Selasa, 13 Desember 2005

Potensi Ekonomi Kelautan

Tanggal : 13 Desember 2005
Sumber : http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=4056&Itemid=59
Oleh: Rokhmin Dahuri, Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia

Selain beban utang dan penurunan daya saing ekonomi, masalah ekonomi paling krusial Indonesia adalah kemiskinan (60 juta jiwa) dan pengangguran (40 juta orang). Karena itu, setiap sektor pembangunan harus berkinerja maksimal dan bersinergi untuk mengatasinya.

Di era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antarbangsa yang makin sengit, segenap sektor ekonomi harus mampu menghasilkan barang dan jasa (goods and services) berdaya saing tinggi. Mengingat potensinya sangat besar, sementara permintaannya terus meningkat --seiring dengan bertambahnya penduduk dunia-- ekonomi kelautan diyakini dapat menjadi keunggulan kompetitif dan memecahkan persoalan bangsa.

Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi pembangunan (ekonomi) kelautan yang besar dan beragam. Sedikitnya terdapat 10 sektor yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7) transportasi laut; (8) industri dan jasa maritim; (9) pulau-pulau kecil; dan (10) sumberdaya non-konvensional.

Potensi lestari sumberdaya ikan (SDI) laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton per tahun atau 7,5 persen dari total potensi lestari ikan laut dunia. Saat ini, tingkat pemanfaatannya baru 4,4 juta ton. Masih ada peluang mengembangkan usaha perikanan tangkap di daerah-daerah seperti pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, Bali, NTB, dan NTT sampai ke ZEEI di Samudra Hindia; Teluk Tomini; Laut Sulawesi; Laut Banda; dan ZEEI di Samudra Pasifik. Potensi produksi SDI usaha perikanan budidaya jauh lebih besar ketimbang perikanan tangkap, sekitar 58 juta ton per tahun, dan baru diproduksi sebesar 1,6 juta ton (0,3 persen).


Urutan keenam

Saat ini Indonesia merupakan produsen ikan terbesar keenam di dunia dengan volume produksi enam juta ton (FAO, 2003). Bila Indonesia mampu meningkatkan produksi perikanannya, terutama yang berasal dari usaha perikanan budidaya, menjadi 50 juta ton per tahun (75 persen dari total potensi), maka Indonesia bakal menjadi produsen perikanan terbesar di dunia.

Hingga kini RRC merupakan produsen ikan nomor wahid dengan total produksi 41 juta ton per tahun. Padahal luas laut dan panjang garis pantainya hanya setengah dari yang kita miliki. Sekadar contoh, usaha budidaya tambak udang. Indonesia memiliki lahan potensial untuk tambak udang sekitar 1,2 juta hektare, dan baru diusahakan 350 ribu hektare dengan produktivitas rata-rata 0,6 ton per hektare per tahun.

Jika kita dapat mengembangkan usaha tambak udang seluas 500 ribu hektare dengan produktivitas rata-rata dua ton per hektare per tahun, akan menghasilkan satu juta ton udang dan devisa 6 miliar dolar AS per tahun --setara dengan total devisa dari seluruh ekspor tekstil kita. Tenaga kerja yang terserap sekitar tiga juta orang.

Rumput laut dengan segenap produk hilirnya bahkan dapat menghasilkan devisa 8 miliar dolar AS per tahun. Lainnya adalah mutiara, kerapu, kakap, baronang, bandeng, nila, lobster, kepiting, rajungan, teripang, abalone, dan ikan hias. Lebih dari itu, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Karena itu, potensi ekonomi industri bioteknologi kelautan sangat besar berupa industri farmasi (seperti Omega-3, squalence, viagra, dan sun-chlorela); industri kosmetika; bioenergi; dan industri lainnya.

Secara potensial, nilai ekonomi total dari produk perikanan dan bioteknologi kelautan Indonesia diperkirakan sebesar 82 miliar dolar AS per tahun. Untuk pariwisata bahari, Negara Bagian Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai 2.100 kilometer, mampu menghasilkan devisa 2 miliar dolar AS pada 2002. Maka sebenarnya potensi ekonomi pariwisata bahari Indonesia sangatlah besar. Hampir 70 persen produksi minyak dan gas bumi kita berasal dari kawasan pesisir dan laut. Potensi ekonomi perhubungan laut, juga diperkirakan sekitar 14 miliar dolar AS per tahun.

Di sektor jasa penyediaan tenaga kerja pelaut, potensinya pun luar biasa besarnya. Kebutuhan pelaut dunia pada 2000 sebanyak 1,32 juta orang dengan gaji mencapai 18 miliar dolar AS per tahun. Indonesia baru memasok 34 ribu orang (3 persen). Sedangkan Filipina 191 ribu pelaut (25 persen) dan RRC 104 ribu pelaut (10 persen). Belum lagi potensi ekonomi dari sektor industri dan jasa maritim.

Ekonomi kelautan makin strategis seiring pergesaran pusat kegiatan ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Poros Pasifik. Hampir 70 persen dari total perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik, dan 75 persen dari barang-barang yang diperdagangkannya ditransportasikan melalui laut Indonesia (Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut-laut lainnya). Seharusnya Indonesia mendapat keuntungan paling besar dari posisi kelautan global tersebut. ''Geographical position is the destiny for a nation-state'', begitu kata Captain AT Mahan of The US Navy.


Empat tujuan

Pembangunan kelautan hendaknya diarahkan untuk meraih empat tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan; (2) peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat kelautan lainnya yang berskala kecil; (3) terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya kelautan; dan (4) menjadikan laut sebagai pemersatu dan tegaknya kedaulatan bangsa.

Untuk merealisasikannya, perlu dilaksanakan empat agenda pembangunan kelautan secara terpadu, yaitu penegakkan kedaulatan di laut; menyusun dan mengimplementasikan tata ruang kelautan nasional guna menjamin kepastian dan efisiensi investasi di bidang kelautan, serta kelestarian ekosistem pesisir dan laut; peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha ekonomi kesepuluh sektor kelautan tersebut. Selanjutnya, sebagian hasil (economic rent)-nya digunakan membiayai agenda pertama dan kedua.

Dalam jangka pendek, sektor-sektor ekonomi kelautan yang layak (feasible) dan mampu memecahkan permasalahan ekonomi adalah perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, industri pelayaran (perhubungan laut), industri maritim, dan pembangunan pulau-pulau kecil.

Pembangunan perikanan budidaya dan perikanan tangkap hendaknya dilaksanakan dengan menerapkan sistem bisnis perikanan secara terpadu yang mencakup aspek produksi, penanganan dan pengolahan, dan pemasaran hasil perikanan. Selain itu, prioritas pembangunan seyogianya fokus pada komoditas unggulan, yakni udang, kerapu, kakap, bandeng, nila, patin, kepiting, rumput laut, dan kerang mutiara untuk perikanan budidaya. Udang, tuna, cakalang, ikan demersal dan pelagis kecil yang bernilai ekonomis tinggi untuk perikanan tangkap.

Sehubungan dengan pasar produk hilir rumput laut yang sangat besar atau tak terbatas dengan harga ekspor tinggi (4-70 dolar AS per kg) dan Indonesia memiliki potensi produksi rumput laut terbesar di dunia (18 juta ton rumput laut kering per tahun), maka fokus industri bioteknologi kelautan seyogianya untuk menghasilkan produk semi-refined dan refined (produk akhir) rumput laut jenis karaginan, alginat, dan agarosa untuk industri farmasi, kosmetik, diary products, tekstil, cat, dan industri lainnya.

Untuk perhubungan laut, tinggal mengimplementasikan Inpres No 5/2005 secara serius dengan memberlakukan azas cabotage; meningkatkan produktivitas dan efisiensi pelayanan pelabuhan laut; mengembangkan Pelabuhan Sabang, Batam, Tanjung Priok, dan Bitung sebagai International Hub Port; penguatan dan pengembangan industri galangan kapal nasional (PT PAL, PT IKI, PT Koja Bahari, dan lain-lain); dan peningkatan produktivitas dan efisiensi manajemen pelayarannya itu sendiri.

Keempat agenda tersebut sesungguhnya sudah dilaksanakan oleh Dewan Maritim Indonesia (DMI), DKP, eserta departemen/instansi dan stakeholders terkait lainnya sejak awal 2000. Dan secara faktual, geliat pembangunan kelautan mulai menunjukkan hasilnya.

Dari perspektif geopolitik, hukum dan perundangan di bidang kelautan telah disusun dan disempurnakan. Seperti penyempurnaan UU No 9/1985 tentang Perikanan yang telah diundangkan sejak 6 Oktober 2004 menjadi UU No 31/2004 tentang Perikanan. Juga Inpres No 5/2005 tentang Pelayaran Nasional, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir, RUU Kelautan, PP No 38/2002 tentang Garis Pangkal Indonesia, dan rencana Keppres tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar dan Wilayah Perbatasan.

Inventarisasi jumlah, penamaan, penyusunan basis data, dan pembangunan pulau-pulau kecil pun mulai digiatkan sejak awal tahun 2000. Berkat kerja sama sinergis antarinstansi terkait, utamanya DKP, Bakosurtanal, Dishidros TNI-AL, Depdagri, dan Deplu, kita pun telah berhasil mempublikasikan ''Peta NKRI'' sejak 2 Mei 2003.

Dari perspektif geoekonomi, pembangunan ekonomi kelautan di sektor perikanan, perhubungan laut, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, dan industri maritim pun terus mengalami perbaikan. Namun demikian, perbaikan pembangunan ekonomi di berbagai sektor kelautan tersebut masih jauh dibanding potensinya.

Sekiranya kita mampu meningkatkan intensitas pembangunan ekonomi kelautan secara profesional, bidang kelautan tidak hanya mampu mengeluarkan kita dari persoalan kemiskinan dan pengangguran, tapi juga dapat menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan bermartabat. Untuk mewujudkan ini, maka kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal-moneter, hukum, keamanan, otda, infrastruktur, dan ketenagakerjaan) harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan.


Sinergi revitalisasi

Dalam konteks inilah, seharusnya gerakan nasional Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang kental dengan orientasi daratan disinergikan dengan revitalisasi pembangunan kelautan. Infratsructure Summit mestinya disinergikan dengan Agricultural Summit dan Maritime Summit, sehingga kita mampu mendayagunakan seluruh potensi SDA dan SDM. ***

Sabtu, 29 Oktober 2005

Industri Kelautan Terancam Ambruk

Tanggal : 29 Oktober 2005
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0510/29/sh01.html
Oleh Kristanto Hartadi

Jakarta – Pakar kelautan dan perikanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Tridoyo Kusumastanto menilai sektor kelautan kita terancam ambruk.

