelamkan, pengkapan Nelayan Indonesia di oleh patroli angkatan Laut Malaysia dengan alasan melanggar perbatasan.. .. ini semua perlu disikapi oleh pemerintah.. . dengan melakukan pemetaan batas wilayah laut yang sesungguhnya dan disosialisasikan kepada Negara Tetangga, dan kepada para Nelayan sehingga kasus penagkapan dengan alasan yang tiak jelas dapat dihindari. Irman.
(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari)

Senin, 11 Agustus 2008

Nasib Batas wilayah laut kita........ ......... ......?

Tanggal : 10 Agustus 2008
Sumber :
Mukhtar A.Pi

Irman Irawan
Burapha University of Thailand

kalau melihat berbagai permasalahan yang ada terutama Ilegal fishing, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mempertegas batas wilayah laut terhadap 10 negara tetangga diantaranya Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Papua Nugini dan Timor Leste. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya klaim terhadap kawasan laut oleh negara tetangga. sehingga tidak merugikan negara dan nelayan kita.

karena Perluasan landas kontinen ini memang dimungkinkan dan diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Conventions on the Law of the Sea, UNCLOS) Pasal 76. Dalam Konvensi ini dikatakan bahwa landas kontinen sebuah negara pantai (coastal state) dapat mencapai batas terluar tepian kontinennya atau sampai pada jarak 200 mil laut (M) dari garis pangkal (garis pantai) jika batas terluar tepian kontinennya tidak mencapai jarak 200 M. Selanjutnya dikatakan bahwa negara pantai juga bisa menambah landas kontinennya melebihi 200 M dari garis pangkal (Landas Kontinen Ekstensi, LKE). Jika menginginkan LKE, negara pantai tersebut harus mendelineasi batas terluar landas kontinen yang baru dan mengajukannya kepada Komisi PBB (Commission on the limits of the Continental Shelf, CLCS).

seperti Australia misalnya telah mengajukannya LKE kepada CLCS pada tahun 2004. Pengajuan ini nampaknya sudah mendapat rekomendasi/ persetujuan dari CLCS seperti yang diungkapkan Resources Minister, Martin Ferguson, di berbagai media. Tidak tanggung-tanggung, perluasan ini menjapai 2,5 juta km² yang diklaim setara dengan lima kali wilayah Prancis. Perluasan ini tentunya memungkinkan Australia untuk menambah potensi eksploitasi migas dan sumberdaya laut lainnya di masa depan. sementara Indonesia yang merupakan negara kepulauan belum melakukan atau mengajukan LKE ini (catatan mohon di koreksi bila ada data tantang pengajuan LKE ini karena sejauh ini saya belum mendapatkan informasi).. .

sehingga mengapa kasus pengakapan nelayan NTT oleh polisi air Australia yang terjadi beberapa waktu lalu kemungkinan Australian telah menglaim bahwa nelayan Indonesia telah melanggar batas wilayah... jika kita melihat kondisi waktu itu Nelayan kita berbekal dengan GPS yang mungkin menurut koordinat mereka masih di wilayah Indonesia... hanya kausus ini sulit untuk di tuntut karena Polisi Australia terlebih dahulu menghancurkan GPS yang ada sebagai barang bukti pembelaan.

Reklamasi Pantai yang dilakukan Pemerintah Singapura saat ini dengan menambah luas daratan kearah laut dengan memanfaatkan pasir dari kepulauan Riau boleh jadi mereka nantinya akan mengajukan LKE juga sehingga batas wilayah laut mereka akan berteambah pula demikian dengan Malaysia yang telah berhasil memenangkan Pulau Sipadan dan Ligitan. kemengan ini pemerintah kerajaan malaysia mengajukan pulau sipadan sebagai salah satu kandidat Pemilihan tujuh kajaiban dunia persi bukan buatan manusia, yang saat ini poling tersebut masih berlangsung.

