Senin, 18 Desember 2006

Bakorkamla, ”Coast Guard”, Keamanan Maritim

Tanggal : 18 Desember 2006
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0612/18/opi01.html
Oleh
Alman Helvas Ali

Dalam beberapa waktu terakhir, wacana pembentukan Penjaga Pantai (Coast Guard) di Indonesia mengemuka di kalangan terkait. ALRI bersama para pemangku kepentingan di laut sebagai salah satu penggagas berupaya mensosialisasikan tentang pembentukan Penjaga Pantai kepada pihak-pihak terkait, sebagaimana dilakukan dalam seminar tentang Pendirian Penjaga Pantai pada 13 Desember 2006 di Jakarta. Wacana pembentukan Penjaga Pantai sendiri tidak lepas dari konteks keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik pasca 11 September 2001, khususnya di perairan yurisdiksi Indonesia.

Namun di sisi lain, pemerintah telah membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2005. Secara sepintas akan timbul banyak pertanyaan tentang eksistensi Bakorkamla dikaitkan dengan wacana pembentukan Penjaga Pantai. Tulisan ini akan membahas tentang penataan ulang manajemen keamanan nasional di laut dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.

Sudah menjadi kelaziman bahwa isu keamanan maritim tidak saja melibatkan institusi militer (baca: AL), namun juga lembaga sipil. Pelibatan lembaga sipil bukan karena ketidakmampuan AL, namun karena ada aspek-aspek dalam keamanan maritim yang secara teknis tidak berada dalam yurisdiksi Angkatan Laut. Salah satu bentuk nyatanya adalah eksistensi Penjaga Pantai di berbagai negara yang bertugas dalam bidang keamanan dan keselamatan pelayaran.

Praktek serupa sebenarnya sudah diakomodasi dalam ketentuan hukum di Indonesia sejak dahulu, misalnya dalam Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO), Staatsblad 1939 No.442. Dalam TZMKO 1939 yang masih berlaku hingga hari ini (kecuali pasal tertentu), kewenangan di bidang keamanan dan keselamatan pelayaran diberikan kepada AL dan Jawatan Pelayaran. Namun seiring dengan berjalannya waktu, banyak undang-undang lain yang lahir di kemudian hari tidak mengacu kepada TZMKO 1939, sehingga membuat manajemen keamanan nasional di laut carut marut.


Kegagalan Bakorkamla

Sebagai contoh, setidaknya ada 12 instansi saat ini yang beroperasi di laut dan ada gelagat instansi-instansi darat lainnya akan pula melebarkan kewenangannya ke laut. Padahal di sisi lain, secara yuridis rezim hukum di darat tidak sama dengan rezim hukum di laut, sehingga tidak secara otomatis hukum yang berlaku di darat berlaku pula di laut. Penting untuk dipahami bahwa rezim hukum laut menganut bendera kapal sebagai subyeknya, bukan warga negara.

Manajemen semakin kacau setelah terbit Peraturan Presiden No.81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Berdasarkan pengalaman di masa lalu, Bakorkamla tidak akan efektif menangani keamanan maritim karena dia hanya lembaga koordinasi. Eksistensi Bakorkamla tidak menghilangkan kewenangan instansi laut untuk beroperasi di laut dan di situlah kunci kegagalan Bakorkamla lama yang dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Hankam/Pangab, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung pada 1972.

Namun kegagalan Bakorkamla di masa lalu sepertinya tidak menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk menata kembali manajemen keamanan nasional di laut. Justru sebaliknya pemerintah membuat Bakorkamla baru yang dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden. Apabila dikaji secara mendalam, secara operasional tidak ada perbedaan antara Bakorkamla 1972 dengan Bakorkamla 2005 sebab lembaga itu tetap mengandalkan aset operasional pada instansi yang sudah lama eksis. Perbedaannya antara Bakorkamla 1972 dengan Bakorkamla 2005 hanyalah pada dasar hukum yang berkonsekuensi pada anggaran.

Eksistensi Bakorkamla adalah salah satu kendala bagi pembentukan Penjaga Pantai. Apalagi ada pemikiran di sebagian kalangan bahwa penataan ulang manajemen keamanan nasional di laut secara operasional berarti penyederhanaan aktor yang berkecimpung di laut. Secara ekstrim cukup hanya dua aktor yang berperan dalam mengamankan kepentingan nasional di laut, yaitu AL dan Penjaga Pantai.

Penjaga Pantai adalah lembaga sipil yang berada di bawah Menteri Perhubungan yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan pelayaran. Secara tradisional, Penjaga Pantai merupakan kekuatan cadangan AL, sehingga tak aneh bila mempunyai kemiripan tradisi, tanda pangkat, penyebutan pangkat dan lain sebagainya dengan AL.


Proses Legislasi

Malaysia yang menarik pelajaran tentang kegagalan Bakorkamla di Indonesia, membentuk suatu institusi sipil tunggal semacam Penjaga Pantai yang bernama Maritime Enforcement Agency (MEA). Pembentukan MEA di Malaysia merupakan satu paket penataan manajemen keamanan lautnya, karena ada sekitar 11 instansi yang dilebur jadi satu di dalam organisasi baru. Peleburan 11 instansi itu sudah pasti melalui pula proses legislasi di parlemen, karena undang-undang di Malaysia tentang kewenangan di laut tidak jauh berbeda dengan Indonesia yaitu melibatkan banyak instansi.

Berangkat dari pemikiran bahwa instansi sipil yang menangani keamanan dan keselamatan pelayaran ke depan di Indonesia hanyalah Penjaga Pantai, DPR perlu diberikan pemahaman yang benar tentang kondisi manajemen keamanan nasional di laut saat ini yang carut marut. Hal ini sangat mendasar karena DPR merupakan salah satu aktor penting dalam penataan ulang manajemen keamanan nasional di laut. Singkatnya, perlu peran DPR untuk mengubah sekitar 12 undang-undang yang mengatur tentang kewenangan instansi di laut.

Proses legislasi di DPR akan merupakan proses yang panjang dan melelahkan, karena sudah pasti ada aktor tertentu yang tidak rela “ditendang” dari laut meskipun dia bukan aktor laut. Masalah kini kembali ke DPR, partai politik dan pemerintah sendiri, apakah semuanya sepakat menata kembali manajemen keamanan nasional di laut? Semestinya ketiga pihak ini setuju karena agendanya terkait dengan kepentingan nasional, kecuali kalau memang ada pihak tertentu yang sudah merasakan ”manisnya” laut sehingga resisten terhadap ide tersebut.

Sebagai simbol negara di laut, Pengawal Pantai harus mempunyai kewenangan hukum yang kuat. Direktorat Penjagaan dan Penyelamatan (dulu Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai/KPLP) yang oleh sebagian pihak digadang-gadang sebagai embrio Pengawal Pantai hanya memiliki kewenangan hukum yang sangat terbatas. Di situlah pentingnya peran DPR dalam proses legislasi untuk menata ulang manajemen keamanan nasional di laut.

Penulis adalah analis kekuatan laut dan keamanan maritim.

Minggu, 10 Desember 2006

Dampak Sirkulasi Air Pendingin Terhadap Ekosistem Laut

Tanggal : 10 Desember 2006
Sumber : http://lautanku.wordpress.com/category/opini/
Oleh Putri

Satu lagi seminar yang saya hadiri saat di Indonesia bulan kemarin. Seminar “Dampak Sirkulasi Air Pendingin terhadap Ekosistem Laut” yang diadakan oleh Jurusan Teknik Lingkungan ITB bekerja sama dengan PT Power Indonesia (anak perusahaan PLN) dan sebagai pelaksananya adalah Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ini bertempat di Aula Barat ITBmendadak juga :D pada tanggal 23 November 2006. Pada seminar ini saya hanya sebagai pendengar, itupun

Latar belakang seminar ini adalah rencana pembangunan kelistrikan Indonesia khususnya di Jawa, Madura, dan Bali dengan target total 10000 MW. Wow..bukan suatu yang kecil kan? Dan itu akan diimplentasikan ke banyak PLTU yang akan dibangun sepanjang pantai barat pulau Jawa hingga ke Bali. Sementara kita tahu sistem pembangkit listrik tenaga uap memerlukan air pendingin sebagai penggerak turbin dan hasil pembuangan yang keluar adalah air dengan suhu yang meningkat dapat lebih dari 8-10°C, yang tentunya meninggkat dari suhu air laut sekitarnya.

Inti dari seminar ini bertujuan untuk melihat seberapa besar limbah panas buangan dari suatu sistem PLTU dan bagaimana akibatnya terhadap lingkungan laut itu sendiri. Keterbatasan yang ada adalah belum adanya ketentuan batas baku mutu air limbah panas ini dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia. Dari banyaknya sebab dan akibat, serta keterbatasan itu yang diinginkan adalah pertimbangan penentuan batas baku mutu air limbah panas, solusi pengurangan dampak negatifnya hasil buangan limbah panas tersebut beserta perhitungan nominal jika solusi diberikan.

Tidak semua materi akan saya ulas disini, karena terus terang saya tidak punya ilmu tentang mesin pembangkit listrik ini, sehingga tidak banyak tahu. Demikian juga mengenai perhitungan secara ekonomis, untung dan ruginya pengelolaan yang dilakukan PT Power Indonesia dengan kenaikan setiap 1°C air lautnya. Berhubung saya bidangnya ‘cuma’ modelling oseanografi, maka tentang model yang ingin saya ulas disini. Jika ada yang berminat pembahasan yang lain, saya dapat CD semua presentasinya. Bisa diminta via email ke saya atau ke panitianya langsung (hehe.. )

Ada 2 peserta memberikan pendekatan hasil perhitungan penyebaran limbah panas ini berdasarkan model matematika 2D yang salah satunya dilakukan di Program Studi OseanografiDr. Dadang K. Mihardja dan tim Dr. Hang Tuah dari Jurusan Sipil (atau Teknik Kelautan ya? saya gak yakin..hehe harap maklum dah lama tidak berhubungan dengan orang dari jurusan lain) ITB. Untuk perairan laut Jawa pendekatan model 2D ini masih bisa diterima karena daerah perairan dangkal dan dapat dikatakan tercampur sempurna. Demikian juga tenaga penggerak angin yang relatif konstan di perairan laut Jawa sesuai musim yang berlangsung. oleh tim

Namun menjadi lain jika ada ketidakseimbangan akibat temperatur air yang dibuang lebih tinggi dibandingkan dengan air laut sekitar dalam hitungan waktu (debit outletnya). Tentunya hal lain yang menjadi penting harus kita tinjau adalah mixing zone daerah percampuran akibat temperatur tinggi yang rasanya kurang tepat jika ditinjau hanya menggunakan model 2D. Percampuran vertikal perlapisan juga akan menjadi signifikan. Belum lagi interaksi dengan atmosfer yang dapat dikatakan perubahan per waktu (jam-nya) bisa menjadi penting, dimana suhu udara, kelembaban, besarnya kecepatan angin termasuk faktor yang dominan didaerah mixing ini. Perubahan densitas air laut sendiri akan berubah akibat penambahan suhu air buangan ini ke laut, yang tentunya juga dapat mengubah sirkulasi air lautnya.

