Rabu, 09 April 2008

Negosiasi Batas Maritim Indonesia-Singapura

Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2007/04/11/Editor/edit03.htm
Oleh I Made Andi Arsana

Belakangan ini Indonesia dan Singapura cukup intensif mengadakan perundingan batas maritim. Isu seputar ini pun hangat diberitakan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Putaran ketiga perundingan yang berlangsung di Singapura baru saja berakhir 29 Maret 2007, yang diakui kedua belah pihak sebagai pertemuan yang bersahabat dan produktif. Hal itu terlihat dari rilis pers yang dipublikasikan di website Kementrian Luar Negeri Singapura.

Sudah banyak diberitakan, Singapura selama ini sangat aktif melakukan reklamasi. Hal itu juga menjadi perhatian banyak pengamat di Indonesia yang secara umum khawatir akan berpengaruh terhadap negosiasi batas maritim. Kekhawatiran itu cukup beralasan karena hal ini memang dimungkinkan dalam Konvensi PBB tentang hukum laut(UNCLOS) dan didukung oleh manual tentang aspek teknisnya (TALOS).

Beberapa berita dan opini serupa juga ada di berbagai media termasuk di Strait Times, 17 Maret 2007, berjudul "Jakarta Fears S'pore Will Use Reclaimed Shoreline to Decide Border".

Setelah putaran ketiga berlangsung, kekhawatiran seperti ini mungkin sudah tidak perlu lagi. Telah jelas dinyatakan Menteri Luar Negeri Singapura, George Yeo, perihal posisi Singapura bahwa reklamasi tersebut dilakukan di dalam laut teritorial Singapura dan tidak akan berpengaruh pada delimitasi batas maritim. Pernyataan itu ditegaskan ketika berbicara di depan parlemen pada 12 Februari 2007 seperti dikutip di website Singapore Government Media Release. Seandainya Singapura konsisten dengan pernyataannya, hal ini tentunya informasi yang sangat berarti bagi kemajuan negosiasi, setidaknya dalam perspektif Indonesia. Kini saatnya melangkah ke tahap berikutnya untuk segera menyelesaikan perjanjian 1973 yang tertunda.

Kedua negara ini juga telah menyetujui beberapa aspek teknis termasuk sama-sama telah mengemukakan pandangan masing- masing terhadap prinsip delimitasi. Meski demikian, tidak ditegaskan dalam rilis pers tersebut apakah ini sudah termasuk opsi delimitasi di sisi barat dan timur garis batas 1973.

Dua Isu

Setelah mengamati perkembangan negosiasi Indonesia-Singapura, ada setidaknya dua hal yang menjadi perhatian. Pertama, perihal pernyataan tidak berpengaruhnya reklamasi terhadap delimitasi batas maritim. Perlu diingat, delimitasi batas maritim jelas melibatkan titik pangkal dan garis pangkal. Dalam hal ini, perubahan titik dan garis pangkal akan mempengaruhi delimitasi batas maritim.

Reklamasi sendiri, secara terori, bisa dipandang sebagai tindakan untuk mengubah garis pangkal. Jika memang Singapura telah menegaskan reklamasi itu tidak akan mempengaruhi delimitasi batas maritim, artinya delimitasi akan memperhitungkan garis pantai Singapura yang asli, sebelum reklamasi. Ini harus menjadi catatan khusus karena berpengaruh pada aspek teknis yang dipertimbangkan.

Aspek teknis ini meliputi identifikasi objek-objek geografis pada peta laut yang akan digunakan dalam delimitasi. Obyek-obyek geografis, seperti misalnya garis pantai, yang ditampilkan pada peta laut harusnya yang merupakan representasi garis pantai Singapura sebelum reklamasi.

Pakar teknis yang terlibat dalam perundingan ini tentunya sudah mengantisipasi hal ini.

Isu yang kedua terkait datum geodesi yang digunakan dalam menentukan posisi (koordinat) titik-titik batas. Perlu dicatat bahwa perjanjian 1973 tidak menyebutkan secara spesifik datum geodesi yang digunakan. Kenyataannya, koordinat lintang bujur tanpa datum geodesi sesungguhnya tidak bermakna apa-apa. Koordinat semacam itu tidak mewakili suatu posisi di permukaan bumi. Bisa dikatakan, garis batas maritim yang ditentukan dalam perjanjian 1973 itu secara teorites tidak bisa dinyatakan posisinya di lapangan.

Secara teoretis, tanpa datum geodesi, tidak bisa dinyatakan adanya pelanggaran batas. Misalnya, petugas patroli sesungguhnya tidak bisa menyatakan sejauh mana sebuah kapal telah melewati garis batas karena garis batas sendiri tidak bisa ditentukan posisinya di lapangan.

Dalam kasus itu, alat navigasi modern seperti global positioning system (GPS) pun tidak akan membantu banyak karena GPS memiliki datum geodesi sedangkan garis batas tidak.

Dalam bahasa sederhana datum geodesi adalah kerangka yang digunakan untuk menyatakan suatu koordinat di permukaan bumi. Oleh karenanya ini adalah tanggung jawab pakar teknis (surveyor geodesi) untuk menghindari adanya kesalahan serupa dalam negosiasi batas maritim yang sedang berjalan.

Kedua isu di atas pastilah hanya sebagian saja dari keseluruhan persoalan yang dipertimbangkan. Negosiasi selanjutnya akan dilakukan di Indonesia yang tentunya membahas berbagai isu penting lainnya. Mari kita lihat dan dukung delegasi kedua negara untuk mencapai solusi yang adil bagi keduanya.

Penulis adalah dosen Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM, saat ini menjadi UN-Nippon research fellow dalam bidang "Ocean Affairs and the Law of the Sea" di Centre for Maritime Policy, University ofWollongong, Australia. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

Selasa, 08 April 2008

Revitalisasi Kelautan dan Perikanan Sulut Cari Apa?.

Sumber : http://www.suaramanado.com/view_berita.php?id=209
Oleh: Jahja Alotia


KETIKA Gubernur Sinyo Harry Sarundayang (SHS) menabu ’genderang’ revitalisasi di Pantai Moinit Minahasa Selatan, ketika itu pulalah saya mulai mengartikan gubernur pertama pilihan rakyat ’bumi nyiur melambai’ ini membagi berkat bagi masyarakatnya. Menariknya, itu dilakukan SHS tepat dihari ulang tahunnya yang ke-62.


Nyanyian segar revitalisasi perikanan gubernur SHS, kuat terdengar bahkan hingga ke-ujung Tagulandang (Sitaro), Marore (Sangihe) dan Miangas Talaud). Teman saya, seorang nelayan pernah mengungkapkan rasa senangnya saat mendengar mata pencahariannya (nelayan) mendapat perhatian serius Gubernur SHS.

”Ternyata torang nyanda salah pilih gubernur,” kata Nusa Mayampo, nelayan pesisir Rainis Talaud, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Sayangnya, samudera yang sering didatanginya,- sumber penghidupan keluarganya, rentan dengan penjarahan hasil-hasil laut oleh kapal-kapal asing.


Triliunan Rupiah Raib dari Sarundayang

Masih hangat dalam ingatan, Agustus 2007 silam, staf ahli Gubernur, mantan Kadis Perikanan Sulut, Ir FL Kaunang mengungkapkan, Sulut rugi 3–5 triliun setiap tahun, akibat illegal fishing (pencurian ikan).

Pencurian ikan dengan angka kerugian yang mencengangkan itu, terjadi di dalam wilayah ’kekuasaan’ Gubernur SHS. Jumlah kerugian sebesar itu, merupakan angka yang cukup besar kalau dipakai untuk belanja daerah.

Catatan penting sekaligus merupakan tantangan bagi gubernur SHS dan warga ’Kawanua’ dengan semangat revitalisasi perikanannya, diantaranya meminimais terjadinya illegal fishing.

Pun wilayah yang menjadi korban maraknya illegal fishing dapat dipastikan terjadi di perairan laut gugusan Kepulauan Nusa Utara -, meliputi, Talaud, Sangihe dan Sitaro.

Padahal, kesepakatan FKPPS (Forum Koordinasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ) Nasional 2004 yang di evaluasi kembali pada FKPPS di Manado (06-09 Desember 2006) lalu, diantaranya banyak menyentil soal elemen pengawasan akibat maraknya illegal fishing.

Disamping itu, lingkup dan implementasi tugas dan tanggungjawab pengawas perikanan, hingga kini belum dapat diejawantahkan dengan baik oleh instansi teknis, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Sulut.

Kita tak semestinya menunggu umpan bola lagi, mengingat fenomena overfishing kian kuat terjadi wilayah perikanan kita. Untuk itu, perlu dihindari dan jangan melonggarkan lalulintas kita diramaikan dengan seliweran kapal-kapal illegal di wilayah perikanan kita.

Fenomena illegal fishing yang terjadi, diwarnai dengan banyak varian serta trik dan intrik nelayan asing. Seperti contoh kasus, terlihat ratusan rumpon-rumpon (ponton) asing dipasang berjejeran di sepanjang laut NKRI.

Menariknya, itu terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Saat patroli pengawas lewat, rumpon-rumpon asing itu seperti raib begitu saja. Setelah ditelisik, ternyata pemilik-pemilik rumpon itu tahu kalau patroli lewat dijalur laut itu 2 bulan sekali. Caranya ternyata rumpon dipasang tali-tali panjang, yang sewaktu-waktu dapat ditarik (digandeng) sesuai keinginan mereka.

Untuk itu, koordinasi antar instansi dari TNI AL, TNI AU, Polisi Perairan, Bea Cukai, KPLP, Syahbandar, pelibatan masyarakat harus segera digelar.

Mengingat hingga kini Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut sepertinya kurang kental melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait itu.


Tingkatkan Pengawasan Perikanan

Wilayah laut Nusa Utara di bibir Pacific yang berbatas langsung dengan beberapa negara jiran ini, terbilang sangat kaya dengan Sumber Daya Ikan (SDI) -, meski fenomena overfishing yang cukup ditakuti kian terasa.

Hingga kini wilayah laut Nusa Utara masih sangat longggar dari pengawasan kita. Karenanya, tak heran kalau kapal-kapal asing acapkali terlihat lalu-lalang, dan dengan mudahnya mengeruk hasil-hasil laut kita.