Demikian pula dengan Timor leste dimana mereka lebih banyak bekerja sama dengan Australia yang sdh barang tentu mereka akan mengikuti negeri kanguru tersebut.... .istilah negara-negara. .. tetangga siapa yang cepat dia yang dapat dan pemerintah kita apakah hanya menunggu atau jaga gawang aja...
.... Sumber :

Selasa, 29 Juli 2008

Pusat Riset Tsunami Minim Peralatan

Tanggal: 29 Juli 2008
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/29/00394956/pusat.riset.tsunami.minim.peralatan


Banda Aceh, Kompas - Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Muhammad Nazar didampingi Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Kuntoro Mangkusubroto, Senin (28/7), meresmikan Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana yang terletak di Gampong Pie, Ulee Lheue, Kota Banda Aceh. Lembaga tersebut nantinya akan menjadi pusat pemikiran dan penelitian mengenai bencana dan mitigasi tidak hanya untuk Indonesia, tetapi untuk dunia internasional.

Meski demikian, pusat riset yang baru didirikan itu minim peralatan penunjang kegiatan.

Kuntoro mengakui, pihaknya belum memasok banyak peralatan bagi pembangunan pusat riset itu karena semua program yang ada dan dijalankan belum terintegrasi dengan baik. Lembaga BRR, katanya, akan menyuplai alat yang dibutuhkan oleh pusat riset itu bila lembaga ini membutuhkannya.

”Teknologi terus berkembang,” kata Kuntoro singkat.

Kepala Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Dirhamsyah mengatakan bahwa saat ini pihaknya baru memiliki beberapa peralatan sederhana, seperti GPS (global positioning system), yang telah diterapkan di sembilan lokasi di seluruh wilayah Aceh.

Peralatan lainnya, kata Dirhamsyah, baru sebatas antena untuk penerima sinyal GPS dan beberapa komputer untuk mengolah data perubahan posisi peralatan GPS tersebut di lapangan.

Dia mengatakan, minimnya peralatan karena lembaganya bukan merupakan sebuah lembaga pengambil keputusan jika terjadi bencana alam, seperti tsunami. Lembaga tersebut berperan sebagai think tank yang akan memberikan berbagai pilihan kebijakan. (MHD)

Senin, 28 Juli 2008

Penebangan Liar Hutan Di Indonesia Sama Dengan "Harakiri"

Tanggal: 28 Juli 2008
Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2008/7/28/penebangan-liar-hutan-di-indonesia-sama-dengan-harakiri


Yogyakarta (ANTARA News) - Penebangan liar hutan di Indonesia sebagai bentuk eksploitasi terhadap kekayaan sumberdaya alam yang sudah berlangsung lama, tanpa disadari berarti sama dengan melakukan "harakiri".

"Tanpa kita sadari, Indonesia tengah melakukan harakiri terhadap sumberdaya hutannya. Dan selama 30 tahun proses eksploitasi hutan nasional, justru terjadi peningkatan sejak era otonomi," kata Kepala Subdit Pemolaan dan Pengembangan Direktorat Konservasi Kawasan Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan, Ir. Wiratno MSc,di Yogyakarta, Selasa.

Eksploitasi terhadap hutan tropis semakin meningkat bahkan disertai dengan tindakan penebangan liar terjadi karena ketimpangan sebaran sumberdaya alam, selain gaya hidup boros di negara maju yang ditiru masyarakat dunia bahkan menjadi trend gaya hidup modern.

"Kondisi tersebut menyebabkan ada aliran energi dari selatan ke utara dan hutan adalah salah satu sumberdaya strategis yang diperebutkan dalam globalisasi seperti ini," katanya.

Menurut dia, teknologi satelit bahkan membuat negara-negara maju dapat dengan leluasa mengetahu kondisi kekayaan alam di negara lain, terutama yang terletak di belahan bumi bagian selatan.

Pada saat stok kayu di hutan tropis mulai menipis, terjadi perambahan hutan ke kawasan hutan konservasi termasuk di dalamnya taman nasional, seperti Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah atau di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Langkat Sumatera Utara.

