Sabtu, 16 April 2005

Di Laut Kita Tumpang Tindih

Tanggal : 16 April 2005
Sumber : http://www.bung-hatta.info/tulisan_51.ubh
Oleh : Indrawadi


Pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya pengelolaan sumberdaya pesisir, masih terhambat masal;ah birokrasi dan kepentingan. Sampai saat ini kewenangan terhadap hal tersebut masih ragu-ragu antar sektor Departemen Kehutanan, Meneg LH dan Departemen Kelautan dan Perikanan pun masih ragu-ragu untuk melangkah.


Hasil data dari satelit tidak hanya mendukung usaha penangkapan ikan, juga dapat membantu kegiatan TNI-AL, AU dan Polri dalam melakukan pengawasan perairan Indonesia. Kemudian dalam pengembangan teknologi, dilakukan pengembangan system monitoring, controlling dan surveillance (MCS) sebagai metoda pemecahan masalah-masalah manajerial pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Implementasi MSC mengacu pada ketentuan “Code of Conduct for Responsible Fisheries” dari FAO. Semua itu hanya dua dari sekian banyak kegiatan yang telah dilakukan DKP sepanjang sejak lahirnya departemen ini. Secara keseluruhan memang belum waktunya untuk menilai kinerja DKP, tetapi setidaknya pembentukan departemen ini telah memberikan porsi perhatian yang besar terhadap potensi sektor kelautan dan perikanan.

Bisa dipahami bila masih ditemukan banyak kekurangan pada sepak terjang DKP, bila mengingat depertemen ini baru seumur jagung. Begitu departemen ini lahir, ada delapan (8) program utama yang akan dilakukan DKP dalam mengatasi kerusakan lingkungan pesisir yang cukup komplek, yang merupakan subtisusi dari 10 program pembangunan kelautan dan perikanan. Delapan program itu adalah : (1).Penataan ruangan pesisir dan laut, (2).Pengelolaan dan Pembangunan Pulau-pulau kecil, (3).Pengelolaan kawasan konservasi laut, (4).Rehabilitasi ekosistim pesisir dan laut yang mengalami kerusakan serta restocking, (5).Pengendalian pencemaran laut, (6)Pemberdayaan masyarakat pesisir, nelayan dan petani ikan, (7). Mitigasi bencana alam , (8).Pengelolaan wilayah pesisir terpadu.
Di Laut Kita Tumpang Tindih oleh Indrawadi
Selama ini wilayah pesisir dan kelautan nasional berkembang tanpa tata ruang yang terencana, sehingga nyaris tak ada strategi dan kebijakan yang terarah untuk pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tak heran bila ekosistim wilayah pesisir mengalami kerusakan yang sangat parah.. Luas hutan magrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari luas areal yang mencapai 5,2 juta hectare lebih (th 1982), menjadi tinggal 2,4 juta hectare lebih (th 1993). Twngok pula kondisi terumbu karang yang tersisa hanya 23 % dalam kondisi baik dan 7 % dalam kondisi sangat baik dari total luasan 85.707 kilometer persegi ( Tomascik, 1997). Belum lagi masalah pencemaran laut, penurunan kualitas perairan, intrusi air laut, eutrofikasi, dampak bencana alam, dan abrasi yang telah mencapai tahapan kritis.

Hingga saat ini kawasan-kawasan pesisir dan laut terus mengalami degradasi akibat kegiatan pembangunan yang tidak terencana matang dan eksploitasi sumberdaya yang tidak terkendali. Padahal, kawasan-kawasan tersebut memiliki nilai potensi dan kepentingan yang tinggi baik secara biologi maupun ekonomi. Sedang untuk pengelolaan pembangunan pulau-pulau kecil. Minimal sola identifikasi potensi pulau-pulau kecil, penyusunan rencana umum pembangunan, perbaikan ekosistim serta pilot project pengembangan juga diharapkan akan rampung pada tahun 2001.