Permasalahan tersebut terus mencuat karena tak disangkal lagi kalau tingkat pengawasan perairan kita masih sangat kurang. Stamina rendah ini dipastikan terkait ketersediaan armada pengawas yang tidak optimal, sehingga memberi kesempatan luas terjadinya illegal fishing di perairan yuridiksi nasional kita.

Luasnya wilayah perairan Nusa Utara disertai makin maraknya eksploitasi SDI secara liar oleh kapal-kapal asing, memaksa kita untuk harus memiliki kapal-kapal patroli untuk mengawasi wilayah laut Kepulauan Nusa Utara.

Sementara target Departemen Kelautan dan Perikanan pada 2009 nanti, yakni harus ada 40 unit armada kapal pengawas di wilayah Indonesia Timur. Kesemua armada pengawas tersebut, menurut rencana dikendalikan dari pelabuhan Samudera Bitung, Sulut.

Pentingnya pengadaan kapal pengawas ini dilakukan untuk mencegah kerugian sumber daya laut di wilayah Sulut yang lebih besar, akibat pencurian ikan. Hebatnya, para pelaku kejahatan di tengah laut dilengkapi dengan armada operasi yang cukup memadai. Dengan menggunakan kapal cepat, mereka melakukan aktivitas kegiatan ditengah laut tanpa bisa dijamah, apalagi menangkapnya.

Untuk itu, armada patroli berkecapatan rata-rata 27 knot dilengkapi radar, kompas magnetik, radio komunikasi, dan ruang tahanan, sekurang-kurangnya 3 unit yang rutin melayari perairan laut Nusa Utara.

Padahal, hasil kesepakatan FKPPS NASIONAL 2004 & 2006 diantaranya merekomendasikan soal Pengawasan dan Penegakan hukum di wilayah perikanan kita.

Hingga 2006 silam, tercatat ada 43 perusahaan perikanan yang beroperasi di Sulut, ada yang terancam tutup karena kesulitan bahan baku.

Fenomena buruk itu, apakah Sulut mampu tampil sebagai pemain utama Perikanan di wilayah Timur Indonesia?, sementara Rp 3-5 triliun raib secara sia-sia?


Segitiga Emas Nusa Utara

Gugusan Kepulauan Nusa Utara yang meliputi Sangihe Talaud dan Sitaro, nampaknya solusi utama revitalisasi perikanan di Sulut. Sungguh suatu tawaran menarik dan bermakna universal sebuah revitalisasi perikanan bagi warga Nusa Utara.

Dan ini mungkin jawaban komplit atas pertanyaan yang sementara di kaji oleh Ir Xandra Lalu MSi bersama para stafnya di Dinas Perikanan Sulut yang kini tengah gencar menangani perluasan sektor kelautan dan perikanan.

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kabupaten Sangihe dan Talaud pernah di datangi sejumlah pengusaha asing. Mereka menawarkan diri untuk melakukan investasi perikanan, asalkan pemerintah memberi beberapa jaminan kemudahan dalam rangka investasi. Diantaranya, one stop service berfungsi optimal, dan mereka tidak dikenai dengan banyak pungutan-pungutan yang tak dapat di pertanggungjawabkan (Pungutan Liar).

Menurut rencana, investor tidak saja hanya mendirikan pabrik pengalengan ikan skala besar -, tetapi juga mau membantu kemudahan kepada masyarakat nelayan penangkap ikan. Para investor bahkan bersedia mendirikan plasma-plasma yang melibatkan seluruh insan perikanan (nelayan) di wilayah Sangihe, Talaud dan Sitaro dengan sistem sentralistik perikanan dari hulu sampai hilir.

Sungguh tak mengherankan kalau pengusaha melirik gugusan ”segitiga emas Nusa Utara” (Sangihe, Talaud dan Sitaro) untuk investasi perikanan. Kawasan itu, memang sejak dulu terkenal sebagai salah satu kantong perikanan yang belum difungsikan, malah sebaliknya terkesan dibiarkan dijarah kapal asing.

Terkait upaya penerimaan daerah dan memacu ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakatnya, memaksa untuk segera dilakukan ’revolusi biru’ di ”segitiga emas Nusa Utara” untuk menunjang revitalisasi perikanan yang dicanang Gubernur SHS di Sulawesi Utara.

Bahkan revitalisasi perikanan Sulut dipusatkan di ”segitiga emas Nusa Utara”, kini tak lagi hanya sebatas usul. Negeri maritim dengan ketersediaan SDI yang cukup besar bernama Nusa Utara, bukan lagi dalam bentuk materi kampanye politik belaka. Tetapi itu sudah merupakan kenyataan, meski data deposit SDI-nya tak pernah dibeber instansi teknis, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan.

Pun ’revolusi biru’ seperti yang dimaksud penulis, yakni berkisar soal orientasi penataan sistem perikanan dan kelautan -, biar sejalan dengan makna revitalisasi Perikanan seperti yang diharapkan gubernur SHS.

Melihat potensi SDI di sepanjang ”segitiga emas Nusa Utara” itu, disamping kesempatan kerja warga terbuka,- juga mampu mendongkrak penerimaan bagi daerah. Tak hanya itu, meski belum ada data konkrit deposit SDI di Nusa Utara, tapi diyakini mampu memasok kebutuhan sebagian besar kebutuhan pasar dunia,- yang nota bene mendatangkan devisa kelak.

Harus disadari minat asing untuk melakukan investasi sektor Perikanan dan Kelautan di Nusa Utara kian lebar. Satu hal yang pasti, karena potensi perikanan yang dipunyai Nusa Utara mampu mengangkat nama Sulut menjadi salah satu pemain dunia di sektor perikanan dan kelautan.

Pendeknya tinggal menunggu dukungan ekonomis dan dukungan politis dari pemerintah kita. Sementara peluang dan kesempatan itu tetap saja ada, tergantung komitmen kita dan kesepahaman dunia internasional.

Pun peluang dan kesempatan itu kini didepan mata kita, yakni pertemuan negara-negara maritim sejagat, atau World Ocean Summit 2009 (WOS) di Manado.

Peluang dan kesempatan yang langkah ini, sekiranya dipergunakan maksimal oleh insan perikanan dan kelautan kita, berhubung ”main dikandang” sendiri.

Di WOS-2009 itu, sekiranya rekomendasi perikanan dan kelautan kita berhasil menelorkan ”Deklarasi Manado” yang tentunya menguntungkan sektor kelautan dan perikanan kita.

Buah tangan deklarasi itu diharapkan tak hanya sebatas pernyataan diatas kertas seperti yang tampak selama ini. Tapi selebihnya menjadi kebijakan nyata dan menyeluruh, sehingga kelautan dan perikanan Sulut, tak terpuruk.***

(Penulis: Pemerhati Masalah-Masalah Sosial EKonomi & Politik)

Pelabuhan Jadi Faktor Penting Negara Maritim

Tanggal : 8 April 2008
Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.08.01334025&channel=2&mn=155&idx=155
Oleh HARYO DAMARDONO


Hari ini, Selasa (8/4), Rapat Paripurna DPR dijadwalkan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelayaran. Berbagai harapan untuk membangkitkan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim, terutama dalam mengatur lalu lintas barang melalui pelabuhan, ditumpukan pada RUU ini.

Pelabuhan menjadi faktor yang penting bagi sebuah negara maritim. Terwujudnya pelabuhan yang unggul menjadi idaman berbagai pihak di negeri ini. Untuk itu, harus ada kompetisi dalam pengelolaan pelabuhan, dengan meniadakan monopoli.

Seiring dengan itu, RUU Pelayaran mengarahkan, selain PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo), swasta pun diberi kesempatan mengusahakan pelabuhan.

Hal yang bakal diatur RUU Pelayaran adalah melarang kapal asing mengangkut penumpang atau barang antarpulau di perairan Indonesia. Dengan demikian, diharapkan industri kapal dalam negeri didorong maju.

”Materi dalam RUU Pelayaran ini merupakan hasil terbaik, bagi pelayaran dan angkutan perairan, kepelabuhanan, keselamatan, dan keamanan, hingga perlindungan maritim,” kata Yoseph Umarhadi, Wakil Ketua Komisi V DPR, yang juga anggota Tim Panitia Kerja RUU Pelayaran.

Sejak draf RUU Pelayaran diterima DPR bulan April 2006, dibutuhkan waktu dua tahun untuk membahasnya. Selain dibentuk tim kecil, dibentuk juga tim relawan untuk menampung masukan dari berbagai pihak terkait materi RUU.

Alhasil, bila UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran hanya memuat 15 bab dan 132 pasal, maka RUU Pelayaran yang bakal disahkan ini memuat 22 bab dan 355 pasal.

Salah satu perubahan yang cukup berarti adalah ditetapkannya ketentuan, kegiatan angkutan laut dalam negeri oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan kapal berbendera Indonesia (pasal 8 ayat 1).

Asas cabotage itu berlaku efektif paling lama tiga tahun (pasal 341, Bab XXI Ketentuan Peralihan). Dengan ketentuan itu, setidaknya ada 13 komoditas dan satu penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas yang harus dilayani oleh armada dalam negeri.

Ini membuka peluang usaha baru. Maka Bank Indonesia pun mempertemukan perbankan dengan pelaku usaha pelayaran/ perkapalan, akhir Maret lalu.

Butuh Rp 34 triliun

Untuk membangun usaha pelayaran yang melayani kebutuhan industri hulu dan hilir migas dibutuhkan Rp 34 triliun.

Berdasarkan data dari BI, kredit bermasalah pada industri pelayaran turun dari 11 persen (per Desember 2006) menjadi 3,8 persen (Desember 2007). Sementara penyaluran kredit perbankan untuk sektor pelayaran naik 88 persen, yakni Rp 5,22 triliun (per Desember 2006) menjadi Rp 9,81 triliun (per Desember 2007).

Guna membangkitkan minat perbankan dalam pembiayaan industri pelayaran, RUU Pelayaran mengatur rinci hipotek kapal, termasuk piutang pelayaran. Sebenarnya, UU Pelayaran yang berlaku kini telah mengatur soal hipotek, tetapi tidak rinci.

Jadi tidak hanya tanah yang dapat dijaminkan, tetapi juga kapal. Direktur Utama PT PAL Harsusanto menyatakan, adanya regulasi tentang penjaminan kapal akan memudahkan penggalangan dana untuk membangun industri pelayaran.