"Penebangan kayu secara ilegal di TNGL dapat berjalan lancar karena didukung oleh modal yang kuat, tersedianya peralatan kerja dan tenaga kerja yang mudah didapat serta dilindungi oknum aparat, pejabat, dan lemahnya pengamanan polisi kehutanan di lapangan," ujarnya.

Ia mengatakan, rumitnya permasalahan dalam berbagai kasus penebangan liar, perlu mendapat dukungan dari pemerintah yang "legitimate" dan kuat, karena bila tidak maka harakiri hutan akan terus terjadi.

"Politik nasional harus berpihak pada konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan dan dikelola dengan nuansa investasi," lanjutnya.

Jika rehabilitasi dan konservasi tersebut tidak dapat dilakukan maka hutan Indonesia, yaitu yang berada di dataran rendah Sumatera diperkirakan akan habis pada 2015 dan di Kalimantan pada 2010.

Pada dasarnya, kata Wiratno, dampak kerusakan hutan tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya tetapi mampu melewati batas negara seperti banjir, tanah longsor, kebakaran dan kabut asap.

Sedangkan dampak berantai antara lain adalah menurunnya kesuburan tanah, hama, penyakit, dan kekeringan,katanya.(*)

Minggu, 27 Juli 2008

Sosialisasi Mitigasi Bencana Masih Kurang

Tanggal: 27 Juli 2008
Sumber: mailing list

Oleh: Djuni Pristiyanto


26/07/2008 08:11:44 YOGYA (KR) - Indonesia sering diterjang tsunami, namun kesiapan menghadapi bencana itu belum efektif. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman atau informasi tentang tsunami dan bahayanya. Karena itu pemerintah gencar melakukan sosialisasi tentang tsunami dan mitigasi atau tindakan mengurangi dampak bencana.

”Untuk peralatan dan teknologi antisipasi bencana kita cukup memadai. Yang kurang hanya sosialisasi kepada masyarakat,” kata Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departeman Kelautan dan Perikanan, Prof Dr M Syamsul Maarif MEng kepada wartawan, dalam acara workshop internasional pencegahan bencana gempa dan tsunami yang digelar di Hyatt Regency Yogyakarta, Selasa (22/7).

Syamsul menjelaskan, salah satu yang ditekankan dalam sosialisasi adalah membangun ketahanan masyarakat pesisir (coastal community resilience), sehingga mereka mampu mandiri dan punya kemampuan untuk survive. ”Upaya kami antara lain mendorong masyarakat agar mampu mencari pendapatan alternatif yang tak tergantung hasil laut,” jelas Syamsul.

Sementara Ketua Panitia workshop Dr Ir Subandono Diposaptono MEng menyatakan, bencana dahsyat tsunami yang mengguncang Aceh dan sekitarnya pada Desember 2004 telah mengubah paradigma penanganan bencana.

”Bencana itu membangun kesadaran masyarakat global, termasuk Indonesia, akan perlunya sistem peringatan dini tsunami (tsunami early warning system = TEWS),” ungkap Subandono.

Salah satu komponen TEWS adalah pelampung suar (buoy) yang juga dikenal sebagai tsunameter. Kawasan Indonesia membutuhkan sedikitnya 22 buoy, yang seluruhnya akan selesai terpasang akhir tahun ini. ”Dari 22 buoy tersebut, Indonesia melalui BPPT membuat 11 buah, 9 buah bantuan Jerman dan 2 dari AS,” kata Subandono.