Di perairan bagian barat (Selat Sunda) hingga sepanjang selatan Pulau Jawa yang termasuk Samudra Hindia (laut dalam), tentunya pendekatan dengan 2D menjadi lebih tidak signifikan lagi. Model 3D baroklinik sangat diperlukan disini, sehingga tinjauan perubahan densitas, perubahan kecepatan angin, dan perubahan sirkulasi air lautnya dapat disimulasikan dengan baik dan mendekati kondisi fisik air lautnya.

Pertimbangan seperti itu rasanya diperlukan untuk memberikan informasi lingkungan yang lebih akurat.

(note : tidak ada foto dari seminar ini, karena mendadak dan kebetulan tidak bawa kamera)

Sabtu, 25 November 2006

Melestarikan Terumbu Karang Raja Ampat

Tanggal : 25 November 2006
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0612/18/humaniora/3175322.htm


Sabtu (25/11) sekitar pukul 18.30 WIT, radio komunitas yang dipancarkan melalui frekuensi 107,7 FM mengudara dari pesisir Pulau Sonek, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat.

Nazar Onim (28), sang pengelola radio itu, langsung menyapa pendengar dengan berbagai lagu populer. Setelah itu, siaran diisi dengan penyuluhan masalah lingkungan, terutama penyelamatan terhadap terumbu karang di kawasan perairan Raja Ampat.

"Ancaman yang paling serius terhadap keselamatan terumbu karang di sini adalah aksi pengeboman dan pembiusan ikan. Karena itu, segala cara dipakai untuk menyadarkan masyarakat, termasuk melalui radio komunitas, guna menyelamatkan terumbu karang," kata Veronica Manohas (24), sarjana perikanan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang kini menjadi penyuluh senior Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau Coral Reef Rehabilitation and Management Project (Coremap) di Pulau Sonek.

Radio berdaya jangkau 10 kilometer itu mengudara antara pukul 18.30 dan 22.00 WIT. Ini disesuaikan dengan waktu pelayanan listrik di pulau itu.

Ruang siaran hanya menggunakan sebuah kamar berukuran sembilan meter persegi. Total biaya pendirian stasiun radio untuk Coremap itu sekitar Rp 40 juta.

Selain menyiarkan masalah lingkungan pesisir, pantai, dan laut, radio yang mengudara sejak tahun 2005 itu juga menyiarkan program penyuluhan pendidikan. Semua jenis siaran itu diselingi pilihan pendengar berupa pemutaran lagu-lagu sehingga pendengar tidak bosan.

Dalam menyadarkan masyarakat tentang penyelamatan terumbu karang, penyuluh Coremap selalu memadukan dengan perlindungan terhadap hutan. Hal itu penting sebab jika hutan ditebang otomatis terjadi banjir. Banjir itu masuk ke laut dan berpeluang merusak terumbu karang.

Aksi penyelamatan dan pelestarian terumbu karang itu dilakukan sejak tahun 2003 melalui Coremap yang dibiayai Bank Dunia. Dalam kegiatannya di lapangan, program tersebut benar-benar membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat. Semua perencanaan kegiatan dibuat dan dikerjakan sendiri oleh masyarakat. Manfaatnya pun nantinya dinikmati masyarakat.

"Membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat itu tidak mudah dan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Itu sebabnya dibutuhkan fasilitator yang ulet dan tangguh," ujar Bun Rahawarin (32), penyuluh senior Coremap Distrik Waigeo Selatan.


Terlengkap di dunia

Berdasarkan hasil penelitian The Nature Conservacy tahun 2002 terungkap, dari 537 jenis karang dunia, sebanyak 75 persen di antaranya terdapat di perairan Kepulauan Raja Ampat. Di sana ditemukan pula 1.074 jenis ikan karang dan 700 jenis moluska.

Bahkan, di beberapa kawasan, kondisi terumbu karang masih sangat baik dengan penutupan karang hidup mencapai 90 persen. Ini terdapat di Selat Dampier, yakni antara Pulau Waigeo dan Pulau Batanta, Kepulauan Kofiau, Kepulauan Misool Timur Selatan, dan Kepulauan Wayag.

Tipe terumbu karang di Raja Ampat sangat beragam, mulai dari berkontur landai hingga curam. Ada juga tipe atol dan tipe gosong atau taka. Di beberapa tempat, seperti di pesisir Kampung Saondarek, ketika pasang surut terendah bisa disaksikan hamparan terumbu karang tanpa menyelam dan dengan adaptasinya sendiri. Karang tersebut dapat hidup walaupun berada di udara terbuka dan terkena sinar matahari langsung.

Keanekaragaman dan keindahan bawah laut ini membuktikan terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat mampu bertahan terhadap berbagai ancaman, seperti pemutihan karang dan penyakit, dua jenis yang kini mulai mengancam kelangsungan hidup terumbu karang di seluruh dunia.

Kuatnya arus samudra di Raja Ampat memegang peran penting dalam menyebarkan larva karang dan ikan melewati Samudra Hindia dan Pasifik ke ekosistem karang lainnya. Kemampuan itu didukung oleh keragaman dan tingkat ketahanannya, menjadikan kawasan ini prioritas utama untuk dilindungi.


Makin berkurang

Keunggulan lain adalah kejernihan air laut secara vertikal, mencapai kedalaman 30 meter sampai 33 meter. Untuk jarak pandang horizontal, sekitar 15 sampai 20 meter pada kedalaman 10 meter.

"Kenyataan ini merupakan kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan terumbu karang secara optimal, bahkan sangat menarik bagi penyelam untuk menikmati keindahan bawah laut perairan Raja Ampat," tutur Asisten Direktur Coremap II Bidang Penyadaran dan Penyuluhan Masyarakat Miftaful Huda.

Keterlibatan Bank Dunia dalam program pelestarian dan rehabilitasi itu sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi terumbu karang di Indonesia. Hasil riset Pusat Penelitian Oseanografi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan 39,5 persen terumbu karang di Indonesia rusak berat, 33,5 persen rusak (ringan), 21,7 persen cukup baik, dan hanya 5,3 persen yang masih dalam kondisi prima.

Bahkan, terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat yang dalam kondisi sangat baik pun tersisa 60 persen. Itu terjadi karena maraknya pengeboman ikan dan penggunaan akar bore (cairan dari olahan akar pohon tertentu untuk meracuni ikan).


Daerah otonom

Sejak 12 April 2003, Kepulauan Raja Ampat resmi menjadi daerah otonom yang terpisah dari Kabupaten Sorong. Otonomi itu di satu sisi akan mempercepat pelayanan bagi masyarakat, tetapi di sisi lain dikhawatirkan mengancam kelestarian terumbu karang, sebab demi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), yang haram bisa saja jadi halal.

Apalagi, 89 persen dari total luas wilayah Kabupaten Raja Ampat, yakni 45.000 kilometer persegi, adalah laut. Selain itu, 80 persen dari 5.000 kilometer persegi wilayah daratan merupakan kawasan hutan lindung. Jika potensi itu tak dikelola dengan baik, hal itu berpeluang mengancam kelestarian terumbu karang.

Untuk itu, Departemen Kelautan dan Perikanan menetapkan tiga jenis program Coremap di Raja Ampat. Pertama, pengembangan budidaya perikanan, seperti rumput laut. Kegiatan ini untuk mencegah pengeboman dan pembiusan ikan di laut. Kedua, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Ketiga, perlindungan terhadap potensi sumber daya kelautan.

Dalam implementasinya, Departemen Kelautan dan Perikanan menggandeng Conservation International Indonesia, lembaga yang berpengalaman menangani konservasi laut. Proyek tersebut melibatkan pemuda, perempuan, dan tokoh masyarakat yang berjumlah 150 orang. Mereka dibagi dalam berbagai kelompok, antara lain kelompok konservasi, kelompok pengawas konservasi, serta Lembaga Pengelolaan Sumber Daya Terumbu Karang.

Jumat, 24 November 2006

Penguasaan teknologi kelautan sementara ini harus didahulukan daripada pengembangan ilmu pengetahuan tentang kelautan. Pasalnya, teknologi akan memung

Tanggal : 24 November 2006
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0611/24/jatim/59443.htm


Penguasaan teknologi kelautan sementara ini harus didahulukan daripada pengembangan ilmu pengetahuan tentang kelautan. Pasalnya, teknologi akan memungkinkan eksplorasi kekayaan laut.

Dekan Fakultas Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Asjhar Imron menuturkan, potensi kekayaan laut Indonesia amat sedikit yang telah dieksplorasi dan dinikmati oleh bangsa Indonesia. Pasalnya, bangsa ini tidak menguasai sebagian besar teknologi bidang kelautan.

"Padahal, potensi itu amat besar. Bangsa ini mempunyai cukup modal untuk sejahtera dari hasil eksplorasi kekayaan laut," tuturnya dalam Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan di ITS, Surabaya, Kamis (23/11).

Eksplorasi secara optimal hanya dimungkinkan dengan penguasaan teknologi kelautan. "Bangsa-bangsa yang menguasai teknologi maju bidang kelautan terbukti menjadi bangsa yang maju," tuturnya.