Otoritas pelabuhan

Materi RUU Pelayaran yang banyak mendapat sorotan, terutama dari para pekerja pelabuhan, adalah tentang penyelenggaraan pelabuhan.

RUU mencantumkan tentang pembentukan Otoritas Pelabuhan pada pelabuhan komersial, dan Unit Penyelenggara Pelabuhan, pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.

Seiring dengan itu, menurut pasal 82 ayat 4, maka dengan dikawal oleh pegawai negeri yang kompeten di bidang kepelabuhanan, penyelenggara pelabuhan dapat memberi konsesi kepada badan usaha pelabuhan.

Hal itu berbeda dengan UU Pelayaran, Pasal 26 Ayat 1, yang menetapkan penyelenggaraan dan pelaksanaan pelabuhan dilimpahkan kepada badan usaha milik negara (BUMN). Keikutsertaan badan hukum Indonesia mengelola pelabuhan umum juga atas dasar kerja sama dengan BUMN (Pasal 26 Ayat 2).

Perubahan dalam kebijakan pengelolaan dan pengusahaan pelabuhan ini menimbulkan protes, terutama dari pekerja Pelindo.

Mereka khawatir peran operator dicabut dan aset dilelang. Kekhawatiran itu dinyatakan dalam ancaman mogok kerja yang dilontarkan berulang kali.

Ketua Umum Gabungan Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia (GSPPI) Sujarwo mengatakan, bila peran operator dicabut, maka 50 persen dari 20.000 pekerja akan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). ”Tidak masalah fungsi operator diatur pasal utama atau peralihan. Yang penting jelas,” ujarnya.

Ancaman unjuk rasa jika RUU Pelayaran disahkan pun dilontarkan Koordinator Komite Nasional Tolak Liberalisasi Pelabuhan Indonesia Fransiskus Xaverius Arief Poyuono. Dikatakan, sekitar 10.000 pekerja berbagai BUMN akan berunjuk rasa di Gedung DPR, hari ini, Selasa (8/4).

Arief dan pekerja dari 20 BUMN berniat mengawal agar RUU Pelayaran berpihak pada Pelindo, yang disebutnya sebagai aset negara.

Pekerja Pelindo, menurut Yoseph, tidak perlu berunjuk rasa. RUU Pelayaran tetap mengatur Pelindo sebagai operator. ”Tidak ada aset Pelindo yang dilelang, tidak ada pekerja di-PHK. Sejauh ini, DPR selalu membuka pintu dialog dengan pekerja,” ujarnya. Namun, kata Yoseph, Pelindo harus diaudit, karena perusahaan itu milik rakyat.

Jaminan Pelindo tetap sebagai operator diatur dalam Pasal 344 Ayat 3 RUU Pelayaran. Lebih rinci dimuat dalam Penjelasan Pasal 344 Ayat 3. Yaitu, BUMN yang dimaksud dalam RUU Pelayaran adalah BUMN yang didirikan berdasar PP No 56, 57, 58, dan 59/1991, dan itu hanya menunjuk pada PT Pelindo I-IV.

Daya saing

Ketua Persatuan Pelayaran Nasional Indonesia (Indonesian National Shipowners Association/INSA) Oentoro Surya menegasksan, siapa pun pengelola pelabuhan, maka peningkatan pelayanan yang dilandasi perbaikan pelabuhan harus menjadi perhatian utama.

Di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia, pelabuhan yang baik merupakan kunci untuk meningkatkan daya saing suatu bangsa. Sebagian besar arus ekspor dan impor dipastikan melewati pelabuhan. Bila pelabuhan inefisien, akan mengganggu arus barang. Ini melemahkan perekonomian bangsa.

Dibukanya kesempatan bagi swasta, menurut dia, hendaknya tak diartikan sempit, bahwa asing akan mengambil alih pelabuhan di Indonesia. Pembangunan pelabuhan dapat saja bekerja sama dengan swasta Indonesia, tetapi dananya disokong asing.

Pengamat ekonomi Faisal Basri, beberapa waktu lalu, menuliskan, setelah satu dasawarsa, ternyata privatisasi dan kehadiran asing, baik di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya, tidak memberi banyak maslahat.

Menanggapi itu, Yoseph hanya mengatakan, ”Nanti pilih-pilihlah investor pelabuhan, swasta atau asing yang mana? Bila investor Singapura, misalnya, bisa-bisa Indonesia tetap jadi feeder, pengumpan Pelabuhan Singapura. Jangan sampai seperti itu.”

Senin, 07 April 2008

Visi Maritim Indonesia: Apa Masalahnya?

Sumber : http://beritamaritim.com/opini/index.shtml
Oleh
Sarwono Kusumaatmadja

OPINI:
Ketika Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara adalah tinggalan Hindia Belanda, dan belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, maka batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai.

Dengan demikian maka perairan antar pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional. Wilayah laut kita dengan rezim hukum laut seperti disebut di atas hanyalah seluas kira-kira 100.000 km2. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut, walaupun secara kultur konsep kewilayahan kita tidak membedakan penguasaan antara laut dan darat. Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air.

Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui deklarasi Perdana Menteri Ir. Djuanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi di atas yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, adalah pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan pemisah.

Klaim ini bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut teritorial menjadi 12 mil dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional di PBB, suatu perjuangan panjang yang meliwati 3 rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.

Kendati prinsip negara kepulauan mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, akhirnya pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya.

Setelah diratifikasi oleh 60 negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994. Berkat perjuangan yang gigih dan memakan waktu, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya.

Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis.

Panjang pantai 81.000 km (kedua terpanjang di dunia setelah Canada ) merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara metereologis, perairan nusantara menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vital dalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan kita terdapat gejala alam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau the Indonesian throughflow yaitu arus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan juga pengaruh besar pada iklim benua Australia.

****

SAYANGNYA keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa nusantara tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi.

Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat. Tradisi kepelautan kita dinyatakan dengan kemampuan melayari Samudra Pasifik dengan kapal Pinisi Nusantara dan selamat sampai Vancouver, tapi kapal yang sama pecah dan tenggelam menabrak karang di Kepulauan Seribu dalam perjalanan lokal yang sederhana.

Di zaman Bung Karno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Uni Soviet dan Iran. Tetapi kekuatan itu tidak riel dan hanya temporer karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena bantuan Uni Soviet dalam kerangka permainan geopolitik.

Selama itu, berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman dibuat dan dideklarasikan namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang dibuat tetapi dengan mandat terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan pemerintahan.

Segala paradoks tadi terus menerus memunculkan gugatan demi gugatan yang makin nyaring dari masyarakat kelautan kita yang kemudian menciptakan kelembagaan berupa Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dan juga Dewan Maritim Indonesia pada tahun yang sama, dengan ruang lingkup tugas yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Kelautan Nasional di zaman Orde Baru.

Mudah-mudahan era presidensi Susilo Bambang Yudhoyono merupakan titik balik menentukan dalam kehidupan maritim kita. Melalui Inpres 5 tahun 2005 “asas cabotage” dihidupkan kembali. [“asas cabotage” adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan —Red]. Demikian juga otoritas moneter telah menetapkan kapal sebagai benda yang boleh diagunkan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) sedang dalam penyusunan termasuk visi maritim didalamnya, seiring dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut industri strategis dan kelembagaan pelabuhan.

Perlu diterangkan bahwa antara istilah kelautan dan maritim harus dibedakan. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya.

Terlepas dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Antara lain, pertama, negara perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa dan dengan demikian berwawasan global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di samping sumber daya ekonomi pada umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat dari keunggulan kompetitif yang bisa berbasis lokal.

Kedua, kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel keruangan harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra (darat-laut-udara), karena kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak lengkap untuk sekarang dan masa depan. Yang lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir dan angkasa luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan satelit Palapa pada dekade 1970-an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga sekarang ketika kita mulai merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut. Tetapi tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena terlanjur menjadi manusia penghafal.

Sesuai kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya variabel keruangan bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan bukanlah pengganti kebijakan masa lampau yang terkesan kuat dominan berorientasi daratan.

Ketiga, hirarki ruang juga perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh, ruang di mana kita punya hak berdaulat, dan ruang di mana kita perlu punya pengaruh baik eksklusif maupun melalui kerjasama politik, ekonomi dan pertahanan.

Keempat, pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS, karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi kita secara geopolitik akan lemah, serta memicu berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari.

Kelima, kalau semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun dan kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan sesuai dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang keunggulan kompetitif baik yang berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan, pelabuhan, transportasi antar matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan bersenjata (militer dan polisi), kebijakan fiskal, kebijakan investasi, kebijakan enersi, kebijakan dirgantara, kebijakan pembangunan daerah dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia merupakan turunan dari visi maritim dan visi maritim juga adalah turunan dari kebijakan kelautan.

****

SETELAH semua itu selesai dan dirumuskan secara baik, kita mempunyai soal berikut, yaitu mewujudkannya dalam implementasi. Banyak hal yang mempengaruhi implementasi visi dan kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam budaya agraris tradisional yang kita warisi.

Masyarakat agraris tradisional di pedalaman cenderung statis, introvert dan feodal. Berlainan dengan budaya pesisir yang lebih terbuka dan egaliter serta biasa memanfatkan pengaruh luar karena interaksi niaga antar bangsa. Komunitas pesisir menjadi lemah di masa lampau karena tidak adanya persepsi bersama menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan pesisir hancur ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari pedalaman.

Dengan demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang antara lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar gunung, sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai dan laut.

Mentalitas yang demikian tercermin pada orientasi pendidikan kita, yang cenderung melatih orang untuk menghafal (statis), dengan ketaatan di luar batas pada guru (feodal) dan kebiasaan guru untuk tidak terbuka dan tidak murah hati dalam mentransfer ilmu (introvert). Dengan kultur demikian sulit bagi bangsa kita untuk berubah maju atas kehendak sendiri. Perubahan selalu terjadi karena pengaruh eksternal yang tak tertahankan. Seringkali yang ditiru hanyalah tampak luarnya bukan esensinya.

Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai tantangan perubahan. Pada jangka pendeknya program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai kultur itu. Bisa juga dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih maju dalam hal di mana tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu.

Tetapi pada jangka panjangnya yang diperlukan adalah perubahan orientasi pendidikan, ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti dan penanaman sifat menyikapi tantangan perubahan secara positif.