Sedang Shigeo Takahashi dari Port and Airport Research Institute (PARI) Jepang mengutarakan rencana mengimplementasikan sistem penanganan bencana di Indonesia. ”Jepang yang dikelilingi zona subduksi sangat berpengalaman dalam menangani tsunami. Ada dua hal sangat penting yang perlu diimplementasikan di Indonesia, yaitu tindakan penanganan terjadinya tsunami khususnya yang berkaitan dengan struktur dan infrastruktur, serta monitoring penerapan TEWS,” paparnya. (*-4)-c
http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=172071&actmenu=36

Jumat, 25 Juli 2008

BBM NAIK, KAPAL IKAN ASING MERAJALELA

Tanggal: 25 Juli 2008
Sumber: http://mail.google.com/mail/?shva=1#inbox/11b5731974ba22b2
Oleh : Muhamad Karim
(Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim)

Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hampir 30 % berdampak pada sektor perikanan karena kapal asing semakin merajalela. Terbukti, pada akhir Mei 2008 kapal pengawasan berhasil menangkap 15 unit kapal asing di perairan Kepulauan Natuna. Bahkan, nelayan dari pantai selatan Jawa di Kabupaten Cianjur melaporkan maraknya kapal – kapal modern berbendera asing menangkap ikan dengan pukat harimau di perairan itu. Kedua peristiwa ini berlangsung pasca kenaikan BBM. Bukankah semuanya akan semakin menghancurkan sumberdaya perikanan kita? Apa penyebabnya dan kebijakan yang semestinya dilakukan?

Penyebab

Merajalelanya pencurian ikan pasca kenaikan BBM karena, pertama, armada perikaan rakyat maupun nasional praktis menghentikan aktivitasnya. Sebab, selain pasokan BBM terbatas dan dibatasi pembeliannya. Juga, biaya operasional penangkapan meningkat 30 – 40 % (termasuk BBM, makan dan minuman).

Kedua, armada perikanan skala besar mengalihkan wilayah penangkapannya ke wilayah pesisir demi menghemat BBM. Padahal, perairan pesisir sudah mengalami tangkap lebih (over exploitation). Akibatnya, mengancam sumber kehidupan nelayan tradisional. Juga, berpotensi menimbulkan konflik karena penyerobotan wilayah perikanan tradisional. Kasus semacam ini sudah terjadi di perairan pantai selatan Jawa khususnya daerah sekitar Kabupaten Cianjur. Nelayan tradisonal di daerah itu menemukan kapal-kapal asing bertonase besar dan berbendera asing menangkap ikan di perairan itu..

Ketiga, tidak adanya insentif pemerintah yang dapat menyelamatkan perikanan nasional yang amat bergantung pada ketersediaan BBM yang memadai. Umpamanya, mengapa pemerintah tidak memberikan subsidi khusus bagi nelayan? Padahal nelayan di negara-negara Uni Eropa semacam Belgia, Perancis justru menuntut subsidi BBM.

Keempat, kapal pengawas milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan patroli TNI AL juga menggunakan BBM. Praktis kenaikan BBM juga mengurangi aktivitas pengawasannya..

Kelima, kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia menggunakan BBM yang disubsidi oleh negaranya seperti China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.

Wajar saja kapal asing merajalela mencuri ikan di perairan Indonesia. Kondisi ini berdampak luas karena sumberdaya kita akan terkuras habis dan kontribusi sektor perikanan akan menurun drastis.

Kebijakan

Maraknya pencurian ikan pasca kenaikan BBM tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang jelas agar stok sumberdaya perikanan nasional tidak terkuras habis dan aktivitas armada perikanan nasional tetap beroperasi. Kebijakannya; pertama, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi khusus BBM bagi nelayan sehingga armada perikanan nasional tetap beroperasi. Mengapa? Sebab, komponen biaya terbesar dalam operasional penangkapan adalah BBM. Amat mustahil dengan harga BBM sekarang, armada perikanan nasional beroperasi normal. Hal serupa juga dapat diberikan pada kapal pengawasan, agar tetap beroperasi. Semestinya, nilai subsidi sektor perikanan 5,74 triliun (35 %). Angka ini berdasarkan (i) asumsi kenaikan harga BBM dunia sebesar (US$ 120/barrel) atau US$ 0,75 (75 sen) per liter dan kenaikan rata-rata biaya operasional. Jika dikonversi dalam rupiah (kurs tengah Rp 9.323), maka harga BBM sebesar 12,3 juta kilo liter untuk kebutuhan perikanan mencapai Rp 16,40 triliun. Bila subsidinya 35 %, harga BBM untuk perikanan semestinya Rp 4.575 per liter. Mengapa pemerintah tidak berani memberikan insentif ini? Padahal China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia melakukannya yang kapalnya mencuri ikan di perairan kita.

