Sabtu, 05 Agustus 2006

Perikanan Sumbar sulit penuhi permintaan pasar

Tanggal : 5 Agustus 2006
Sumber : http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=268&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&p_ared_id=460541&p_ared_atop_id=O03
Oleh :Tularji

Letak Provinsi Sumbar di pantai barat pulau Sumatra sangat menguntungkan karena potensi kelautan dan perikanannya sangat besar. Sayangnya, pemberdayaan sektor perikanan tidak optimal, sehingga belum menghasilkan produktivitas yang signifikan terhadap perekonomian daerah ini.

Potensi kelautan dan perikanan di Provinsi Sumbar tersebar di tujuh daerah kabupaten dan kota a.l. Kota Padang, Pariaman, Kab. Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, Pasaman Barat, Agam, dan Padang Pariaman.

Potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar tersebut sampai saat ini belum dioptimalkan oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten dan kota yang memiliki kawasan laut tersebut.

Banyak pendapat mengatakan kalau di Selat Melaka sudah over fishing, sebaliknya perikanan di laut Sumbar tidak tersentuh atau justru menjadi incaran nelayan asing yang memiliki teknologi tangkap modern.

Parahnya lagi, nelayan di daerah ini belum bergerak kepada upaya optimalisasi potensi perikanan dan kelautan karena terbatasnya modal, teknologi yang sudah ketinggalan dan kualitas sumber daya manusia yang rendah.

Karena itu, potensi perikanan Sumbar yang diperkirakan mencapai 996.439 ton per tahun atau sekitar 20% dari potensi perikanan nasional baru tergarap 30% dan itu pun sebagian besar digarap nelayan luar, seperti Sumatra Utara dan nelayan asing.

Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Sumbar beberapa waktu lalu merilis potensi perikanan laut Sumbar menjadi incaran nelayan asing karena potensinya masih besar. Sementara daya tangkap nelayan lokal rendah.

Parahnya lagi, menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPD HNSI) Sumbar Mirwan Pulungan, eksploitasi potensi perikanan laut tidak optimal. Ini disebabkan nelayan yang benar-benar berprofesi sebagai nelayan sangat minim.

Produksi Perikanan Laut Sumbar (dalam ton)
NoKabupaten/Kota 20042005
1. Padang 19.160 20.405
2. Pariaman 6.332 6.722
3. Kepulauan Mentawai 10.597 11.286
4. Pasaman Barat 22.573 24.041
5. Agam 3.123 3.326
6. Padang Pariaman 16.470 17.541
7. Pesisir Selatan 24.110 25.591

Jumlah102.365108.912
Sumber: Pemprov Sumbar

Jumlah perahu nelayan 2005
Kabupaten/ kota Tanpa motorMotor tempelKapal motor
Padang 486 431 349
Pariaman 56 66 56
Kepulauan Mentawai 642 201 36
Pasaman Barat 1.143 43 263
Agam 565 76 66
Padang Pariaman 591 346 74
Pesisir Selatan 599 421 560
Jumlah 4.082 1.582 1.404
Sumber: Pemprov Sumbar

Pasalnya, selain menangkap ikan, banyak nelayan yang berprofesi sebagai petani, buruh, berkebun, pedagang dan sebagainya, sedangkan yang benar-benar berprofesi sebagai nelayan hanya 15%.

Permintaan tinggi

Gubernur Sumatra Barat Gamawan Fauzi mengatakan pasar produk perikanan laut Sumbar sangat menjanjikan karena kualitasnya cukup bagus. "Berapapun besarnya yang akan diekspor, negara-negara tujuan ekspor siap menampung," katanya kepada Bisnis pekan ini.

Menyinggung sulitnya memenuhi permintaan pasar luar negeri, dia mengatakan penyebab utamanya adalah kemampuan nelayan dalam meningkatkan volume tangkapan masih rendah karena alat tangkap yang digunakan terbatas.

Menurut dia, jenis alat yang digunakan nelayan selama ini memang bervariasi seperti tonda, pancing tonda (kail dengan banyak mata pancing yang ditarik dengan kapal), pancing biasa dan jaring kecil.

Sedangkan kurangnya modal, minimnya penguasaan teknologi menyebabkan hasil tangkapan nelayan tidak memuaskan, bahkan sebagian nelayan di daerah itu justru malas melaut.