Untuk menyelamatkannya, harus segera dilakukan pembenahan melalui kebijakan ekonomi makro Kabinet Indonesia Bersatu. Selain itu birokrasi bidang kelautan dan perikanan juga perlu dibenahi.
Hal itu dikemukakannya dalam diskusi terbatas dan buka puasa bersama dengan tema "Setahun Pemerintahan SBY-JK: Evaluasi Sektor Perikanan dan Kelautan", di gedung Sinar Harapan, Jakarta, pekan ini. Panelis lain yang hadir adalah: Prof Dr Bungaran Saragih, Ir. Sumiaryoso Sumiskun (Ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), Capt. Henk Lumenta, SH, LLM, Ir Wisnu Wijaya (aktivis kelautan), Dr Tommy Purwaka dari Forum Ekonomi Kelautan (Forek), dan sejumlah anggota Ocean Watch.

Menurut Tridoyo, kebijakan ekonomi makro Kabinet Indonesia Bersatu lebih berorientasi kepada pasar bebas dan sangat kurang berpihak kepada ekonomi rakyat, serta kurang mendorong pembangunan sektor riil sumber daya yang terbarukan seperti perikanan dan pertanian.

"Itulah sebabnya, ketika harga minyak dunia mencapai US$ 70, harga BBM dalam negeri langsung dinaikkan demi mengurangi defisit di APBN, namun sama sekali tidak ada langkah untuk mengurangi beban utang luar negeri atau bagaimana mengembalikan dana-dana BLBI," katanya.
Kebijakan yang demikian, kata Tridoyo, sangat berpengaruh terhadap bidang kelautan dan perikanan, terutama sektor riil , yakni perikanan tangkap, budi daya, industri pengolahan, UMKM bidang kelautan yang merupakan basis ekonomi rakyat di pesisir dan pulau-pulau kecil.

"Saya menilai birokrasi kita di level atas, menengah maupun bawah tidak peka terhadap bidang itu, tidak ada sense of crisis, bahkan terdapat proses perencanaan yang memungkinkan munculnya para pencari rente melalui mekanisme proyek di pusat maupun daerah," katanya.

Dia menilai tidak ada upaya yang komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sektor perikanan dan kelautan, tidak ada upaya menyiapkan kebijakan dalam mengantisipasi perubahan lokal, regional dan global, khususnya terkait dengan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Tidak Terukur

Dia juga menilai kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan dan perikanan sering menghasilkan output yang tidak terukur, misalnya apa output pemberantasan illegal fishing pada perikanan nasional.

Bahkan DKP juga tidak mampu mempengaruhi kebijakan ekonomi makro yang terkait dengan pembangunan kelautan (terutama departemen-departemen yang menjadi anggota Dewan Maritim) sehingga kepentingan sektor dan masyarakat tidak terkawal dengan baik.

"Contoh paling nyata adalah turunnya anggaran untuk DKP dan kurang efektifnya langkah DKP menghadapi kenaikan harga BBM yang sangat berdampak pada kehidupan masyarakat nelayan/petani ikan maupun pengusaha. Proses pengkerdilan seperti ini merupakan kondisi yang menghambat kemajuan pembangunan kelautan," tegasnya.

Menurut Tridoyo selama tiga minggu terakhir ini nelayan di berbagai daerah seperti Gresik, Lamongan, Sendangbiru, Cidaun, Bitung, Benoa, Belawan, Cilacap, Pangandaran dan berbagai daerah basis perikanan lainnya sudah menghentikan aktivitas melaut.

Hal yang sama dialami oleh UMKM kelautan seperti pengolahan ikan asin, ikan kering dll akibat kekurangan bahan baku. Hal yang sama juga dialami industri pengolahan ikan dan pengalengan yang kini sudah di ambang gulung tikar.

Menghadapi situasi ini, Tridoyo mengharap ada revitalisasi birokrasi di DKP sebagai ujung tombak industri ini, mulai dari tengah dan bawah, dan revitalisasi politik kelautan melalui perjuangan menghadapi pihak-pihak yang tidak membela kepentingan nelayan, petani ikan, petani pembudidaya ikan dan pelaku UMKM kelautan di berbagai pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dia juga mendorong segera disusun UU Kelautan untuk menyelaraskan dan mengatur berbagai aturan yang saat ini tumpang tindih, belum ada visi untuk menggabungkan kebijakan kelautan dengan daratan.


Asas "Cabotage"

Sementara itu, praktisi kelautan dan ahli hukum laut Capt. Henk Lumenta, SH, LLM, mengatakan guna membenahi masalah ini, harus segera diupayakan agar pembangunan armada kapal segera terwujud melalui penerapan asas cabotage seperti tertuang dalam Inpres No 5/2005. "Bagaimana kita akan membangun idustri maritim kalau tidak punya kapal?

Jadi modal dasarnya adalah harus memiliki kapal, itulah mengapa kita harus menerapkan asas cabotage, dan semua negara di dunia mengetahui asas cabotage adalah sesuatu hal mendasar yang harus dilakukan oleh negara maritim," katanya. Asas cabotage adalah kewajiban bagi semua kapal menggunakan bendera Indonesia bila beroperasi di perairan Nusantara.

Menurut Henk, bidang maritim harus ditangani secara khusus (lex specialis) demi melindungi dan mengamankan kekayaan laut kita digabung dengan aspek keamanan. "Tanpa kapal sendiri, semua kegiatan di laut akan mandek dan tidak efisien. Berbagai kerugian di laut akibat ketidak efisienan dan pencurian sumber daya alam kita setiap tahun mencapai US$ 50 miliar, sama dengan APBN kita," katanya.

Wisnu Wijaya, mantan eksekutif sejumlah perusahaan perikanan besar yang kini memilih bergiat bersama nelayan kecil di Aceh, mengatakan betapa kebijakan yang dikembangkan untuk membantu para nelayan korban tsumani di Aceh asal-asalan dan sekadar memenuhi target.

"Bayangkan, semua berlomba membangun kapal bagi para nelayan, tapi tidak dipikirkan kalau nanti mereka sudah berproduksi hasilnya mau disimpan dimana, karena di sana tidak ada cold storage. Kemudian pasarnya di mana karena jelas daya beli juga tidak besar. Kalau kapal-kapal itu mengalami kerusakan mesin apakah tersedia suku cadangnya?" katanya.

Bahkan, dia memperlihatkan sejumlah bukti bahwa kapal-kapal bantuan bagi nelayan yang disediakan oleh Departemen Sosial ternyata asal saja pembuatannya, menggunakan kayu berkualitas buruk, sehingga risiko rusak atau kecelakaan di laut sangat besar.


Tidak Efisien

Ketua HNSI Sumiaryoso Sumiskun, mengatakan kalau pernah dilaporkan bahwa nilai ekspor perikanan kita tahun 2004 mencapai US$ 5 miliar itu bohong, karena pada kenyataannya nilai itu tidak lebih dari US$ 1,6 miliar. Kalau iklim industri perikanan kita kondusif, maka investasi asing pasti masuk. Sehingga yang harus dilakukan adalah: undang presiden untuk duduk bersama dan mendiskusikan masalah ini.

Sebab, industri perikanan dan kelautan kita sangat tidak efisien, misalnya: pembangunan kapal-kapal nelayan kita menggunakan bahan-bahan yang kurang bermutu sehingga risiko kecelakaan di laut sangat besar, penggunaan mesin mobil untuk kapal juga berbahaya, karena seharusnya yang digunakan adalah marine engine. Begitu pun pungutan di laut sangat banyak. Sebuah kapal ikan harus membayar 14 pos pungutan liar di laut dalam perjalanan dari Muara Baru sampai ke Merak.

Jadi, katanya, kalau sekarang para nelayan kita menjerit ketika harus melaut dengan harga solar yang mendekati harga internasional, maka itu memperlihatkan ada yang tidak efisien pada sektor perikanan kita, karena di berbagai belahan dunia mana pun, para nelayan menangkap ikan dengan BBM harga internasional.

Karenanya, dia mendesak agar segera diakhiri egoisme sektoral di bidang perikanan ini karena sudah sangat gawat situasinya, katanya seraya menambahkan. Inpres No 5/2005 harus terus diurai lagi, jangan berhenti. (kristanto hartadi)

Kamis, 13 Oktober 2005

Geliat Perikanan Dan Kelautan Dalam Perkreditan Bank Di Kalsel

Tanggal : 13 Oktober 2005
Sumber : http://www.indomedia.com/bpost/102005/13/opini/opini1.htm
Oleh: Duddy Iskandar MBM PhD


Menyikapi perkembangan ekonomi Kalsel yang tumbuh sedikit moderat beberapa tahun belakangan dan terakhir mencatat 4,91 persen per tahun pada 2004, Pemprop Kalsel mulai membangun lebih banyak kesempatan berusaha bagi masyarakat dengan menyediakan peluang di berbagai sektor usaha yang belum banyak digarap.

Dalam lima tahun terakhir, salah satu sektor yang giat dikembangkan adalah pertanian subsektor perikanan dan kelautan. Bahkan acungan jempol patut ditujukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel yang selama beberapa tahun terakhir aktif mengembangkan potensi perikanan dan hasil laut, serta membina masyarakat usaha kecil dan menengah untuk menggairahkan usaha di bidang perikanan dan kelautan.

Selama lima tahun hingga akhir 2004, produksi penangkapan ikan meningkat rata-rata sebesar 3,2 - 4 persen per tahun. Walaupun produksi perikanan air tawar justru menurun 1,5 - 2 persen per tahun, namun produksi perikanan darat (inland fisheries) meningkat cukup tajam dan mencatat angka 12,6 - 13,2 persen per tahun. Ini seiring pembangunan dan perluasan kolam ikan yang tumbuh sebesar 10,2 - 10,5 persen per tahun.