Penguasaan teknologi kelautan juga akan membuat bangsa Indonesia menguasai teknologi maju. Lazimnya, teknologi keluatan lebih maju dari teknologi yang diaplikasikan di darat.

Dengan demikian, akan lebih baik bila Indonesia sementara ini mengutamakan penguasaan teknologi dari pada ilmu pengetahuan bidang kelautan. Ilmu pengetahuan lazimnya mengembangkan penelitian dasar.

Penelitian itu membutuhkan serangkaian pengembangan sebelum siap diaplikasikan sebagai teknologi. Padahal, saat ini bangsa Indonesia amat membutuhkan eksplorasi segera atas potensi laut. (RAZ)

Selasa, 14 November 2006

Miangas, Kawasan Ekonomi Khusus Maritim

Tanggal : 14 November 2006
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/14/opi01.html
Oleh Muhamad Karim

Pemerintah telah menetapkan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang mencakup Karimun, Bintan, dan Kota Batam, ketiganya merupakan pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengembangkan pula gagasan ini di wilayah lain yang memiliki basis ekonomi yang khas, misalnya kelautan dan perikanan? Mungkinkah KEK dikembangkan di wilayah perbatasan seperti Miangas, di Sulawesi Utara atau Pulau Sebatik di daerah Nunukan, Kalimantan Timur?

Kita menamakannya sebagai kawasan ekonomi khusus maritim (Kektim). Beberapa yang potensial adalah Pulau Miangas yang berseberangan dengan General Santos, Filipina, yang merupakan daerah industri perikanan terbesar di Asia Tenggara, Pulau Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia dan pulau Natuna yang dulunya sudah ditetapkan sebagai kawasan pengembanan ekonomi terpadu (KAPET).

Sayangnya, KAPET tidak berkelanjutan dan sampai kini tidak ada lagi beritanya. Hemat penulis, Kektim ini berorientasi dan berbasiskan pada kekuatan sumberdaya alam kelautan dan perikanan yang potensial seperti perikanan tangkap, industri perikanan, bioteknologi kelautan, budidaya laut, perkapalan, dan pariwisata bahari.

Pola pengembangannya dapat saja menduplikasi model kelembagaan otorita Batam, namun untuk Kektim lebih terkonsentrasi pada sumberdaya kelautan dan perikanan yang terpadu baik hulu maupun hilir.

Pemerintah tidak usah lagi memberikan izin kapal-kapal asing menangkap ikan di perairan Indonesia, tetapi pemerintah akan lebih tepat mengajak mereka untuk berinvestasi dalam bidang kelautan dan perikanan. Pemerintah tinggal menyiapkan paket kebijakan, aspek hukum dan kelembagaan yang mendukung investor dalam berinvestasi di daerah–daerah ekonomi khusus maritim itu.

Dukungan Pemerintah

Pengembangan Kektim sudah barang tentu membutuhkan dukungan pemerintah dari berbagai aspek. Hal ini penting karena daerah seperti pulau-pulau perbatasan dengan tetangga dihadapkan pada problem struktural yaitu kesenjangan pembangunan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan serta sumber daya alam.

Secara perinci problem tersebut antara lain (i) kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga (ii) kemiskinan masyarakat (iii) keterbatasan akses permodalan dan pasar bagi masyarakat, (iv) kebijakan fiscal dan moneter yang kurang kondusif (v) keterisolasian dan mobilitas penduduk akibat keterbatasan akses transportasi (vi) lemahnya penegakan hukum dan (vii) problem degradasi sumberdaya alam.

Dukungan pemerintah itu berupa, pertama, pembangunan infrastruktur strategis seperti pembangunan pelabuhan, jalan dan jembatan, cold storage dan pasar. Kedua, memperlancar akses armada transportasi laut seperti pelayaran perintis maupun kapal Pelni atau perintis dua kali seminggu. Ketiga, memperjelas status lahan di pulau-pulau kecil tersebut karena lahan-lahan tersebut akan mejadi lokasi untuk membangun infrastruktur pelabuhan, pengembangan akses jalan, industri pengolahan ikan, perkapalan, industri bioteknologi kelautan, perhotelan, pasar atau cottage.

Keempat, memperjelas kebijakan fiskal dan moneter. Umpamanya dalam bidang fiskal memberikan tax holiday, pajak bebas bea masuk barang dan jasa. Sementara itu, bidang moneter memberlakukan kebijakan membolehkan menggunakan dua mata uang, yaitu rupiah dan mata uang negara tetangga.

Kelima, memberikan dukungan aspek hukum dan kelembagaan yang akan mengelola kawasan otorita tersebut. Umpamanya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Kektim. Sementara itu, aspek kelembagaannya adalah membentuk badan pengelola model otorita Batam dahulu yang langsung diketuai Presiden RI dengan Ketua Hariannya instansi terkait.

Akan lebih baik apabila Ketua Hariannya adalah orang/pejabat negara yang memiliki akses kuat secara internasional dan posisi tawar politik tinggi di tingkat nasional. Di level implementasi dukungan kebijakan yang paling urgen adalah menyusun instrumen pendukungnya berupa Master Plan Kektim.

Keenam, gagasan ini tidak bermakna sama sekali bahkan mandek apabila tidak mendapatkan dukungan politik dari DPR maupun Presiden RI sendiri. Dukungan politik tersebut tidak sebatas melakukan upacara seremonial model Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) atau pembentukan tim koordinasi pengelolaan pulau-pulau perbatasan.

Ketujuh, antisipasi dampak social yang dulunya kurang terakomodir dalam kasus pengembangan Pulau Batam. Munculnya Kektim ini jangan sampai menjadi lahan baru berkembangnya bisnis obat terlarang, prostitusi, perjudian serta jaringan penyelundupan barang.


Mulai Saja dengan Miangas

Kedelapan, dukungan pertahanan dan keamanan, bukan melibatkan mereka dalam dunia bisnis, akan tetapi sebagai pihak yang memperkuat eksistensi NKRI dan konteks geo-politik, geostrategis maupun geo-ekonomi. Mengingat keterlibatan pihak-pihak asing dalam dunia bisnis dan investasi membutuhkan kenyamanan dan risiko yang rendah (low country risk).
Mengembangkan Kektim daerah perbatasan maritim akan berdampak pada, pertama, terjadinya pemanfaatan sumber daya kelautan danm perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam kurun waktu tahun 1999-2006 sejak pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dewan Maritim Indonesia (DMI), RPPK, belum ada output yang riil tentang pembangunan kelautan dan perikanan.

Semuanya jalan di tempat. Setidaknya dengan gagasan ini dalam kurun waktu lima tahun pemerintahan dengan mengembangkan satu kawasan saja—umpamanya Pulau Miangas—output-nya akan kelihatan.

Kedua, terjadinya pemerataan pembangunan. Kesenjangan pembangunan, kawasan maupun sektoral antara wilayak perbatasan dengan wilayah lain di Indonesia akan semakin berkurang. Ketiga, terciptanya lapangan kerja baru.

Berkembangnya investasi akan berimpliksi pada meningkatkan permintaan tenaga kerja. Implikasinya mobilitas manusia dari daerah-daerah yang padat penduduknya padat dan banyak pengangguran akan ke sini.

Keempat, terciptanya multiplier effect secara ekonomi karena akan berkembang pulau sektor-sektor ekonomi non-formal, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan jasa. Umpamanya, sektor informal seperti warung makan, perbengkelan, restoran, guide untuk pariwisata, salon, angkutan umum dan masih banyak lagi lainnya.

Kelima, secara geo-politik dan geo-strategis kita bangsa Indonesia telah memosisikan kawasan perbatasan maritim sebagai “halaman depan” dari NKRI. Hal ini akan berimplikasi terhadap munculnya perubahan paradigma pembangunan bangsa dari orientasi kontinental menjadi maritim dengan langkah awalnya adalah kawasan ekonomi khusus maritim.

Penulis adalah anggota Dewan Direktur Ocean Watch dan peneliti pada Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB

Rabu, 11 Oktober 2006

Korvet Canggih, Kekuatan Laut Indonesia

Tanggal : 11 Oktober 2006
Sumber : http://gunaryadi.blogsome.com/2006/09/26/korvet-canggih-kekuatan-laut-indonesia-dan-geopolitik-regional/
Oleh Gunaryadi

Penulis sedikit merinding menyaksikan 2 dari 4 korvet SIGMA-class yang dipesan TNI-AL di dok-kering milik “Schelde Naval Shipbuildings” di Vlissingen. Betapa tidak, kapal yang dibangun di bawah koordinasi dan supervisi Satgas Yekda Korvet TNI-AL di Belanda tersebut, berdiri gagah dalam tahap “sentuhan-akhir” yang secara resmi diberi nama KRI Diponegoro (365) dan KRI Hasanuddin (366) oleh Menhan Juwono Sudarsono, 16 September 2006.

Kehadiran korvet ini membawa secercah harapan memperkuat armada TNI-AL. Meskipun sudah termasuk “too little, too late”, kehadiran 4 kapal patroli dengan daya-jelajah “green-water” serta daya-pukul memadai itu cukup menggembirakan.

Dengan panjang 90,71 meter dan lebar 13,02 meter, kapal yang didesain modern dan memiliki karakteristik “siluman” (stealth) itu mampu melaju dengan kecepatan maksimum 28 knot.

Untuk menghadapi ancaman permukaan, udara dan bawah-air, korvet tadi dilengkapi dengan alutsista standar di kelasnya. Diantaranya mencakup rudal permukaan-ke-udara Mistral, rudal anti-kapal Excocet MM40, meriam atomatis Melara kaliber 76 mm, senapan-mesin Vector12 kaliber 20 mm, torpedo 3A 244S Mode II/MU 90, decoy TERMA SKWS, serta berbagai instrumen pengindera-dini yang canggih, termasuk sebuah helipad di punggungnya.

Meskipun kapal ini memiliki kemampuan tempur, tetapi misi utamanya akan difokuskan untuk menjaga keutuhan wilayah, kekayaan maritim dan dasar laut, patroli perairan, menangkal penyelundupan, bajak laut, pencurian ikan, operasi penyelamatan, dan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia.