Apa yang dikatakan Gubernur memang benar. Ketika Bisnis menelusuri pada salah satu daerah penghasil ikan terbesar di Sumbar yakni Kepulauan Mentawai, terungkap pasar perikanan dari Sumbar menjanjikan, tapi permintaan tersebut sulit dipenuhi.

Seperti diungkapkan Salius, 41, seorang pedagang pengumpul besar yang memiliki empat kapal penangkap ikan berbasis di Tua Pejat, Ibu Kota kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan pasar ekspor produk perikanan dari Perairan Sumbar menjanjikan.

Buktinya, kata dia, ratusan nelayan daerah itu yang beroperasi dengan menggunakan kapal berkapasitas 10 GT-15 GT tidak mampu memenuhi tingginya permintaan pasar terutama pasar ekspor.

Sebagai gambaran, tambahnya, mulai Mei lalu, importir asal Hong Kong siap menampung dan membeli ikan kerapu hidup dengan harga yang cukup tinggi yakni Rp80.000 per kg di tingkat nelayan.

Menariknya lagi, nelayan tidak perlu bersusah payak mengekspor ikan kerapu hidup tersebut ke negara tujuan, tapi cukup mengumpulkan kerapu hidup tersebut sebab importir Hong Kong telah menyiapkan kapal untuk menjemputnya.

"Sayang, seluruh pedagang pengumpul di daerah ini rata-rata hanya mampu menyediakan 50 kg -150 kg per bulan sehingga permintaan importir Hong Kong yang mencapai ratusan ton tersebut tidak bisa dipenuhi," kata Salius.

Demikian juga dengan pasar tuna. Meskipun saat ini pemprov sedang mengoptimalkan daya tangkap ikan tuna karena pasarnya sangat menjanjikan, tapi belum mampu memenuhi tingginya permintaan.

Kendala ekspor tuna juga terletak pada alat kargo yang terbatas karena saat ini ekspor ikan tuna tidak didukung oleh fasilitas pesawat kargo khusus, tapi melalui pesawat regular dengan kemampuan angkut yang terbatas.

Sebagai gambaran, sampai posisi Mei tahun ini, nilai ekspor tuna mencapai Rp34 miliar dengan volume 500 ton. Sementara pasar ekspor terutama Jepang, siap menampung berapapun banyaknya ikan tuna yang akan diekspor dari provinsi ini.

Untuk mengoptimalkan eksploitasi ikan tuna, pemprov menyiapkan delapan unit kapal khusus tangkap ikan tuna berkapasitas 15 GT.

Investor melirik

Pemprov Sumbar tahun ini terus mendorong investasi pada sektor kelautan dan perikanan serta mengoptimalkan potensi perikanan untuk menggerakkan perekonomian daerah ini dengan meluncurkan program revitalisasi perikanan.

Dalam program revitalisasi ini, pemprov menargetkan dapat memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan secara profesional untuk mendukung masyarakat Sumbar sejahtera pada 2010 mendatang.

Program revitalisasi diluncurkan dengan sasaran mendasarnya a.l. meningkatkan pendapatan nelayan dan pembudidaya ikan sebesar Rp1 juta per orang per bulan, kemudian mengentaskan kemiskinan nelayan sebanyak 3.100 kepala keluarga dan meningkatkan konsumsi ikan antara 26 kg-30 kg per kapita.

Hasilnya mulai kelihatan dan investor asing mulai melirik potensi kelautan dan perikanan provinsi ini, meskipun belum ada realisasinya. Menurut catatan Bisnis, sampai semester I/2006, sudah sembilan investor asing yang berminat berinvestasi pada sektor kelautan dan perikanan di provinsi ini.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar, Fachri Syam mengatakan ada lima investor dari Singapura yang akan berinvestasi di daerah ini. Mereka membutuhkan pasokan ikan segar sebesar 10 ton per hari.

Selain itu, ada dua investor asal Korsel yang akan berinvestasi sekitar Rp300 miliar masing-masing Rp200 miliar untuk membangun perusahaan tambak udang di Kabupaten Pesisir Selatan pada areal seluas 400 ha. Sedangkan, Rp100 miliar yang merupakan investasi perusahaan konsorsium Sigma Group of Companies, untuk membangun kota ikan (fish town).

Satu investor asal Malaysia akan berinvestasi sebesar Rp200 miliar untuk proyek pengadaan kapal tangkap ikan tuna berkapasitas 60 GT -100 GT dan pendirian pabrik pengalengan ikan.