Untuk menggambarkan betapa kita tidak siap menanggapi perubahan adalah tiadanya antisipasi terhadap kemungkinan rencana Thailand untuk membuat kanal di semenanjung Kra, yang pembangunannya bisa selesai kurang dari 10 tahun. Sekarang Thailand sedang berpikir keras apakah mereka akan melanjutkan rencana tersebut. Sekiranya mereka membuatnya, adanya kanal tersebut tentu amat mengurangi volume transportasi laut yang melalui perairan nusantara.

Sepintas lalu Singapura akan terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu merencanakan dirinya berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu hanya mempertahankan keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga corak ekonominya akan lebih canggih dan kehidupannya lebih menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang amat tertib, effisien tapi membosankan.

Menteri Luar Negeri Singapura di masa lalu, Rajaratnam pernah mengatakan bahwa “Kami di Singapura harus selalu berusaha maju setengah langkah melebihi negara-negara tetangga kami'” Para ahli geografi ekonomi dapat memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak sekiranya kanal Kra menjadi kenyataan, tapi rasanya tidak pernah terdengar apakah kita mempunyai skenario tertentu.

Pembangunan kanal Kra belum tentu merugikan Indonesia selama kita membangun kekuatan ekonomi maritim sejalan dengan dinamika perubahan. Sekiranya kita pintar menjalin interdependensi ekonomi antar wilayah dan selama kita lebih tergantung satu sama lain di antara kita, lebih kuat dari ketergantungan eksternal, maka keutuhan bangsa dan negara akan senantiasa terjamin.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang juga sekaligus unik, sekiranya kita punya komitmen kuat untuk membangun ekonomi berdaya saing, kita bisa menciptakan pasaran dalam negeri yang besar dengan jumlah orang yang nantinya melebihi 250 juta, serta masih punya peluang berperan dalam ekonomi global. Masalahnya, sudahkah kita berpikir dan bergerak ke sana?

****

SAAT ini kita kedatangan tamu dari India yaitu kapal induk Angkatan Laut India INS Virat sebagai tamu TNI AL. Berlainan dengan TNI AL yang puncak kebesarannya di tahun 1960-an didongkrak oleh bantuan Uni Soviet dalam rangka geopolitik, kekuatan militer India sepenuhnya lahir dari kemampuan industri srategiknya yang sudah lama dibangun sejak awal kemerdekaannya.

AL India dibesarkan supaya “Kekuatan angkatan laut kami sepadan dengan kemajuan-kemajuan pesat India di bidang ekonomi”, demikian kira-kira bunyi pernyataan Panglima Armada Timur India. Bisa diduga bahwa India melalui AL-nya bermaksud menjadikan Lautan Hindia sebagai wilayah pengaruhnya, mungkin tidak sendirian, tetapi bersama-sama dengan Amerika Serikat. Indikasi ini terlihat dari sikap lunak Amerika Serikat terhadap pengembangan teknologi nuklir India.

Dari contoh India kita mendapat penegasan akan keharusan memperkuat bukan saja armada niaga sesuai “asas cabotage”, tetapi juga memperkuat TNI AL karena di samping menyandang fungsi pertahanan, di manapun juga angkatan laut mempunyai fungsi memproyeksikan kehadiran negara dan fungsi diplomasi, terlebih lagi karena status kita sebagai negara kepulauan mengharuskan kehadiran negara di wilayah perbatasan laut yang begitu luas.

Indonesia berada ditengah kehadiran negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, India dan Cina yang walaupun bukan negara kepulauan, namun sudah punya visi dan kebijakan maritim, serta negara kecil seperti Singapura yang akan meraup keuntungan ekonomi dari perkembangan itu, dan Thailand yang juga melakukan hal yang sama.

Jadi apa yang menjadi masalah bagi visi maritim Indonesia? Masalahnya adalah bahwa kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Bukan karena ingin menjadi negara superpower tetapi demi kesejahteraan rakyat dan harga diri serta keamanan bangsa.

Bukan beralih ke laut karena sudah terlalu banyak problem di darat seperti pengurasan sumber daya alam dan involusi pertanian, namun karena ingin mengintegrasikan sumber daya terestial dengan sumber daya perairan untuk mencapai nilai ekonomi tertinggi.

URGENSI “NATIONAL OCEAN DEVELOPMENT POLICY” (NODEP)

Sumber : http://pksplipb.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=42&Itemid=49
Oleh
Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS

Pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir selalu diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) dalam pembangunan ekonomi nasional. Dengan posisi semacam ini bidang kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan, bukan menjadi arus utama (mainstream) dalam kebijakan pembangunan ekonomi Nasional. Kondisi ini menjadi ironis mengingat hampir 75 % wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar serta berada pada posisi geopolitis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia- sebuah kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik secara ekonomi dan politik. Sehingga secara ekonomi-politis sangat logis jika bidang kelautan dijadikan tumpuan dalam pembangunan ekonomi nasional.

Dengan demikian secara ekonomi dalam konteks makro pada tataran kebijakan pembangunan nasional, sudah selayaknya bidang kelautan menjadi arus utama dalam kebijakan ekonomi nasional. Sedangkan, secara politik semangat menjadikan sektor kelautan sebagai basis ekonomi nasional harus didukung oleh visi dan konsensus bersama semua pengambil kebijakan di negeri ini baik pada tataran eksekutif (termasuk militer dan polisi), legislatif, yudikatif serta didukung oleh segenap komponen bangsa Indonesia. Dengan demikian untuk Pembangunan Kelautan diperlukan national ocean development policy (NODEP) dengan didukung oleh tiga pilar pembangunan kelautan yaitu kebijakan kelautan nasional (National Ocean Policy-NOP), kebijakan ekonomi kelautan nasional (national ocean economic policy - NOEP) dan pemerintahan kelautan nasional (national ocean governance - NOG) yang komprehensif memandang laut sebagai pemersatu wilayah, kesatuan politik dan ekonomi.

Pilar Pembangunan Kelautan tersebut merupakan kebijakan-kebijakan dalam rangka mendayagunakan dan memfungsikan laut secara bijaksanaan yang didukung oleh pemanfaatan daratan untuk kepentingan publik dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan masyarakat (maximize social well-being). Kebijakan pembangunan Kelautan Nasional (NODEP) sebagai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana yang didukung pilar-pilar ekonomi sumberdaya daratan yang tangguh untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social well being). NODEP merupakan payung bagi pembangunan Indonesia yang terintegrasi antara pembangunan lautan dan daratan secara bijaksana dengan sasaran utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat kecil yang harus mendapat perhatian utama.

Berdasarkan hal tersebut perlu dibangun visi baru dalam pembangunan ekonomi Indonesia yakni visi ekonomi kelautan atau OCEAN ECONOMICS yang selanjutnya akan kami sebut sebagai OCEANOMICS. Visi ini mengedepankan pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumberdaya kelautan (ocean based resource) secara bijaksana dengan didukung oleh pilar-pilar ekonomi sumberdaya daratan (land based resource) yang tangguh dan mampu bersaing dalam kancah kompetisi global antar bangsa guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Visi tersebut dituangkan dalam Kebijakan Ekononomi Kelautan Nasional (NOEP)

Visi ini sangat penting karena didukung fakta bahwa dalam tahun 1998 kontribusi PDB menurut lapangan usaha adalah pertanian 12,62 %, pertambangan dan penggalian 4,21 %, industri manufaktur 19,92 %, jasa-jasa 41,12 % dan kelautan 20,06 % (Kusumastanto 2003). Fakta ini seharusnya dapat mendobrak kemapanan pemikiran tradisional dan beralih pada pemikiran bahwa laut adalah tumpuan masa depan ekonomi Indonesia – “Laut Masa Depan Kita Bersama”.

Dari bidang kelautan tersebut, sektor pertambangan minyak dan gas memberikan kontribusi terbesar, diikuti industri maritim, perikanan dan pariwisata bahari, namun demikian bila dibanding dengan negara lain didunia misalnya Cina yang lautnya hanya separuh Indonesia, sektor kelautannya memberi kontribusi 48,40 %, Jepang 54% sehingga seharusnya kita bisa mengikuti jejak mereka untuk melihat laut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.

Selain itu juga tantangan pembangunan kelautan pasca pemilu 2004 akan semakin besar. Oleh sebab itu NODEP menjadi penting keberadaanya. Tiga tantangan besar yang akan dihadapi pemerintahan pasca pemilu 2004 adalah pertama, pemberlakuan International ship dan port security code (ISPS Code) pada 1 Juli 2004 dalam bidang perhubungan laut akan berdampak terhadap perdagangan perekonomian bangsa Indonesia. Mengingat jumlah pelabuhan dan kapal internasional Indonesia baru sebagian kecil saja yang bisa mendapatkan sertifikat internasional tersebut. Padahal hampir 90 persen lebih jalur ekspor-impor Indonesia dilakukan lewat laut. Kedua, batas waktu klaim landas kontinen di luar 200 mil laut sampai 350 mil laut pada Septeber 2009. Seandainya Indonesia sampai batas waktu tersebut belum mengajukan klaim atas landas kontinen kepada komisi Landas kontinen PBB maka landas kontinen tersebut menajadi milik internasional dan bahkan bisa di klaim oleh negara lain. Konsekuensi hilangnya landas kontinen tersebut adalah hilangnya sumberdaya alam yang terdapat di wilayah dan yang paling utama adalah menyangkut keamanan negara. Ketiga, rehabilitasi lahan pesisir dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sebagian besar lahan di wilayah pesisir telah terdegradasi yang disebabkan oleh pencemaran, abrasi pantai dan sedimentasi. Terdegradasinya lahan pesisir tersebut berdampak terhadap rusaknya ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir serta semakin menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Karena pada umumnya mereka sangat menggantungkan hidupnya dari sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Selain itu juga dalam upaya merehabilitasi lahan pesisir tersebut harus di barengi dengan adanya penegakan hukum yang tegas terhadap para perusak lingkungan di wilayah pesisir tersebut.

Kebijakan Yang Komprehensif

Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan suatu formulasi Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional (NODEP) yang integral dan komprehensif sebagai payung kebijakan bagi semua instansi yang terkait pembangunan bidang kelautan. Formulasi kebijakan yang dimaksud tentunya diharapkan akan semakin memperkuat jati diri kita sebagai Bangsa Bahari. Sebab kita ketahui bahwa sejarah kemajuan peradaban bangsa Indonesia yang dibangun dari kehidupan masyarakat yang sangat tergantung dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Namun ironisnya sejak era kemerdekaan sampai dengan saat ini belum ada kebijakan mengelola kelautan secara terpadu dibawah satu koordinasi yang baik.