Melihat dari dekat membuat kita yakin bahwa desain dan visi pembangunan kapal dengan harga-dasar sekitar €140 juta ini adalah untuk menjawab tantangan dan ancaman maritim hingga 25 tahun ke depan.

Memprihatinkan: Kekuatan Laut Kita
Kita tidak bisa membantah realita bahwa Indonesia adalah negara maritim yang terdiri dari hampir 20.000 pulau, 93.000 kilometer per segi laut-pedalaman, dan luas wilayah keseluruhannya menurut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mencapai 7,9 juta kilometer per segi. Klaim luas terakhir ini tidak terlepas dari prinsip wilayah Indonesia yang mencakup “tanah dan air”, serta doktrin kesatuan politik dan keamanan nusantara (archipelagic).

Sebagai negara terbesar di ASEAN, bagaimana postur kekuatan alutsista TNI-AL kontemporer diukur dari kekuatan kapal? Saat ini TNI-AL memiliki kurang dari 200 kapal dari berbagai jenis. Padahal kebutuhan minimal kita adalah 300 kapal; kebutuhan normalnya 1.000 kapal; dan kebutuhan idealnya 2.000 untuk memantau dan mengawal seluruh titik wilayah laut Indonesia. Dengan kekuatan yang ada saat ini, kekuatan laut kita sangat memprihatinkan. Dengan selesainya korvet keempat 2009 nanti masih belum begitu signifikan menambah kapabilitas kuantitatif TNI-AL karena sudah banyak pula kapal berusia-lanjut yang perlu diganti.

Geopolitik Regional
Dengan penduduk lebih dari 200 juta, kondisi geografis Indonesia yang membujur di persilangan 2 samudera: Hindia dan Pasifik, serta kekayaan laut dan dasar laut melimpah, negara ini memiliki nilai yang sangat strategis. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa-jauh signifikansi geopolitis tadi didukung oleh postur kekuatan maritim kita.

Dibanding rasio wilayah laut yang harus dikawal, kekuatan laut Indonesia berada di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, dan ketinggalan jauh dari Australia. Secara teknologi, armada laut negara-negara tetangga tadi juga lebih maju dan mutakhir. Disamping itu, dari sisi anggaran pertahanan, magnitude kemampuan kita masih kecil.

Padahal potensi ancaman maritim sangat besar. Dari sisi pencurian ikan saja, sebelum 2004 Indonesia kehilangan sekitar Rp 36,5 trilyun per tahun. Dengan kebijakan yang lebih tegas, akhirnya kerugian negara berhasil ditekan menjadi sekitar Rp 18,2 trilyun per tahun.

Sedangkan menurut “International Maritime Bureau” (IMB), dari 445 serangan bajak-laut terhadap kapal komersial tahun 2003, 121 terjadi di wilayah laut Indonesia. Dalam perompakan yang paling sering terjadi di Selat Malaka itu, 20 pelaut terbunuh, 350 disandera, dan 70 hilang.

Belum lagi ancaman navigasi, pencurian benda arkeologi laut, penyelundupan kayu gelondongan, BBM dan manusia, penyebaran senjata pemusnah-massal, kerusakan lingkungan laut, serta sangketa pemilikan pulau dengan beberapa negara tentangga.

Mengingat posisi geopolitis, potensi ancaman, dan kekuatan laut Indonesia saat ini, seyogyanya peningkatan armada laut dan maritim kita hingga mencapai kapabilitas “green-water navy”, mendapat prioritas mendesak. Konsekuensinya adalah penambahan alokasi anggaran, peningkatan performa personil dan kerjasama dengan elemen hankam lainnya. Dalam konteks peningkatan kapabilitas maritim tadi, pembangunan korvet yang sedang berlangsung tersebut adalah kebijakan yang sangat tepat dan strategis. ***

Sabtu, 02 September 2006

Satu Tahun Revitalisasi Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Presiden SBY

Tanggal : 2 September 2006

Sumber : http://nasih.staff.ugm.ac.id/a/pert/20060902%20sat.htm

Oleh: Zuprizal


Lebih dari satu tahun setelah dicanangkanya program tentang Revitalisasi Pertanian, Kehutanan dan Kelautan (RPKK) oleh Presiden Republik Indonesia (SBY) (tepatnya pada tanggal 11 Juni 2005 tahun lalu), ternyata sampai saat ini belum terlihat hasilnya. Bahkan sebaliknya, apa yang dapat kita lihat saat ini tentang pertanian di negara kita tidak ada perbaikan yang mendasar, malahan persoalan-persoalan klasik yang setiap tahun selalu menghantui para petani semakin terlihat jelas. Persoalan tersebut, misalnya: harga pupuk yang melambung tinggi dan sulit didapat, harga gabah yang selalu rendah, bidang peternakan yang terpuruk (adanya wabah flu burung), ilegal loging (penjarahan hutan) tetap merajalela, pencurian ikan dan kekayaan laut lainnya belum teratasi. Seharusnya dengan dicanangkannya RPKK oleh Presiden SBY merupakan momentum yang sangat tepat untuk kembali mengangkat citra Bangsa Indonesia dalam bidang pertanian dan penyediaan pangan yang berkualitas bagi bangsa ini. Swasembada pangan yang pernah tercapai beberapa tahun yang lalu, sekarang menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar untuk diselesaikan. Harapan yang begitu besar yang kita gantungkan kepada pemerintahan SBY akan menjadi harapan yang kosong belaka. Karena implementasi kebijakan tentang RPKK Presiden SBY ini tidak jelas arahnya.


Bagi sebagian besar petani, mereka berpendapat siapapun yang menjadi Presiden di Republik ini, maka dapat dipastikan dalam lima tahun ke depan mereka pasti tetap dalam kondisi yang sama dengan sekarang ini, yaitu mereka akan tetap miskin. Bagi para petani tidak banyak perubahan yang dapat diharapkan dari rencana Presiden SBY dengan melaksanakan rencana RPKK yang telah dicanangkan tersebut, karena tidak ada program yang baru yang ditawarkan untuk benar-benar dapat mengubah nasib mereka sebagai petani miskin yang hidup di pedesaan. Dugaan ini sangat beralasan, mengapa demikian, marilah kita cermati apa-apa yang dapat memperkuat dugaan para petani tersebut, paling tidak ada tiga alasan yang dapat memperkuat dugaan tersebut. Pertama, walaupun Presiden SBY adalah Doktor dalam bidang Pertanian, tetapi Presiden SBY tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang sistem pengembangan pertanian yang ada ditanah air kita saat ini. Kedua, mereka berdua (Presiden dan Wakil Presiden) juga tidak mempunyai komitmen yang kuat untuk mengangkat harkat dan martabat para petani miskin yang ada dipedesaan. Ketiga, Pemerintahan Presiden SBY tidak memiliki Menteri (Pembantu Presiden) yang kuat dan yang benar-benar mengerti tentang sistem dan organisasi pertanian yang ada di negara kita saat ini. Maka dari ketiga alasan tersebut sudah cukup bagi para petani untuk memreediksikan tentang nasib mereka dalam lima tahun ke depan akan tetap sama seperti halnya sekarang, yaitu menjadi petani yang tetap miskin. Pada tulisan ini akan dibahas usulan-usulan yang mungkin dapat dijadikan perhatian khusus bagi pemerintahan untuk mempunyai komitmen yang kuat untuk mengangkat harkat hidup para petani/peternak miskin dan pengusaha kecil di pedesaan, sehingga harapan mereka terhadap pemerintahan dapat menjadi kenyataan. Tulisan ini juga dibuat dalam rangka diadakannya Kongres ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) yang ke IX yang akan dilaksanakan di Yogyakarta dari tanggal 30 Agustus sampai dengan 1 September 2006. Dalam tulisan ini akan dibahas masalah-masalah pertanian secara luas dan usulan-usulan yang dimungkinkan dapat merealisasikan rencana Revitalisasi Pertanian, Kehutanan dan Kelautan (RPKK) yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia (SBY).


Adapun usulan-usulan tersebut adalah:

1). Mengubah citra padi sebagai tanaman politik. Padi merupakan komoditi politik yang sangat penting di Negara kita, seorang Menteri sangat takut dengan kekurangan stock padi/beras nasional ketimbang bagai mana memperhatikan nasib dari petani itu sendiri. Petani dipaksa memproduksi padi sebanyak-banyaknya, tetapi pemerintah tidak pernah memperhatikan nasib mereka. Coba kita perhatikan nasib para petani, apakan ada petani yang kaya?, bahkan untuk hidup kecukupan saja sudah sangat sulit. Pada saat panen raya, malahan harga gabah di pasaran jatuh, para petani yang merasakan akibatnya. Di lain pihak, pada saat tidak pada musim panen pemerintah import beras, harga beras murah dan harga gabah kembali jatuh, lagi-lagi petani yang dirugikan. Jadi kalau kita masih berpikir bahwa petani identik dengan padi, maka selamanya petani tetap miskin dan miskin. Pemerintah seharusnya sudah tidak lagi menjadikan padi sebagai tanaman politik. Padi harus menjadi tanaman opsional, biarkan petani yang memilih komoditi yang akan ditanam, dan pemerintah harus melindungi petani dan sekaligus konsumen bukan lagi hanya menjaga stabilitas harga gabah/beras yang murah, tetapi dengan mengorbankan kepentingan para petani.

2). Memperbaiki Sistem subsidi sarana produksi pertanian yang keliru. Sistem subsidi sarana produksi pertanian (pupuk dan obat-obatan) adalah kebijakan lain dari pemerintah yang selama ini yang dianggap salah. Petani tidak perlu disubsidi pupuk, karena dengan harga pupuk yang rendah malah menyebabkan pupuk tidak pernah sampai ketangan para petani. Pupuk dengan harga murah malah banyak disalah gunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk diselundupkan/diekspor secara ilegal ke luar negeri. Para petani tidak perlu disubsidi pupuk dan obat-obatan. Tetapi biarkan petani mendapatkan harga pupuk dan obat-obatan dengan harga yang wajar di pasaran. Harga pupuk dan obat-obatan akan bersaing secara sehat di pasaran, dan pada akhirnya para petani akan diuntungkan apabila harga gabah hasil panen mereka dihargai oleh pemerintah dengan harga yang wajar. Di lain pihak petani akan bergairah untuk memproduksi gabah sebanyak-banyaknya, dan juga penyalahgunaan subsidi sarana produksi pertanian (pupuk dan obat-obatan) dapat dihindari, sehingga kerugian pemerintah dapat dikurangi dan masyarakat luas terjamin kebutuhan hidup pokoknya. Sistem inilah yang saya sebut dengan sistem subsidi hasil produksi untuk kepentingan masyarakat luas baik para petani ataupun masyarakat konsumen pada umumnya.