Semua program itu akan mencapai hasil optimal, bila kondisi masyarakat pesisir baik secara ekonomi maupun sosial dapat diperbaiki. Sebab masalah kemiskinan di wilayah pesisir selama ini termasuk salah satu pendorong percepatan degradasi ekosistim wilayah pesisir dan pantai. Itu sebabnya, pemberdayaan social ekonomi masyarakat pesisir harus dilakukan DKP dengan kegiatan-kegiatan yang langsung menyentuh penduduk seperti peningkatan pendapatan, peningkatan akses terhadap sumberdaya dan dana, pengembangan jaringan pemasaran peoduk-produk masyarakat, serta pemberdayaan kelembagan-kelembagaan lokal. Karena semakin sejahtera penduduk, semakin baik kondisi eksosistim dan lingkungan.

Dalam sebuah lokakarya di Jakarta, Menteri DKP yang saat itu masih Sarwono Kusumaatmadja, mengungkapkan keprihatinannya melihat masih minimnya masyarakat pesisir untuk mengakses komunikasi dan informasi, apalagi akses pembiayaan. Ini bisa kita lihat dari sektor perbankkan yang sampai saat ini belum ada satupun pihak bank yang mau masuk sampai ke wilayah pesisir. Karena itu pihak DKP akan bekerja bekerja keras untuk memperbaiki sistim pendukung yang dapat mendorong peningkatan produksi dan pendapatan, sperti pengembangan teknologi penangkapan ikan dan budidaya spesifik lokal. Kemudian mengembangkan sistim pengelolaan hasil untuk peningkatan nilai tambah dan mengembangkan pemasaran. Sedikitnya ada 23 rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam program pemberdayan social ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Dari seluruh program tersebut, pada gilirannya memang bermuara pada pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka perbaikan kualitas lingkungan.

Namun, tampaknya semua program-program tersebut masih akan menemui berbagai kendala, baik internal maupun eksternal. Pasalnya, hingga saat ini, kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir seperti pengendalian pencemaran laut, pengelolaan hutan magrove, terumbu karang, taman nasional laut dan kawasan koservasi laut masih belum jelas antara Departemen Kehutanan, Meneg. Lingkungan Hidup atau DKP. Ini berarti, DKP akan selalu di selimuti keraguan untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya pesisir dan laut, lantaran dibayangi kekhawatiran terjadinya tumpang tindih kebijakan.

* Dari Berbagai Sumber
* Indrawadi,S.Pi
Pemerhati Kelautan – Universitas Bung Hatta
D

Rabu, 06 April 2005

Tsunami, Potret Buram Bencana Akhir Tahun

Tanggal : 6 Januari 2005
Sumber : http://www.indomedia.com/BPost/012005/6/opini/opini1.htm

Oleh : Didik Triwibowo ST

Sudah sebegitu angkuhnya kita,
Sudah sebegitu congkakkah kita,
Di hadapan Nya?
Hingga Ia Yang Maha Kasih
menegur kita dengan dahsyatnya bencana?

Di tengah duka kita yang mendalam atas terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) serta di belahan Asia lainnya, tersisa pertanyaan: Mengapa terjadi begitu berturut-turut di negeri tercinta ini? Mengapa begitu dahsyat meluluhlantakkan kehidupan tanpa sisa? Duka apa lagi yang mesti kami hadapi?

Melihat secara live dari lokasi bencana, dari foto media dan siaran radio, seakan-akan kita yang safe di sini dapat merasakan sendiri duka itu, tangis pilu kehilangan saudara, harta benda. Memang, bencana ini menimpa siapa saja tanpa melihat apakah ia pejabat atau bukan, keluarga kerajaan atau rakyat biasa, kaya atau miskin, anak-anak atau orang tua, wanita ataupun laki-laki, hewan, tanaman, rumah biasa, gedung perkantoran, masjid dan semua yang ada di laut ataupun daratan tersapu oleh dahsyatnya hantaman tsunami setelah sebelumnya digoncang oleh gempa bumi. Kita berduka, Indonesia berkabung.