Kedua, pemerintah mengembangkan teknologi penangkapan ikan yang mampu menghemat penggunaan BBM. Umpamanya, mengembangkan (i) rumpon sehingga tidak perlu beroperasi berhari-hari mencari fishing ground ikan untuk menangkap ikan; dan (ii) budidaya perikanan laut (marine culture) berbasis ekosistem terumbu karang yang dinamakan sea farming yang memanfaatkan terumbu karang cincin (atol). Keduanya akan mengefisienkan penggunaan BBM, karena tidak perlu mengarungi lautan terlalu lama dan jauh. Cukup menangkap ikan di rumpon dan memanen ikan di karang atol.

Ketiga, mengembangkan pengawasan rakyat semesta berbasis penduduk yang bermukim di pulau - pulau kecil perbatasan (PPKB) dan wilayah pesisir serta pulau kecil yang berdekatan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pemerintah dapat memberikan pelatihan bagi mereka mengenai pemantauan kapal asing. Pemerintah juga memberi dukungan infrastruktur pengawasan misalnya Geographic Positioning System (GPS), kompas dan radar. Tak hanya itu. Dalam pengawasan ini perlu memberdayakan kearifan lokal masyarakat yang mampu membaca tanda-tanda alam, sehingga mendukung proses pengawasan. Hal ini penting karena perubahan cuaca, arus dan gelombang di lautan kerapkali sulit diprediksi. Apalagi perairan tersebut mengalami dinamika oseanografinya yang dinamis seperti perairan Aru, Arafura, Sulawesi bagian utara, Laut Cina Selatan dan Laut Banda.

Keempat, memberikan insentif dalam bentuk kompensasi kesehatan dan pendidikan bagi anak - anak nelayan tradisional yang orangtuanya berhasil melindungi fishing ground ikan dan ekosistem khas (misal; terumbu karang dan mangrove) secara mandiri. Pola ini selain meningkatkan produktivitas perikanan di suatu daerah. Juga, meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan anak nelayan yang bermukim di desa-desa pesisir.

Kelima, nelayan tradisional yang sukses mengelola dan melindungi fishing ground dan ekosistem khas secara mandiri, asetnya dinilai dalam bentuk saham. Pola ini merupakan cara mengkonsolidasikan nelayan tradisional (fish folk consolidation) agar memiliki hak akses dan aset atas sumberdaya kelautan secara berdaulat. Kongkritnya, model ini dapat diaplikasikan pada sistem rumpon dan Sea farming. Mengapa harus demikian? Sebab, selama ini pola-pola daerah perlindungan maupun konservasi laut belum memberikan hak akses dan kepemilikan aset kepada nelayan tradisional. Justru yang terjadi dalam UU No. 27 Tahun 2007 perairan pesisir diprivatisasi yang ujung-ujungnya menguntungkan pemilik modal saja. Model ini juga praktis menghemat BBM, karena mereka cukup datang dan menangkap ikan di wilayah yang dia kelola secara mandiri. Bisa saja ia menggunakan perahu motor tempel maupun perahu layar. Model ini pada gilirannya akan menciptakan kedaulatan nelayan atas sumberdaya pesisir, tanpa direcoki pemilik modal.

Pelbagai kebijakan yang diuraikan dalam artikel ini akan tidak sekadar mampu melindungi serbuan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Melainkan akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan tradisional sehingga keluar dari jeratan kemiskinan.