3). Mengoptimalkan sistem pertanian terintegrasi yang berkelanjutan (SPTB). Sistem pertanian yang juga kurang mendapat perhatian oleh pemerintah saat ini adalah sistem pertanian terintegrasi yang berkelanjutan (SPTB). Sudah kita ketahui bersama bahwa pada saat-saat krisis ekonomi yang lalu, secara umum hanya sektor industri kecil yang dapat bertahan hidup. Sedangkan secara khusus disektor pertanian hanya sub sektor peternakan tradisional yang menyelamatkan kehidupan para petani miskin di pedesaan. Dari hasil statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2005 ada lebih kurang 40 juta penduduk Indonesia yang miskin. Kalau diasumsikan 60-70% nya tinggal di pedesaan sebagai petani maka ada 24 - 28 juta petani miskin yang hidup dipedesaan. Mereka pada umumnya petani dan buruh tani yang miskin, bahkan sebagian besar berpendapatan di bawah satu US dolar perhari. Sampai saat ini mereka masih dapat bertahan hidup karena adanya sistem pertanian yang terpadu. Sistem ini adalah dengan memadukan pertanian tanaman pangan dengan peternakan tradisional. Inti dari sistem SPTB adalah meningkatkan pendapatan para petani dari hasil samping mereka beternak. Dengan sentuhan teknologi tepat guna dan pendampingan serta kemudahan akses permodalan petani diberi kesempatan untuk mengembangkan peternakan tradisionalnya dalam batas-batas tertentu yang masih memungkinkan untuk di kembangkan.

4). Mendirikan Bank Kredit Pertanian (BKP). Kendala utama dalam Sistem Pertanian Terintegrasi yang Berkelanjutan (SPTB) ini adalah masalah permodalan. Tidak satupun sistem lembaga keuangan/perbankan yang ada saat ini yang memihak kepada para petani miskin dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di pedesaan. Di lain pihak, usaha pemerintah selama ini untuk pemerataan akses permodalan kepada para petani dan UKM adalah dengan memberikan kredit murah atau bersubsidi yang tidak mengikuti sistem yang ada pada lembaga-lembaga keuangan yang resmi. Sistem pemberian kredit murah atau bersubsidi kepada para petani dan UKM adalah langkah-langkah kebijakkan pemerintah yang selama ini dianggap tidak mendidik dan keliru. Seharusnya para petani dan UKM tidak harus mendapatkan kredit murah dan bersubsidi, tetapi para petani harus dididik untuk mendapatkan akses permodalan yang wajar dari lembaga keuangan yang resmi. Akses kemudahan untuk mendapatkan permodalan oleh para petani dan UKM pada BKP tidak menggunakan sistem agunan yang lazim digunakan pada lembaga-lembaga keuangan lainnya yang selama ini sangat menyulitkan bagi para petani dan UKM untuk mendapatkan kredit permodalan yang diharapkan. Dengan demikian para petani dan UKM pada akhirnya akan mampu bersaing secara sehat dalam mengakses permodalan dari lembaga-lembaga keuangan lainnya.

5). Membentuk Menko Agrohanpan. Selain sistem teknis pertanian yang telah dibahas di atas, maka pemerintahan yang juga harus memperhatikan/memperbaiki sistem organisasi departemen yang menyangkut sistem pertanian yang luas (agrokompleks) dan ketahanan pangan yang ada saat ini. Ada lebih dari 220 juta rakyat Indonesia yang akan tergantung dari sistem ini. Apabila sistem agrokompleks dan ketahanan pangan ini tidak mendapat prioritas untuk dibenahi oleh pemerintah yang akan datang, maka besar kemungkinannya akan menyebabkan gangguan perekonomian negara secara menyeluruh. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk efisiensi dari masing masing Departemen yang terkait, maka perlu dipertimbangkan untuk membentuk satu Menko lagi, selain Menko Polkam, Menko Kesra dan Menko Perekonomian, yaitu Menko Agro dan Ketahanan Pangan (Menko Agrohanpan). Menko ini akan mengkoordinasi Departemen-departemen yang terkait seperti halnya Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, serta Departemen lainya yang berhubungan dengan ketahanan pangan. Dengan adanya satu koordinasi yang baik di tingkat pusat akan juga dapat menyelaraskan dinas-dinas yang terkait yang ada didaerah yang saat ini ada kekacauan dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah.


Tulisan ini hanya sebagian kecil permasalahan yang ada di dunia pertanian kita saat ini, perlu komitmen yang kuat terutama bagi pemerintahan untuk benar-benar berkeinginan mengangkat harkat dan martabat para petani di Tanah Air yang kita cintai ini, dengan membuat program-program yang terencana untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Kalau hal ini tidak dijadikan prioritas utama bagi program pemerintah, maka dicanangkannya program tentang Revitalisasi Pertanian, Kehutanan dan Kelautan (RPKK) oleh Presiden Republik Indonesia (SBY) pada tanggal 11 Juni 2005 tahun lalu, hanyalah merupakan slogan kosong belaka. q - c.

Sabtu, 05 Agustus 2006

Perikanan Sumbar sulit penuhi permintaan pasar

Tanggal : 5 Agustus 2006
Sumber : http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=268&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&p_ared_id=460541&p_ared_atop_id=O03
Oleh :Tularji

Letak Provinsi Sumbar di pantai barat pulau Sumatra sangat menguntungkan karena potensi kelautan dan perikanannya sangat besar. Sayangnya, pemberdayaan sektor perikanan tidak optimal, sehingga belum menghasilkan produktivitas yang signifikan terhadap perekonomian daerah ini.

Potensi kelautan dan perikanan di Provinsi Sumbar tersebar di tujuh daerah kabupaten dan kota a.l. Kota Padang, Pariaman, Kab. Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, Pasaman Barat, Agam, dan Padang Pariaman.

Potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar tersebut sampai saat ini belum dioptimalkan oleh pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten dan kota yang memiliki kawasan laut tersebut.

Banyak pendapat mengatakan kalau di Selat Melaka sudah over fishing, sebaliknya perikanan di laut Sumbar tidak tersentuh atau justru menjadi incaran nelayan asing yang memiliki teknologi tangkap modern.

Parahnya lagi, nelayan di daerah ini belum bergerak kepada upaya optimalisasi potensi perikanan dan kelautan karena terbatasnya modal, teknologi yang sudah ketinggalan dan kualitas sumber daya manusia yang rendah.

Karena itu, potensi perikanan Sumbar yang diperkirakan mencapai 996.439 ton per tahun atau sekitar 20% dari potensi perikanan nasional baru tergarap 30% dan itu pun sebagian besar digarap nelayan luar, seperti Sumatra Utara dan nelayan asing.

Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Sumbar beberapa waktu lalu merilis potensi perikanan laut Sumbar menjadi incaran nelayan asing karena potensinya masih besar. Sementara daya tangkap nelayan lokal rendah.

Parahnya lagi, menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPD HNSI) Sumbar Mirwan Pulungan, eksploitasi potensi perikanan laut tidak optimal. Ini disebabkan nelayan yang benar-benar berprofesi sebagai nelayan sangat minim.

Produksi Perikanan Laut Sumbar (dalam ton)
NoKabupaten/Kota 20042005
1. Padang 19.160 20.405
2. Pariaman 6.332 6.722
3. Kepulauan Mentawai 10.597 11.286
4. Pasaman Barat 22.573 24.041
5. Agam 3.123 3.326
6. Padang Pariaman 16.470 17.541
7. Pesisir Selatan 24.110 25.591

Jumlah102.365108.912
Sumber: Pemprov Sumbar

Jumlah perahu nelayan 2005
Kabupaten/ kota Tanpa motorMotor tempelKapal motor
Padang 486 431 349
Pariaman 56 66 56
Kepulauan Mentawai 642 201 36
Pasaman Barat 1.143 43 263
Agam 565 76 66
Padang Pariaman 591 346 74
Pesisir Selatan 599 421 560
Jumlah 4.082 1.582 1.404
Sumber: Pemprov Sumbar

Pasalnya, selain menangkap ikan, banyak nelayan yang berprofesi sebagai petani, buruh, berkebun, pedagang dan sebagainya, sedangkan yang benar-benar berprofesi sebagai nelayan hanya 15%.

Permintaan tinggi

Gubernur Sumatra Barat Gamawan Fauzi mengatakan pasar produk perikanan laut Sumbar sangat menjanjikan karena kualitasnya cukup bagus. "Berapapun besarnya yang akan diekspor, negara-negara tujuan ekspor siap menampung," katanya kepada Bisnis pekan ini.

Menyinggung sulitnya memenuhi permintaan pasar luar negeri, dia mengatakan penyebab utamanya adalah kemampuan nelayan dalam meningkatkan volume tangkapan masih rendah karena alat tangkap yang digunakan terbatas.

Menurut dia, jenis alat yang digunakan nelayan selama ini memang bervariasi seperti tonda, pancing tonda (kail dengan banyak mata pancing yang ditarik dengan kapal), pancing biasa dan jaring kecil.

Sedangkan kurangnya modal, minimnya penguasaan teknologi menyebabkan hasil tangkapan nelayan tidak memuaskan, bahkan sebagian nelayan di daerah itu justru malas melaut.

Apa yang dikatakan Gubernur memang benar. Ketika Bisnis menelusuri pada salah satu daerah penghasil ikan terbesar di Sumbar yakni Kepulauan Mentawai, terungkap pasar perikanan dari Sumbar menjanjikan, tapi permintaan tersebut sulit dipenuhi.

Seperti diungkapkan Salius, 41, seorang pedagang pengumpul besar yang memiliki empat kapal penangkap ikan berbasis di Tua Pejat, Ibu Kota kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan pasar ekspor produk perikanan dari Perairan Sumbar menjanjikan.