Untuk menggalakkan minat masyarakat dalam berusaha di bidang perikanan dan kelautan, pemprop dan kabupaten/kota mulai mengenalkan teknik budidaya ikan kerapu (groupers) dan rumput laut di Pulau Laut, Kotabaru. Rencana pengenalan informasi tentang teknik budibaya ikan kerapu dan rumput laut ini, didahului pembangunan kolam percontohan untuk proyek eksperimen di Kabupaten Kotabaru. Hanya, bibit ikan kerapu masih didatangkan dari Stasiun Percobaan Penetasan Bali (Bali Hatchery Experiment Station) yang bekerja sama dengan ahli dari JICA (Japan International Cooperation Agency).

Produksi udang dengan tiga sistem produksi di Kalsel, dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan angka menggembirakan. Angka kontribusi tertinggi disumbang produksi udang laut yang mencatat porsi lebih dari 80 persen, sedangkan udang tambak hanya sekitar lima persen dan sisanya udang air tawar. Dalam dasawarsa yang sama, dari sisi pertumbuhan produksi, pertambakan udang mencatat peningkatan rata-rata lebih 17 persen per tahun. Sedangkan produksi udang laut meningkat lebih dari tujuh persen per tahun, tetapi produksi udang air tawar justru menurun sekitar tujuh persen per tahun. Daerah penyumbang produksi udang terbesar adalah Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru yang ketiganya memiliki area kolam air payau terbesar. Di tiga daerah ini, total area pertambakan udang terus meningkat dan hingga akhir 2004 mencatat lebih 100 hektare kolam baru.

Di sisi lain, budidaya rumput laut seharusnya juga dipandang sebagai industri yang menjanjikan. Konsumsi industri carrageenan dunia terhadap rumput laut terus meningkat secara signifikan, yaitu lebih 100.000 ton (kering) per tahun. Di pasar internasional, Indonesia masih harus bersaing dengan negara lain, khususnya Filipina sebagai produsen eucheuma terbesar di dunia. Filipina memasok sekitar 21 persen dan Indonesia 15 persen dari total permintaan dunia terhadap carrageenan bearing weeds. Sayangnya, hingga saat ini produk rumput laut dari Kalsel belum dapat memenuhi permintaan pasar tersebut.

Ini menunjukkan pasar dunia masih terbuka bagi Indonesia, dan budidaya rumput laut sangat menjanjikan. Meskipun secara teknis budidayanya relatif mudah, namun untuk kepentingan pasar lebih luas, petani perlu memperoleh bantuan teknis berupa penyuluhan teknik budidaya pengembangan rumput laut sesuai standar kualitas yang diminta pasar. Budidaya rumput laut ini sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Kotabaru.

Pusat pasar lokal untuk rumput laut adalah Surabaya (Jatim) dan Takalar (Sulsel). Melihat permintaan lokal, pasar Surabaya lebih dapat menyerap produk Kotabaru karena jenis yang saat ini banyak diproduksi adalah eucheuma untuk carrageenan. Sementara yang diminta Takalar jenis gracilaria, digunakan sebagai bahan utama pembuatan agar-agar. Dengan adanya dua pasar lokal yang berbeda, budidaya rumput laut di Kotabaru berpotensi besar dikembangkan untuk pasar lokal tanpa harus khawatir bersaing dengan Takalar. Dalam jangka panjang, budidaya rumput laut di Kotabaru seharusnya dapat memasok kebutuhan pasar dunia.

Satu hal yang perlu dicatat dari seluruh kinerja perikanan dan kelautan adalah, secara rasio produksi udang terus menurun dibanding produksi perikanan lain. Dalam lima tahun terakhir, rasio produksi udang terus turun hingga sekitar enam persen per tahun untuk spesies udang windu, putih, dogol dan barong. Sedangkan rasio produksi udang tersebut terhadap produksi perikanan lain turun sekitar delapan persen. Untuk udang galah, tawar, grogo dan lainnya turun dua persen per tahun. Secara total, produksi udang dari kedua kelompok spesies dimaksud terhadap produksi perikanan laut lainnya turun sekitar tiga persen per tahun. Ini menunjukkan, penanganan produksi udang di Kalsel perlu diintensifkan, karena secara nasional produk udang Kalsel sudah dikenal luas. Di sisi lain, produksi perikanan terutama ikan laut, terus menunjukkan angka yang menggembirakan.

Menyikapi pertumbuhan permintaan dunia pada hasil perikanan dan kelautan serta peningkatan produksinya, satu hal yang harus dicermati adalah sikap kehati-hatian petani terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pengawetan produk. Tercatat, Uni Eropa menolak ekspor subsektor perikanan dan kelautan Indonesia karena terbukti menggunakan bahan pengawet berbahaya (hazardous material) seperti formalin, borax, pewarna untuk bahan tekstil dan lainnya sebagai campuran bahan pengawet ikan dan hasil laut lain. Untuk itu, pengembangan industri subsektor perikanan dan kelautan Kalsel harus mewaspadai penggunaan bahan berbahaya tersebut dan penyuluhan intensif kepada petani sehingga produksinya tidak terbuang sia-sia karena tidak diterima pasar, termasuk pasar dalam negeri.


Pembiayaan Perbankan

Budidaya perikanan termasuk udang dan rumput laut yang terus menggeliat, tidak dapat dilepaskan dari pembangunan prasarana dan sarana pengembangan produksi. Dalam konteks makro, pemprop dan atau kabupaten/kota perlu menyediakan sarana transportasi, kelistrikan dan air bersih yang memadai. Tujuan utamanya, pembentukan harga (pricing measures) dan menciptakan daya saing produk serta mengundang investasi baik domestik maupun asing.

Strategi pricing yang diawali dari aktivitas petani memerlukan unsur efisiensi untuk mengangkat daya saing produk, sehingga pada saatnya menjadi layak dijual ke pasar dengan harga kompetitif. Di lain pihak, mengingat potensi subsektor ini dapat dikembangkan di area yang tersedia seluas 48.596 hektare dari total luas 53.382 hektare area air payau untuk tambak udang dan area yang sangat luas di sepanjang pantai Kalsel untuk budidaya perikanan laut dan sisi selatan dan timur Pulau Laut untuk rumput laut, maka teknik budidaya subsektor ini menjadi kunci sukses pengembangan.

Teknik budidaya perikanan menjadi sangat penting untuk menjamin bahwa petani telah menjalankan kegiatan usahanya secara benar, produktif dan ‘aman’. Dari sini secara sinergi seharusnya produk perikanan dan kelautan Kalsel dapat membangun keunggulan komparatif relatif terhadap propinsi lain dan negara pesaing. Beberapa faktor komparatif yang dimiliki adalah fakta, pemprop telah membangun fasilitas pengembangan perikanan berupa: Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan di Banjarbaru; Infrastruktur penanganan kualitas produk berupa Pasar Ikan di Desa Handil Bakti, Kabupaten Barito Kuala; Pelabuhan khusus pendaratan ikan di Kecamatan Kintap, Tala; Jalan menuju lokasi budidaya air payau relatif cukup baik dari segi ekonomi.

Meskipun beberapa fasilitas penunjang subsektor perikanan dan kelautan telah dibangun, namun mengingat potensi besar yang belum digarap maka pemprop perlu memprogram pengembangan budidaya perikanan dan hasil laut lebih intensif, selain yang sudah ada di pantai Kintap dan Pagatan. Beberapa lokasi potensial untuk pengembangan subsektor ini: 1. Untuk sub-subsektor perikanan: a. Perikanan laut: Muara Sungai Barito hingga Aluh-aluh Besar, Kurau, Tabonio, Takisung, Batakan, daerah Tanjung Selatan hingga Jorong, Asam-asam, Sebamban, Pagatan, daerah selatan Teluk Kemuning, Tanjung Saloka, daerah Rantau Panjang, Sungai Bali, Sungai Anyar, daerah utara Palawan, daerah tenggara Samalantakan; b. Perikanan tambak: Satui, sepanjang pantai Palawan, sepanjang pantai teluk Samalantakan. 2. Untuk aub-subsektor rumput laut: Sepanjang pantai laut Kotabaru dan Stagen.

Dari sisi pembiayaan, beberapa aspek perlu dipertimbangkan untuk meyakinkan sektor perbankan bahwa usaha di subsektor perikanan dan kelautan dapat menunjukkan konsistensi dan kelangsungan produksi. Beberapa aspek dimaksud, antara lain tetapi tidak terbatas, pada:

Pertama
, aspek konsistensi dan kelangsungan produksi yang diderivasi dari pemberdayaan sisi penyediaan bahan baku seperti bibit/benih dan teknis produksi, sehingga mampu menjadi awal pertimbangan kelangsungan pendapatan dari hasil penjualan produk. Dari sisi komersial, teknis produksi dapat dilihat, antara lain dari pertumbuhan produksi dan catatan kesehatan usaha dan produk usaha. Ini didasari pertimbangan, industri perikanan dan kelautan Kalsel masih dianggap sebagai infant industry. Alasannya, walaupun usaha perikanan dan kelautan sudah ada sejak dahulu, tetapi perhatian serius dari pemprop dan kabupaten/kota belum dominan dibandingkan terhadap sektor ekonomi lain. Secara formal, pengelolaan subsektor perikanan dan kelautan baru muncul di pemerintahan nasional sejak lima tahun lalu. Oleh karena itu, metoda pengelolaan subsektor ini terutama di Kalsel, masih diwarnai pengelolaan secara tradisional dan berskala kecil. Namun ini tidak berarti mengecilkan arti perusahaan pengolahan ikan dan hasil laut, yang bahkan telah memiliki cold storage di beberapa tempat di KalSel.

Kedua, metoda pricing yang tepat dan dapat bersinergi dengan aspek teknis produksi sehingga mampu menjadikan produk perikanan dan kelautan kompetitif di pasar. Hal inti dari product pricing sebagai pertimbangan perbankan dalam pembiayaan usaha adalah kemampuan pengusaha untuk memperoleh laba secara konsisten dan berkelanjutan dari produk yang dijual. Konsistensi dan kelangsungan perolehan laba merupakan jaminan pengembalian pembiayaan dari perbankan tidak akan mengalami gangguan, termasuk gangguan kelangsungan produksi. Oleh karena itu, secara makro industri perikanan dan kelautan perlu ditunjang infrastruktur produksi memadai dari pemprop dan kabupaten/kota termasuk pemeliharaannya, sehingga seluruh aspek produksi perikanan dan kelautan dapat dijalankan secara efisien (low cost economy).