Simpati dunia sungguh besar atas musibah terbesar sepanjang seratus tahun terakhir. Belum pernah ada bencana yang melanda secara bersamaan di banyak negara; Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, Maladewa, Somalia, Bangladesh dan Malaysia, dengan begitu banyak korban jiwa. Badan yang terkait di Perserikatan Bangsa- Bangsa didukung pemerintahan negara yang tidak terkena musibah, mulai turun tangan menyiapkan bantuan untuk segera dapat diberikan kepada korban.

Sekjen PBB menilai pentingnya koordinasi dengan pemerintah di masing-masing negara yang terlanda musibah, agar bantuan dapat tepat sasaran dan diterima oleh mereka yang berhak. Kita mengutuk siapa pun yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, mereka yang menilep bantuan atau berbuat nista lainnya di atas penderitaan saudaranya. Dan, celakanya benar-benar ada manusia jenis ini.

Menurut laporan BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika), tsunami tersebut dipicu oleh gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR) yang terjadi di tengah laut sekitar 149 km selatan Meulaboh, Aceh Barat dengan kedalaman hipocenter (pusat gempa) pada 20 km. Sedangkan menurut pengukuran USGS (United States Geological Survey), gempa tersebut berkekuatan 8,9 SR (BPost, Senin 27/12). Jika memang kekuatan versi USGS benar, artinya gempa di Aceh ini merupakan gempa terbesar kedua di dunia dengan kekuatan di atas 8 SR.

Tsunami

Tsunami (tsu nah mee) merupakan kosa kata Jepang yang sangat populer untuk menamakan gelombang laut sangat besar yang ditimbulkan gempa laut, berhubungan dengan gempa bumi, longsor dasar laut, sesar (fault) dasar laut atau letusan gunung api bawah laut. Sering juga tsunami disebut gelombang pasang. Namun istilah ini kurang tepat, karena tsunami tidak ada hubungannya dengan peristiwa pasang surut sehari-hari.

Istilah teknisnya adalah seismic sea waves, gelombang laut akibat getaran (mendadak). Getaran ini bisa dipicu kejadian yang bermacam-macam seperti yang disebutkan di atas. Namun yang terhebat dan paling dahsyat dipicu oleh pergeseran mendadak di dasar laut, yang umumnya terjadi di sepanjang zona penunjaman (subduksi) yang juga selalu berasosiasi dengan gempa tektonik.

Di Indonesia, zona penunjaman ini merupakan tunjaman lempeng samudera yang dinamakan Lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng benua bernama Lempeng Asia. Zona tunjaman letaknya kira-kira di laut lepas yang jika dirunut dari barat Indonesia dimulai dari sebelah selatan Aceh, selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali, Lombok, Timor dan membelok ke utara di timur Maluku menerus ke Filipina. Zona yang panjang ini meliuk dan melingkar seperi sabuk dan merupakan pusat sebaran gempa dunia, sehingga dikenal sebagai Sabuk Gempa Bumi Dunia. Karena salah satu penyebab tsunami yang paling dahsyat adalah gempa, maka otomatis daerah yang dekat dengan zona di atas merupakan kawasan rawan terhadap bahaya tsunami. Sementara dapat juga dikatakan daerah seperti pantai utara Jawa serta Kalimantan, cenderung aman dari terjangan tsunami.

Dalam sejarah panjang tsunami, ada juga yang dipicu oleh longsoran besar, seperti terjadi di Teluk Lituya, Alaska pada 9 Juli 1958. Di mana longsor akibat gerakan sesar menyebabkan longsornya puluhan juta meter kubik material ke teluk yang kemudian memicu tsunami dengan kecepatan sampai 160 km/jam, menghancurkan permukiman di sepanjang tepian teluk di seberangnya (Miller, 1960). Tsunami seperti ini juga pernah terjadi di Sugami Bay, Jepang pada 1933 dan Valdez, Alaska pada 1964.

Catatan spektakuler lain adalah tsunami yang disebabkan meletusnya Gunung Krakatau, Selat Sunda pada 27 Agustus 1883 yang menyebabkan 30.000 manusia meninggal tersapu gelombang. Waktu itu tsunami yang menyapu pantai mencapai ketinggian lebih dari 30 meter dan menghantam Jawa serta Sumatera.

