Sabtu, 29 Desember 2007

Pembentukan Kabupaten Kutai Pesisir: Sebuah Perjuangan (2)

Tanggal : 29 Desember 2007
Sumber : http://www.tribunkaltim.com/Hotline/Pembentukan-Kabupaten-Kutai-Pesisir-Sebuah-Perjuangan-2.html
Oleh: Nasruddin *)


KEDUDUKAN ibukota bukan hanya sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga memainkan peran strategis sebagai pusat pertumbuhan untuk mendorong perkembangan dan kesejahteraan di kecamatan-kecamatan di sekitarnya.

Selama ini, penentuan lokasi ibukota suatu daerah otonom seringkali didasarkan pada sumber daya dan potensi yang dimiliki, sehingga kemudian lokasi tersebut dijadikan sebagai pusat dari segala kegiatan daerah yang bersangkutan, baik kegiatan pemerintahan, kegiatan ekonomi, dan lain-lain, atau merupakan kawasan campuran.

Dasar teoritisnya, adalah teori konsentrik yang memusatkan segala aktivitas di satu lokasi. Pola semacam ini mungkin saja bisa lebih efisien dan efektif, tapi di masa mendatang, pemusatan semua kegiatan dalam satu lokasi berpotensi menimbulkan kesenjangan, bahkan kerusakan ekologis yang berkepanjangan. Karena itulah, dalam pengkajian yang dilakukan Tim Kerja Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hendaknya dicari pendekatan alternatif untuk menentukan lokasi ibu kota. Pendekatan yang diharapkan bisa lebih proyektif, obyektif, efektif dan efisien sehingga tidak menimbulkan permasalahan lanjutan di masa mendatang.

Pendekatan yang dimaksud disini adalah pendekatan kompleks wilayah (regional complex) yang menekankan pada physical phenomenon dan human phenomenon. Pendekatan kompleks wilayah (regional complex) hendaknya didasarkan pada analisis intraregional (potensi wilayah) dan interregional (fungsional wilayah). Pendekatan tersebut diharapkan menghasilkan suatu zonasi (pewilayahan) dengan kompetensi tertentu.

Pusat-pusat kegiatan disebar dalam beberapa wilayah (zonasi), sehingga semua wilayah kecamatan memiliki keunggulan komparatif masing-masing wilayah. Harapannya masing-masing kecamatan memiliki daya saing yang melengkapi di antara wilayah kecamatan lainnya (komplementaritas). Konsep ini mulai dicanangkan di beberapa negara Asia Tenggara misalnya Thailand dengan peristilahan ”one tamboon one product” satu desa satu produk, dan jika diterapkan di wilayah calon kabupaten Kutai Pesisir dapat diistilahkan ”one district one product” satu kecamatan satu produk yang unggul.

Harapan dari konsep komplementaritas di atas yakni bahwa masing-masing kecamatan memiliki daya saing yang tinggi dari wilayah kecamatan lainnya sehingga semua elemen wilayah dapat tumbuh dan berkembang secara harmonis menuju masyarakat yang produktif, unggul dan berdaya guna. Konsep di atas tentunya tidak akan dapat terealisasi secara baik jika tidak ditunjang oleh daya pikir dan wawasan konsep yang luas dari pemegang kebijakan pemerintahan baru serta peran masyarakat diwilayah masing-masing kecamatan diwilayah calon Kabupaten Kutai Pesisir nantinya.

Jika kita amati bersama dari beberapa tahapan perjuangan untuk pemekaran tentunya peran masyarakat wilayah pesisir bersama tim sukses memiliki peran strategis dalam mewujudkan cita-cita perjuangan, karena rintangan-rintangan dalam hal persepsi atau opini masyarakat tentunya berbeda-beda dalam memaknai sebuah perjuangan pemekaran hingga penempatan posisi ibu kota.

Pemikiran serta sikap kedewasaan dari masyarakat di masing-masing wilayah kecamatan hendaknya diaktualisasikan dengan tetap menjaga harmonisasi masing-masing wilayah dan mendukung semua hasil dari kajian-kajian akademik empirik yang telah dan akan dihasilkan. Kajian mengenai pemekaran dan penempatan ibu kota kabupaten, karena bagaimanapun kualitas dari sebuah kajian akademik jika tidak ditunjang dari sikap dan pemikiran yang dewasa dari masyarakatnya tentunya apa yang telah dihasilkan tidak akan memiliki nilai apa-apa. (*/Habis)

*) Penulis: Pemerhati Pemekaran Wilayah Pesisir Kutai Kartanegara, Pasca sarjana UGM, Program Sains Geografi, Konsentrasi Pembangunan Wilayah

Jumat, 14 Desember 2007

Laut,Kemakmuran, dan Kedaulatan

Tanggal : 14 Desember 2007
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/laut-kemakmuran-dan-kedaulatan.html

Kendati Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 secara geoekonomi dan geopolitik sangat penting bagi kemakmuran dan kedaulatan Indonesia, namun kita baru memperingatinya sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000.

Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keppres No 126/2001 kemudian mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember, sebagai hari nasional. Tanpa Deklarasi Djoeanda, luas laut Indonesia hanya 2 juta km2dan potensi kekayaan alamnya hanya sekitar 30% dari potensi yang kita miliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau Nusantara. Sehingga, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional) yang memisahkan satu pulau dengan lainnya, memisahkan kita,dan ini berarti ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Kita patut bersyukur bahwa Ir H Djoeanda, perdana menteri pada waktu itu, dengan berani mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sesempit seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Sebaliknya, wilayah laut Indonesia meliputi seluruh perairan laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Deklarasi Djoeanda tidak serta-merta mendapat dukungan masyarakat dunia. Amerika Serikat dan Australia menolak mentahmentah. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi para penerusnya seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, Dr Hasyim Djalal,dan lainnya,deklarasi yang berisikan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) tersebut diterima masyarakat dunia, dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea/UNCLOS) 1982.


Peran Strategis Laut

Berkat rahmat Allah SWT melalui Deklarasi Djoeanda, wilayah laut Indonesia, termasuk ZEEI, menjadi 5,8 juta km2 atau tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia.

Karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan satu dari tiga pilar utama bangunan NKRI: (1) Kesatuan kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, (2) Kesatuan kenegaraan yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, dan (3) Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djoeanda 13 Desember 1957. Selain geopolitik, laut juga memiliki peran geokonomi yang sangat vital bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya (SDA) terbarukan seperti perikanan,terumbu karang,hutan mangrove, rumput laut, dan produkproduk bioteknologi;

SDA tak terbarukan seperti minyak dan gas bumi,timah,bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya; energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion (OTEC); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.Lebih dari itu, laut juga berperan sentral dalam pengendalian dinamika iklim global, siklus hidrologi, siklus biogeokimia,penetral limbah,dan sistem penunjang kehidupan (life-supoorting systems) lain yang membuat sebagian besar permukaan bumi layak dan nyaman dihuni manusia.

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi,(6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional. Secara keseluruhan, potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor kelautan diperkirakan mencapai USD500 miliar (Rp4.500 triliun) per tahun atau sekitar enam kali lipat APBN 2007,atau satu setengah kali PDB saat ini.

Adapun kesempatan kerja yang dapat diserap oleh kesebelas sektor ekonomi tersebut mencapai 30 juta orang. Lebih dari itu, bila kapasitas ekonomi serta pertahanan dan keamanan (hankam) Indonesia kuat, lalu lintas perdagangan global dan dinamika pertahanan kawasan Asia-Pasifik akan dapat kita kendalikan untuk kemaslahatan bersama. Jangan heran bila kapitalis global (negara dan korporasi multinasional) dengan berbagai tipu muslihat mereka (seperti jebakan utang, liberalisasi perdagangan, privatisasi, pencabutan subsidi,menempatkan para komprador antek mereka sebagai pejabat tinggi negara, dan menjauhkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat) bekerja mati-matian agar Indonesia tetap miskin dan lemah kekuatan hankamnya (Stiglitz, 2002; Perkins, 2006; Sardar, 2007).


Terobosan Pembangunan Kelautan

Posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis serta kekayaan laut yang berlimpah sejatinya merupakan keunggulan komparatif Indonesia yang harus kita transformasikan menjadi keunggulan kompetitif yang mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi tinggi (rata-rata di atas 7% per tahun), berkualitas, dan berkelanjutan. Untuk mewujudkannya, keempat kebijakan dan program terobosan (breakthrough) berikut mesti segera dilaksanakan.

Pertama, penegakan hukum dan kedaulatan di laut dengan cara menyelesaikan seluruh masalah perbatasan wilayah laut, pemberantasan semua kegiatan ilegal, penanggulangan kegiatan yang merusak lingkungan dan SDA, serta penguatan dan pengembangan kekuatan hankam laut. Kedua, menerapkan tata ruang kelautan nasional secara konsisten untuk menjamin kepastian dan efisiensi investasi serta kelestarian ekosistem laut. Ketiga, peningkatan produktivitas, efisiensi, dan daya saing kesebelas sektor ekonomi kelautan secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Keempat,kebijakan politik-ekonomi (fiskal-moneter, perdagangan, hukum, keamanan, otonomi daerah, infrastruktur, ilmu pengetahuan dan teknologi, perpajakan, dan ketenagakerjaan) harus dibuat kondusif bagi tumbuh kembangnya ekonomi kelautan. Dengan menerapkan keempat agenda pembangunan kelautan tersebut secara cerdas, profesional, dan ikhlas, potensi ekonomi kelautan yang bagai “raksasa tidur” niscaya dapat kita transformasikan menjadi realitas kemajuan dan kemakmuran bangsa. Bila kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut menjadi makmur, otomatis akan menjadi sabuk pengaman (security belt) yang dapat memperkokoh kedaulatan NKRI.