Buktinya, kata dia, ratusan nelayan daerah itu yang beroperasi dengan menggunakan kapal berkapasitas 10 GT-15 GT tidak mampu memenuhi tingginya permintaan pasar terutama pasar ekspor.

Sebagai gambaran, tambahnya, mulai Mei lalu, importir asal Hong Kong siap menampung dan membeli ikan kerapu hidup dengan harga yang cukup tinggi yakni Rp80.000 per kg di tingkat nelayan.

Menariknya lagi, nelayan tidak perlu bersusah payak mengekspor ikan kerapu hidup tersebut ke negara tujuan, tapi cukup mengumpulkan kerapu hidup tersebut sebab importir Hong Kong telah menyiapkan kapal untuk menjemputnya.

"Sayang, seluruh pedagang pengumpul di daerah ini rata-rata hanya mampu menyediakan 50 kg -150 kg per bulan sehingga permintaan importir Hong Kong yang mencapai ratusan ton tersebut tidak bisa dipenuhi," kata Salius.

Demikian juga dengan pasar tuna. Meskipun saat ini pemprov sedang mengoptimalkan daya tangkap ikan tuna karena pasarnya sangat menjanjikan, tapi belum mampu memenuhi tingginya permintaan.

Kendala ekspor tuna juga terletak pada alat kargo yang terbatas karena saat ini ekspor ikan tuna tidak didukung oleh fasilitas pesawat kargo khusus, tapi melalui pesawat regular dengan kemampuan angkut yang terbatas.

Sebagai gambaran, sampai posisi Mei tahun ini, nilai ekspor tuna mencapai Rp34 miliar dengan volume 500 ton. Sementara pasar ekspor terutama Jepang, siap menampung berapapun banyaknya ikan tuna yang akan diekspor dari provinsi ini.

Untuk mengoptimalkan eksploitasi ikan tuna, pemprov menyiapkan delapan unit kapal khusus tangkap ikan tuna berkapasitas 15 GT.

Investor melirik

Pemprov Sumbar tahun ini terus mendorong investasi pada sektor kelautan dan perikanan serta mengoptimalkan potensi perikanan untuk menggerakkan perekonomian daerah ini dengan meluncurkan program revitalisasi perikanan.

Dalam program revitalisasi ini, pemprov menargetkan dapat memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan secara profesional untuk mendukung masyarakat Sumbar sejahtera pada 2010 mendatang.

Program revitalisasi diluncurkan dengan sasaran mendasarnya a.l. meningkatkan pendapatan nelayan dan pembudidaya ikan sebesar Rp1 juta per orang per bulan, kemudian mengentaskan kemiskinan nelayan sebanyak 3.100 kepala keluarga dan meningkatkan konsumsi ikan antara 26 kg-30 kg per kapita.

Hasilnya mulai kelihatan dan investor asing mulai melirik potensi kelautan dan perikanan provinsi ini, meskipun belum ada realisasinya. Menurut catatan Bisnis, sampai semester I/2006, sudah sembilan investor asing yang berminat berinvestasi pada sektor kelautan dan perikanan di provinsi ini.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar, Fachri Syam mengatakan ada lima investor dari Singapura yang akan berinvestasi di daerah ini. Mereka membutuhkan pasokan ikan segar sebesar 10 ton per hari.

Selain itu, ada dua investor asal Korsel yang akan berinvestasi sekitar Rp300 miliar masing-masing Rp200 miliar untuk membangun perusahaan tambak udang di Kabupaten Pesisir Selatan pada areal seluas 400 ha. Sedangkan, Rp100 miliar yang merupakan investasi perusahaan konsorsium Sigma Group of Companies, untuk membangun kota ikan (fish town).

Satu investor asal Malaysia akan berinvestasi sebesar Rp200 miliar untuk proyek pengadaan kapal tangkap ikan tuna berkapasitas 60 GT -100 GT dan pendirian pabrik pengalengan ikan.

Sayangnya investor asing tersebut belum merealisasikan rencananya. Mereka membutuhkan waktu untuk benar-benar yakin berinvestasi di daerah ini sangat menguntungkan. Bisa jadi investor asing masih membutuhkan kepastian hukum dan jaminan keamanan.

Jumat, 04 Agustus 2006

Hutan Bakau Pesisir Sulsel Perlu Direhabilitasi

Tanggal : 4 Agustus 2006
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0608/04/daerah/2854082.htm
Oleh
Reny Sri Ayu Taslim


Bencana tsunami di Aceh akhir 2004 tiba-tiba saja membuka mata banyak orang untuk melihat lagi kondisi pesisir masing-masing.

Mangrove atau bakau dan apa pun jenis tanaman air asin lainnya menjadi pembicaraan penting. Demikian pula Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang tergugah untuk merehabilitasi hutan bakaunya yang sudah kritis dan parah kondisinya.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah Sulsel Tan Malaka Guntur memaparkan, selama kira-kira 20 tahun terakhir, hutan bakau di sepanjang pesisir Sulsel berkurang hingga 90 persen. Sebagai gambaran, kalau 20 tahun lalu daerah ini masih memiliki 214.000 hektar (ha) hutan bakau, saat ini yang tersisa tinggal 26.000 ha. Areal sisa ini pun menunjukkan kecenderungan kian menyusut.

Menurut Tan Malaka, berkurangnya hutan mangrove terjadi di hampir seluruh pesisir Sulsel yang membentang di garis pantai sepanjang 1.973 kilometer (km). Akibatnya, nyaris di sepanjang pesisir Sulsel terjadi abrasi cukup parah.

"Abrasi ini bukan hanya menggerus jalan, tapi juga lahan pertanian, perkebunan, dan perkampungan penduduk. Sebagai contoh, abrasi di Kabupaten Pinrang dan Mangara Bombang di Kabupaten Takalar dan hampir di semua kabupaten," kata Tan Malaka.

Tidak adanya bakau, di beberapa desa di pesisir di Kabupaten Pangkep, terutama di wilayah yang berbatasan dengan laut lepas, membuat warga menderita bila air pasang.

"Kalau air pasang, terutama antara bulan November hingga Februari atau Maret, air masuk ke perkampungan dan rumah- rumah bisa terendam hingga sebatas betis atau paha orang dewasa. Makanya sekarang dibuat jalan-jalan desa yang posisinya cukup tinggi yang sekaligus bisa jadi semacam tanggul," ujar Abdul Djabar, Ketua Rukun Kampung Lamasik, Desa Boddie, Kecamatan Mandalle, Pangkep.

Hilangnya hutan bakau ini secara umum bukan hanya menyebabkan banyak orang terpaksa kehilangan rumah, sawah, dan kebun, tapi sekaligus menghilangkan mata pencarian. Kepiting dan beberapa jenis ikan dan udang yang berkembang biak di bawah akar-akar bakau, di sejumlah tempat di Sulsel, kini sudah punah.

Di Kecamatan Galesong Selatan di Kabupaten Takalar, misalnya, hilangnya hutan bakau dan penangkapan yang berlebihan membuat populasi kepiting rajungan mulai punah. Bahkan, sejumlah usaha rumahan yang bekerja sama dengan perusahaan pengekspor rajungan sudah berhenti berproduksi.

Di Desa Buku, Polman, hutan bakau juga menyebabkan kepiting yang pernah menjadi mata pencarian penduduk kini tinggal kenangan. Hal yang sama terjadi di Kecamatan Mandalle, Segeri, dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Pangkep. "Dulu banyak kepiting yang hidup di sini, tetapi sekarang sudah hampir tidak ada lagi. Kalaupun ada kepiting, jumlahnya sedikit dan ukurannya kecil-kecil," kata Abdul Jabar.

Di desa tersebut abrasi telah menggerus perkampungan dan tambak sehingga sebagian warga memilih merantau ke daerah lain hingga Malaysia. "Di sini rumah dan terutama mata pencarian mereka sudah hilang. Dulu di Pantai Buku banyak sekali kepiting dan banyak yang menjadikannya mata pencarian. Tetapi, sejak hutan bakau habis, kepiting tidak ada lagi," ungkap Ibrahim, Kepala Badan Perwakilan Desa Buku.


Rehabilitasi kawasan pesisir

Sebenarnya, ada hal yang lebih penting dari sekadar kehilangan permukiman, lahan pertanian, perkebunan, penghasilan, dan lainnya, yakni ancaman akan kehilangan segala-galanya bila terjadi bencana tsunami. Tanpa bakau, tsunami akan leluasa memorakporandakan kawasan pesisir. Di Sulsel, dari 23 kabupaten/kota, hanya empat kabupaten yang tidak berbatasan dengan laut.

Peneliti yang juga Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Niarti Ningsih mengingatkan pemerintah akan bahaya pesisir tanpa bakau.

"Berkaca pada bencana tsunami di Aceh, Pangandaran, dan banjir bandang di Kabupaten Sinjai, penanaman kembali bakau harus lebih digiatkan. Di Sinjai, misalnya, kerusakan yang terjadi di Tongke-Tongke dan sekitarnya yang dipenuhi bakau masih lebih ringan ketimbang daerah lain," paparnya.

Karena berbagai alasan inilah Pemprov Sulsel bekerja sama dengan pemerintah kota/kabupaten dan masyarakat pesisir untuk merehabilitasi kawasan pesisir dengan menggalakkan kembali penanaman bakau.

Penanaman kembali bakau, kata Tan Malaka, tidak dilakukan sekaligus, tapi bertahap dan simultan di berbagai daerah. Misalnya, pemprov menanam 10 ha-20 ha di tiap kabupaten dan pemerintah kabupaten/kota juga menanam sejumlah itu.

"Modelnya semacam demplot. Agar masyarakat mau terlibat secara langsung dan intensif, kami memberikan insentif. Selain diberi bibit dan diajari cara menanam, mereka juga diberi modal sebagai tambahan penghasilan. Misalnya kami beri bibit rumput laut, alat menangkap ikan, dan lainnya. Jadi mereka punya motivasi untuk menanam dan menjaga bakau," ungkapnya.