Jepang, negara asal kata tsunami adalah yang paling sering menderita karena terjangan tsunami. Sejak 1596, Jepang menderita lebih dari 10 kali bencana tsunami paling mematikan. Sebagai contoh, pada 1707 saat terjadi gempa bumi tektonik melahirkan gelombang raksasa di Osaka Bay melemparkan 1.000 kapal yang berlabuh di pantai ke daratan.

Bagaimana Tsunami Menyapu Pantai?

Saat terjadi gempa bumi tektonik di tengah laut yang dapat menimbulkan tsunami, gelombang yang dihasilkan bergerak di laut lepas memiliki panjang gelombang antara satu puncak gelombang dan lainnya bisa mencapai 100 km, dengan tinggi gelombang tidak sampai satu meter. Karenanya, gelombang ini bahkan tidak dirasakan oleh kapal kecil yang ada di tengah laut terbuka.

Namun jika kita hitung kecepatannya, tsunami mampu mencapai kecepatan sampai 700 - 800 km/jam. Kecepatannya akan semakin berkurang seiring dengan semakin dangkalnya laut saat akan mencapai pantai, tetapi panjang gelombangnya semakin pendek dan tinggi gelombangnya menjadi berlipat, sampai 30 meter. Maka tak heran, jika ada korban yang tersangkut di pohon tinggi.

Saat gelombang mencapai pantai (run up), ia termodifikasi sesuai bentuk garis pantai dan juga topografi dasar pantai. Ada beberapa bagian pantai seperti teluk yang agak sempit atau mulut sungai terjadi konsentrasi energi, di mana tinggi run up mencapai maksimumnya. Sementara di bagian pantai lainnya energi tersebar di daerah yang lebih luas, run up-nya rendah.

Gelombang ini mencapai pantai tidak dalam satu waktu bersamaan. Jika pendekatan ini kita pakai untuk tsunami, maka ada fenomena di mana saat akan terjadi tsunami air di pantai surut ke laut secara drastis, meninggalkan ikan di pantai. Seperti yang terjadi di Hilo, Hawaii pada 1932. Saat itu orang-orang di pantai serta merta berlarian ke tengah laut menangkapi ikan yang tersebar, namun tak lama kemudian mereka harus tergulung puncak tsunami pertama yang mencapai pantai.

Di lain tempat mungkin sebelumnya air laut justru naik, sebelum gelombang sebenarnya menyapu tempat tersebut. Tsunami terjadi tidak hanya satu kali, mungkin merupakan seri yang berurutan dengan interval bervariasi dari hitungan menit sampai jam. Hantaman gelombang pertama tidak selalu yang terbesar, hingga kita harus berhati-hati setelahnya. Di Hawaii, 1946, di beberapa tempat justru yang terdahsyat adalah tsunami kedelapan.

Gempa bumi di Aceh menyebabkan timbulnya gelombang air laut dengan kecepatan tinggi dan mencapai kawasan pantai negara yang ada di dekatnya, Maladewa, India, Somalia, Thailand, Bagladesh, Sri Lanka, Malaysia dan terberat Indonesia. Kira-kira gelombang ini berlari dari sumbernya di Aceh lebih kurang 4.500 km untuk mencapai kawasan pantai negara lain.

Tsunami sangat berhubungan erat dengan gempa bumi tektonik di tengah laut. Jika gempa memiliki SR, maka Jepang mengajukan skala tingkat tsunami. Kekuatan tsunami berbanding lurus dengan kekuatan gempa. Sebagai contoh, gempa dengan kekuatan 7 SR akan menyebabkan tsunami dengan kekuatan 0 dan maksimum run up 1 - 1,5 meter yang sama sekali tidak berbahaya. Namun gempa berkekuatan 8,25 SR memicu tsunami grade 3 dengan maksimum run up 8 - 12 meter. Jika 8,9 SR seperti di NAD? Tentu tinggi gelombangnya jauh lebih besar dan lebih dahsyat.

