Sabtu, 28 April 2007

Mengantisipasi ‘Mass Diving Tourism’ Industri Pariwisata Sulut(1)

Tanggal : 28 April 2007
Sumber : http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/apr_28/lkOpin001.html


Mau dibawa kemana pembangunan pariwisata Sulut? mengandalkan wisata bahari pada ekosistem alam, sumberdaya potensial sekaligus ‘fragile’ rentan oleh eksploitasi/aktifitas manusia. Diperlukan pembenahan orientasi ‘ekonomi’ ke ekologi, perubahan ‘diving system’ dengan meng’install’ kombinasi beberapa modul baru sebagai fungsi DAD (Diver Aggregation Devices).

Dengan demikian tekanan turis/penyelam pada terumbu alami bisa dibatasi sekaligus mengantisipasi kecenderungan konsep pembangunan yang ada saat ini: mass tourism ke arah eco tourism.

‘Diving’ atau aktifitas menye-lam telah menjadi ‘booming’ bagi sektor pariwisata. Pereko-nomian berbagai negara yang memiliki garis pantai-terumbu saat ini sangat bergantung pada banyaknya jumlah penyelam rekreasi (recreational diver). Keuntungan yang didapat dari wisata bawah air merupakan sektor utama pendapatan pada beberapa negara tropis. Misal-nya jumlah turis Jerman yang menyewa hanya satu pesawat di awal tahun 1990-an seku-rang-kurangnya telah memberi-kan keuntungan sebesar 25 persen dari GNP Maldives. Ti-dak mengherankan terdapat ketergantungan ‘SCUBA dollars’ dari beberapa negara tujuan di-ving termasuk Indonesia. Per-kembangan pariwisata khusus-nya pada ekosistem pesisir laut merupakan industri terbesar yang berkembang pesat di pla-net ini. WTO (2002) mengesti-masi pendapatan sektor ini sekitar 25 persen dari total eks-por negara-negara sekitar Pasi-fik (pasific rim) dan lebih 35 per-sen khusus untuk kepulauan Karibia. Belum seoptimal Kari-bia yang sebenarnya rendah da-lam nilai keanekaragaman hayati, pariwisata bahari Indo-nesia diestimasi memberi ke-untungan setiap tahunnya se-besar 1,6 milyar dolar. Seiring dengan program pemerintah lewat WOS 2009 dan tahun Pa-riwisata 2010 yang diharapkan memberi keuntungan multiplier effect bagi masyarakat, sektor ini terlihat bergeliat memper-siapkan diri dengan bertumpu pada pariwisata bahari. Na-mun, kearah mana pemba-ngunan pariwisata ini seha-rusnya di arahkan? siapa yang akan diuntungkan?

Pariwisata wilayah pesisir laut bersumber pada nilai ekologi keragaman hayati karena se-makin tinggi keanekaragaman (biodiversity) akan semakin tinggi daya jualnya. Sulawesi Utara yang terletak strategis di wilayah ‘Wallacea’ dan meru-pakan pusat dari wilayah ‘Coral Triangle’ memiliki keunikan ter-sendiri dalam potensi keane-karagaman laut. Sebut saja TN Bunaken, selat Lembeh, pulau Tiga, sepanjang pesisir Bol-mong, semenanjung Minahasa sampai di kepulauan Sangihe dan Talaud. Keanekaragaman, keunikan dan keindahan ling-kungan alam tropis inilah yang menjadi sumberdaya potensial penting-modal lebih yang dimiliki dibanding daerah/negara lain sekaligus menjadi tanggung jawab besar kita untuk mengelolanya secara lestari berkelanjutan.

Kuantitas merubah Kua-litas

Pariwisata berbasis lingku-ngan alam (pariwisata bahari) dikelompokkan dalam jenis wisata minat khusus yang aktivitasnya berkaitan dengan kelautan, baik yang dilakukan di atas permukaan maupun di bawah permukaan laut. Sam-pai saat ini pemberian sertifikat selam oleh berbagai organisasi selam dunia meningkat sangat pesat. Berarti pasar wisata se-lam ‘expand ‘mengalami per-tumbuhan. Hal yang menarik turis meminati objek wisata bawah air terutama adalah ke-indahan panorama bawah laut lewat aktivitas snorkeling, diving ataupun glass sub bottom. Na-mun, jangan dikira aktifitas ini tidak memberi efek negatif ter-hadap obyek wisata yang dikun-jungi. Banyak penelitian yang menunjukkan hal tersebut dan United Nation Environment Pro-gramme (UNEP 2003) telah mengidentifikasi fakta-fakta umum bagaimana pariwisata-aktifitas rekreasi memberi dam-pak negatif yang beragam terha-dap lingkungan dan sumber-daya alam.