Sayangnya investor asing tersebut belum merealisasikan rencananya. Mereka membutuhkan waktu untuk benar-benar yakin berinvestasi di daerah ini sangat menguntungkan. Bisa jadi investor asing masih membutuhkan kepastian hukum dan jaminan keamanan.

Jumat, 04 Agustus 2006

Hutan Bakau Pesisir Sulsel Perlu Direhabilitasi

Tanggal : 4 Agustus 2006
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0608/04/daerah/2854082.htm
Oleh
Reny Sri Ayu Taslim


Bencana tsunami di Aceh akhir 2004 tiba-tiba saja membuka mata banyak orang untuk melihat lagi kondisi pesisir masing-masing.

Mangrove atau bakau dan apa pun jenis tanaman air asin lainnya menjadi pembicaraan penting. Demikian pula Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang tergugah untuk merehabilitasi hutan bakaunya yang sudah kritis dan parah kondisinya.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah Sulsel Tan Malaka Guntur memaparkan, selama kira-kira 20 tahun terakhir, hutan bakau di sepanjang pesisir Sulsel berkurang hingga 90 persen. Sebagai gambaran, kalau 20 tahun lalu daerah ini masih memiliki 214.000 hektar (ha) hutan bakau, saat ini yang tersisa tinggal 26.000 ha. Areal sisa ini pun menunjukkan kecenderungan kian menyusut.

Menurut Tan Malaka, berkurangnya hutan mangrove terjadi di hampir seluruh pesisir Sulsel yang membentang di garis pantai sepanjang 1.973 kilometer (km). Akibatnya, nyaris di sepanjang pesisir Sulsel terjadi abrasi cukup parah.

"Abrasi ini bukan hanya menggerus jalan, tapi juga lahan pertanian, perkebunan, dan perkampungan penduduk. Sebagai contoh, abrasi di Kabupaten Pinrang dan Mangara Bombang di Kabupaten Takalar dan hampir di semua kabupaten," kata Tan Malaka.

Tidak adanya bakau, di beberapa desa di pesisir di Kabupaten Pangkep, terutama di wilayah yang berbatasan dengan laut lepas, membuat warga menderita bila air pasang.

"Kalau air pasang, terutama antara bulan November hingga Februari atau Maret, air masuk ke perkampungan dan rumah- rumah bisa terendam hingga sebatas betis atau paha orang dewasa. Makanya sekarang dibuat jalan-jalan desa yang posisinya cukup tinggi yang sekaligus bisa jadi semacam tanggul," ujar Abdul Djabar, Ketua Rukun Kampung Lamasik, Desa Boddie, Kecamatan Mandalle, Pangkep.

Hilangnya hutan bakau ini secara umum bukan hanya menyebabkan banyak orang terpaksa kehilangan rumah, sawah, dan kebun, tapi sekaligus menghilangkan mata pencarian. Kepiting dan beberapa jenis ikan dan udang yang berkembang biak di bawah akar-akar bakau, di sejumlah tempat di Sulsel, kini sudah punah.

Di Kecamatan Galesong Selatan di Kabupaten Takalar, misalnya, hilangnya hutan bakau dan penangkapan yang berlebihan membuat populasi kepiting rajungan mulai punah. Bahkan, sejumlah usaha rumahan yang bekerja sama dengan perusahaan pengekspor rajungan sudah berhenti berproduksi.

Di Desa Buku, Polman, hutan bakau juga menyebabkan kepiting yang pernah menjadi mata pencarian penduduk kini tinggal kenangan. Hal yang sama terjadi di Kecamatan Mandalle, Segeri, dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Pangkep. "Dulu banyak kepiting yang hidup di sini, tetapi sekarang sudah hampir tidak ada lagi. Kalaupun ada kepiting, jumlahnya sedikit dan ukurannya kecil-kecil," kata Abdul Jabar.

Di desa tersebut abrasi telah menggerus perkampungan dan tambak sehingga sebagian warga memilih merantau ke daerah lain hingga Malaysia. "Di sini rumah dan terutama mata pencarian mereka sudah hilang. Dulu di Pantai Buku banyak sekali kepiting dan banyak yang menjadikannya mata pencarian. Tetapi, sejak hutan bakau habis, kepiting tidak ada lagi," ungkap Ibrahim, Kepala Badan Perwakilan Desa Buku.


Rehabilitasi kawasan pesisir

Sebenarnya, ada hal yang lebih penting dari sekadar kehilangan permukiman, lahan pertanian, perkebunan, penghasilan, dan lainnya, yakni ancaman akan kehilangan segala-galanya bila terjadi bencana tsunami. Tanpa bakau, tsunami akan leluasa memorakporandakan kawasan pesisir. Di Sulsel, dari 23 kabupaten/kota, hanya empat kabupaten yang tidak berbatasan dengan laut.