Apa Yang Bisa Dilakukan?

Misi pertama adalah pertolongan terhadap korban yang selamat, menjamin tersedianya layanan kesehatan yang memadai dan pasokan makanan yang cepat dan kontinu. Rusaknya berbagai fasilitas umum, air bersih, listrik dan transportasi yang terputus merupakan tantangan terberat. Kita percaya. pemerintah dan seluruh komponen bangsa ini bahu-membahu mengulurkan dana dan tenaga serta segala upaya untuk membantu korban.

Ke depan, belajar dari sejarah bencana sebelumnya, perlu sekali dikaji penerapan sistem peringatan dini (Early Warning System) terhadap semua potensi bencana yang ada di Indonesia dan melaksanakannya secara berkesinambungan meski dalam kondisi aman sekalipun. Masyarakat awam perlu diberi bekal pengetahuan praktis dan cukup tentang potensi bahaya yang paling dekat dengan mereka, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, angin ribut dll.

Mitigasi (pengurangan risiko) bencana alam dapat dilaksanakan dalam kerangka mengurangi besarnya kerugian dengan memetakan, mengevaluasi dan menentukan zona rawan bencana, dari tingkat paling rawan sampai aman serta menyosialisasikannya kepada masyarakat luas. Hal itu akan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Khusus mengenai bencana tsunami, dikenal adanya Seismic Sea Wave Warning System (SSWWS). Sistem ini mendasarkan pada jalinan kerjasama antarbadan dan lembaga, seperti Badan Survai Geodetik, AL, AU, Geological Survey, Penjaga Pantai, Oceanografi, maritim serta observator seismologi di dunia yang akan memantau dan menginformasikan semua gempa bumi yang terjadi yang dapat memicu tsunami, kepada aparat terkait di negara yang memiliki kawasan pantai terdekat.

Sebagai contoh, saat gempa di Cile, tsunami baru mencapai kepulauan Hawaii setelah 10 jam dan menyapu Jepang setelah 20 jam. Di bawah sistem ini, tentu akan ada cukup waktu untuk menyelamatkan diri begitu informasi mengenai gempa diterima dari aparat terkait (polisi, pemerintah). Maka, dapat dilakukan tindakan evakuasi di seluruh kawasan pesisir hingga tidak akan ada lagi korban.

Akhirnya, teriring doa serta simpati terhadap korban, mungkin tak perlu dijawab pertanyaan di atas. Hanya, semoga kita yang safe di sini semakin berendah hati di depan Nya, semakin arif, semakin sadar betapa sombongnya kita selama ini. Semoga.

Guru Geologi Struktur
di STM (Pertambangan) Sabumi, Banjarbaru

Email: d12k3w@yahoo.com

Senin, 04 April 2005

Potensi Tersembunyi "Marine Carbon Sink" Benua Maritim Indonesia

Tanggal : 4 April 2005
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0504/18/ilpeng/1690866.htm
Oleh
Edvin Aldrian

Potensi serap karbon oleh laut dikenal dengan potensi biogeokimia laut. Ilmu yang diterapkan dalam pemahaman ini merupakan gabungan ilmu dari berbagai disiplin ilmu.

Selain pemahaman ilmu biologi, geologi, dan kimia, juga diperlukan pemahaman ilmu kelautan, meteorologi, fisika dinamik, dan inderaja.

Ilmu kelautan diperlukan untuk memahami proses dinamika laut seperti arus laut, ilmu meteorologi diperlukan untuk mengetahui proses dinamika atmosfer lokal yang mendorong dinamika di laut. Ilmu fisika dinamik diperlukan untuk pemahaman sifat dinamika di laut dan atmosfer di atasnya, sedangkan teknologi inderaja diperlukan untuk mengetahui kandungan plankton baik phyto dan zooplankton serta micro biota lainnya dipermukaan yang merupakan agen penyerap karbon utama di muka laut.