Ketika manusia sadar, pena-saran dan tertarik akan kebe-radaan dunia bawah air maka peralatan selam seperti SCUBA akan diliriknya, yang tentunya membawa keuntungan bagi pengembang dan penjual jasa dibidang ini. Dewasa ini, ku-rang disadari bahwa ledakan wisata selam sebenarnya telah mengakibatkan tekanan berat pada ekosistem coral dan eko-sistem sekitarnya, langsung le-wat kontak fisik terutama ber-hubungan dengan kemahiran selam ‘buoyancy control’ (ke-seimbangan tubuh dalam air). Penyelam/snorkeler dapat menginjak, menyentuh dan mematahkan coral, meng-gangu/mengangkat sediment tempat hidup organisme, mem-beri dampak pada dinding te-rumbu lewat ‘bubbles’, ‘har-rasment’ pada organisme yang langka sampai pada banyaknya jumlah ‘flash’ dari underwater camera; mengoleksi, memanah ikan untuk kesenangan serta tak bertanggungjawab terhadap kebersihan tempat penyela-man. Lewat berbagai fasilitas pendukungnya, dari pengope-rasian perahu sampai pada re-sort, pembangunan fasilitas wi-sata selalu diikuti dengan me-ningkatnya aktifitas transpor-tasi (hilir-mudik perahu motor, pelemparan jangkar yang sembarangan) secara langsung mempengaruhi kebiasaan/kelakuan organisme laut. Seca-ra tidak langsung namun pasti sedimentasi, polusi dan pe-nyuburan nutrient yang di-hasilkan mempengaruhi orga-nisme dan keseluruhan eko-sistem. Belum lagi komplikasi tekanan yang umum diketahui bersumber dari tempat lain se-perti pencemaran, sampah, masukan sedimen lewat ali-ran-aliran air/sungai, pene-bangan hutan/mangrove serta kegiatan penggalian dan rek-lamasi; aktifitas penangka-pan ikan yang merusak (dina-mit dan sianida) dan penam-bangan karang/coral yang nyata memusnahkan terum-bu. Terdapat pula sebab-aki-bat dari proses ekologi yang lebih kompleks hingga me-nimbulkan gejala kerusakan lainnya mulai dari pemanasan global, pemutihan coral, me-limpahnya pumparade atau ‘crown of thorn starfish’ (he-wan pemakan coral) sampai meningkatnya organisme agen bioerosi yang mematikan coral.

Terumbu coral dunia saat ini berada dalam krisis (Nature, 2004; IUCN 2006). Tingginya ketergantungan terhadap sumberdaya laut menyebab-kan terjadi eksploitasi besar-besaran terutama yang berde-katan dengan pemukiman penduduk. Aktifitas manusia mengancam 88 persen terum-bu di Asia Tenggara yang me-miliki ekosistem pesisir ter-baik dunia, mengancam nilai bio-ekologi dan ekonomi pen-ting bagi masyarakat. Dari 50.875 km2 terumbu coral di Indonesia, hanya 5 persen sa-ja memiliki kondisi yang sa-ngat baik. Kondisi dan status terumbu karang Indonesia saat ini terancam rusak parah, mengalami degradasi di hampir semua kepulauan dan dalam resiko punah. Ironis-nya, banyak daerah tujuan wi-sata bahari tidak berdaya dan masa bodoh dengan masalah ini. Pada saat siklus perkem-bangan pariwisata berada di puncaknya dalam meraih ke-untungan, permasalahan ini sering diabaikan dan dilu-pakan.