Fokus pembangunan bidang kelautan cukup luas yaitu terdiri dari berbagai sektor ekonomi. Namun selama ini pembangunan yang memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan tidak dilakukan oleh satu koordinasi lembaga negara tetapi dilakukan secara parsial oleh sekitar 18 institusi/lembaga negara setingkat departemen seperti Departemen Pertahanan, Perhubungan, Energi, Pariwisata, Industri dan Perdagangan, Kelautan dan Perikanan, Keuangan, Lingkungan Hidup, Kimpraswil, TNI AL, Koperasi dan UKM dan sebagainya.

Bila melihat konstruksi pembangunan kelautan yang ada saat ini, maka tanggungjawab pembangunan kelautan pasca pemilu 2004 tidak bisa sepenuhnya dipikul oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Sebab tolok ukur pembangunan kelautan harus dilihat dari kemajuan berbagai sektor ekonomi yang memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan. Namun demikian keberhasilan pembangunan kelautan sangat tergantung dengan keputusan politik baik dari eksekutif maupun legislatif dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan kelautan nasional. Sebab peran serta tanggungjawab eksekutif dan legislatif ini sangat menentukan arah dan kapasitas pembangunan kelautan.

Untuk menjadikan kelautan sebagai leading sector dalam pembangunan ekonomi, maka pendekatan kebijakan yang dilakukan harus mempertimbangkan keterkaitan antar sektor ekonomi dalam lingkup bidang kelautan dan non kelautan. Dalam hal ini perencanaan pembangunan melibatkan peran antar institusi pemerintah pusat dan daerah, sehingga sangat diperlukan hubungan antar lembaga negara dan lembaga pemerintah (inter-governmental organisations-IGO) yang bersifat koordinatif dan saling mendukung baik di pusat dan daerah, selain itu dalam implementasinya, stakeholder diberikan suasana yang kondusif untuk melakukan investasi dan menjalankan aktivitas ekonomi secara efisien dan efektif.

Sementara lingkup tanggungjawab legislatif adalah memberikan guideline hukum dalam pembangunan kelautan. Perundang-undangan di bidang kelautan perlu disusun dan ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum dan akan menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan sumberdaya kelautan. Dukungan legislatif terhadap eksekutif dalam menyusun rencana anggaran pembangunan yang terkait dengan bidang kelautan sangat penting untuk meningkatkan kapasitas pembangunan kelautan nasional. Dengan kondisi tersebut maka Pemerintahan Kelautan Nasional (NOG) sangat vital untuk dikembangkan agar dapat dibangun good governance dan clean government. Peran dan tanggungjawab eksekutif dan legislatif ini sangat menentukan arah dan kapasitas pembangunan kelautan dalam konteks otonomi daerah menjadi sangat penting mengingat berbagai berbagai keterbatasan daerah.

Kebijakan pemerintah diarahkan untuk mengembangkan keterpaduan pengembangan institusi dan program-programnya baik melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) serta Departemen terkait lainnya memerlukan dukungan keputusan ekonomi politik serta proses perubahan yang mendasar di tingkat kebijakan makro ekonomi nasional. Tetapi, keputusan politik tersebut, tidak hanya sampai pada pembentukan departemen tersebut, tetapi harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara yang dituangkan dalam Pilar Pembangunan Kelautan.

Lima Persoalan Hak Perairan Pesisir

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0706/15/opi01.html
Oleh Suhana

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang “dikejar” untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RUU PWP-PPK) menjadi sebuah undang-undang. Suatu terobosan maju yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR dalam upaya melakukan pengelolaan sumber daya pesisir secara bertanggung jawab.

Wilayah pesisir memiliki keberagaman potensi sumber daya alam yang tinggi yang dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pengembangan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat. Maka semua pihak hendaknya sama-sa-ma mengkritisi dan memberikan ma-sukan terhadap RUU tersebut agar pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah pesisir itu ke depan benar benar memberi kemakmuran bagi masyarakat dan tetap memperhatikan berkelanjutan sumber daya.

Ada permasalahan besar di beberapa pasal dalam RUU tersebut, yang akan berdampak kepada nasib masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional, dan juga kelestarian sumber daya pesisir. Permasalahan tersebut ada pada pasal pasal yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Padahal dalam beberapa draf RUU PWP-PPK sebelumnya keberadaan pasal-pasal yang mengatur HP3 tersebut tidak muncul.

Oleh sebab itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk sama-sama meninjau kembali keberadaan pasal-pasal tersebut dalam RUU PWP-PPK. Hal ini sangat penting karena menyangkut kepentingan masyarakt pesisir dan kelestarian sumber daya.

Dalam Pasal 17 RUU PWP-PPK disebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya pesisir untuk kegiatan usaha dapat diberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir selama 20 tahun. Hak tersebut diberikan kepada sebuah badan hukum atau perorangan (Pasal 18). Sementara itu dalam Pasal 19 dijelaskan bahwa HP3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut, kolom air, dasar laut dan tanah di bawahnya dalam batasan tertentu.

HP-3 ini mirip dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sudah dijalankan oleh Departemen Kehutanan, dan menurut catatan beberapa lembaga penelitian menyebutkan bahwa HPH-lah yang menjadi salah satu “biang keladi” kerusakan hutan di Indonesia. Oleh sebab itu jangan sampai HP-3 di sektor kelautan dan perikanan menjadikan sektor ini menjadi lebih terpuruk lagi.


Akses terhadap Pesisir

Dalam mengrikitisi permasalahan HP3 tersebut penulis memiliki lima pertanyaan, yaitu pertama, apa yang menjadi dasar penentuan jangka waktu pemberian izin sampai 20 tahun? Apakah pertimbangan keuntungan usaha bagi para pemilik HP3 atau pertimbangan kelestarian sumber daya pesisir.

Penulis melihat bahwa pertimbangan keuntungan usaha yang akan diperoleh para pemilik HP3 dan pemerintah terlihat sangat dominan dalam penentuan jangka waktu 20 tahun tersebut. Karena dalam kurun waktu 20 tahun tersebut tidak mungkin para pemilik ijin HP3 memikirkan untuk mengembalikan kelestarian sumber daya. Para pemilik izin HP3 akan berpikir bagaimana mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan dari HP3 tersebut. Padahal keberlanjutan usaha di wilayah pesisir sangat tergantung kepada keberadaan sumber daya yang ada.

Kedua, apakah pendekatan HP-3 dapat dijalankan di sektor perikanan?. Perlu ditegaskan bahwa sumber daya hutan dan ikan karakteristiknya berbeda, sumber daya hutan bersifat menetap sehingga mudah dikontrol. Akan tetapi sumber daya ikan bersifat dinamis.

Misalnya, bagaimana mengatur hak pengusahaan sumber daya ikan tuna yang memiliki migrasi tinggi, padahal sumber daya tersebut dibeberapa wilayah pesisir kawasan timur Indonesia menjadi sumber daya utama tangkapan nelayan. Dengan demikian, HP-3 sangat sulit untuk diterapkan di sektor perikanan dan kelautan.

Ketiga adalah apakah setiap HP-3 berlaku untuk semua sumber daya yang ada di wilayah pesisir? Seperti kita ketahui bahwa sumber daya yang ada di wilayah pesisir tersebut meliputi sumber daya ikan, pariwisata bahari, migas, perhubungan dan jasa kelautan. Kalau dilihat dari Pasal 19 terlihat bahwa semua sumber daya tersebut akan dikuasai oleh satu pemegang HP-3. Kalau hal ini terjadi jelas tidak akan efektif, karena sampai saat ini masing-masing sumber daya tersebut masih dikelola oleh departemen yang berbeda-beda dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda pula.

Keempat, apakah nelayan tradisional memiliki hak akses terhadap wilayah pesisir yang telah dikuasai oleh seseorang/badan usaha yang memiliki izin HP3? Seperti diketahui bahwa wilayah tangkap komunitas nelayan tradisional berada di wilayah pesisir, dengan demikian apabila nelayan tidak memiliki hak akses terhadap wilayah HP3 nasib nelayan akan semakin terpuruk. Apalagi diperparah dengan belum jelasnya upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional.


Batalkan HP3

Kelima, wilayah mana saja yang boleh dijadikan wilayah HP-3? Apakah wilayah perairan pesisir yang dibawah pengawasan masyarakat tradisional/adat dapat dijadikan wilayah HP-3? dimana di wilayah perairan tersebut umumnya sumber daya ikannya terjaga dengan baik.

Dan apabila HP-3 diperbolehkan di wilayah tersebut maka konflik horizontal di tingkat masyarakat pesisir akan terus meningkat. Perlu diketahui bahwa para pengusaha yang mendapatkan HP-3 tentunya menginginkan wilayah HP-3 –nya berada di wilayah yang memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah dan terjaga dengan baik.

Berdasarkan kelima pertanyaan tersebut maka langkah yang mungkin untuk dilakukan, yaitu membatalkan kembali pasal-pasal yang mengatur HP-3 di sektor kelautan dan perikanan (Pasal 17, 18 dan 19). Hal ini disebabkan, selain keempat hal tersebut diatas, penulis melihat bahwa pemerintah saat ini masih berorientasi kepada peningkatan pendapatan nasional dan daerah (PAD), belum melihat kelestarian sumber daya sebagai kepentingan utama dalam pengelolaan wilayah pesisir saat ini.

Pendekatan HP-3 sangat rawan diselewengkan oleh para penguasa baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu juga ketidakjelasan sistem kelembagaan HP-3 yang akan dikembangkan, dapat memperkeruh konflik perebutan sumber daya ikan di wilayah pesisir yang sampai saat ini masih berlangsung.

Hemat penulis, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya mengembalikan sistem perizinan pemanfaatn sumber daya pesisir kepada mekanisme yang telah diatur dalam beberapa undang-undang yang telah ada. Misalnya, untuk pemanfaatan sumber daya ikan diatur oleh UU No 31 Tentang Perikanan dan Peraturan Menteri Kelautan No 17 Tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Begitu juga dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pesisir lainnya.