>small 2small 0<>

Gas-gas rumah kaca yang terserap di atmosfer akan diserap oleh proses fotosintesis plankton dan turun ke dasar samudra setelah berasosiasi dengan elemen berat hasil metabolisma di tubuh plankton tersebut.

Proses sederhana ini terjadi di permukaan laut dan membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk proses fotosintesa dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung pertumbuhan plankton di permukaan laut.

Dua zat penting yang mendukung keberadaan populasi plankton adalah zat nitrat dan fosfat. Selain itu, juga dikenal peran dari silika dan zat besi. Keberadaan zat nitrat dapat diketahui dengan data satelit inderaja seperti data AVHRR (Advance Very High Resolution Radiometer).

Sebagai sumber nutrisi utama, sumber nitrat dan fosfat dapat dari proses dinamika di lautan seperti proses upwelling, tambahan dari partikel yang terbang seperti debu dari gurun pasir dan letusan gunung berapi, atau dari sumbangan polusi industri manusia yang bermuara di laut.

Dari data di atmosfer telah diketahui bahwa letusan gunung berapi selalu berfungsi menurunkan suhu di atmosfer secara global, meski penelitian belum mencapai kesimpulan peran dari debu gunung berapi terhadap produksi plankton serta metabolismanya di permukaan laut.

Pengetahuan tentang peran logam berat seperti besi dalam upaya pendinginan global oleh proses metabolisme plankton di permukaan laut barulah dimengerti dalam dekade terakhir.

Adalah almarhum John Martin yang memperkenalkan hipotesa besi (the Iron Hypothesis) dalam proses pendinginan global pada tahun 1989.

Salah satu hipotesa yang merupakan tantangannya kepada dunia dalam mengatasi masalah pemanasan global adalah sesumbarnya yang dapat menghadirkan era es (the ice age) kembali di muka bumi apabila dia diberikan setengah tanker biji besi.

Biji besi itu akan ditaburi di lautan Pasifik dan akan menambah populasi plankton dengan drastis dan menyebabkan meningkatnya penyerapan karbon dari atmosfer.

John Martin tidak pernah membuktikan kebenaran teori besinya karena lebih dahulu meninggal akibat kanker prostat. Pada tahun yang sama John meninggal, 1993, eksperimen untuk membuktikan teori John Martin dilakukan oleh beberapa peneliti di sekitar kepulauan Galapagos di Samudra Pasifik.

Hasil dari berbagai penelitian, yang mendukung teori John Martin, di kepulauan tersebut diterbitkan dalam sebuah edisi khusus jurnal kelautan terkemuka dunia yaitu Deep Sea Research pada tahun 1998 dan dibuat untuk mengenang John Martin.

>small 2small 0<>

Namun, angka tersebut ternyata hanya separuh dari CO>subscript<2>res<>res<>

Menurut Christopher L Sabine, peneliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), secara keseluruhan, antara tahun 1800 hingga 1994, lautan menyerap 118 miliar metrik ton karbon yang sebelumnya dibuang ke udara.

Kembali ke benua maritim Indonesia, produksi plankton dan perannya terhadap produktivitas ikan bagi kepentingan penangkapan ikan di Indonesia telah lama dibahas.

Akan tetapi, dampak produksi populasi plankton terhadap proses biogeokimia di lautan Indonesia belum dikaji atau dijadikan pembahasan.

Kekurangan minat serta pakar yang mendalami hal ini menjadi permasalahan tersendiri. Padahal pengkajian hal baru ini sangat diperlukan dalam melihat potensi serap karbon lautan Indonesia.

Pada bulan Maret 2004, pantai teluk Jakarta tiba-tiba memerah yang dikenal dengan istilah gelombang merah (red tide). Perkembangan ini lebih dikarenakan tingginya polutan zat-zat berat hasil limbah industri yang bermuara di teluk tersebut.

Keberadaan limbah berat itu telah meningkatkan populasi ganggang merah (red algae) yang pada akhirnya memerahkan teluk. Tanpa diketahui dan dibahas lebih lanjut, sebenarnya pada saat itu logam berat hasil limbah telah dikonsumsi oleh red algae dan melalui proses metabolisme telah diendapkan ke dasar laut.