Diharapkan, jika setiap tahun 20 kabupaten masing-masing menanam sedikitnya 20 ha bakau, maka setidaknya setiap tahun target perluasan hutan bakau 300 ha-500 ha bisa tercapai.

Sayangnya, rencana itu tidak mudah diwujudkan di lapangan. Faktanya, penanaman kembali bakau dan sejenisnya sungguh tidak mudah dilakukan. Sepanjang dua tahun penggalakan kembali penanaman bakau, tingkat keberhasilan di setiap tempat hampir sama, yakni hanya sekitar 20-30 persen.

"Kalau menanam pada musim kemarau tanamannya mati. Tetapi, kalau menanam pada saat air pasang dan ombak besar, baru ditanam sudah rusak dibawa ombak. Sekalipun sudah diberi patok penahan ombak, tapi kalau ombaknya besar, patoknya pun terbawa ombak," tutur M Gading, Ketua Kelompok Tani Makmur, Desa Boddie, Kecamatan Mandalle.

Seluruh kelompok tani di desa-desa di seluruh kabupaten di pesisir memang dilibatkan langsung dalam kegiatan ini.

Abdul Madjid dari kelompok tani di Kecamatan Segeri mengakui, "Selama dua tahun saya menanam bakau, bisa dibilang tingkat keberhasilannya hanya sekitar 20-30 persen."

Sebenarnya, selain bakau, di sejumlah pesisir, tanaman lokal yang oleh masyarakat sekitar disebut pohon api-api tumbuh subur. Fungsinya hampir seperti bakau karena juga tumbuh di air asin dengan tanah berpasir. Akarnya pun dinilai cukup kuat untuk menahan gerusan ombak di tanah. Bahkan, tanaman ini jauh lebih mudah tumbuh.

"Sejak dulu kebanyakan memang pohon api-api yang tumbuh. Pohon api-api ini biasanya tumbuh sendiri. Kalau buahnya sudah jatuh, biasanya tumbuh sendiri tanpa perlu dipelihara. Akarnya juga cukup kuat menahan ombak yang menggerus tanah. Bahkan, kalau ombak datang membawa tanah dan lumpur akan membuat tanah di bawah pohon bertambah tinggi karena tertahan di akar pohon," papar Abdul Jabar, warga Desa Boddie, Pangkep.

Menurut Niarti Ningsih yang meneliti bakau sejak tahun 1990-an, menanam bakau memang tidak bisa dilakukan asal-asalan karena perlu perlakuan khusus. Pada tanah berpasir, yang paling tepat ditanam adalah risophora. Sedangkan di lahan berlumpur dan berair, cocok untuk bakau dengan beberapa jenisnya. Untuk pesisir di laut lepas sebaiknya tanaman diberi pemecah ombak atau patok-patok yang cukup kuat menahan ombak.

Senin, 01 Mei 2006

SD Kawasan Pesisir Kekurangan Guru

Tanggal : 1 Mei 2006
Sumber : http://www.indomedia.com/BPost/052006/1/kalsel/lbm5.htm

Pelaihari, BPost
Sebagian besar sekolah, terutama jenjang sekolah dasar (SD), di kawasan pesisir Kabupaten Tanah Laut (Tala) hingga kini masih kekurangan guru.

Sejumlah SD di pesisir Kecamatan Jorong dan Kintap, antara lain, yang sampai saat ini dihadapkan pada terbatasnya tenaga pengajar. Sumber BPost melaporkan beberapa SD hanya ditangani oleh dua orang guru.

Akibatnya, proses belajar-mengajar di sejumlah SD pesisir berjalan apa adanya, jauh dari standar. Ini disebabkan guru yang ada harus mengajar hingga tiga kelas sekaligus sehingga materi pelajaran tidak tersampaikan secara maksimal.

Dikonfirmasi, Jumat (28/4), Kadis Pendidikan Tala Drs H Noor Ifansyah mengakui kurangnya tenaga guru di beberapa SD. "Ini memang menjadi salah satu permasalahan serius. Kami terus berupaya untuk mengatasinya."

Diakuinya pula bahwa Tala tergolong sebagai salah satu daerah di Kalsel yang masih mengalami kekurangan guru dalam jumlah cukup besar, ribuan orang. Terutama pada SD di wilayah pesisir.

"Tidak bisa dipungkiri memang hingga sekarang masih ada beberapa SD yang hanya memiliki 2-3 guru. Tapi, proses belajar mengajar tetap berjalan dan tetap diupayakan secara maksimal," tandas Ifansyah.

Berbagai cara terus dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Diantaranya melalui rekrutmen guru bantu yang berasal dari daerah setempat.

Tahun 2003 lalu rekrutmen guru bantu sebanyak 225 orang dan 245 pada tahun 2004. "Mereka kami sebar ke SD di kawasan pesisir yang sangat kekurangan guru. Contohnya, ke SDN di Desa Sabuhur dan Trans 200," sebut Ifansyah.

Namun diakuinya rekrutmen guru bantu tersebut belum mampu mencukupi kekurangan guru. Apalagi, sebagian diantara mereka terserap menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Tenaga guru hasil rekrutmen CPNS awal tahun 2006 lalu, misalnya, sebanyak 111 orang. Sebagian besar adalah berasal dari guru bantu, hanya 89 orang yang berasal dari umum.

Karena itu, sebut Ifansyah, pengadaan guru bantu diupayakan akan terus dilanjutkan. Ini karena keberadaan mereka cukup membantu mengatasi keterbatasan tenaga pengajar di sejumlah SD.

Strategi lain yang dilakukan, lanjut Ifansyah, yakni memperketat mutasi. Pihaknya tidak akan mengabulkan permohonan pindah tugas--terutama dari desa ke kota--jika tidak ada alasan yang sangat kuat. Kecuali, bagi mereka yang melanjutkan pendidikan (sarjana).

Saat ini ada sekira 20-an guru yang melanjutkan pendidikan sarjana di Banjarmasin dan Banjarbaru. Sebagian dari mereka sebelumnya meminta pindah tugas ke wilayah Kecamatan Bati-Bati dengan tujuan agar lebih dekat dengan tempat mereka kuliah.

"Yang seperti ini, saya maklumi, karena niat mereka meningkatkan kualitas diri adalah hal yang sangat positif. Tapi, setelah mereka merampungkan kuliahnya, tentu kebijakan saya akan lain lagi. Mereka kemungkinan akan disebar ke daerah pesisir lagi," kata Ifansyah. roy

Senin, 27 Maret 2006

Dibutuhkan Reorientasi Kelautan Nasional

Tanggal : 27 Maret 2006
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0603/27/humaniora/2541652.htm

Jakarta, kompas - Pembangunan Indonesia saat ini masih berorientasi pada daratan dan belum memandang laut sebagai komponen wilayah yang utama. Dampaknya, perlindungan terhadap kedaulatan matra laut Indonesia masih sangat minim sehingga banyak kekayaan alam yang dicuri begitu saja.

"Kenyataan bangsa ini belum memandang laut sebagai yang utama mengakibatkan kita sulit memanfaatkan potensinya seoptimal mungkin," kata Prof Dr Susanto Zuhdi dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) di Jakarta, Sabtu (25/3). Upacara yang dipimpin Rektor UI Prof Dr Usman Chatib Warsa itu juga mengukuhkan Meutia Farida Hatta-Swasono sebagai guru besar tetap FISIP UI.

Pembangunan yang terlalu berorientasi pada daratan menyebabkan pengawasan kelautan terus tertinggal. Padahal, laut memiliki peranan yang penting yang menyatukan pulau-pulau yang terpisah di Indonesia.

Memang, kata Susanto, semua pihak menyadari upaya penyatuan pulau-pulau itu masih memiliki hambatan. Di antaranya letak pulau-pulau yang berada jauh dari daratan besar atau sudah mendekati batas perairan internasional.

Lebih lanjut Susanto mengajak semua pihak untuk meningkatkan pemahaman terhadap Tanah Air dengan mempelajari sejarah. Para peserta didik harus mendapat pengetahuan sejarah nasional yang memadai sehingga mereka semakin mencintai Tanah Airnya.

"Merangkai Tanah Air dapat dengan lawatan sejarah, baik melalui bacaan dan film maupun dengan berkunjung ke situs sejarah. Cara ini bisa dilakukan untuk merajut simpul-simpul perekat bangsa," ujarnya.

Selasa, 14 Februari 2006

Kawasan Pesisir Sulit Dikembangkan

Tanggal : 14 Februari 2006
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0602/14/daerah/2438739.htm

Banda Aceh, Kompas - Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengatakan, pengembangan kawasan pesisir di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih sulit dilakukan meskipun kawasan pesisir merupakan wilayah paling parah terkena dampak tsunami. Wilayah pesisir memiliki keunikan tersendiri karena sangat dinamis dan terdapat banyak keterikatan ekologis. Pengelolaan kawasan pesisir terpadu bisa mendatangkan banyak manfaat, ujar Freddy pada pencanangan pembangunan pesisir terpadu di Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Senin (13/2).

Namun, diakui Freddy, pembangunan kawasan yang terkena dampak tsunami di Aceh masih belum banyak memerhatikan wilayah pesisir. Yang dibutuhkan di Aceh sekarang adalah coastal management area yang baik dan memerhatikan keberlanjutan sumber daya pesisir, ujarnya.

Tiga desa yang dicanangkan sebagai desa terpadu untuk pengembangan kawasan pesisir adalah Desa Meunasah Keude, Meunasah Kulam, dan Meunasah Mon di Kemukiman Kreung Raya, Aceh Besar. Pengembangan desa terpadu di kawasan pesisir ini merupakan proyek konsorsium Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB) dengan Lembaga Riset dan Informasi Pengembangan Masyarakat (Leima).

Menurut Ketua Konsorsium Prof Dr Tridoyo Kusumastanto, pengembangan tiga desa di kawasan pesisir ini memadukan sektor perikanan, pertanian, dan industri. Kami ingin proses pengembangan kawasan pesisir ini tidak terkotak-kotak karena di sana ada yang hidup dari sektor perikanan, pertanian, dan industri, ujarnya.

Pengembangan kawasan pesisir di tiga desa ini juga berbasis pada keinginan masyarakat setempat. Sebelum dilakukan pembangunan fisik, menurut Tridoyo, lebih dulu dilakukan penguatan pranata sosial masyarakat.