Lebih dari itu, pusat-pusat kemakmuran kelautan yang tersebar di seluruh Nusantara sekaligus dapat memecahkan problem kronis nasional lain, terutama kesenjangan pembangunan antarwilayah, urbanisasi, dan brain drain. Semoga Peringatan Hari Nusantara 13 Desember tahun ini menjadi momentum untuk kita bangkit menjadi bangsa besar yang maju, makmur, dan berdaulat melalui pendayagunaan sumber daya kelautan. Jales Veva Jaya Mahe!(*) Rokhmin Dahuri Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB

Kamis, 13 Desember 2007

Daerah Terpencil Menanti Perhatian

Tanggal : 13 Desember 2007
Sumber :
http://2tech.biz/opini/politik-hukum/daerah-terpencil-menanti-perhatian-525/

Oleh Agung Setyahadi dan Aryo Wisanggeni Genthong


Daerah terpencil identik dengan daerah tertinggal. Dari sudut standar kehidupan masyarakat secara umum, penduduk daerah terpencil mengalami keterbatasan dalam perumahan, makanan, pakaian, akses pendidikan, akses pelayanan kesehatan, sarana transportasi, energi, telekomunikasi, serta kesempatan kerja.

Di Indonesia, mayoritas daerah terpencil berada di Indonesia bagian timur seperti Maluku dan Papua. Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal mencatat ada 17.649 desa tertinggal tersebar di seluruh Indonesia. Desa tertinggal itu adalah desa yang belum memiliki jaringan listrik, jalan, dan kesehatan. Data rekapitulasi Desa Tertinggal tahun 2006 menunjukkan, persentase terbesar desa tertinggal berada di Irian Jaya Barat (81,29 persen) dan Papua (82,38 persen). Adapun desa tertinggal di Maluku Utara mencapai 65,81 persen dan di Maluku ada 62,77 persen.

Kisah Delfina (56) mungkin bisa menjadi gambaran. Penduduk desa pesisir di Morotai Selatan Barat, Pulau Morotai, Halmahera Utara, Maluku Utara, itu sudah berbulan-bulan mengalami menstruasi tanpa henti. Tubuhnya makin lemah dan kurus. Ia tidak tahu penyakitnya karena tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan di desanya. Ia menduga kena malaria. Karena itu, ia meminum ramuan tradisional dari kulit kayu dan dedaunan. Namun, Delfina tak kunjung sembuh.

Saat tim dokter Puskesmas Keliling Perairan Halmahera Utara singgah di desanya, barulah diketahui Delfina menderita tumor rahim. Dokter segera merawat dan merujuk Delfina ke Rumah Sakit Umum Daerah Tobelo.

Kepala Puskesmas Keliling Perairan Donny Makangiras yang memimpin tim itu juga mendapati Ruslan (4), penduduk Desa Dadasuli, Loloda Kepulauan, Halmahera Utara, yang kakinya bengkak bernanah. Kaki kiri bocah itu segera dibedah, nanah sebanyak 0,5 liter dikeluarkan. Ruslan nyaris cacat kaki jika infeksi itu tidak segera ditangani.

Kasus-kasus kesehatan itu tersembunyi dalam kepasrahan masyarakat pulau-pulau terpencil. Kondisi mereka membaik saat kapal Puskesmas Keliling Perairan Mini Lega menyinggahi pulau-pulau terpencil itu. Puskesmas keliling ini mendukung kegiatan puskesmas daratan dengan mengunjungi wilayah terisolasi.

Sayangnya, keterbatasan dana operasional membuat puskesmas keliling itu hanya mengunjungi kampung atau desa di tepi pantai di wilayah Halmahera Utara sebulan sekali.

Kendala geografis menyulitkan masyarakat mengakses layanan kesehatan yang berada di ibu kota kecamatan dan kabupaten. Selain jaraknya sangat jauh, tidak mudah mencari alat transportasi yang memadai untuk menantang keganasan gelombang laut yang bisa setinggi 4 meter. Sebagai gambaran, sewa perahu dari Pulau Selaru ke Saumlaki, MTB, dengan waktu tempuh dua jam mencapai Rp 2,5 juta, sedangkan dari Pulau Taliabu ke Pulau Sanana, Kepulauan Sula, Maluku Utara, perlu Rp 15 juta.

Sebaliknya, tenaga medis tidak bisa berkunjung ke pulau-pulau terpencil itu karena tidak memiliki kapal yang memadai. Sejak tahun 2006 Departemen Kesehatan meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk daerah terpencil dan tertinggal serta daerah perbatasan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Di wilayah-wilayah "sulit" diupayakan puskesmas terapung dan puskesmas keliling untuk "menjemput bola".