Meskipun pendidikan me-ngenai lingkungan perairan dari para penyelam rekreasi (recreational diver) meningkat dan ‘wajib’ bagian dari kursus pelatihan selam, penambahan pelampung ‘buoy’ untuk me-ngurangi dampak pelemparan jangkar perahu dan program-program penyadaran telah di-ketahui namun tetap anca-man dan tekanan terhadap ekosistem pesisir meningkat seiring bertambahnya jumlah turis. Secara umum, sasaran wisata selam relatif hanya mencakup areal yang kecil di sepanjang pantai-terumbu. Diving-diving spot ini menarik dan atraktif karena memiliki karakteristik tersendiri. Saat ini terdapat kurang lebih 120 spot yang tersebar di Sulut dan sekitar 60 persen berpu-sat di TN Bunaken dan selat Lembeh. Pulau Bunaken sen-diri memiliki spot terbanyak berjumlah 16 spot. Setiap ta-hun rata-rata dikunjungi 9000 turis dari luar dan tersebar pa-da sekitar 40 diving operator yang ada. Akumulasi jumlah dive guide ditambah turis yang melakukan penyelaman setiap kali berkunjung perwaktu tinggal rata-rata 15 kali ak-tifitas penyelaman total meng-hasilkan 110.000-225.000 kali penyelaman pertahun Jika dibagi merata pada 120 spot yang ada berarti terdapat sekitar 2.000 penyelam/lokasi/tahun, masih dibawah rekomendasi daya dukung (carrying capacity) sebesar minimum 4.000 penyelam/lokasi/tahun (Devantier-Turak, 2004). Tetapi, kenyata-annya jumlah ini tidak merata pada 120 dives spot yang ada. Dengan alasan akses, logistik-ekonomi, safety dan alasan la-in yang cenderung untuk me-reduksi biaya operasional menjadikan kesatuan ekosis-tem pulau kecil seperti Buna-ken selalu menjadi sasaran wisata hingga melebihi daya dukung ekologi (ini belum ter-masuk perhitungan daya du-kung di pulau/daratan).

Pernah diamati terdapat 6 perahu secara bersamaan dalam satu lokasi dive spot (Tawara) yang bersebelahan dengan zona inti konservasi.(bersambung)

Rabu, 11 April 2007

Sebuah Tawaran untuk Akselerasi Pembangunan Nusa Utara(2)

Tanggal : 11 April 2007
Sumber :
Oleh:Jahya Alotia

KETIKA Gubernur Sinyo Harry Sarundajang (SHS) menabuh ‘genderang’ revitalisasi di Pantai Moinit Mi-nahasa Selatan, ketika itu pulalah saya mulai mengar-tikan gubernur pertama pilihan rakyat ‘Bumi Nyiur Melambai’ ini membagi berkat bagi masyarakatnya. Menariknya, itu dilakukan SHS tepat di hari ulang tahunnya yang ke-62.

Hingga kini wilayah laut Nusa Utara masih sangat longgar dari pengawasan kita. Karenanya, tak heran kalau kapal-kapal asing acapkali terlihat lalu-lalang, dan dengan mudahnya mengeruk hasil-hasil laut kita. Permasa-lahan tersebut terus mencuat ka-rena tak disangkal lagi kalau ting-kat pengawasan perairan kita masih sangat kurang. Stamina rendah ini dipastikan terkait ke-tersediaan armada pengawas ya-ng tidak optimal, sehingga mem-beri kesempatan luas terjadinya illegal fishing di perairan yuridiksi nasional kita.

Luasnya wilayah perairan Nusa Utara disertai makin maraknya eksploitasi SDI secara liar oleh ka-pal-kapal asing, memaksa kita untuk harus memiliki kapal-kapal patroli untuk mengawasi wilayah laut Kepulauan Nusa Utara. Se-mentara target Departemen Kela-utan dan Perikanan pada 2009 nanti, yakni harus ada 40 unit ar-mada kapal pengawas di wilayah Indonesia Timur. Kesemua arma-da pengawas tersebut, menurut rencana dikendalikan dari pela-buhan Samudera Bitung, Sulut.

Pentingnya pengadaan kapal pe-ngawas ini dilakukan untuk men-cegah kerugian sumber daya laut di wilayah Sulut yang lebih besar, akibat pencurian ikan. Hebatnya, para pelaku kejahatan di tengah laut dilengkapi dengan armada operasi yang cukup memadai. De-ngan menggunakan kapal cepat, mereka melakukan aktivitas kegi-atan di tengah laut tanpa bisa dija-mah, apalagi menangkapnya. Un-tuk itu, armada patroli berkece-patan rata-rata 27 knot dilengka-pi radar, kompas magnetik, radio komunikasi, dan ruang tahanan, sekurang-kurangnya 3 unit yang rutin melayari perairan laut Nusa Utara.