Ketiga, salah satu aspek penting dalam penentuan kelayakan pembiayaan usaha oleh perbankan adalah pemasaran produk. Aspek ini meliputi lima faktor penting, yaitu produk berkualitas (product), kemasan menarik dan aman (packaging), program peningkatan diseminasi informasi produk (promotion), harga yang kompetitif (price), penempatan pada pasar dan lokasi yang tepat (placement). Dengan kelima aspek ini, produk usaha harus dapat dipasarkan secara berkesinambungan atau bahkan menciptakan pasar baru guna menjamin kelangsungan produksi. Hasil pemasaran harus dapat menciptakan tingkat penjualan produk yang meningkat secara berkelanjutan, sehingga memperoleh predikat diterima (accepted) pasar.

Pertimbangan perbankan untuk hal ini adalah perhitungan tingkat turn over produk (rasio perputaran produk per periode) yang harus dapat menunjang perolehan laba perusahaan, dan karenanya menjamin kelancaran pengembalian pembiayaan dari perbankan. Untuk industri yang tergolong infant di Kalsel, aspek pemasaran seharusnya dapat difasilitasi pemprop melalui program pengenalan pasar kepada pengusaha. Momen ini juga bagus untuk mencari tahu kebutuhan riil pasar terhadap kuantitas dan kualitas produk.

Keempat, aspek penting lain yang memungkinkan perbankan menyalurkan pembiayaan kepada subsektor perikanan dan kelautan adalah kejelasan identitas usaha. Identitas usaha merupakan hal biasa dalam dunia bisnis, terutama yang berhubungan dengan layanan perbankan. Bahkan untuk dapat memperoleh pasar, identitas usaha diperlukan guna menjamin kelangsungan pasokan kepada pasar. Identitas usaha yang berkaitan dengan pembiayaan perbankan melibatkan pengakuan dari berbagai instansi. Misalnya surat izin usaha, status kepemilikan lokasi (lahan) usaha, NPWP, yang diterbitkan instansi terkait. Identitas usaha berfungsi sebagai aspek hukum yang harus diperhitungkan dalam bisnis, dan berstatus sebagai brand name (merk) dari sisi kelayakan/bonafiditas/kredibilitas pengusaha.

Sebagai penutup, dapat dilihat ilustrasi perbandingan pembiayaan perbankan kepada sektor pertanian termasuk subsektor perikanan dan kelautan baik secara nasional maupun khusus Kalsel. Semoga pertumbuhan produksi subsektor perikanan dan kelautan Kalsel semakin sukses dan maju pesat. Amin.

Pengamat Ekonomi dan Pariwisata LPPM Ganusa Jakarta

Sabtu, 17 September 2005

Mengangkat Harkat Generasi Nelayan

Tanggal : 17 September 2005
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=121636
Oleh Aris Kabul Pranoto

Masalah kemiskinan nelayan yang berdampak terhadap keselamatan generasi nelayan, baik di tingkat internasional, nasional maupun lokal telah mendapat perhatian serius. Lewat pertemuan tingkat menteri bertajuk Regional Ministrial Meeting on Millenium Development Goal's (MDGs) in Asia and The Pacific: The Way Forward 2015 di Jakarta, 3-5 Agustus lalu, masalah kemiskinannelayan itu menjadi topik bahasan utama. Pertemuan itu sendiri dilatarbelakangi Resolusi Sidang Majelis Umum PBB Nomor 59/145 yang mendorong negara-negara anggota PBB untuk turut serta secara konstruktif melaksanakan proses konsultasi formal di tingkat sub-regional atau regional menuju ke arah terselenggaranya High Level Plenary Meeting (HLPM).

Proses konsultasi tersebut diharapkan menghasilkan masukan strategis bagi penyelenggaraan HLPM, September 2005 ini. Salah satu hasil penting Jakarta Declaration adalah kesepakatan menyusun kerja sama konkret yang melibatkan semua pihak untuk mengurangi kemiskinan dan mencapai target MDGs secara tepat waktu.
Deklarasi Jakarta antara lain memperkuat komitmen mencapai MDGs pada 2015 dengan mengintegrasikannya dalam strategi kerja sama regional. Kemudian, meningkatkan solidaritas dan kerja sama konkret negara-negara di Asia Pasifik untuk melakukan upaya bersama dalam suatu kemitraan regional, serta mendorong upaya percepatan pencapaian MGDs melalui program tujuan jangka panjang dan program praktis jangka pendek melalui quick win.

Kenaikan harga minyak dunia dinilai dapat memengaruhi pencapaian MDGs. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama negara-negara kawasan untuk mengatasi masalah ini termasuk melalui pencarian sumber-sumber energi alternatif dan mendukung pelaksanaan efisiensi energi.

Deklarasi Jakarta menghasilkan pula komitmen meningkatkan ketersediaan sumber keuangan untuk pencapaian MDGs melalui pendanaan inovatif, seperti debt for MDGs swap dan skema melalui keuangan mikro bagi pencapaian tujuan-tujuan MDGs. Di samping, meminta Badan Komisi PBB untuk Asia Pasifik (UN ESCAP) menyusun roadmap pencapaian 2015 serta membantu mobilisasi sumber dana pembiayaan MDGs yang akan menjadi agenda bahasan pada pertemuan UN ESCAP ke-62 di Jakarta, April 2006.


Departemen Kelautan dan Perikanan sendiri melalui Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil telah memiliki program unggulan yang diimplementasikan sejak tahun 2001 berupa Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang diinisiasi untuk memecahkan persoalan-persoalan kemiskinan terstruktur masyarakat pesisir. Program ini memiliki dua tujuan. Pertama, memfasilitasi proses transformasi kultur wira-usaha masyarakat pesisir ke manajemen modern berorientasi bisnis. Kedua, memfasilitasi pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM): swamitra mina, BPR Pesisir, dan unit simpan pinjam.

Tujuan ini diupayakan dalam semangat desentralisasi sehingga pelaksanaannya menggunakan metode block grant langsung ke kabupaten atau kota dengan misi-misi tertentu. Pertama, peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir melalui peningkatan pendapatan. Kedua, perluasan kesempatan dan peluang kerja berusaha. Ketiga, peningkatan kualitas SDM. Keempat, pemanfaatan sumber daya lokal secara bertanggung jawab serta pelibatan masyarakat dalam upaya pelestarian dan peningkatan mutu lingkungan.
Program PEMP telah berkembang di 160 kabupaten/kota yang memiliki potensi pesisir. Lewat program ini diharapkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan meningkat sehingga membawa dampak positif bagi pendidikan dan kesehatan anak-anak nelayan. Selain itu, dalam rangka menjalankan misi peningkatan kualitas SDM, telah dirintis program regenerasi nelayan karena akses pendidikan dan ekonomi nelayan sangat rendah, begitu juga akses memperoleh modal kerja. Regenerasi nelayan adalah sebuah terobosan untuk mempersiapkan SDM dengan mendidik putra-putri nelayan agar memiliki kemampuan dan keterampilan di bidang usaha perikanan.

Pola regenerasi nelayan mengembangkan proses kemitraan lewat kerja sama antara Departemen Kelautan dan Perikanan, pemerintah kabupaten, perusahaan pembimbing, akademisi kelautan dan perikanan. Pengembangan dilakukan melalui inisiasi pilot project regenerasi nelayan dengan sistem anggaran menggunakan Dana Ekonomi Produktif (DEP). Pilot project regenerasi nelayan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan telah dilaksanakan di Kabupaten Sumenep (Madura) Kabupaten Luwu dan Situbondo, dimulai sejak tahun 2003.

Program pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengutamakan asas manfaat dengan tetap menjaga sustainabilitas lingkungan. Hal ini mengingat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat peka dan rentan terhadap perubahan lingkungan. Untuk itulah, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara baik dan bijaksana dengan tetap memerhatikan kelestarian lingkungan yang berbasis masyarakat setempat.


Untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut telah diterapkan kebijakan yang bersifat reaktif dan proaktif. Kebijakan reaktif lebih dititikberatkan pada rehabilitasi dan pemulihan ekosistem yang rusak, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat pesisir, pengembangan mata pencaharian alternatif serta pengayaan sumber daya pesisir. Sedangkan kebijakan proaktif mendesentralisasikan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, menyusun kebijakan umum yang memberikan arahan bagi pemanfaatan sumber daya pesisir secara lestari, merumuskan manual perencanaan pengelolaan pesisir terpadu, serta menyusun RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir agar pemanfaatan sumber daya pesisir diregulasi secara bertanggung jawab dengan landasan hukum yang tegas dan jelas.

Salah satu strategi untuk mengatasi kelemahan kapasitas kelembagaan di daerah dalam pembangunan kelautan dan perikanan adalah mengembangkan Program Mitra Bahari. Melalui program ini, kelemahan sumber daya manusia dapat diperkuat universitas; dan kegiatan kelautan dan perikanan dapat diakselerasi melalui inovasi dan aplikasi iptek di bidang kelautan dan perikanan. Program ini juga memberikan manfaat kepada Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kabupaten, Kota dan badan otonom daerah, sekaligus meningkatkan kapasitas perguruan tinggi itu sendiri. Penguatan kapasitas kelembagaan daerah ini memacu pertumbuhan ekonomi berbasis kelautan dan memperkuat otonomi daerah secara bertanggung jawab. ***

Penulis Kabag Hukum, Organisasi dan Humas Ditjen Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Jumat, 16 September 2005

Arkeologi Maritim dan Bawah Air di Indonesia

Tanggal : 16 September 2005
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0609/16/opi01.html


Sejak lama perairan Indonesia menjadi ladang subur perburuan liar harta karun. Penyelam tradisional dan nelayan lokal sering melakukan pengambilan benda-benda antik dari dasar laut. Lalu berbagai sindikat internasional ikut terlibat di dalamnya. Mereka tidak lagi menggunakan kapal kecil, tetapi kapal besar lengkap dengan peralatan canggih.

Penjarahan ribuan potong keramik antik dan bermacam jenis harta karun dari kapal der Geldermalsen di Perairan Riau dan kapal Flor de Mar di Selat Malaka pada 1980-an, membuka lembaran hitam dunia arkeologi bawah air (ABA) Indonesia. Selain kehilangan data sejarah penting, kita pun harus merelakan kekayaan bernilai jutaan dolar itu terbang ke kantong penjahat.