Senin, 21 Juli 2008

Pengerukan Pasir Laut Terus Marak

Tanggal : 21 Juli 2008
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/21/22010495/festival.perairan.pulau.makassar

MAKASSAR, SENIN-Festival Perairan Pulau Makassar 2008 di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, 18 - 21 Juli 2008 menyedot ribuan pengunjung.
Panitia mencatat 10.112 orang ambil bagian, mulai dari ritual budaya berupa, ritual laut (Tuturangiana Andaala), lomba renang antarpulau Makassar-Kota Bau-Bau, hingga atraksi parasailing, jetsky, banana boat, dan flying fish.
"Acara dirangkaikan pencanangan Gerakan Makan Ikan. Terhidang 22 ton yang dinikmati gratis pengunjung," ujar WaliKota Kota Bau-Bau MZ Amirul Tamim.
Ia menilai festival memberi nilai ekonomis bagi warga sekitar. Pengusaha jasa transportasi lintas Bau-Bau-Pulau Makassar misalnya, setiap hari memperoleh pendapatan Rp 1 juta per orang. Di sana beroperasi 217 perahu. (NAR)

Waspadai tinggi gelombang hingga 4 meter di laut jawa

Tanggal : 13 Juli 2008
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/13/21341829/waspadai.tinggi.gelombang.hingga.4.meter.di.laut.jawa

YOGYAKARTA, MINGGU - Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi akan terjadi kenaikan gelombang hingga empat meter mulai hari ini hingga 19 Juli mendatang di perairan Selatan Pulau Jawa. Dengan ketinggian ini, nelayan disarankan untuk tidak melaut.Menurut Kepala Seksi Data BMG Yogyakarta, Tiar Prasetya, untuk kawasan pantai di Yogyakarta, gelombang akan berfluktuasi mulai dari 2 hingga 2,50 meter di hari Senin (14/7) dan mencapai tiga hingga empat meter hingga seminggu kedepan. Gelombang setinggi 2 2,5 meter akan berbahaya bagi perahu nelayan dan kapal tongkang sedangkan yang 3 4 meter berbahaya bagi perahu nelayan, kapal tongkang, dan juga ferry."Naiknya gelombang laut terjadi karena peningkatan kecepatan angin dari Australia yang bertiup dari Timur ke Barat," ungkap Tiar, Minggu (13/7). Akibatnya, gelombang di beberapa perairan di Indonesia seperti di Samudera Hindia, Laut Aceh, Pantai Selatan Jawa Barat hingga Selatan Bali akan ikut naik. Untuk itu, selama seminggu ini, kata Tiar nelayan diharapkan tidak melaut dulu.Sementara itu di kawasan Pantai Trisik, Kulon Progo, aktivitas nelayan berlangsung seperti biasa. Bahkan, beberapa anak dan pengunjung tetap bermain di pantai. Ombak pun tidak tinggi seperti diperkirakan BMG.Joko Samudro, Ketua Tempat Pelelangan Ikan di Pantai Trisik yang kadang melaut mengatakan tidak ada gelombang setinggi empat meter. Ombak normal saja, tinggi tidak sampai satu meter, ungkapnya.Di kawasan ini ada 20 perahu nelayan yang beroperasi. Menurut Joko, kemarin ada tiga perahu yang melaut pukul 05.00 dan 14.00. Sedangkan nelayan lain tidak melaut dan lebih banyak beristirahat.SIN Sumber : Kompas

Rabu, 02 Juli 2008

Strategi Takalar Menuju 2012

OLEH: Ramah Praeska

MASALAH kemiskinan masih membelit pemerintah Takalar. Tahun ini, pemerintah setempat menyusun sejumlah program strategi penanggulangan kemiskinan. Ada enam kecamatan di wilayah pesisir menjadi sasaran program tersebut. Keenam kecamatan ini diklaim memiliki penduduk miskin terbesar di Takalar.

Keenam kecamatan itu adalah Kecamatan Galesong Utara, Galesong Selatan, Galesong, Sanrobone, Mappakasunggu, dan Mangarabombang. Hampir seluruh program satuan kerja perangkat daerah (SKPD) fokus keenam kecamatan tersebut.