Nasib serupa dialami penduduk Papua. Kondisi geografi dan minimnya sarana transportasi mengganggu pelayanan kesehatan. "Dari alokasi Dana Otonomi Khusus Papua, tahun 2006 dilakukan proyek pengadaan obat sebanyak lima ton. Tapi hingga pertengahan Januari 2007, 1,5 ton obat masih berada di Jayapura," tutur Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pegunungan Bintang Darius Salamuk.

Pelayanan kesehatan di Pegunungan Bintang dilaksanakan oleh tujuh dokter umum, 31 bidan, dan 97 perawat. Para tenaga medis itu melayani 88.529 jiwa penduduk Pegunungan Bintang (Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2005). Kabupaten Pegunungan Bintang belum memiliki rumah sakit, pasien yang membutuhkan penanganan rumah sakit harus dirujuk ke Jayapura.

Di Puncak Jaya kondisi pelayanan kesehatan sedikit lebih baik. Kabupaten seluas 10.852 kilometer persegi ini memiliki sebuah rumah sakit umum daerah.

Pendidikan

Masyarakat kepulauan dan daerah terpencil juga dihadapkan pada masalah kualitas sumber daya manusia yang rendah dan kemiskinan. Selain tenaga medis, guru juga enggan ditempatkan di daerah terpencil. Di Maluku umumnya di satu sekolah hanya ada satu atau dua guru.

Persoalan besar juga terjadi di Pegunungan Bintang. Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pegunungan Bintang Emanuel Yopeng mengeluhkan banyak guru yang meninggalkan tempat tugas. "Bagaimana kami mau bersikap tegas. Perumahan dinas bagi mereka belum ada. Kalau mereka dipecat, belum tentu ada orang lain yang mau menggantikan," kata Yopeng.

Selain itu, mahalnya biaya pengangkutan barang dengan pesawat membuat para pegawai negeri sipil (PNS) di Pegunungan Bintang dan Puncak Jaya terlambat menerima tunjangan beras. "Kami sudah dua tahun tidak menerima jatah beras. Sudah dua kali kami berunjuk rasa, belum ada hasil," tutur seorang guru, Ignasius Sasaka.

Akibat keterbatasan itu, tidak mengherankan jika kualitas sumber daya manusia di daerah-daerah itu relatif rendah. Pada gilirannya, dari segi ekonomi, masyarakat lokal selalu kalah dengan para pendatang.

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua JA Djarot Soetanto, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2006 menunjukkan, dari total penduduk Papua usia lebih dari 10 tahun sebanyak 1,497 juta jiwa, 437.477 orang di antaranya belum pernah bersekolah. Dari jumlah itu sebanyak 343.737 jiwa tinggal di kawasan pegunungan tengah. Kawasan ini paling terisolasi di Papua, namun paling padat penduduk. Kawasan itu meliputi Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, Paniai, dan Puncak Jaya.

Biaya tinggi

Masyarakat di daerah terpencil juga harus menanggung biaya hidup yang sangat mahal, sementara penghasilan mereka sangat kecil.

Nelayan di Pulau Wetar, Maluku, harus membeli solar dengan harga Rp 10.000 per liter, minyak tanah Rp 5.000 per botol isi 60 mililiter, beras kualitas medium Rp 10.000 per kilogram. "Sebaliknya, hasil bumi dan laut dihargai murah oleh para pedagang karena dipotong biaya transportasi," ujar Simon Moshe Maahuly, mantan camat Pulau Wetar.

Di Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, Papua, harga beras Rp 25.000 per kilogram, solar atau bensin Rp 25.000 per liter, minyak tanah Rp 10.000 per liter. Di Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, harga barang rata-rata lebih mahal Rp 1.000 dibandingkan dengan di Mulia. Misalnya, beras Rp 30.000 per kilogram.

Oksibil dan Mulia tidak memiliki jalan darat yang menghubungkan dengan ibu kota kabupaten/kota lain. Keduanya hanya bisa dijangkau dengan pesawat ukuran kecil dan sedang. Separuh barang di Mulia diangkut dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dengan biaya kargo pesawat Rp 11.000 per kilogram. Separuh lain didatangkan langsung dari Jayapura, ibu kota Papua, dengan biaya kargo Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per kilogram. Barang di Oksibil juga didatangkan dari Jayapura.

Kehidupan masyarakat di daerah terpencil sudah sepantasnya memperoleh perhatian yang lebih baik dari pemerintah. Tanpa upaya khusus dan serius untuk meningkatkan akses pada transportasi, kesehatan, dan pendidikan, saudara-saudara kita di Maluku dan Papua akan terus merasa dianaktirikan.