Pengambilan barang-barang antik dari dalam laut, anehnya, tetap saja berlangsung di perairan Indonesia. Belakangan, pada Februari 2006 lalu pihak kepolisian menyegel sebuah gudang penyimpanan milik sebuah perusahaan di wilayah Tangerang. Terlepas dari legal atau ilegalnya kegiatan perusahaan tersebut, terbukti barang-barang antik dari dalam laut memang selalu menarik perhatian orang untuk mendapatkannya dengan cara apapun.

Tidak dimungkiri, kendala biaya menjadi penyebab mengapa pemerintah Indonesia tidak sanggup melakukan eksplorasi harta karun laut. Pada 1989 pemerintah Indonesia membentuk Panitia Nasional untuk Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam. Anggotanya terdiri atas unsur pemerintah dan swasta. Disepakati bahwa pihak investor akan melakukan eksplorasi dengan sistem bagi hasil. Sementara itu, kapalnya disyaratkan tetap dibiarkan berada di lokasi aslinya untuk kepentingan pariwisata. Hanya isi kapal yang boleh diambil.

Selain laut yang menempati jenjang paling atas, secara umum istilah perairan mencakup pula sungai, danau, dan semua bentuk himpunan besar air. Bawah air layak menjadi objek penelitian karena air memiliki sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sebagai ruang tinggal, dan sebagai ruang jelajah.

Karenanya, tinggalan budaya yang terbenam di dasar perairan perlu ditangani serupa dengan arkeologi di daratan. Hanya cara kerjanya yang berlainan karena untuk ABA harus dilakukan penyelaman dengan peralatan khusus.

Sejak 1535
Istilah ABA pertama kali dicetuskan oleh George Bass pada pertengahan abad ke-20. Namun sebenarnya pencarian dan penelitian terhadap tinggalan di dasar air telah ada sejak lama. Penelitian kapal Caligula dari kerajaan Romawi di Italia, misalnya, telah dilakukan pada 1535 oleh Francisco Demarchi dengan teknik penyelaman sederhana (Nurhadi, 1987).

Arkeologi ini kemudian semakin berkembang seiring penemuan peralatan scuba oleh Jacques-Yves Cousteau dan Emile Gagnan pada masa Perang Dunia II. Dalam tahun-tahun pertama, penelitian ABA modern banyak dilakukan di perairan Laut Tengah yang kaya akan tinggalan budaya klasik Yunani dan Romawi.

Pada 1979, satu tenaga peneliti Indonesia, yakni Nurhadi, berkesempatan mengikuti latihan ABA yang dikaitkan dengan Arkeologi Maritim (AM) di Thailand. Meskipun penelitian ABA pertama kali dibicarakan pada 1936, namun baru pada 1956 UNESCO mengeluarkan keputusan penting tentang ABA, sekaligus melaksanakan berbagai ekspedisi. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mulai menguji coba kegiatan ABA pada 1981, bekerja sama dengan pasukan katak dari Armada RI Wilayah Timur.

Selain mempelajari dan menangani segala tinggalan di bawah air, AM juga meneliti segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran, namun datanya terdapat di daratan.

Dengan demikian, situs di daerah pantai atau sungai dan kapal yang tertimbun tanah di daratan menjadi cakupan AM. Di Indonesia AM yang mula-mula dikenal lewat penelitian perahu kuno dan ABA. Salah seorang pelopornya adalah Pierre-Yves Manguin, seorang pakar sejarah maritim dari Prancis. Manguin meneliti perahu kuno di Indonesia sejak 1977.

Di sejumlah negara maju ABA sering kali dimanfaatkan untuk meneliti sumur kuno, kolam kuno, pelabuhan, kota yang tenggelam, dan kapal-kapal karam. Dibandingkan arkeologi daratan, hasil-hasil temuan ABA menjadi lebih berharga karena materi organik dapat bertahan lebih lama di air daripada di udara. Sisa-sisa teknologi dan sistem maritim masa lalu sesungguhnya mempunyai banyak peluang untuk masih bisa diketahui melalui tinggalan-tinggalannya yang terdampar di dasar laut, sungai, atau danau.

Perairan
Meskipun bagian terbesar dari negara kita berupa perairan, namun ABA kurang mendapat perhatian di sini. Padahal menurut catatan-catatan kuno, lebih dari 400 kapal pernah tenggelam di seluruh perairan Indonesia. Kapal-kapal itu membawa muatan barang-barang berharga, seperti keramik, emas, perak, mutiara, dan timah dalam jumlah besar. Indonesia harus memiliki divisi ABA dan AM yang kuat.

Usaha ke situ sebenarnya sudah dimulai dengan mengirimkan sejumlah arkeolog untuk menjalani pelatihan di mancanegara. Bahkan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pada kongres tahun 1999 telah mengeluarkan deklarasi bahwa ABA dan AM harus dikembangkan di Indonesia (Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, 2006).

ABA dan AM di sini belum maksimal karena berbagai teknik, seperti peningkatan keselamatan penyelaman, teknik pendokumentasian dalam air, dan teknik pengangkatan artefak belum didukung oleh peralatan yang memadai. Belum lagi bila temuan-temuan itu diangkat ke darat. Dalam hal ini diperlukan kemahiran untuk melakukan konservasi benda berdasarkan ragam bahannya. Juga kajian mengenai sebab-sebab kerusakan yang terjadi pada artefak-artefak temuan itu.

Pedoman utama pengangkatan artefak-artefak kuno dari dalam air adalah “pelestarian dulu, komersial belakangan”. Secara luas berarti perlindungan, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan di bidang ilmu pengetahuan. Ini karena tinggalan arkeologi dari kapal-kapal karam merupakan sumber informasi ilmiah yang kompleks dan dapat digunakan untuk merekonstruksi kegiatan dan tata perilaku manusia.

Pengkajian mengenai teknologi pelayaran, beserta segala urusan yang terkait dengannya, seperti teknologi perkapalan dan sistem jalur-jalur pelayaran, ataupun sistem perdagangan lintas laut, juga harus dilakukan.

AM dan ABA sesungguhnya bukan hanya mengurusi kapal karam. Bukan pula menangani pelelangan artefak-artefak yang diperoleh. Lebih jauh, AM dan ABA mencari data masa lalu dalam berbagai aspeknya. Harta karun laut di negara kita sebenarnya sangat melimpah. Inilah harta karun yang sesungguhnya, bukan isapan jempol macam “harta karun Bung Karno” atau “harta karun peninggalan Jepang” seperti yang sering digembar-gemborkan. Untuk itu perlu ditangani secara serius.

Penulis adalah seorang arkeolog, tinggal di Jakarta.

Sabtu, 28 Mei 2005

Laut Terkuras, Biduk Nelayan Kandas

Tanggal : 28 Mei 2005
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0505/28/Fokus/1777450.htm


MEMILIKI wilayah laut yang terluas di kawasan Asia Tenggara, bahkan di dunia, tidak serta-merta membuat nelayan Indonesia bisa menikmati kekayaan laut. Kenyataannya malah sebaliknya, nelayan tradisional semakin terpinggirkan ke tepian perbatasan, sementara nelayan asing kian leluasa mengeruk kekayaan alam laut Indonesia. Alih-alih mampu memberdayakan nelayan lokal, pemerintah bahkan tak berdaya menghadapi pencurian ikan oleh pihak asing.

KESIMPULAN demikian terangkum dari hasil jajak pendapat yang dilakukan terhadap pemilik telepon di 10 kota besar di Indonesia. Berbagai penilaian ketidakpuasan dilayangkan publik jajak pendapat kali ini terhadap segenap upaya pemerintah mengatasi berbagai persoalan di bidang kelautan.

Meskipun diyakini bahwa kekayaan laut, khususnya ikan, di negeri ini masih sangat mencukupi untuk kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, disadari bahwa saat ini kondisi laut benar-benar sudah sangat memprihatinkan. Selain karena kerusakan dan pencemaran yang parah, pengerukan kekayaan laut oleh kapal nelayan asing dan penggunaan teknik penangkapan ikan yang berlebihan turut menjadi andil makin mandulnya produksi laut.

Tidak kurang dari 71,9 persen responden menilai wilayah laut Indonesia saat ini sudah rusak. Tidak hanya itu, hampir tiga dari empat responden (74,7 persen) menganggap pencemaran yang terjadi di lautan Indonesia saat ini sudah parah. Di sisi lain, upaya pemerintah sendiri dinilai belum maksimal menghadapi persoalan ini. Tidak kurang dari 72,7 persen responden menyatakan ketidakpuasan mereka pada kinerja pemerintah menanggulangi kerusakan dan pencemaran laut.

Selain itu, hampir tiga dari empat responden (72,5 persen) juga menegaskan bahwa masalah pencurian ikan oleh nelayan asing sudah dalam taraf yang parah. Mayoritas responden (65,1 persen) juga menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam mencegah pencurian ikan oleh nelayan asing, dan lebih dari separuh (57,9 persen) malah menyatakan pemerintah selama ini kurang bersikap tegas terhadap keberadaan nelayan asing di perairan nasional.

PRAKTIK pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia ini memang sudah pada tahap yang sangat memprihatinkan. Selain telah merugikan negara hampir Rp 30 triliun per tahun, perangkat hukumnya sendiri belum mantap. Tindakan hukum terhadap pelaku masih lemah, seperti masih diberikannya izin penangkapan bagi awak kapal yang kasusnya telah disidangkan di pengadilan. Alasan yang sama masih terus saja dikumandangkan pemerintah, bahwa pencurian ikan tetap terjadi karena keterbatasan kemampuan pengawasan dan pengendalian, baik oleh aparat pusat dan daerah maupun oleh TNI Angkatan Laut dan Polisi Perairan. Dalih lain adalah karena luasnya wilayah perairan.

Padahal, sebagai negara maritim, Indonesia seharusnya menetapkan sektor kelautan sebagai prioritas pengembangan. Namun nyatanya, pembangunan yang dilakukan selama ini lebih menekankan pada pengembangan sektor pertanian. Pengembangan sektor kelautan sampai sekarang cenderung masih jalan di tempat. Hal ini ditandai oleh keterbatasan sarana perikanan dan belum optimalnya hasil perikanan dalam beberapa tahun terakhir ini. Sektor kelautan baru bangkit dari tidur panjangnya pascareformasi ini, ditandai oleh terbentuknya departemen tersendiri, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Jika dilihat dari perkembangannya selama masa reformasi ini, produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan dalam kurun 2000-2004 memang telah menunjukkan peningkatan rata-rata yang cukup besar, yaitu sekitar 26,06 persen per tahun atau melebihi rata-rata peningkatan PDB nasional yang mencapai 12,14 persen per tahun. Selain itu, jika dihitung dari keseluruhan produk olahan lain dari ikan, seperti ikan tuna, ikan kalengan, dan rumput laut, total kontribusi sektor kelautan dan perikanan menjadi 9 persen dari PDB. Namun, jika dihitung hanya dari produk ikan mentahnya saja, sektor kelautan dan perikanan di Indonesia baru menyumbang 2,21 persen dari PDB. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sempat menyatakan keheranannya dengan kecilnya kontribusi ini, membandingkan dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang.