Padahal, hasil kesepakatan FK-PPS NASIONAL 2004 dan 2006 di antaranya merekomendasikan soal Pengawasan dan Penegakan hukum di wilayah perikanan kita. Hingga 2006 silam, tercatat ada 43 perusahaan perikanan yang beroperasi di Sulut, ada yang te-rancam tutup karena kesulitan bahan baku. Fenomena buruk itu, apakah Sulut mampu tampil sebagai pemain utama perikanan di wilayah Timur Indonesia? Se-mentara Rp 3-5 triliun raib secara sia-sia?


SEGITIGA EMAS NUSA UTARA

Gugusan Kepulauan Nusa Utara yang meliputi Sangihe Talaud dan Sitaro, nampaknya solusi utama revitalisasi perikanan di Sulut. Sungguh suatu tawaran menarik dan bermakna universal sebuah revitalisasi perikanan bagi warga Nusa Utara. Dan ini mungkin ja-waban kom-plit atas pertanyaan yang semen-tara di kaji oleh Ir Xandra Lalu MSi bersama para stafnya di Dinas Perikanan Sulut yang kini tengah gencar mena-ngani perluasan sektor kelautan dan perikanan.

Beberapa waktu lalu, Pemerin-tah Kabupaten Sangihe dan Ta-laud pernah di datangi sejumlah pengusaha asing. Mereka mena-warkan diri untuk melakukan in-vestasi perikanan, asalkan pe-merintah memberi beberapa ja-minan kemudahan dalam rangka investasi. Di antaranya, one stop service berfungsi optimal, dan me-reka tidak dikenai dengan banyak pungutan-pungutan yang tak da-pat di pertanggungjawabkan (Pu-ngutan Liar). Menurut rencana, investor tidak saja hanya mendiri-kan pabrik pengalengan ikan ska-la besar, tetapi juga mau mem-bantu kemudahan kepada mas-yarakat nelayan penangkap ikan. Para investor bahkan bersedia mendirikan plasma-plasma yang melibatkan seluruh insan perika-nan (nelayan) di wilayah Sangihe, Talaud dan Sitaro dengan sistem sentralistik perikanan dari hulu sampai hilir.

Sungguh tak mengherankan ka-lau pengusaha melirik gugusan “segitiga emas Nusa Utara” (Sangi-he, Talaud dan Sitaro) untuk in-vestasi perikanan. Kawasan itu, memang sejak dulu terkenal se-bagai salah satu kantong perika-nan yang belum difungsikan, ma-lah sebaliknya terkesan dibiarkan dijarah kapal asing.

Terkait upaya penerimaan dae-rah dan memacu ketersediaan la-pangan kerja bagi masyarakatnya, memaksa untuk segera dilakukan ’revolusi biru’ di “segitiga emas Nu-sa Utara” untuk menunjang revi-talisasi perikanan yang dicanang-kan Gubernur SHS di Sulawesi Utara.

Bahkan revitalisasi perikanan Sulut dipusatkan di “segitiga em-as Nusa Utara”, kini tak lagi hanya sebatas usul. Negeri maritim de-ngan ketersediaan SDI yang cu-kup besar bernama Nusa Utara, bukan lagi dalam bentuk materi kampanye politik belaka. Tetapi itu sudah merupakan kenyataan, meski data deposit SDI-nya tak pernah dibeber instansi teknis, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan.

Pun ’revolusi biru’ seperti yang dimaksud penulis, yakni berkisar soal orientasi penataan sistem perikanan dan kelautan, biar sejalan dengan makna revitali-sasi Perikanan seperti yang diha-rapkan gubernur SHS. Melihat potensi SDI di sepanjang “segitiga emas Nusa Utara” itu, di samping kesempatan kerja warga terbuka, juga mampu mendongkrak penerimaan bagi daerah. Tak hanya itu, meski belum ada data konkrit deposit SDI di Nusa Utara, tapi diyakini mampu memasok kebutuhan sebagian besar kebutuhan pasar dunia yang nota bene mendatangkan devisa kelak.(habis