Masyarakat terlibat langsung lewat Komite Pembangunan Desa. Untuk menggerakkan sektor ekonomi, dibentuk koperasi syariah, pranata masyarakat juga dipulihkan, ujar Tridoyo.

Jumat, 10 Februari 2006

Mengangkat Potensi Bahari Sumbar

Tanggal : 10 Februari 2006
Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0602/10/bahari/2358310.htm
Oleh :
Yurnaldi


Di depan Menteri Besar Selangor Dato’ Seri Dr HM Khir bin Toyo, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi mengungkapkan, daerahnya memiliki potensi besar di bidang kelautan dan perikanan, tetapi baru sebagian kecil yang tergarap. Terbuka peluang bagi investor Malaysia untuk bekerja sama guna menggarap potensi besar itu.

Potensi perikanan Sumatera Barat (Sumbar) itu tercermin dari data yang dipaparkan Gawaman Fauzi di depan tamunya, Dato’ Seri Dr HM Khir bin Toyo, 7 Januari 2006 silam.

Perairan laut Sumbar amat kaya oleh potensi ikan berkualitas ekspor. Tahun 2004, dari 340.930 ton potensi, yang mampu diproduksi baru 99.484,90 ton dan tahun 2005 sebanyak 109.000 ton. Produksi ikan tuna, cakalang, tongkol, kerapu, dan udang itu diekspor ke Jepang, Hongkong, dan Amerika Serikat.

Paparan Gamawan soal potensi bahari Sumbar ini tak sia-sia. Dari 100 pengusaha yang dibawa Menteri Besar Selangor, ada sejumlah pengusaha yang berminat dan langsung menandatangani kontrak kerja sama.

Gamawan dalam beberapa kali kesempatan selalu bicara soal potensi perikanan dan kelautan Sumbar. Ia menyadari bahwa sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian provinsi berpenduduk 4.375.080 jiwa (2002) ini punya peranan besar sebagai sumber lapangan kerja, juga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta sebagai sumber devisa.

”Jika sekarang pendapatan per kapita penduduk Sumbar hanya 900 dollar AS, melalui pemberdayaan potensi kelautan diyakini bisa meningkat menjadi 1.000 sampai 1.500 dollar AS,” paparnya.


Hidupkan semangat bahari

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam kesempatan ketika berkunjung ke Sumbar, Agustus 2005 lalu, menegaskan perlunya kembali menghidupkan semangat jiwa bahari.

”Bangsa bahari adalah bangsa yang sadar bahwa hidup dan masa depannya bergantung pada lautan serta memanfaatkan sumber daya laut dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan bangsa,” ujar Freddy Numberi.

Ia mengemukakan, bangsa kita saat ini menghadapi permasalahan dalam hal pelestarian dan semangat jiwa bahari. Jiwa dan semangat bangsa Indonesia tidak lagi menggambarkan karakter bangsa bahari seperti yang ditunjukkan pada masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.

”Tuhan telah memberikan karunia dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi, dan lebih dari dua per tiga bagian luas negara kita ini adalah lautan, serta garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Sangatlah ironis bila kita melihat masih banyak masyarakat pesisir dan nelayan yang hidupnya jauh di bawah garis kemiskinan. Tingkat konsumsi ikan masyarakat kita hanya 23 kg per kapita per tahun, jauh di bawah negara-negara Asia lainnya,” paparnya.


Strategi pembangunan

Sejalan dengan harapan Menteri Kelautan dan Perikanan itu, Gubernur Gamawan Fauzi telah menyusun berbagai kebijakan dan strategi pembangunan bidang kelautan dan perikanan, yang semuanya bermuara kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, nelayan, dan pembudidayaan ikan.

Berada di pesisir barat Pulau Sumatera, Provinsi Sumbar memiliki panjang pantai 375 km, mulai dari Kabupaten Pasaman Barat di utara sampai Kabupaten Pesisir Selatan di selatan, serta 2.420 km jika termasuk pantai di Kepulauan Mentawai. Hal ini sebuah potensi besar untuk pengembangan usaha budidaya laut di sekitar pantai.

”Dengan jumlah pulau sebanyak 391 buah dan luas perairan teritorial berikut perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 186.500 km persegi, serta potensi ikan laut sebesar 340.930 ton, Sumbar potensial untuk pengembangan penangkapan ikan di laut,” ungkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar H Surya Dharma Sabirin.

Menurut dia, potensi sumber daya kelautan yang dimiliki Sumbar tidak hanya sebatas ikan, hutan bakau, terumbu karang, dan padang lamun, tetapi juga mineral dan bahan-bahan tambang yang sampai saat ini belum termanfaatkan secara optimal karena berbagai keterbatasan, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi.

Di samping itu, jasa lingkungan kelautan dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk pariwisata, industri bahari, industri jasa angkutan, dan sebagainya. Harta karun yang tersimpan di bawah perairan Sumbar selama ini juga merupakan potensi yang perlu digarap, karena selain punya nilai ekonomi juga punya nilai sejarah yang tinggi.

Khusus potensi ikan, dari potensi sumber daya ikan sebanyak 340.930 ton, produksi ikan yang tergarap baru sekitar 30 persen dari potensi. Artinya, masih mungkin untuk pengembangan, terutama di perairan lepas pantai sampai ke Kepulauan Mentawai maupun di ZEE.

”Jika ikan-ikan yang hidup di perairan pantai atau lepas pantai, seperti kerapu, kakap, lobster, tenggiri, dan ikan-ikan karang lainnya sudah diekploitasi sampai mendekati daya dukung sumber daya, tidak demikian halnya ikan-ikan yang berada di perairan ZEE 200 mil yang relatif masih rendah tingkat pemanfaatannya,” tutur Surya Dharma Sabirin.

Menurut dia, di samping perikanan tangkap, pada perairan di sepanjang pesisir, baik pada sisi barat Pulau Sumatera maupun bagian timur Kepulauan Mentawai yang terlindung ombak, potensial untuk usaha budidaya laut. Misalnya, pemeliharaan kerapu dan kakap di jaring apung atau rumput laut pada rakit-rakit atau tali.

Surya Dharma menambahkan, untuk mengoptimalkan produksi kelautan Sumbar, dibutuhkan minimal 100 unit alat tangkap jenis purse seine. Peralatan tangkap yang dimiliki 31.647 nelayan Sumbar selama ini lebih banyak menggunakan kapal tunda. Kapal tunda ini harus dimodifikasi dengan menggunakan peralatan tangkap long line sehingga hasil tangkapan bisa optimal.

Peluang bagi pengusaha yang ingin berinvestasi untuk menggarap sektor perikanan laut sangat terbuka sebab nelayan tradisional tak mungkin mampu membeli satu pukat cincin yang harganya berkisar Rp 2 miliar.

”Adanya investor baru, maka akan banyak tenaga kerja yang bakal diserap. Dengan demikian, masalah pengangguran dan kemiskinan bisa sebagian tertanggulangi. Saat ini tenaga kerja yang terlibat langsung dalam produksi tercatat sebanyak 125.657 orang, atau 2,8 persen dari total penduduk Sumbar. Itu belum termasuk tenaga yang bekerja di sektor hulu maupun hilir, seperti galangan kapal atau perahu, pembenih ikan maupun pedagang,” ujar Surya Dharma.


Berkah

Bagi Sumatera Barat, pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), awal Oktober 2005, mereka justru seperti mendapat berkah. Terbukti, sejumlah pengusaha bidang perikanan laut kini melirik potensi yang ada di Sumbar. Tidak saja potensi ikan berkualitas ekspor, tetapi juga kemudahan fasilitas lain yang memungkinkan pengusaha bisa beroperasi secara lebih efisien.

”Daerah operasi penangkapan dengan tempat pendaratan ikan relatif dekat. Begitu juga dengan Bandara Internasional Minangkabau untuk fasilitas tujuan ekspor. Berusaha di perairan Sumatera Barat sekitar wilayah Padang tidak hanya hemat BBM, tetapi juga hemat biaya lainnya,” ucap seorang pengusaha asal Jakarta yang selama ini beroperasi di Muara Baru, Jakarta.

Gamawan Fauzi menyebutkan, sebanyak 40 perusahaan penangkapan ikan kualitas ekspor dengan 86 unit kapal yang selama ini beroperasi di Benoa, Bali, dan Muara Baru, Jakarta, sejak beberapa bulan terakhir pascakenaikan harga BBM mengalihkan wilayah operasionalnya ke Kota Padang, Sumbar.

Selain perairan pantai barat Sumbar kaya potensi ikan, pendaratan kapal juga relatif dekat, yakni di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus. Ikan hasil tangkapan mereka setelah dikemas langsung bisa diterbangkan dari Bandara BIM yang berjarak sekitar 35 km dari Bungus. Dengan mengalihkan operasional ke Padang, mereka bisa menghemat banyak.


Tingkatkan fasilitas

Untuk memberikan pelayanan optimal kepada 40 perusahaan penangkapan ikan itu, tahun ini Pemerintah Provinsi Sumbar sudah menganggarkan dana untuk memperluas dan memperpanjang dermaga di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, sepanjang 600 meter lagi, sehingga nanti menjadi 886 meter dengan kedalaman kolam mencapai enam meter.

Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus memiliki fasilitas seperti tangki bahan bakar minyak berkapasitas 75 ton, air minum berkapasitas 350 ton, cold storage, pabrik es berkapasitas 50 ton, area docking seluas 2.860 meter persegi, area untuk lokasi industri dan pengolahan seluas satu hektar, yang dapat melayani kapal-kapal ikan bertonase sampai 1.000 ton

Tidak hanya pengusaha penangkapan ikan yang diberi kemudahan dan fasilitas. Nelayan tradisional juga diberdayakan. Dalam ekspedisi Lintas Timur-Barat Kompas 2005 di Kota Padang dan Kabupaten Pasaman Barat, kalangan nelayan mengeluhkan tentang hasil tangkapan mereka yang sedikit karena mereka tak punya alat tangkap yang memadai. Begitu pula modal mereka yang hanya pancing atau perahu tanpa mesin. (aik/yns)