Memang, di usianya yang masih terlalu singkat untuk bisa menyejajarkan DKP dengan departemen-departemen lainnya, misalnya departemen pertanian, menjadi terlalu dini mengharapkan hasil yang besar dari departemen ini. Fasilitas yang dimiliki departemen ini pun masih sangat terbatas. Hingga kini, DKP baru memiliki 14 kapal pengawas, termasuk kapal yang baru diresmikan pengoperasiannya. Padahal, untuk mengawasi wilayah perairan Indonesia dibutuhkan sedikitnya 100 unit kapal patroli cepat. Selama ini pengawasan kawasan laut terbantu oleh patroli TNI AL dan Polri. Tapi, tentu saja itu belum cukup, terlebih TNI AL yang tugas sebenarnya adalah pada pertahanan wilayah kedaulatan. Maka, wajar jika tidak kurang dari 58 persen responden menilai armada keamanan laut Indonesia saat ini tidak memadai untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI dari pencurian ikan oleh kapal dan nelayan asing.

Sementara itu, tugas DKP sendiri tidak hanya mengawasi laut dan mencegah penangkapan ikan ilegal. Lebih penting dari upaya pencegahan terhadap pencurian ikan oleh nelayan asing itu, sebetulnya adalah upaya memberdayakan nelayan lokal sendiri sebab, jika dibandingkan dengan besarnya perhatian pemerintah selama ini pada pertanian yang agraris, kehidupan nelayan di Indonesia sesungguhnya masih terpinggirkan.

MENJADI nelayan di Indonesia memang ironis, tidak hanya tergilas oleh nelayan asing, tapi juga terpinggir di rumah sendiri. Padahal, mereka hidup di negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Tidak kurang dari 60,6 persen responden juga menilai bahwa selama ini nelayan asinglah yang lebih memanfaatkan hasil laut ketimbang nelayan lokal. Memang, sebagian (48,1 persen) publik jajak pendapat ini menilai kemampuan nelayan Indonesia tidak mampu bersaing dengan nelayan asing. Namun, pendapat ini sebanding dengan mereka (48,0 persen) yang yakin akan kemampuan nelayan Indonesia bersaing dengan nelayan asing.

Upaya pemerintah dalam memberdayakan nelayan lokal juga belum dirasakan manfaatnya, bahkan kadang terkesan tidak tulus. Di Jawa Timur, dana pengadaan perahu untuk nelayan disinyalir telah diselewengkan dengan cara mark-up. Akibatnya, penyerahan perahu kepada kelompok nelayan yang berhak untuk menerima menjadi tertunda. Catatan-catatan ini semakin menggarisbawahi belum maksimalnya upaya pemerintah dalam memberdayakan nelayan kecil dan nelayan tradisional.

Selain harus berhadapan dengan kapal nelayan asing dan kurangnya modal, nelayan tradisional juga menghadapi secara langsung akibat dari merosotnya kelestarian ekosistem laut. Kerusakan laut terus terjadi, baik karena penebangan hutan bakau dan tergerusnya ekosistem laut maupun pencemaran oleh zat kimia dan pengeboman ikan. Rusaknya kawasan pesisir laut menyebabkan kemampuan ekosistem laut menurun dalam mendukung pembiakan kembali ikan-ikan ke volume semula. Akibatnya, terjadilah penangkapan ikan yang lebih banyak dari kemampuan ekosistem laut untuk memulihkan diri.

Memang, masalah perusakan laut ini bukan melulu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat nelayan itu sendiri juga berpotensi menjadi aktor perusak lingkungan. Tidak saja penggunaan bom ikan, penggunaan pukat harimau merusak seluruh sumber hayati laut. Ironisnya, meskipun sudah ada Keppres Nomor 39/1980 yang melarang penggunaan pukat harimau dalam penangkapan ikan di perairan Indonesia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur justru mengusulkan agar diberikan izin bagi para nelayan kecil untuk memakai jaring pukat harimau ini. Alasannya, selama ini para nelayan lokal itu selalu kalah bersaing dengan pihak yang menggunakan kapal-kapal ikan sejenis asal Malaysia yang sering mencuri ikan di perairan Indonesia dengan pukat harimau. Selama ini para nelayan kecil itu memang kalah segalanya dibandingkan dengan mereka yang menggunakan kapal-kapal berukuran besar yang juga menggunakan trawl. (BE Satrio/Litbang Kompas)

Rabu, 25 Mei 2005

Intelijen Maritim untuk Pengamanan Laut

Tanggal : 25 Mei 2005
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0505/28/Fokus/1777525.htm


KEAMANAN wilayah laut adalah konsepsi luas yang mencakup penguasaan, penerapan kedaulatan, penjagaan, pemeliharaan, serta pemanfaatan sumber daya laut negara kepulauan Republik Indonesia. Penguasaan tentu perlu ditandai dengan atribut kepemilikan untuk dapat dikenali. Indikasi penguasaan sekaligus penerapan kedaulatan adalah kehadiran secara politik, ekonomi, sosial budaya, didukung perangkat pertahanan dan keamanan.

KELAUTAN jelas bukan sekadar urusan Departemen Kelautan dan Perikanan atau Departemen Luar Negeri jika berkaitan dengan perbatasan wilayah dan hak kedaulatan. Keamanan laut Indonesia juga menjadi urusan yang terlalu besar untuk diserahkan hanya kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Visi bersama yang diejawantahkan dalam langkah sinergis lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif mutlak dibutuhkan untuk pengamanan lautan Indonesia.

Sekretaris Bidang Wilayah Dewan Maritim Djuanda menilai, kebijakan-kebijakan lembaga eksekutif berkaitan dengan kelautan selama ini masih dikerjakan secara sektoral sehingga konsolidasi mendesak dilakukan. Dalam tataran yudikatif, persoalan kelautan juga sering berlarut-larut diselesaikan.

Visi maritim juga sangat dibutuhkan untuk dipunyai lembaga legislatif agar diperoleh produk-produk hukum yang akan mendorong lembaga eksekutif, yudikatif, bekerja sinergis dengan visi yang sama. TNI menjadi salah satu ujung tombak operasional dalam kerangka tersebut.

"Jika berbicara tentang laut, dimensi ruangnya bukan hanya perairan, tetapi juga antariksa, dirgantara atau ruang udara, permukaan air, pesisir, kolom air, dasar laut, bawah dasar laut, dan pulau-pulau kecil," kata Djuanda, mengingatkan. Penguasaan dimensi ruang laut ini jelas membutuhkan kemampuan yang sarat teknologi dan informasi.

Mengantisipasi keterbatasan yang ada untuk penguasaan dimensi ruang laut ini, Djuanda mengusulkan pentingnya dikembangkan intelijen maritim yang berkualitas bagus.

Pengambilan keputusan dan pengerahan tenaga yang terbatas dapat dilakukan lebih efisien dan tepat sasaran jika didasarkan pada kemampuan intelijen maritim. "Intelijen maritim ini belum dikembangkan karena dulu seakan-akan yang "berkuasa" di negeri ini hanyalah Angkatan Darat," kata Djuanda.

DEWASA ini, sejumlah masalah yang terkesan menimbulkan penekanan internasional bagi Indonesia saat ini, terutama berkaitan dengan pengelolaan dan pengamanan laut. Persengketaan Pulau Sipadan-Ligitan yang akhirnya lepas dari kesatuan wilayah Indonesia, kasus Ambalat, kecaman atas keamanan Selat Malaka, dan terakhir ketegangan dengan Australia karena persoalan nelayan-nelayan Indonesia.

"Kasus Sipadan dan Ligitan adalah bukti lemahnya penguasaan efektif oleh Indonesia. Sekarang Australia terus-menerus mengadakan patroli di Laut Timor. Rekaman peristiwa dari waktu ke waktu menunjukkan mereka intensif dan lebih aktif dibandingkan dengan Indonesia," kata Bernando Seran, putra kelahiran Timor Barat, kandidat doktor pada program studi Ilmu Hukum Internasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pada aspek politik dan pertahanan keamanan, Bernando menilai, Australia memusatkan perhatian pada era globalisasi atau pasar bebas tahun 2020. "Mereka menangkap nelayan lalu melepasnya lagi. Nelayan itu hanya ’sasaran antara’ saja. Tujuan akhirnya adalah penguasaan minyak Celah Timor," katanya.

Menurut Bernando, operasi penangkapan terhadap nelayan meski belum ada kesepakatan baru tentang batas wilayah, menyusul Timtim merdeka, adalah sebuah perang konsep. Australia terkesan hendak menunjukkan kepada dunia bahwa pada era globalisasi, terutama pasar bebas tahun 2020, Indonesia adalah ancaman.

"Karena itu, mereka mulai mengganggu agar konsep archipelago state Indonesia bisa goyah. Sayangnya, Pemerintah Indonesia tidak melihat hal itu, misalnya ditandai oleh tidak adanya upaya memberikan perlindungan yang memadai kepada nelayan tradisional di Laut Timor," kata Bernando.

Australia adalah negara persemakmuran Inggris. Sementara Inggris adalah sahabat karib yang selalu berkolaborasi dengan Amerika Serikat yang berambisi besar menguasai ladang-ladang minyak dunia, termasuk di Celah Timor. Dengan penetapan Australia Maritime Identification Zone, Australia telah mengupayakan pencapaian kepentingan jangka panjangnya sejak sekarang.

HANYA ada dua kemungkinan di laut: kerja sama atau persaingan! Begitu diingatkan Djuanda. Bagaimana TNI sebagai salah satu ujung tombak bersiap menghadapi tantangan untuk bekerja sama atau bersaing di laut?

Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Marsekal Muda F Djoko Purwoko menjelaskan, sejak semula pendahulu TNI Angkatan Udara telah berpikir maju dengan men- desain pangkalan radar di pesisir pantai yang juga dapat digunakan untuk memantau angkasa dan lautan. Radar di Medan, Sumatera Utara, misalnya, jika dimiringkan pada posisi tertentu dapat mengawasi perairan Selat Malaka hingga jarak 25 mil laut.

Bahkan, satuan radar di pesisir selatan Jawa dapat memantau pergerakan di lautan Hindia di sebelah selatan Pulau Jawa pada Operasi Trikora. Sayangnya, sebagian peralatan tersebut kini sudah tidak beroperasi atau tidak berada dalam kondisi maksimal.

Meski demikian, radar-radar tersebut masih dapat direkondisikan dan dioperasikan kembali.

Sejumlah radar juga akan ditingkatkan kemampuannya dari sistem analog ke digital sehingga dapat mengirimkan data secara elektronis pada saat kejadian ke pusat komando.

Akan lebih baik jika data pemantauan tersebut dapat disampaikan dan digunakan instansi terkait. Menurut Djoko, setidaknya, sejak sebulan terakhir upaya tersebut telah dirintis oleh TNI AU.

Jika seluruh sistem radar, yakni satuan radar, pesawat intai TNI AU dengan jangkauan radar 500 mil dan kekuatan TNI AL diintegrasikan, tentu penjagaan lautan Indonesia dari pencurian ikan serta penyusupan pelayaran gelap akan menjadi lebih baik.

Selama ini ruang udara telah relatif terkontrol oleh Kohanudnas yang memantau pergerakan sekitar 2.000 pesawat setiap hari. Namun, upaya maksimal untuk menjaga kedaulatan negara di angkasa dan lautan mutlak membutuhkan peningkatan koordinasi pemantauan laut dengan elemen-elemen lain yang terkait.

"Jumlah radar yang ada sebetulnya telah memadai. Namun, kendala yang muncul adalah tidak meratanya penyebaran dan kurangnya pengintegrasian radar antara pihak sipil dan militer," kata Djoko.

Sebagai contoh, ruang udara Jakarta diawasi tiga radar, sementara di Papua hanya terdapat satu radar di Biak yang hanya dapat mengawasi pesisir utara pulau tersebut.

Pendanaan yang terbengkalai sejak beberapa waktu terakhir menjadi masalah dalam upaya membangun sistem pemantauan ini. (day/cal/ong)

Sabtu, 16 April 2005

Di Laut Kita Tumpang Tindih

Tanggal : 16 April 2005
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_51.ubh
Oleh : Indrawadi


Pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya pengelolaan sumberdaya pesisir, masih terhambat masal;ah birokrasi dan kepentingan. Sampai saat ini kewenangan terhadap hal tersebut masih ragu-ragu antar sektor Departemen Kehutanan, Meneg LH dan Departemen Kelautan dan Perikanan pun masih ragu-ragu untuk melangkah.


Hasil data dari satelit tidak hanya mendukung usaha penangkapan ikan, juga dapat membantu kegiatan TNI-AL, AU dan Polri dalam melakukan pengawasan perairan Indonesia. Kemudian dalam pengembangan teknologi, dilakukan pengembangan system monitoring, controlling dan surveillance (MCS) sebagai metoda pemecahan masalah-masalah manajerial pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Implementasi MSC mengacu pada ketentuan “Code of Conduct for Responsible Fisheries” dari FAO. Semua itu hanya dua dari sekian banyak kegiatan yang telah dilakukan DKP sepanjang sejak lahirnya departemen ini. Secara keseluruhan memang belum waktunya untuk menilai kinerja DKP, tetapi setidaknya pembentukan departemen ini telah memberikan porsi perhatian yang besar terhadap potensi sektor kelautan dan perikanan.

Bisa dipahami bila masih ditemukan banyak kekurangan pada sepak terjang DKP, bila mengingat depertemen ini baru seumur jagung. Begitu departemen ini lahir, ada delapan (8) program utama yang akan dilakukan DKP dalam mengatasi kerusakan lingkungan pesisir yang cukup komplek, yang merupakan subtisusi dari 10 program pembangunan kelautan dan perikanan. Delapan program itu adalah : (1).Penataan ruangan pesisir dan laut, (2).Pengelolaan dan Pembangunan Pulau-pulau kecil, (3).Pengelolaan kawasan konservasi laut, (4).Rehabilitasi ekosistim pesisir dan laut yang mengalami kerusakan serta restocking, (5).Pengendalian pencemaran laut, (6)Pemberdayaan masyarakat pesisir, nelayan dan petani ikan, (7). Mitigasi bencana alam , (8).Pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
Di Laut Kita Tumpang Tindih oleh Indrawadi
Selama ini wilayah pesisir dan kelautan nasional berkembang tanpa tata ruang yang terencana, sehingga nyaris tak ada strategi dan kebijakan yang terarah untuk pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tak heran bila ekosistim wilayah pesisir mengalami kerusakan yang sangat parah.. Luas hutan magrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari luas areal yang mencapai 5,2 juta hectare lebih (th 1982), menjadi tinggal 2,4 juta hectare lebih (th 1993). Twngok pula kondisi terumbu karang yang tersisa hanya 23 % dalam kondisi baik dan 7 % dalam kondisi sangat baik dari total luasan 85.707 kilometer persegi ( Tomascik, 1997). Belum lagi masalah pencemaran laut, penurunan kualitas perairan, intrusi air laut, eutrofikasi, dampak bencana alam, dan abrasi yang telah mencapai tahapan kritis.

Hingga saat ini kawasan-kawasan pesisir dan laut terus mengalami degradasi akibat kegiatan pembangunan yang tidak terencana matang dan eksploitasi sumberdaya yang tidak terkendali. Padahal, kawasan-kawasan tersebut memiliki nilai potensi dan kepentingan yang tinggi baik secara biologi maupun ekonomi. Sedang untuk pengelolaan pembangunan pulau-pulau kecil. Minimal sola identifikasi potensi pulau-pulau kecil, penyusunan rencana umum pembangunan, perbaikan ekosistim serta pilot project pengembangan juga diharapkan akan rampung pada tahun 2001.

Semua program itu akan mencapai hasil optimal, bila kondisi masyarakat pesisir baik secara ekonomi maupun sosial dapat diperbaiki. Sebab masalah kemiskinan di wilayah pesisir selama ini termasuk salah satu pendorong percepatan degradasi ekosistim wilayah pesisir dan pantai. Itu sebabnya, pemberdayaan social ekonomi masyarakat pesisir harus dilakukan DKP dengan kegiatan-kegiatan yang langsung menyentuh penduduk seperti peningkatan pendapatan, peningkatan akses terhadap sumberdaya dan dana, pengembangan jaringan pemasaran peoduk-produk masyarakat, serta pemberdayaan kelembagan-kelembagaan lokal. Karena semakin sejahtera penduduk, semakin baik kondisi eksosistim dan lingkungan.

Dalam sebuah lokakarya di Jakarta, Menteri DKP yang saat itu masih Sarwono Kusumaatmadja, mengungkapkan keprihatinannya melihat masih minimnya masyarakat pesisir untuk mengakses komunikasi dan informasi, apalagi akses pembiayaan. Ini bisa kita lihat dari sektor perbankkan yang sampai saat ini belum ada satupun pihak bank yang mau masuk sampai ke wilayah pesisir. Karena itu pihak DKP akan bekerja bekerja keras untuk memperbaiki sistim pendukung yang dapat mendorong peningkatan produksi dan pendapatan, sperti pengembangan teknologi penangkapan ikan dan budidaya spesifik lokal. Kemudian mengembangkan sistim pengelolaan hasil untuk peningkatan nilai tambah dan mengembangkan pemasaran. Sedikitnya ada 23 rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam program pemberdayan social ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Dari seluruh program tersebut, pada gilirannya memang bermuara pada pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka perbaikan kualitas lingkungan.

Namun, tampaknya semua program-program tersebut masih akan menemui berbagai kendala, baik internal maupun eksternal. Pasalnya, hingga saat ini, kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir seperti pengendalian pencemaran laut, pengelolaan hutan magrove, terumbu karang, taman nasional laut dan kawasan koservasi laut masih belum jelas antara Departemen Kehutanan, Meneg. Lingkungan Hidup atau DKP. Ini berarti, DKP akan selalu di selimuti keraguan untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya pesisir dan laut, lantaran dibayangi kekhawatiran terjadinya tumpang tindih kebijakan.

* Dari Berbagai Sumber
* Indrawadi,S.Pi
Pemerhati Kelautan – Universitas Bung Hatta
D

Rabu, 06 April 2005

Tsunami, Potret Buram Bencana Akhir Tahun

Tanggal : 6 Januari 2005
Sumber : http://www.indomedia.com/BPost/012005/6/opini/opini1.htm

Oleh : Didik Triwibowo ST

Sudah sebegitu angkuhnya kita,
Sudah sebegitu congkakkah kita,
Di hadapan Nya?
Hingga Ia Yang Maha Kasih
menegur kita dengan dahsyatnya bencana?

Di tengah duka kita yang mendalam atas terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) serta di belahan Asia lainnya, tersisa pertanyaan: Mengapa terjadi begitu berturut-turut di negeri tercinta ini? Mengapa begitu dahsyat meluluhlantakkan kehidupan tanpa sisa? Duka apa lagi yang mesti kami hadapi?

Melihat secara live dari lokasi bencana, dari foto media dan siaran radio, seakan-akan kita yang safe di sini dapat merasakan sendiri duka itu, tangis pilu kehilangan saudara, harta benda. Memang, bencana ini menimpa siapa saja tanpa melihat apakah ia pejabat atau bukan, keluarga kerajaan atau rakyat biasa, kaya atau miskin, anak-anak atau orang tua, wanita ataupun laki-laki, hewan, tanaman, rumah biasa, gedung perkantoran, masjid dan semua yang ada di laut ataupun daratan tersapu oleh dahsyatnya hantaman tsunami setelah sebelumnya digoncang oleh gempa bumi. Kita berduka, Indonesia berkabung.

Simpati dunia sungguh besar atas musibah terbesar sepanjang seratus tahun terakhir. Belum pernah ada bencana yang melanda secara bersamaan di banyak negara; Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, Maladewa, Somalia, Bangladesh dan Malaysia, dengan begitu banyak korban jiwa. Badan yang terkait di Perserikatan Bangsa- Bangsa didukung pemerintahan negara yang tidak terkena musibah, mulai turun tangan menyiapkan bantuan untuk segera dapat diberikan kepada korban.