Sementara itu, untuk menjaga kesinergisan antar masing-masing kepentingan terkait dengan perijinan tersebut, maka sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh UU pesisir tersebut harus lebih komprehensip. Dengan demikian keberadaan Bab VII RUU PWP yang mengatur masalah organisasi pengelola wilayah pesisir dapat lebih dipertajam dan diperkuat lagi.

Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB).

Masalah Pesisir Laut Indonesia; Terancam Permukiman dan Tak Dipedulikan


Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0411/23/ipt01.html

JAKARTA – Hampir 60 persen penduduk Indonesia hidup di pesisir lautan. Bermukim di antara mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Bahkan di pesisir utara Jawa, ada 600.000 nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut di sekitar tempat tersebut.


Banyaknya jumlah pemukim tersebut, mengindikasikan semakin tingginya potensi kerusakan lingkungan laut di sekitar mereka. Lalu ditambah dengan tingginya minat ekonomis yang melingkupi, jadilah masalah kerusakan pesisir dan lautan negeri ini makin menuju arah yang tak terkendali.

Indonesia dikenal sebagai wilayah yang memiliki wilayah laut terluas. Bagaimana tidak dengan wilayah laut teritorial seluas 5,7 juta km persegi. Belum lagi ditambah luas lautan dari kesepakatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang mencapai 2,7 juta km persegi, makin pantas rasanya negeri ini disebut sebagai negara dengan daerah perairan terluas di dunia.

Pesisir dan laut Indonesia juga banyak dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia. Ini disebabkan hampir 30 persen hutan bakau dan 30 persen terumbu karang hidup di perairan Indonesia. Selain itu pesisir dan laut juga menyediakan 60 persen kebutuhan protein dari ikan, yang 90 persennya berasal dari perairan sebelah dalam dari 12 mil laut garis pantai.

Selain dikenal sebagai negara perairan terluas, Indonesia juga terkenal dengan banyaknya pulau yang dimiliki. Hingga kini tercatat ada 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km. Dengan garis pantai sepanjang itu, maka bukan sebuah hal yang aneh bila banyak orang Indonesia memilih bermukim di daerah pesisir. Hingga kini tercatat 140 juta atau sekitar 60 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah tersebut.


Permukiman

Melihat potensi yang sedemikian besarnya, rasanya tak enak hati kalau dikatakan itu hanya indah di permukaan saja. Bagaimana tidak dengan potensi sedemikian besar, namun tingkat ekonomi penduduk di area tersebut tidak terlihat memadai. Ini terbukti dengan masih banyaknya kasus-kasus yang menyatakan sedemikan miskinnya masyarakat nelayan Indonesia saat ini. Yang harus hidup dengan ekonomi pas-pasan dan tingkat pendidikan rendah.

Mungkin hal terakhir ini, yang membuat masalah pemukiman dianggap sebagai kendala utama berbagai masalah pesisir saat ini. Bagaimana tidak, dengan sebagian besar penduduk hidup di kawasan tersebut, berarti semakin banyak mulut yang harus diberi makan. Dan berarti juga semakin luas daya jangkau orang-orang daerah tersebut dalam usaha pemenuhan kebutuhannya. Hal inilah yang tampaknya masuk akal menjadi dalang dari semua masalah pesisir yang ada.

Seperti masalah hutan mangrove. Data terakhir yang didapat dari FAO tahun 2000 diketahui, bahwa laju perubahan hutan mangrove di Indonesia mulai tahun 1980 – 2000 menunjukkan indikasi yang makin menyusut. Yang semula luas hutan mangrove Indonesia tahun 1980 mencapai nilai 4.254.000 ha, tahun 2000 menyusut hingga tinggal 2.930.000 ha. Berarti tiap 10 tahunnya terjadi penyusutan sebesar sekitar 1,8 persen.

Namun yang bikin kita mengusap dada, ternyata laju rehabilitasi hutan mangrove di Indonesia tidak menunjukkan angka yang seimbang dengan laju kerusakan yang ada. Ini terlihat dari laporan profil pengelolaan pesisir dan lautan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2003. Di sana disebutkan bahwa hanya sejumlah 1.784,1 ha luas hutan mangrove yang dianggap berhasil direhabilitasi hingga saat ini.


Tak Dipedulikan

Masalah pesisir belum selesai hanya di mangrove saja. Padang lamun kemudian seperti menghadang untuk diakui keberadaannya. Sampai awal era milenium yang baru ini harus diakui bahwa sumber daya padang lamun seperti terabaikan. Pembicaraan di sektor pesisir seperti hanya terpusat pada mangrove dan terumbu karang saja. Padahal kalau membicarakan pesisir tidak bisa mengabaikan habitat yang satu ini.

Di dunia penelitian khusus di wilayah ini tercatat baru dimulai sekitar tahun 1973. Sedangkan di Indonesia baru dimulai sekitar tahun 1984, yang ditandai dengan diadakannya ekspedisi Snellius II. Setelah itu ekosistem padang lamun baru mulai dilirik oleh LIPI untuk didalami.

Namun untuk terus bisa mengamati pola perkembangan daerah padang lamun ini, diperlukan data-data dasar yang memadai. Untuk itu, mulai tahun 2003 lalu, beberapa pemarhati ekosistem ini mulai mengumpulkan beberapa data dasar mengenai daerah tersebut. Hingga saat ini baru diinventarisasi daerah padang lamun yang berada di Kepulauan Riau.

Beberapa penelitian terakhir mengenai daerah tersebut juga mulai dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan melalui serangkaian ekspedisi Wallacea 2004 lalu. Dari penelitian itu, sedikitnya ditemukan delapan jenis lamun di Bokan Kepulauan, yaitu Halophila ovalis, Thalasia hemprichii, Halodule pinifolia, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Halophila dicipiens dan Halodule uninervis. Tak tertutup kemungkinan, jumlah itu masih akan bertambah setelah penelitian lebih lanjut (SH/18/8/04).

Beberapa keadaan terakhir mengenai padang lamun ini memang terasa tak renyah di telinga. Padahal beberapa penelitian di bidang ini menunjukkan ada kaitan erat ekosistem padang lamun dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Yaitu adanya interaksi fisik di antara mereka. Juga diindikasikan ada pertukaran nutrien dan bahan organik yang terlarut di antara mereka. Selain itu juga disinyalir terdapat proses pertukaran bahan organik yang melayang di sekitarnya. Selain juga sebagai habitat hewan untuk berkembang biak.
(str-sulung prasetyo)

Potensi Kelautan dan Kesempatan Kerja

Sumber : http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7855&coid=2&caid=30&gid=3
Oleh: Razali Ritonga


Meski berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran, hasilnya tetap belum menggembirakan. Angka pengangguran masih bertengger di atas 10 persen. Ini berarti satu di antara sepuluh angkatan kerja kita berstatus penganggur.

Hasil survei angkatan kerja nasional menunjukkan, pada Agustus 2006, angka pengangguran sekitar 10,28 persen atau sebanyak 10,93 juta orang. Jika dibandingkan dengan keadaan Februari 2006, angka pengangguran turun 170 ribu orang, atau turun hanya sekitar 0,17 persen.

Upaya menurunkan angka pengangguran itu tampaknya hanya berhasil di luar sektor pertanian. Tercatat, selama Februari 2006-Agustus 2006, terdapat penambahan penduduk yang bekerja di sejumlah sektor, seperti sektor jasa sebanyak 790 ribu orang, perdagangan 650 ribu orang, konstruksi 330 ribu orang, dan industri 310 ribu orang.

Sebaliknya, penduduk yang bekerja di sektor pertanian turun dari 42,32 juta orang pada Februari 2006 menjadi 40,14 juta orang pada Agustus 2006, atau turun 2,18 juta orang.

Turunnya jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian selama Februari 2006-Agustus 2006, antara lain, disebabkan oleh musim kemarau panjang. Kondisi musim yang kurang menguntungkan itu terutama menimpa petani yang berusaha pada sawah tadah hujan.

Selain angka pengangguran yang masih terbilang sangat tinggi, situasi ketenagakerjaan kita juga diwarnai oleh masalah produktivitas rendah. Hal ini terlihat dari masih cukup tingginya penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal, yaitu kurang dari 35 jam seminggu. Tercatat sekitar 31,2 persen penduduk pada Februari 2006 bekerja di bawah jam kerja normal, dan sedikit meningkat menjadi 31,4 persen pada Agustus 2006 (Badan Pusat Statistik, 2006).

Umumnya, penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal itu berada di sektor pertanian. Ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian telah mengalami kejenuhan dalam peluang kesempatan kerja. Padahal sektor ini sangat diharapkan dapat mengatasi pengangguran, mengingat minimnya persyaratan yang diperlukan untuk bekerja di sektor ini.

Berbeda halnya dengan persyaratan kerja di luar sektor pertanian, yang cukup ketat seperti dalam hal pengalaman dan pendidikan. Padahal angkatan kerja kita masih diwarnai oleh pendidikan yang rendah. Sekitar setengah dari seluruh angkatan kerja kita berpendidikan sekolah dasar atau kurang.

Maka, untuk mengurangi angka pengangguran di masa mendatang, pemerintah perlu mencari terobosan baru. Tentunya, untuk membuat terobosan itu, pemerintah tidak asal dalam membuka kesempatan kerja baru. Terobosan itu akan efektif jika bersesuaian dengan kondisi angkatan kerja kita yang minim pendidikan. Ini berarti, jika penciptaan kesempatan kerja baru itu bersifat padat modal dan berbasis pendidikan tinggi, hal itu tidak banyak berarti dalam pengurangan angka pengangguran.

Potensi kelautan

Salah satu sektor yang diperkirakan berpotensi dalam penciptaan kesempatan kerja adalah sektor kelautan. Sektor ini hampir tipikal dengan sektor pertanian, yang tidak memerlukan persyaratan khusus untuk bekerja. Bahkan untuk bekerja di sektor ini cukup dengan pengalaman atau kursus keterampilan tertentu.

Sangat aneh memang, Indonesia dengan wilayah laut yang sangat luas belum menggarap sektor ini secara optimal. Tercatat, Indonesia memiliki lautan seluas 3.302.498 kilometer persegi, sedangkan daratan seluas 1. 890.754 kilometer persegi. Ini berarti luas lautan dua pertiga total luas area.