Peneliti yang juga Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Niarti Ningsih mengingatkan pemerintah akan bahaya pesisir tanpa bakau.

"Berkaca pada bencana tsunami di Aceh, Pangandaran, dan banjir bandang di Kabupaten Sinjai, penanaman kembali bakau harus lebih digiatkan. Di Sinjai, misalnya, kerusakan yang terjadi di Tongke-Tongke dan sekitarnya yang dipenuhi bakau masih lebih ringan ketimbang daerah lain," paparnya.

Karena berbagai alasan inilah Pemprov Sulsel bekerja sama dengan pemerintah kota/kabupaten dan masyarakat pesisir untuk merehabilitasi kawasan pesisir dengan menggalakkan kembali penanaman bakau.

Penanaman kembali bakau, kata Tan Malaka, tidak dilakukan sekaligus, tapi bertahap dan simultan di berbagai daerah. Misalnya, pemprov menanam 10 ha-20 ha di tiap kabupaten dan pemerintah kabupaten/kota juga menanam sejumlah itu.

"Modelnya semacam demplot. Agar masyarakat mau terlibat secara langsung dan intensif, kami memberikan insentif. Selain diberi bibit dan diajari cara menanam, mereka juga diberi modal sebagai tambahan penghasilan. Misalnya kami beri bibit rumput laut, alat menangkap ikan, dan lainnya. Jadi mereka punya motivasi untuk menanam dan menjaga bakau," ungkapnya.

Diharapkan, jika setiap tahun 20 kabupaten masing-masing menanam sedikitnya 20 ha bakau, maka setidaknya setiap tahun target perluasan hutan bakau 300 ha-500 ha bisa tercapai.

Sayangnya, rencana itu tidak mudah diwujudkan di lapangan. Faktanya, penanaman kembali bakau dan sejenisnya sungguh tidak mudah dilakukan. Sepanjang dua tahun penggalakan kembali penanaman bakau, tingkat keberhasilan di setiap tempat hampir sama, yakni hanya sekitar 20-30 persen.

"Kalau menanam pada musim kemarau tanamannya mati. Tetapi, kalau menanam pada saat air pasang dan ombak besar, baru ditanam sudah rusak dibawa ombak. Sekalipun sudah diberi patok penahan ombak, tapi kalau ombaknya besar, patoknya pun terbawa ombak," tutur M Gading, Ketua Kelompok Tani Makmur, Desa Boddie, Kecamatan Mandalle.

Seluruh kelompok tani di desa-desa di seluruh kabupaten di pesisir memang dilibatkan langsung dalam kegiatan ini.

Abdul Madjid dari kelompok tani di Kecamatan Segeri mengakui, "Selama dua tahun saya menanam bakau, bisa dibilang tingkat keberhasilannya hanya sekitar 20-30 persen."

Sebenarnya, selain bakau, di sejumlah pesisir, tanaman lokal yang oleh masyarakat sekitar disebut pohon api-api tumbuh subur. Fungsinya hampir seperti bakau karena juga tumbuh di air asin dengan tanah berpasir. Akarnya pun dinilai cukup kuat untuk menahan gerusan ombak di tanah. Bahkan, tanaman ini jauh lebih mudah tumbuh.

"Sejak dulu kebanyakan memang pohon api-api yang tumbuh. Pohon api-api ini biasanya tumbuh sendiri. Kalau buahnya sudah jatuh, biasanya tumbuh sendiri tanpa perlu dipelihara. Akarnya juga cukup kuat menahan ombak yang menggerus tanah. Bahkan, kalau ombak datang membawa tanah dan lumpur akan membuat tanah di bawah pohon bertambah tinggi karena tertahan di akar pohon," papar Abdul Jabar, warga Desa Boddie, Pangkep.

Menurut Niarti Ningsih yang meneliti bakau sejak tahun 1990-an, menanam bakau memang tidak bisa dilakukan asal-asalan karena perlu perlakuan khusus. Pada tanah berpasir, yang paling tepat ditanam adalah risophora. Sedangkan di lahan berlumpur dan berair, cocok untuk bakau dengan beberapa jenisnya. Untuk pesisir di laut lepas sebaiknya tanaman diberi pemecah ombak atau patok-patok yang cukup kuat menahan ombak.