Sumber: Kompas

Minggu, 09 Desember 2007

Sisi Lain Perubahan Iklim

Tanggal : 09 Desember 2007
Sumber : http://www.mimbar-opini.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2571
Oleh Håkan Björkman


Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan karbondioksida --yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global. Semua itu memang terjadi, tetapi itu baru merupakan separuh cerita. Bangsa Indonesia juga akan menjadi korban utama perubahan iklim. Bila tidak segera belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini, jutaan rakyat akan menanggung akibat buruknya.

Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.

Beberapa ancaman utama perubahan iklim terhadap rakyat miskin, pertama, sumber nafkah. Pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa masyarakat paling miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkahnya di bidang pertanian atau perikanan. Sumber-sumber pendapatan yang didapat dengan cara itu jelas sangat dipengaruhi oleh iklim. Apakah itu di perkotaan ataukah di perdesaan mereka pun umumnya tinggal di daerah pinggiran yang rentan terhadap kemarau panjang, misalnya, terhadap banjir dan longsor.

Terlalu banyak atau sedikit air merupakan ancaman utama perubahan iklim. Dan ketika bencana melanda mereka nyaris tidak memiliki apa pun untuk menghadapinya.

Kedua, kesehatan. Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota. Akibat lanjutannya, masyarakat rawan terkena penyakit menular lewat air seperti diare dan kolera.

Suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru, menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah.

Ketiga, ketahanan pangan. Wilayah-wilayah termiskin juga cenderung mengalami rawan pangan. Beberapa wilayah sudah amat rentan terhadap berubah-ubahnya iklim. Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di Nusa Tenggara Timur, misalnya, sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah di seluruh provinsi ini.

Keempat, air. Pola curah hujan yang berubah-ubah juga mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Di wilayah pesisir, kesulitan air tanah disertai kenaikan muka air laut juga akan memungkinkan air laut menyusup ke sumber-sumber air bersih.

Adaptasi

Apa yang dapat kita lakukan terhadap semua ini? Sejauh ini, perhatian terhadap perubahan iklim terutama difokuskan pada mitigasi dan utamanya pada upaya-upaya untuk menurunkan karbon dioksida. Semua tindakan ini penting, tetapi bagi masyarakat termiskin, yang hanya punya andil kecil terhadap emisi gas tersebut, prioritas yang paling mendesak adalah menemukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi lingkungan hidup yang baru ini, yakni beradaptasi.

Meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah adaptasi, banyak yang telah berpengalaman dalam adaptasi ini. Orang-orang yang tinggal di daerah yang rawan banjir, misalnya, sejak dulu sudah membangun rumah panggung. Para petani di wilayah yang sering mengalami kemarau panjang sudah belajar untuk melakukan diversifikasi pada sumber pendapatan mereka. Misalnya dengan menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan dan dengan mengoptimalkan penggunaan air yang sulit didapat atau bahkan berimigrasi sementara untuk mencari kerja di tempat lain.

Yang masih perlu dilakukan sekarang ini adalah mengevaluasi dan membangun di atas kearifan tradisional yang sudah ada itu untuk membantu rakyat melindungi dan mengurangi kerentanan sumber-sumber nafkah mereka.

Prioritas

Terkait dengan adaptasi, ada beberapa prioritas yang dapat disoroti. Pertama, adaptasi dalam pertanian. Para petani, antara lain, sudah perlu mempertimbangkan berbagai varietas tanaman, disertai dengan pengelolaan dan cara penyimpanan air yang lebih baik. Langkah itu sebaiknya ditunjang oleh perkiraan cuaca yang lebih akurat dan dan relevan yang dapat membantu mereka menentukan awal musim tanam dan panen.

Kedua, adaptasi di wilayah pesisir. Penduduk yang menghadapi masalah kenaikan muka air laut dapat melakukan tiga strategi umum, yakni membuat perlindungan dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon mangrove; mundur, dengan bermukim menjauh dari pantai, atau melakukan penyesuaian yaitu dengan beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain.

Ketiga, adaptasi untuk penyediaan air. Kita akan perlu menerapkan pengelolaan sumber air yang lebih terpadu dengan melestarikan ekosistem disertai perbaikan waduk-waduk dan infrastruktur lainnya.

Keempat, adaptasi untuk bidang kesehatan. Dengan lingkungan hidup yang lebih sulit nanti, kita perlu memperkuat layanan dasar kesehatan masyarakat. Dan, karena iklim yang lebih panas akan memungkinkan penyebaran nyamuk-nyamuk ke wilayah-wilayah baru, diperlukan suatu sistem pengawasan kesehatan yang lebih andal untuk memonitor penyebaran penyakit seperti malaria dan deman berdarah dengue.

Kelima, adaptasi untuk wilayah perkotaan. Di seluruh wilayah negeri ini, khususnya di wilayah pesisir dan kota yang rawan dilanda banjir, kita membutuhkan berbagai strategi yang lebih andal untuk mengurangi risiko perubahan iklim.