Namun, dengan lautan yang demikian luas, jumlah penduduk yang bekerja di sektor ini terbilang amat kecil, yaitu 613.217 rumah tangga, atau sekitar 2,5 juta orang pada tahun 2004 (BPS, Statistik Indonesia 2005/2006). Dengan demikian, penduduk yang bekerja di perikanan laut tidak sampai tiga persen dari total penduduk yang bekerja. Sungguh memprihatinkan.

Kecilnya jumlah penduduk yang bekerja di perikanan laut diperkirakan terkait dengan kurangnya modal dan prasarana yang dimiliki. Dari aspek modal, umumnya menyangkut biaya operasi, pengadaan alat tangkap, kapal motor, dan jaminan hidup selama beroperasi.

Celakanya, perhatian pemerintah berupa kucuran dana pinjaman masih sangat minim. Sehingga, tak mengherankan, dalam situasi demikian, tengkulak merajalela. Pada akhirnya kesejahteraan nelayan tidak pernah membaik. Hal ini tentu tidak memberikan rangsangan terhadap peningkatan penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Bisa dikatakan penduduk yang bekerja sebagai nelayan disebabkan oleh keterpaksaan karena tidak ada pekerjaan lainnya.

Mengingat potensi kelautan yang demikian besar dalam penciptaan kesempatan kerja, selayaknya pemerintah segera turun tangan. Ini berkaitan dengan beleid pemerintah pada 2007 ini untuk membantu permodalan usaha kecil dan menengah. Bahkan besarnya modal pinjaman mencapai hingga 20 miliar. Terkait dengan beleid ini, sepatutnya pemerintah tidak melupakan sektor kelautan.

Jika saja pinjaman modal itu dapat diterima oleh nelayan, ruang gerak tengkulak akan berakhir dan kesejahteraan nelayan meningkat. Sebenarnya hal positif dari pinjaman itu adalah untuk keperluan pembelian alat tangkap modern dan kapal dengan tonase besar yang bisa beroperasi di laut dalam. Diketahui, kini banyak nelayan yang hanya mampu beroperasi di laut dangkal dan di dekat bibir pantai, mengingat alat tangkap yang dimiliki sangat sederhana dan perahu motornya bertonase rendah. Akibatnya, potensi laut dalam belum tergarap secara optimal. Celakanya, kekayaan laut dalam yang tidak terjamah itu dicuri oleh nelayan asing yang memiliki peralatan canggih.

Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah soal infrastruktur kelautan, seperti mesin pendingin untuk pengawetan dan pelabuhan pendaratan ikan dan tempat pemasaran. Untuk soal ini, sepatutnya pemerintah dapat membantu dalam pengadaannya. Ini berkaitan dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Infrastruktur. Sesuai dengan inpres tersebut, pemerintah akan melakukan pembangunan infrastruktur per tahun dengan biaya Rp 200 triliun, yang merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk lima tahun mendatang dengan total dana Rp 1.000 triliun. Sangat diharapkan pemerintah mengalokasikan sebagian dari dana itu untuk membangun infrastruktur kelautan.

Dengan berbagai upaya itu, diyakini potensi kelautan dapat dimanfaatkan secara optimal. Sehingga, kondisi demikian dapat merangsang tumbuhnya kesempatan kerja di sektor ini. Hal ini pada gilirannya tidak hanya dapat mengurangi angka pengangguran, tapi juga dapat menyejahterakan nelayan, meningkatkan kemampuan ekspor hasil laut dan ketersediaan protein hewani di dalam negeri.

URL Source:http://korantempo.com/korantempo/2007/03/27/Opini/krn,20070327,75.id.html

Peningkatan Ekonomi Masyarakat Pesisir Selatan

Tanggal : 1 Mei 2007
Sumber : http://www.gib.or.id/isibuletin.php?&rberita_no=471
Oleh GIB Jember

Memasuki persaingan pasar di era ekonomi Global yang menuntut persiapan baik dari segi mental maupun sarana prasarana, membuat para pelaku pasar lebih pro aktif meningkatkan aspek-aspek perekonomian. Dari sekian banyak sektor ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah peningkatan di sektor yang melibatkan masyarakat banyak. Salah satunya dalam peningkatan sektor kelautan. Sebagai salah satu bangsa yang memiliki perairan lebih luas dari daratan, tidak seharusnya kita kalah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Nenek moyang kita terkenal sebagai pelaut yang ulung dan berani mengarungi samudera. Berbagai tantangan dilautan sanggup dihadapi, meski dengan perahu sederhana, namun nenek moyang kita telah mampu menjelajah dunia.

Berbekal dengan keahlian dan kemampuan serta keaneka ragaman satwa yang hidup diperairan Indonesia inilah yang melatar belakangi pemerintah menggalakkan program peningkatan perekonomian masyarakat pesisir. Dalam program yang berbasis peningkatan ekonomi mikro ini, pemerintah mengharapkan kepada masyarakat pesisir untuk lebih giat lagi meningkatkan perekonomian mereka dengan bantuan kredit lunak yang berpihak pada masyarakat pesisir.

Untuk tahun 2007 ini penggalakan program peningkatan perekonomian masyarakat pesisir diberbagai wilayah sedikit banyak telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Di Kabupaten Jember misalnya, untuk masyarakat pesisir yang berada didaerah selatan pulau jawa ini lambat laun sudah mulai merasakan peningkatan perekonomian mereka dengan adanya program bantuan pemerintah pusat maupun daerah dalam bentuk bantuan lunak yang diwujudkan dalam pembentukan sebuah koperasi binaan Dinas peternakan dan Kelautan Kabupaten Jember.

Pemberian bantuan lunak yang diberi nama LEPM3 ( Lembaga Ekonomi Pemberdayaan Mikro Mina Mitra) merupakan pemberian kredit yang dikelola oleh pihak koperasi Dinas Peternakan dan Kelautan Kabupaten Jember. Kredit ini telah dilaksanakan sejak tahun 2003.Pada awalnya program ini bermodalkan Rp 690 juta yang dikelola dengan prinsip simpan pinjam dengan bunga tertentu, namun seiring perkembangan waktu, program ini telah mampu mendirikan sebuah koperasi beranggotakan 326 orang dan berbadan hukum dengan pengelolaan dilakukan oleh menegement tersendiri dibawah naungan pengawasan Dinas Peternakan dan Kelautan Kabupaten Jember.

Kini koperasi ini telah bermodalkan 1 Milyar rupiah. Menurut kepala dinas Peternakan dan Kelautan Kabupaten Jember, Dady saat ditemui diruang kerjanya mengatakan, koperasi tersebut dalam sirkulasi sistem kerjanya menganut sistem simpan pinjam dari anggotanya serta memberikan pemenuhan kebutuhan mereka dalam usahanya mencari penghidupan dilaut.

Dengan membentuk sebuah kedai pesisir yang kini beraset kurang lebih 200 juta koperasi tersebut telah mampu menyediakan berbagai macam kebutuhan masyarakat pesisir, mulai dari kebutuhan sembako, sampai kebutuhan lainnya yang dapat diperoleh dengan harga dan fasilitas yang mudah.

Namun dikatakan oleh Daddy, selain masih ada beberapa faktor yang menjadi kendala, masyarakat pesisir masih dianggap kurang terlalu konsumtif terhadap keberadaaan koperasi yang dalam permodalannya mendapat bantuan dari Bank Bukopin ini. Selain itu potensi laut yang besar untuk Kabupaten Jember masih kurang optimal dalam pengelolaannya.

Hal ini terbukti dengan banyaknya wilayah pantai yang seharusnya sangat potensial sekali dalam peningkatan perekonomian masyarakat pesisir pantai selatan Jawa ini, ternyata belum tersentuh. Misalnya di daerah Kecamatan Gumukmas Kabupaten Jember. Didaerah yang sangat strategis apabila dilakukan kegiatan perekonomian masyarakat pesisir ini masih dibiarkan begitu saja.

Dengan kedalaman garis pantai yang mencapai 20 meter dari bibir pantai serta adanya pulau nusa barong yang menghalangi wilayah ini apabila ada gelombang besar memungkinkan sekali apabila dilakukan sebuah survey baik dari pemerintah daerah maupun pusat untuk membangun sebuah pelabuhan laut sebagai jalur alternatif untuk wilayah timur.

Kepala Dinas Pternakan dan Kelautan Kabupaten Jember berharap untuk kedepannya nanti, wilayah-wilayah yang masih belum tersentuh tersebut bisa dimanfatkan dan digunakan untuk kemajuan serta peningkatan perekonomian masyarakat pesisir selatan pulau Jawa, khususnya bagi masyarakat Jember.

PARADIGMA KOMUNITAS DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN

Sumber : http://www.acehinstitute.org/opini_sulaiman_tripa_paradigma_komunitas_pembangunan_kelautan.htm

Oleh: Sulaiman Tripa (Penulias & Pegiat Kebudayaan)


DALAM pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Brasil pada 1992, lahir konsensus sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Pengrusakan lingkungan karena eksploitasi berlebihan mulai dirasakan mengganggu keberlanjutan pembangunan global.

Ada satu masalah dari perkembangan itu, bahwa negara-negara berkembang terus disudutkan karena dinilai tak mampu menjaga lingkungannya.

Dalam sidang World Trade Organization (WTO) di Cancun, Meksiko (2005), negara maju jelas mempersalahkan kemiskinan dan kebutuhan ekonomi dalam kerusakan lingkungan hidup.

Fenomena itu susah untuk dilawan karena pada kenyataannya ada dua hal yang harus dihadapi pada waktu bersamaan oleh negara berkembang: Pertama, membuktikan bahwa negara berkembang tidak bersalah atas kerusakan lingkungan; Kedua, angka kemiskinan tidak ada hubungan langsung dengan kerusakan lingkungan.


Kemiskinan dan globalisasi


Kemiskinan sebenarnya sangat dipengaruhi kekuatan modal global. Memberikan utang, bukan jawaban untuk kemiskinan. Utang akan membuat kesenjangan antara negara miskin dengan negara kaya kian menjadi-jadi. Apalagi sebuah negara yang berutang, senantiasa harus menyesuaikan kebijakan di negaranya sesuai dengan pesanan negara yang memberi utang.

Negara maju menghidupkan perusahaan transnasional di mana-mana. Hal ini seringkali dilakukan dengan mengejar keuntungan lewat eksploitasi alam. Pada saat yang sama, mereka membantu sejumlah dana untuk menjaga lingkungan hidup sehingga tampak mereka seperti malaikat–sedang negara berkembang tidak dapat menolak dari tuduhan kesalahannya.