Sekjen PBB menilai pentingnya koordinasi dengan pemerintah di masing-masing negara yang terlanda musibah, agar bantuan dapat tepat sasaran dan diterima oleh mereka yang berhak. Kita mengutuk siapa pun yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, mereka yang menilep bantuan atau berbuat nista lainnya di atas penderitaan saudaranya. Dan, celakanya benar-benar ada manusia jenis ini.

Menurut laporan BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika), tsunami tersebut dipicu oleh gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR) yang terjadi di tengah laut sekitar 149 km selatan Meulaboh, Aceh Barat dengan kedalaman hipocenter (pusat gempa) pada 20 km. Sedangkan menurut pengukuran USGS (United States Geological Survey), gempa tersebut berkekuatan 8,9 SR (BPost, Senin 27/12). Jika memang kekuatan versi USGS benar, artinya gempa di Aceh ini merupakan gempa terbesar kedua di dunia dengan kekuatan di atas 8 SR.

Tsunami

Tsunami (tsu nah mee) merupakan kosa kata Jepang yang sangat populer untuk menamakan gelombang laut sangat besar yang ditimbulkan gempa laut, berhubungan dengan gempa bumi, longsor dasar laut, sesar (fault) dasar laut atau letusan gunung api bawah laut. Sering juga tsunami disebut gelombang pasang. Namun istilah ini kurang tepat, karena tsunami tidak ada hubungannya dengan peristiwa pasang surut sehari-hari.

Istilah teknisnya adalah seismic sea waves, gelombang laut akibat getaran (mendadak). Getaran ini bisa dipicu kejadian yang bermacam-macam seperti yang disebutkan di atas. Namun yang terhebat dan paling dahsyat dipicu oleh pergeseran mendadak di dasar laut, yang umumnya terjadi di sepanjang zona penunjaman (subduksi) yang juga selalu berasosiasi dengan gempa tektonik.

Di Indonesia, zona penunjaman ini merupakan tunjaman lempeng samudera yang dinamakan Lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng benua bernama Lempeng Asia. Zona tunjaman letaknya kira-kira di laut lepas yang jika dirunut dari barat Indonesia dimulai dari sebelah selatan Aceh, selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali, Lombok, Timor dan membelok ke utara di timur Maluku menerus ke Filipina. Zona yang panjang ini meliuk dan melingkar seperi sabuk dan merupakan pusat sebaran gempa dunia, sehingga dikenal sebagai Sabuk Gempa Bumi Dunia. Karena salah satu penyebab tsunami yang paling dahsyat adalah gempa, maka otomatis daerah yang dekat dengan zona di atas merupakan kawasan rawan terhadap bahaya tsunami. Sementara dapat juga dikatakan daerah seperti pantai utara Jawa serta Kalimantan, cenderung aman dari terjangan tsunami.

Dalam sejarah panjang tsunami, ada juga yang dipicu oleh longsoran besar, seperti terjadi di Teluk Lituya, Alaska pada 9 Juli 1958. Di mana longsor akibat gerakan sesar menyebabkan longsornya puluhan juta meter kubik material ke teluk yang kemudian memicu tsunami dengan kecepatan sampai 160 km/jam, menghancurkan permukiman di sepanjang tepian teluk di seberangnya (Miller, 1960). Tsunami seperti ini juga pernah terjadi di Sugami Bay, Jepang pada 1933 dan Valdez, Alaska pada 1964.

Catatan spektakuler lain adalah tsunami yang disebabkan meletusnya Gunung Krakatau, Selat Sunda pada 27 Agustus 1883 yang menyebabkan 30.000 manusia meninggal tersapu gelombang. Waktu itu tsunami yang menyapu pantai mencapai ketinggian lebih dari 30 meter dan menghantam Jawa serta Sumatera.

Jepang, negara asal kata tsunami adalah yang paling sering menderita karena terjangan tsunami. Sejak 1596, Jepang menderita lebih dari 10 kali bencana tsunami paling mematikan. Sebagai contoh, pada 1707 saat terjadi gempa bumi tektonik melahirkan gelombang raksasa di Osaka Bay melemparkan 1.000 kapal yang berlabuh di pantai ke daratan.

Bagaimana Tsunami Menyapu Pantai?

Saat terjadi gempa bumi tektonik di tengah laut yang dapat menimbulkan tsunami, gelombang yang dihasilkan bergerak di laut lepas memiliki panjang gelombang antara satu puncak gelombang dan lainnya bisa mencapai 100 km, dengan tinggi gelombang tidak sampai satu meter. Karenanya, gelombang ini bahkan tidak dirasakan oleh kapal kecil yang ada di tengah laut terbuka.

Namun jika kita hitung kecepatannya, tsunami mampu mencapai kecepatan sampai 700 - 800 km/jam. Kecepatannya akan semakin berkurang seiring dengan semakin dangkalnya laut saat akan mencapai pantai, tetapi panjang gelombangnya semakin pendek dan tinggi gelombangnya menjadi berlipat, sampai 30 meter. Maka tak heran, jika ada korban yang tersangkut di pohon tinggi.

Saat gelombang mencapai pantai (run up), ia termodifikasi sesuai bentuk garis pantai dan juga topografi dasar pantai. Ada beberapa bagian pantai seperti teluk yang agak sempit atau mulut sungai terjadi konsentrasi energi, di mana tinggi run up mencapai maksimumnya. Sementara di bagian pantai lainnya energi tersebar di daerah yang lebih luas, run up-nya rendah.

Gelombang ini mencapai pantai tidak dalam satu waktu bersamaan. Jika pendekatan ini kita pakai untuk tsunami, maka ada fenomena di mana saat akan terjadi tsunami air di pantai surut ke laut secara drastis, meninggalkan ikan di pantai. Seperti yang terjadi di Hilo, Hawaii pada 1932. Saat itu orang-orang di pantai serta merta berlarian ke tengah laut menangkapi ikan yang tersebar, namun tak lama kemudian mereka harus tergulung puncak tsunami pertama yang mencapai pantai.

Di lain tempat mungkin sebelumnya air laut justru naik, sebelum gelombang sebenarnya menyapu tempat tersebut. Tsunami terjadi tidak hanya satu kali, mungkin merupakan seri yang berurutan dengan interval bervariasi dari hitungan menit sampai jam. Hantaman gelombang pertama tidak selalu yang terbesar, hingga kita harus berhati-hati setelahnya. Di Hawaii, 1946, di beberapa tempat justru yang terdahsyat adalah tsunami kedelapan.

Gempa bumi di Aceh menyebabkan timbulnya gelombang air laut dengan kecepatan tinggi dan mencapai kawasan pantai negara yang ada di dekatnya, Maladewa, India, Somalia, Thailand, Bagladesh, Sri Lanka, Malaysia dan terberat Indonesia. Kira-kira gelombang ini berlari dari sumbernya di Aceh lebih kurang 4.500 km untuk mencapai kawasan pantai negara lain.

Tsunami sangat berhubungan erat dengan gempa bumi tektonik di tengah laut. Jika gempa memiliki SR, maka Jepang mengajukan skala tingkat tsunami. Kekuatan tsunami berbanding lurus dengan kekuatan gempa. Sebagai contoh, gempa dengan kekuatan 7 SR akan menyebabkan tsunami dengan kekuatan 0 dan maksimum run up 1 - 1,5 meter yang sama sekali tidak berbahaya. Namun gempa berkekuatan 8,25 SR memicu tsunami grade 3 dengan maksimum run up 8 - 12 meter. Jika 8,9 SR seperti di NAD? Tentu tinggi gelombangnya jauh lebih besar dan lebih dahsyat.

Apa Yang Bisa Dilakukan?

Misi pertama adalah pertolongan terhadap korban yang selamat, menjamin tersedianya layanan kesehatan yang memadai dan pasokan makanan yang cepat dan kontinu. Rusaknya berbagai fasilitas umum, air bersih, listrik dan transportasi yang terputus merupakan tantangan terberat. Kita percaya. pemerintah dan seluruh komponen bangsa ini bahu-membahu mengulurkan dana dan tenaga serta segala upaya untuk membantu korban.

Ke depan, belajar dari sejarah bencana sebelumnya, perlu sekali dikaji penerapan sistem peringatan dini (Early Warning System) terhadap semua potensi bencana yang ada di Indonesia dan melaksanakannya secara berkesinambungan meski dalam kondisi aman sekalipun. Masyarakat awam perlu diberi bekal pengetahuan praktis dan cukup tentang potensi bahaya yang paling dekat dengan mereka, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, angin ribut dll.

Mitigasi (pengurangan risiko) bencana alam dapat dilaksanakan dalam kerangka mengurangi besarnya kerugian dengan memetakan, mengevaluasi dan menentukan zona rawan bencana, dari tingkat paling rawan sampai aman serta menyosialisasikannya kepada masyarakat luas. Hal itu akan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Khusus mengenai bencana tsunami, dikenal adanya Seismic Sea Wave Warning System (SSWWS). Sistem ini mendasarkan pada jalinan kerjasama antarbadan dan lembaga, seperti Badan Survai Geodetik, AL, AU, Geological Survey, Penjaga Pantai, Oceanografi, maritim serta observator seismologi di dunia yang akan memantau dan menginformasikan semua gempa bumi yang terjadi yang dapat memicu tsunami, kepada aparat terkait di negara yang memiliki kawasan pantai terdekat.

Sebagai contoh, saat gempa di Cile, tsunami baru mencapai kepulauan Hawaii setelah 10 jam dan menyapu Jepang setelah 20 jam. Di bawah sistem ini, tentu akan ada cukup waktu untuk menyelamatkan diri begitu informasi mengenai gempa diterima dari aparat terkait (polisi, pemerintah). Maka, dapat dilakukan tindakan evakuasi di seluruh kawasan pesisir hingga tidak akan ada lagi korban.

Akhirnya, teriring doa serta simpati terhadap korban, mungkin tak perlu dijawab pertanyaan di atas. Hanya, semoga kita yang safe di sini semakin berendah hati di depan Nya, semakin arif, semakin sadar betapa sombongnya kita selama ini. Semoga.

Guru Geologi Struktur
di STM (Pertambangan) Sabumi, Banjarbaru

Email: d12k3w@yahoo.com