Berupa apa program strategi itu? Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Takalar, Nirwan Nasrullah, menjelaskan, strategi utama penanggulangan kemiskinan dengan cara mengurangi beban hidup masyarakat pada sektor pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, perbaikan perumahan dan permukiman, serta infrastruktur (jalan, jembatan, irigasi, dan energi).

?Sektor tersebut plus penataan ruang wilayah dan pengembangan ekonomi lokal akan kami pusatkan di enam kecamatan pesisir pantai. Untuk pendidikan semua anak laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar hingga 100 persen pada tahun 2012 mendatang,? jelas Nirwan, 23 Juni lalu.

Untuk sektor perumahan dan permukiman, menurunkan proporsi penduduk tanpa akses sumber air minum hingga 50 persen pada 2012, penurunan proporsi penduduk tanpa akses sanitasi dasar hingga 50 persen pada 2012, dan berkurangnya perumahan kumuh hingga 50 persen hingga 2012 mendatang.

Selain itu, menerapkan program pendidikan dan kesehatan gratis, gerakan pengembangan beras, jagung, ubi kayu, dan rumput laut. ?Intinya ada gerakan pembangunan masyarakat desa pantai (gerbang masa depan). Sebab Pemkab Takalar mempunyai sasaran untuk mengurangi jumlah penduduk miskin pada 2013 mendatang hingga mencapai 7,9 persen,? papar Nirwan.

Bupati Takalar, Ibrahim Rewa, mengatakan, perlu ada penanganan terpadu berkesinambungan yang dilakukan SKPD untuk penanggulangan kemiskinan. Fokus perhatian adalah sarana air bersih dan pendidikan yang masih rawan di pesisir pantai.

?Program penanggulangan kemiskinan sudah harus berjalan dalam waktu enam bulan tersisa ini. Saya minta semua SKPD jalankan programnya mulai bulan depan,? tegas Ibrahim Rewa. (ramah@fajar.co.id)

Rabu, 09 April 2008

Negosiasi Batas Maritim Indonesia-Singapura

Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2007/04/11/Editor/edit03.htm
Oleh I Made Andi Arsana

Belakangan ini Indonesia dan Singapura cukup intensif mengadakan perundingan batas maritim. Isu seputar ini pun hangat diberitakan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Putaran ketiga perundingan yang berlangsung di Singapura baru saja berakhir 29 Maret 2007, yang diakui kedua belah pihak sebagai pertemuan yang bersahabat dan produktif. Hal itu terlihat dari rilis pers yang dipublikasikan di website Kementrian Luar Negeri Singapura.

Sudah banyak diberitakan, Singapura selama ini sangat aktif melakukan reklamasi. Hal itu juga menjadi perhatian banyak pengamat di Indonesia yang secara umum khawatir akan berpengaruh terhadap negosiasi batas maritim. Kekhawatiran itu cukup beralasan karena hal ini memang dimungkinkan dalam Konvensi PBB tentang hukum laut(UNCLOS) dan didukung oleh manual tentang aspek teknisnya (TALOS).

Beberapa berita dan opini serupa juga ada di berbagai media termasuk di Strait Times, 17 Maret 2007, berjudul "Jakarta Fears S'pore Will Use Reclaimed Shoreline to Decide Border".

Setelah putaran ketiga berlangsung, kekhawatiran seperti ini mungkin sudah tidak perlu lagi. Telah jelas dinyatakan Menteri Luar Negeri Singapura, George Yeo, perihal posisi Singapura bahwa reklamasi tersebut dilakukan di dalam laut teritorial Singapura dan tidak akan berpengaruh pada delimitasi batas maritim. Pernyataan itu ditegaskan ketika berbicara di depan parlemen pada 12 Februari 2007 seperti dikutip di website Singapore Government Media Release. Seandainya Singapura konsisten dengan pernyataannya, hal ini tentunya informasi yang sangat berarti bagi kemajuan negosiasi, setidaknya dalam perspektif Indonesia. Kini saatnya melangkah ke tahap berikutnya untuk segera menyelesaikan perjanjian 1973 yang tertunda.