Keenam, adaptasi dalam pengelolaan bencana. Di negeri yang memang rawan bencana ini, perubahan iklim makin mendesakkan pentingnya pengelolaan yang cermat terhadap bencana. Alih-alih hanya merespons setelah bencana terjadi, yang mesti dicapai adalah mengurangi risiko dan membuat persiapan untuk menghadapi bencana sebelum bencana itu terjadi.

Adaptasi dengan cakupan dan skala yang seluas ini sudah jelas di luar jangkauan apa yang selama ini kita anggap sebagai masalah-masalah lingkungan. Seluruh departemen dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim di dalam semua program mereka berkenaan dengan persoalan-persoalan besar seperti ketahanan pangan, pemeliharaan jalan raya, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota.

Namun, ini bukanlah tugas pemerintah pusat belaka, melainkan harus menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga-lembaga non-pemerintah, serta pihak swasta.

Indonesia juga harus mampu mengandalkan bantuan internasional. Bukan saja untuk mitigasi, melainkan juga pada berbagai tindakan yang akan dibutuhkan untuk membantu masyarakat termiskin menghadapi akibat dari berbagai kondisi cuaca yang makin tidak menentu dan makin ekstrem. Pemanasan global merupakan tanggung jawab global.

Namun, bagaimanapun, satu-satunya cara bagi kita semua untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah dengan beralih ke bentuk-bentuk pembangunan yang lebih berkelanjutan, belajar untuk hidup dengan cara-cara yang menghargai dan serasi dengan lingkungan hidup kita.

Mulai dari desa yang paling terpencil hingga ke perkotaan yang paling modern kita semua merupakan satu kesatuan sistem alam yang kompleks dan rentan terhadap berbagai kekuatan alam. Begitu iklim berubah, kita mesti berubah pula dengan cepat.***

Penulis, Country Director, UNDP Indonesia.

Rabu, 05 Desember 2007

Kejayaan Maritim Indonesia

Tanggal : 5 Desember 2007
Sumber : http://epajak.org/search/kerajaan+maritim
Oleh Laksamana TNI Sumardjono

Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra….

Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang kini hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?"

Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan, direfleksikan dalam pembangunan berwawasan bahari, termasuk menguatkan armada laut (niaga dan militer).

Zaman keemasan

Menengok masa keemasan nusantara, sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh menggunakan kapal bercadik. Mereka ke utara mengarungi lautan, ke barat memotong Lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Kerajaan maritim terbesar di nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (683-1030 M). Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, armada lautnya amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang kini disebut "kekuatan pengganda".

Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya Kerajaan Majapahit (1293-1478 M) yang semula agraris. Majapahit lalu berkembang menjadi kerajaan maritim setelah Gajah Mada menjadi mahapatih. Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bercita-cita menyatukan nusantara dan diangkatlah Laksamana Nala sebagai Jaladimantri yang bertugas memimpin kekuatan laut Kerajaan Majapahit. Dengan armada laut yang kuat, kekuasaan Majapahit amat luas hingga keluar nusantara.

Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran Kerajaan Demak jarang diberitakan. Kekuatan maritim Kerajaan Demak dibuktikan dengan mengirim armada laut sebanyak 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka. Pemimpin armada itu adalah Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor. Meski berteknologi sederhana, Demak mampu mengerahkan pasukan dan perbekalan dari utara Pulau Jawa menuju semenanjung Malaka.

Sejarah itu menggambarkan kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni dari beberapa kerajaan di nusantara yang mampu menyatukan wilayah luas dan disegani bangsa lain. Dengan armada niaga yang besar, kerajaan bersosialisasi dan membawa hasil alam sebagai komoditas perdagangan ke negeri lain. Dan untuk menjaga keamanan, kerajaan memiliki armada laut yang kuat.

Sayang, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena serangan lawan, tetapi karena "perang saudara". Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan asing untuk menguasai wilayah ini. Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa di nusantara, kekuatan asing mampu menduduki negeri ini dengan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk kembali menjadi petani. Lama-kelaman armada laut kerajaan menjadi kecil. Kesempatan ini dimanfaatkan kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk ganti menguasai laut nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu paradigma maritim kita diubah penjajah, menjadi bangsa agraris.

Bangsa pelaut

Sejarah menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan, para pemimpin kita sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa lampau sebagai bangsa bahari.

Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, "…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya…, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal… bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri ".

Hal ini dibuktikan Soekarno. Tahun 1960-an kekuatan Angkatan Laut Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang terdiri dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer), 7 fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Dalam usia kemerdekaan yang masih muda, para pemimpin telah memfokuskan kekuatan militer berdasarkan konstelasi geografis. Dengan kekuatan militer, bangsa ini mampu mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat.

Mengapa Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas dari upaya diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan solidnya TNI, terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan persenjataan canggih saat itu, mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar, siap melaksanakan pertempuran laut. Maka, saat itu, Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi.