Kemiskinan menjadi alasan negara maju menuduh negara berkembang telah merusak lingkungan. Padahal, kemiskinan di negara berkembang, termasuk Indonesia, juga akibat proses global. Kemiskinan merupakan akibat dari proses pemiskinan. Kekuatan modal internasional merasionalisasikan kemiskinan lewat order gagasan para intelektual bahwa seolah-olah pemberantasan kemiskinan itu terhambat karena lokalitas. Padahal jelas tidak demikian, karena kemiskinan berkaitan dengan relasi sosial, ekonomi dan budaya yang berakibat pada kemiskinan.

Akhir-akhir ini, intelektual pro-liberalisme sangat berperan dalam mempercepat proses pelucutan peran negara sebagai pelindung rakyat dan hak-haknya. Akibatnya, negara jadi mengabaikan tugasnya sebagai pelindung hak-hak rakyat sebagaimana diamanahkan konstitusi.

Dalam kasus pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang berakibat pada ketidakmampuan nelayan untuk menutupi besarnya biaya produksi, dapat menjadi salah satu contoh. Kompensasi hasil pencabutan subsidi untuk nelayan, sangat tidak sebanding dengan kemiskinan itu sendiri. Belum lagi korupsi yang masih sistemik di Indonesia menambah keraguan bahwa pencabutan subsidi akan berhasil mengurangi angka kemiskinan dengan melakukan subsidi silang dan berbagai program bantuan.

Kebijakan yang memihak kepada pasar (tekanan struktural) membuat Indonesia ikut serta mengejar produksi dan produktivitas hasil alam dengan mengatasnamakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan usaha mengatasi krisis ekonomi.

Dalam konteks kelautan, pemberian izin kapal asing dianggap sebagai salah satu pemasukan potensial bagi negara. Tapi dalam kenyataannya menampakkan kebijakan pro-pasar dan meminggirkan nelayan lokal. Umumnya, kapal asing itu memakai trawl yang anti terhadap paradigma pembangunan yang berkelanjutan, sedangkan nelayan lokal anti trawl dan sangat menjunjung konsep pembangunan keberlanjutan.

Dalam kenyataan ini, terlihat jelas kebijakan yang paradoks: antara eksploitasi sumberdaya perikanan untuk mengejar kebutuhan pasar sebagai konsep liberalisasi, dengan kepentingan lingkungan hidup di mana kalangan pro liberalisasi juga mengecam eksploitasi berlebihan yang berakibat terhadap kelestarian lingkungan berkelanjutan–yang mana eksploitasi itu juga sebagai kepentingan liberalisasi, lalu yang terakhir ini memberi bantuan yang berbentuk utang untuk merehab lingkungan yang telah dieksploitasi itu.

Artinya, eksploitasi itu untuk kepentingan liberalisasi, pada saat yang sama kepentingan liberal berlagak sebagai pahlawan dengan memberi utang memperbaiki lingkungan yang rusak karena eksploitasi berlebihan yang juga kepentingan mereka.


Paradigma komunitas untuk pembangunan berkelanjutan


Kelindan gurita liberalissasi itu harus dilawan. Pemerintah harus menempatkan community paradigm (paradigma komunitas) dan ekonomi kerakyatan pada posisi penting untuk membangun kesejahteraan dan mengatasi krisis ekonomi. Community paradigm-lah yang memikirkan tiga hal sekaligus: kesejahteraan nelayan, kelestarian dan keberlanjutan, dan kebangunan komunitas nelayan itu sendiri.

Sementara ekonomi kerakyatan, seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sistem yang mengutamakan partisipasi seluruh masyarakat dalam penyelenggaraan perekonomian.

Harus ada pula sebuah paradigma baru dalam mengatasi krisis lingkungan dengan lebih berpihak pada masyarakat. Pembangunan di Indonesia harus berbasis pada kepentingan, pengetahuan, dan cara-cara masyarakat lokal yang dimiliki secara tradisional dalam mengelola lingkungan.

Untuk kasus Indonesia, paradigma ini boleh dikatakan sebagai kemandirian lokal, yakni kemandirian yang dimiliki oleh suatu entitas tertentu tanpa memandang suku, agama, atau ras. Jadi melibatkan secara penuh masyarakat lokal dalam proses pembangunan daerah dan masyarakatnya.

Pertimbangannya, selain karena pengetahuan turun-temurun, juga karena tanggung jawab lebih besar bagi masyarakat lokal untuk menjaga entitasnya sendiri. Intinya, merekalah yang beranggapan bahwa merusak lingkungan kelautan berarti merusak kelanjutan hidup mereka sendiri.

Dalam pengelolaan hasil perikanan, kegiatan perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) dapat diwujudkan dalam nuansa lokal. Beberapa kajian menampakkan itu: Pertama, di daerah pesisir Lombok Barat bagian Utara (Lombok Utara) yang memiliki sejarah panjang dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan secara adat oleh masyarakat di sana.

Hasil studi Solihin (2002), menemukan bahwa pemanfaatan aturan lokal yang bernama awig-awig di daerah pesisir Lombok Utara dapat meminimalkan berbagai konflik yang sebelumnya kerap terjadi: (1) pelanggaran zona tangkapan, (2) nelayan lokal dan nelayan luar yang menggunakan alat tangkap yang sifatnya merusak. Konflik disebabkan oleh daerah tangkapan (fishing ground). Konflik juga sering terjadi akibat konflik orientasi seperti yang terjadi antara nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dan nelayan luar yang menggunakan alat tangkap merusak.

Kedua, hasil studi Sulaiman Tripa (2002) di Lambada, Aceh Besar. Di sana ada sebuah lembaga persekutuan adat laot yang bernama panglima laot. Panglima laot inilah yang bertugas mempertahankan dan memelihara adat laot, yang di dalamnya diatur juga pengelolaan fungsi lingkungan hidup. Panglima laot memegang kekuasaan tentang pengaturan tempat penangkapan ikan, serta mengatur efektifnya aturan tentang hari-hari yang dilarang turun ke laut.

Dalam adat laot, yang sangat ditekankan adalah bahwa usaha memenuhi kebutuhan ekonomi harus seimbang dengan kelestarian habitat dan keberlanjutan ekosistem. Adanya larangan turun ke laut pada hari-hari tertentu seperti hari Jumat, hari raya, dan hari-hari besar Islam, tak harus dipandang sebagai konsekuensi dari prosesi adat semata. Akan tetapi, larangan itu juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan biota laut untuk beranak-pinak.

Ketiga, studi Sulaiman Tripa (2001) tentang keberadaan panglima laot yang melarang keras para nelayan untuk menebang manggrove atau membuang sesuatu yang bisa mencemari laut, atau yang berefek kepada keberadaan biota di laut. Pencemaran dapat berupa oli bekas, membuang sisa-sisa ikan atau sampah-sampah setelah memperbaiki kapal –di Aceh sering disebut dengan bot (boat). Pelaku perbuatan itu, bila bisa dibuktikan, akan dihukum oleh komunitas itu. Bentuk hukuman yang berlaku di sana, ada berupa sejumlah uang tertentu yang akan digunakan untuk kegiatan keagamaan dan sosial, juga bentuk hukuman di mana pelaku dalam jangka waktu tertentu tidak boleh melaut.

Keempat, kajian Sulaiman Tripa (2001) tentang perlunya penguatan community paradigm dalam membangun perikanan. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam paradigma ini adalah kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan, pendapatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat persekutuan, dan kebangunan komunitas lokal dalam persekutuan itu.

Keempat hasil studi tersebut di atas memang sangat terbatas. Akan tetapi minimal bisa menjadi gambaran bagaimana kesadaran nelayan lokal bila dibandingkan dengan nelayan luar. Memberi perlindungan kepada nelayan lokallah yang bisa mencapai keselamatan sektor perikanan maupun menutupi kebutuhan kesejahteraan, termasuk mengurangi angka kemiskinan masyarakat.


Otonomi dan pemberdayaan komunitas

Dalam konteks kelautan dan perikanan, sebenarnya menguatnya isu otonomi daerah dan desentralisasi dapat menjadi sebuah momentum. Terwujudnya reformasi, sejak 21 Mei 1998, seprematur apapun, dapat dibayangkan sebagai kembalinya ruh masyarakat lokal. Sudah ada jalur persekutuan yang dijamin UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan di Daerah, masing-masing 12 mil ke atas (pusat), 4-12 mil (provinsi) dan 4 mil (kabupaten dan kota).

Tapi otonomi pada kenyataannya terlihat seperti basa-basi: Pertama, izin kapal asing yang beroperasi di Indonesia diberikan oleh pusat dan beroperasi di seluruh Indonesia. Umumnya kapal-kapal itu memakai trawl dan berlabuh sampai ke pinggir pantai–pejabat daerah kecut karena izin itu dikeluarkan pusat sedangkan pengawasan lemah. Bukankah ini berarti pemerintah telah melakukan pelanggaran dengan (1) mengizinkan trawl beroperasi di Indonesia yang sudah dilarang dengan Keppres Nomor 39 Tahun 1980–sampai sekarang belum diubah atau dicabut, dan (2) tak memberi perlindungan kepada masyarakat otonom atas hak-hak dan kewenangan yang diatur dengan UU.

Kedua, bagaimana bisa daerah dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya perikanan, sementara izin menangkap ikan dengan alat-alat yang dilarang dan menguras segala bentuk sumberdaya perikanan, itu diberikan oleh pusat.

Ketiga, masyarakat lokal, dengan demikian tak mendapat perlindungan yang optimal untuk melaksanakan nuansa lokalnya dan mendapatkan hak-hak otonom yang telah di atur dengan ketentuan perundang-undangan. Argumen pertama dan kedua, kemudian menguatkan argumen ketiga bahwa di era otonomi, masyarakat lokal belum mendapat tempat sebagaimana mestinya.

Komunitas adat laot merupakan salah satu komunitas yang sangat penting dalam pembangunan di Indonesia. Dalam pembangunan ke depan, paradigma komunitas merupakan satu hal yang tak mungkin diabai. Dan kecenderungan itu berlangsung secara universal. Salah satu alasannya: anggota komunitas akan menjaga lingkungannya karena di sanalah mereka hidup.[]