Peristiwa lokal tersebut sebenarnya membuktikan kebenaran teori John Martin dalam skala kecil, meski tidak ada kajian sama sekali mengenai kemungkinan penyerapan gas rumah kaca atau siklus karbon dalam proses gelombang merah tersebut.

Penyerapan karbon oleh lautan tidak hanya dapat dilakukan dengan cara menebar polutan seperti logam berat di atas. Karena efek negatif yang mungkin ditimbulkan dari penebaran polutan tersebut seperti pengrusakan di dasar laut akibat meningkatnya kandungan logam berat yang diendapkan.

Proses lain yang mungkin adalah dinamika di laut yang menyebabkan terjadinya upwelling. Upwelling adalah dinamika lautan di mana terjadi kenaikan masa air dari dasar laut ke permukaan.

Upwelling membawa konsekuensi menaiknya nutrisi dari dasar laut ke permukaan. Salah satu indikasinya adalah meningkatnya populasi ikan setelah terjadinya upwelling. Ikan tersebut berkumpul bukan karena meningkatnya nutrisi dari dasar laut, tetapi karena meningkatnya plankton dan hewan kecil yang menegak nutrisi tersebut, dan plankton serta hewan kecil tersebut merupakan makanan utama ikan-ikan yang lebih besar.

Selain upwelling, peristiwa sebaliknya yaitu downwelling juga berguna bagi siklus karbon di permukaan laut yaitu mempercepat sirkulasi arus laut dari permukaan ke laut dalam yang membantu mempercepat proses pengendapan karbon.

Melalui dinamika di atmosfer dan permukaan laut dapat diketahui daerah-daerah yang berpotensi terjadinya upwelling dan downwelling. Hal ini dapat diketahui dari pola angin dan morfologi dasar laut.

Ada dua hal penting yang perlu disadari dalam dinamika atmosfer dan laut yang merupakan potensi utama dari benua maritim Indonesia.

Pertama adalah sirkulasi atmosfer yang bersifat musiman sehingga terjadi sirkulasi yang terus-menerus sepanjang tahun secara bolak balik. Potensi angin musiman ini menyebabkan terjadinya wilayah khusus downwelling atau upwelling pada musim-musim tertentu. Selain dinamika musiman atmosfer tersebut, dinamika di laut dalam benua maritim Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya sirkulasi laut global yang melalui wilayah Indonesia.

Sirkulasi global yang dikenal sebagai arus sabuk lintas dunia (the Great Conveyor Belt) melalui wilayah Indonesia yang dikenal sebagai arus lintas Indonesia (Arlindo). Arlindo merupakan aliran arus terus-menerus dari Samudra Pasifik ke Samudra Indonesia dan merupakan saluran air permukaan yang mengumpul di daerah kolam hangat di sebelah utara Pulau Papua.

>small 2small 0<>

Dengan menggabungkan informasi kelautan dan iklim seperti di atas beserta kajian proses biogeokimia yang terjadi dapat memberikan gambaran potensi laut benua maritim Indonesia dalam menyerap karbon dari gas-gas rumah kaca.

Hasil kajian ini merupakan masukan penting dan amunisi utama bagi Indonesia dalam perdagangan karbon dunia. Perlu diketahui, memasukkan unsur penyerapan laut dalam perdagangan emisi tidak lazim dilakukan pada pelaksanaan protokol Kyoto, hal ini tidak lain dikarenakan tidak adanya inisitatif dari negara kepulauan seperti Indonesia.

Berhubung perdagangan emisi akan dihubungkan dengan remisi karbon berupa insentif yang mungkin diterima sebuah negara, maka kajian potensi kelautan Indonesia dalam menyerap karbon harus segera dilakukan dan dimasukkan dalam perhitungan emisi lokal disamping penyerapan oleh hutan.

Edvin Aldrian Peneliti UPTHB-BPPT, Peraih International Young Scientist START Award 2004