Seiring perjalanan waktu dan akibat kondisi ekonomi yang berbeda serta perhatian pada maritim berkurang membuat kekuatan laut kita mencapai antiklimaks. Peralatan alutsista rontok, menjadi besi tua. Armada niaga kita pun bernasib sama. Meski tak laik, dipaksa melaut sehingga kadang terjadi kecelakaan.

Menuju AL yang kuat

Kini keadaan relatif membaik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 Ayat (2) menyatakan, pertahanan negara disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari, laut berikut segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Bagi TNI AL, ini merupakan tantangan, menjaga keamanan perairan dari gangguan ataupun ancaman kedaulatan. Untuk itu, dibutuhkan Angkatan Laut yang kuat dan upaya menuju ke arah itu telah dimulai.

Saat ini telah dibeli empat korvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah kapal sudah tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365, sisanya masih diselesaikan. Dari Korea juga telah datang dua kapal LPD, disusul segera dua lainnya yang masih dibangun. Meski anggaran menjadi kendala, dengan perencanaan yang baik mudah-mudahan kapal-kapal lain akan menyusul memperkuat kekuatan penjaga laut kita. Kita berharap perhatian dalam aspek maritim tidak hanya tertumpu pada pembangunan kekuatan angkatan laut, tetapi mampu mengembalikan Indonesia sebagai negara bahari.

Bangsa yang memiliki karakter bahari tidak harus diartikan bangsa yang sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan, tetapi bangsa yang menyadari kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan negara.

Laksamana Sumardjono Kepala Staf TNI Angkatan Laut

Sumber : KCM

Selasa, 04 Desember 2007

Potensi Tak Berkembang, Masyarakat Tetap Tertinggal

Tanggal : 4 Desember 2007
Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20071204140236


KabarIndonesia
- Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Ketapang Drs. Hasurungan Siregar ditemui di ruang kerjanya saat mempersiapkan penyelenggaraan Hari Bahari Nusantara tahun 2007 mengungkapkan bahwa, Kabupaten Ketapang merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak pulau, pesisir dan lautan. Pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil adalah adanya dinamisasi dan tuntutan dunia internasional untuk menjaga keanekaragam
an hayati Indonesia.


"Melalui Hari Bahari Nusantara tahun 2007 ini kita perlu mensosialisasikan dan memperkenalkan kepada masyarakat tentang, pentingnya pelestarian sumberdaya alam laut, pesisir dan pulau-pulau kecil," katanya menurut Siregar, pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil selama ini memang didasarkan adanya isu-isu strategis. Isu-isu tersebut diantaranya adalah masalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik penggunaan ruang, penurunan kualitas lingkungan pesisir, potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang belum dimanfaatkan secara optimal, penanganan pulau-pulau di daerah perbatasan serta pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan yang belum optimal. "Sebenarnya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sejatinya merupakan kawasan yang secara hayati sangat produktif, "Sangat mengenaskan ibarat tikus yang mati di lumbung padi. Para masyarakat pesisir tersebut menderita kemiskinan di daerah yang sebenarnya mempunyai potensi besar untuk peningkatan taraf hidup mereka. Hal ini disebabkan karena rendahnya kualitas SDM, terbatasnya akses terhadap sumber modal, teknologi, informasi dan pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil" lanjutnya.

Para nelayan kecil menurutnya sangat rentan terhadap eksternalitas sektor ekonomi seperti penurunan produktivitas ikan akibat eksploitasi berlebihan atau kerusakan ekosistem. Perilaku konsusmtif dari sebagian nelayan juga mem-persulit upaya pengentasan kemiskinan. Selama ini masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri dari nelayan, pembudidaya, pemasaran ikan dan pengolah hasil laut, serta masyarakat pesisir lainnya menggantungkan kehidupannya dari sumber daya kelautan dan perikanan.

Sabtu, 01 Desember 2007

Menyelamatkan Terumbu Karang Indonesia

Tanggal : 1 Desember 2007
Sumber : http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=25020

Oleh Fransiskus Saverius Herdiman


Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, khususnya di laut. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2002, luas area sebaran terumbu karang di Indonesia diperkirakan sampai 51 persen dari total area perairan Indonesia dan 18 persen dari total jenis hewan karang yang dikenal dapat kita jumpai di perairan Indonesia. Dari hasil penelitian terakhir pun Indonesia dengan kekayaan hayati lautnya masuk dalam segitiga emas terumbu karang dunia, atau yang lebih dikenal dengan nama "Coral Triangle".

Ekosistem terumbu karang yang kompleks merupakan tempat hidup pelbagai makhluk hidup seperti ikan, invertebrata, dan juga tumbuhan tingkat rendah seperti algae. Kekayaan seperti ini juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem terumbu.

Namun, terumbu karang akhir-akhir ini dalam kondisi yang sangat rusak. Kerusakan ini juga dipicu oleh tingginya permintaan terhadap terumbu karang. Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa perdagangan ikan dan karang sebagai hewan akuarium laut bernilai jutaan dolar. Jika kita melihat data yang disajikan CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), sejak tahun 1996 sampai tahun 2005 Indonesia menjadi penyedia terbesar karang hidup di dunia.

Hasil survei kondisi terumbu karang yang dilakukan sejak tahun 2002 sampai 2006 mempelihatkan penurunan kondisi terumbu karang dan penurunan sebaran terumbu dari tahun ke tahun. Saat ini wilayah-wilayah yang diperbolehkan memanfaatkan karang untuk diperdagangkan kondisinya semakin parah. Walaupun demikian, jumlah kuota karang yang boleh diperdagangkan tidak berubah secara signifikan setiap tahunnya.

Perubahan musim yang tidak menentu selang waktu lima tahun terakhir menyebabkan naiknya suhu air laut dan perubahan arus. Pengamatan terakhir yang dilakukan menyebutkan, anomali air laut ini menyebabkan kematian massal karang dan perubahan waktu ruaya ikan.

Terumbu karang yang juga diketahui sebagai salah satu penyuplai oksigen dunia menjadikan usaha konservasi dan pelestarian terumbu karang harus segera dilaksanakan. Hewan karang yang bersimbiosis dengan algae (baca: zooxantella) dapat menghasilkan oksigen jauh lebih cepat daripada sebidang hutan. Hutan yang semakin berkurang jumlahnya dan sebagai salah satu negara dengan luasan tutupan terumbu karang terbesar di dunia, mengharuskan pelestarian terumbu karang Indonesia tidak dapat dikompromi ulang dan harus dilaksanakan dengan segera dan terencana.


Manajemen Lestari

Banyak usaha konservasi yang telah dan tengah dilakukan untuk menyelamatkan terumbu karang Indonesia oleh lembaga nasional dan internasional. Sayangnya, tidak semua usaha konservasi ini dapat dijalankan dengan sukses yang berkelanjutan. Kadang kala aktivitas konservasi berkonflik dengan kebutuhan ekonomi masyarakat. Penyampaian pemahaman tentang konservasi yang tidak tepat memberikan arti konservasi yang salah di masyarakat. Akibatnya, banyak nelayan yang lebih mengutamakan kebutuhan mereka terlebih dahulu daripada pemanfaatan yang lestari.

Manajemen pemanfaatan sumberdaya yang lestari sangat dibutuhkan oleh masyarakat pesisir saat ini. Tentu saja harus diingat bahwa Indonesia yang majemuk ini memiliki ciri khas masing-masing serta keunikannya. Pendekatan manajemen yang lestari ini dapat diambil dari kebijaksanaan tradisional suatu daerah (traditional wisdoms). Masyarakat juga merasa ikut serta dalam usaha konservasi wilayahnya dengan keikutsertaannya dalam penyusunan strategi pemanfaatan wilayah dan diharapkan dapat meminimalisasi kemungkinan terjadi konflik. Tentu saja, peraturan yang jelas dan penegakan hukum secara nasional juga diperlukan untuk mendukung manajemen tersebut. Jika tidak ada peraturan nasional yang jelas dan rinci serta penegakan hukum yang adil, masyarakat akan selalu merasa dirugikan dan motivasi untuk berpartisipasi pun akan hilang.

Perubahan iklim secara global yang terjadi pun tentu saja tak luput dari perhatian para ahli yang melakukan pelestarian terumbu karang. Anomali yang terjadi di laut seperti peningkatan suhu, perubahan salinitas dan naiknya level air laut semakin menyulitkan proses pemulihan karang di beberapa tempat di Indonesia, walaupun efek pemanasan global pada kelangsungan hidup terumbu karang telah terlihat dalam satu dekade terakhir ini. Kekurangpedulian dan ketidakseriusan dalam penanganan pelestarian terumbu karang yang ditambah pula dengan aktivitas manusia yang semena-mena dalam melakukan eksploitasi terumbu karang dan sumber dayanya ini, seperti membuang sampah dan limbah ke laut, pengerukan pasir secara liar dan tidak teratur, bahkan sampai aktivitas pariwisata yang kurang terncana, menyebabkan semakin terpuruknya kondisi laut dan terumbu karang Indonesia.

Pembahasan tentang penyelamatan, pelestarian serta konservasi terumbu karang pada Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (UNCCC 2007) yang akan dilaksanakan di Bali nanti diharapkan dapat memberikan pemahaman, penyadaran serta aksi penyelamatan dan pelestarian terumbu karang, khususnya di Indonesia.

Penulis adalah Pegiat Konservasi Terumbu Karang, Penerima beasiswa United Nations Environment Programme (UNEP)-World Conservation Monitoring Centre.