Kedua negara ini juga telah menyetujui beberapa aspek teknis termasuk sama-sama telah mengemukakan pandangan masing- masing terhadap prinsip delimitasi. Meski demikian, tidak ditegaskan dalam rilis pers tersebut apakah ini sudah termasuk opsi delimitasi di sisi barat dan timur garis batas 1973.

Dua Isu

Setelah mengamati perkembangan negosiasi Indonesia-Singapura, ada setidaknya dua hal yang menjadi perhatian. Pertama, perihal pernyataan tidak berpengaruhnya reklamasi terhadap delimitasi batas maritim. Perlu diingat, delimitasi batas maritim jelas melibatkan titik pangkal dan garis pangkal. Dalam hal ini, perubahan titik dan garis pangkal akan mempengaruhi delimitasi batas maritim.

Reklamasi sendiri, secara terori, bisa dipandang sebagai tindakan untuk mengubah garis pangkal. Jika memang Singapura telah menegaskan reklamasi itu tidak akan mempengaruhi delimitasi batas maritim, artinya delimitasi akan memperhitungkan garis pantai Singapura yang asli, sebelum reklamasi. Ini harus menjadi catatan khusus karena berpengaruh pada aspek teknis yang dipertimbangkan.

Aspek teknis ini meliputi identifikasi objek-objek geografis pada peta laut yang akan digunakan dalam delimitasi. Obyek-obyek geografis, seperti misalnya garis pantai, yang ditampilkan pada peta laut harusnya yang merupakan representasi garis pantai Singapura sebelum reklamasi.

Pakar teknis yang terlibat dalam perundingan ini tentunya sudah mengantisipasi hal ini.

Isu yang kedua terkait datum geodesi yang digunakan dalam menentukan posisi (koordinat) titik-titik batas. Perlu dicatat bahwa perjanjian 1973 tidak menyebutkan secara spesifik datum geodesi yang digunakan. Kenyataannya, koordinat lintang bujur tanpa datum geodesi sesungguhnya tidak bermakna apa-apa. Koordinat semacam itu tidak mewakili suatu posisi di permukaan bumi. Bisa dikatakan, garis batas maritim yang ditentukan dalam perjanjian 1973 itu secara teorites tidak bisa dinyatakan posisinya di lapangan.

Secara teoretis, tanpa datum geodesi, tidak bisa dinyatakan adanya pelanggaran batas. Misalnya, petugas patroli sesungguhnya tidak bisa menyatakan sejauh mana sebuah kapal telah melewati garis batas karena garis batas sendiri tidak bisa ditentukan posisinya di lapangan.

Dalam kasus itu, alat navigasi modern seperti global positioning system (GPS) pun tidak akan membantu banyak karena GPS memiliki datum geodesi sedangkan garis batas tidak.

Dalam bahasa sederhana datum geodesi adalah kerangka yang digunakan untuk menyatakan suatu koordinat di permukaan bumi. Oleh karenanya ini adalah tanggung jawab pakar teknis (surveyor geodesi) untuk menghindari adanya kesalahan serupa dalam negosiasi batas maritim yang sedang berjalan.

Kedua isu di atas pastilah hanya sebagian saja dari keseluruhan persoalan yang dipertimbangkan. Negosiasi selanjutnya akan dilakukan di Indonesia yang tentunya membahas berbagai isu penting lainnya. Mari kita lihat dan dukung delegasi kedua negara untuk mencapai solusi yang adil bagi keduanya.

Penulis adalah dosen Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM, saat ini menjadi UN-Nippon research fellow dalam bidang "Ocean Affairs and the Law of the Sea" di Centre for Maritime Policy, University ofWollongong, Australia. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi