Jumat, 04 Juli 2003

Pengembangan Kawasan Timur Indonesia

Tanggal : 4 Juli 2003
Sumber : http://www.mokarawo.netfirms.com/opini.html
Oleh
Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo

Suara Karya Online--Untuk dapat merumuskan strategi percepatan pengembangan KTI (Kawasan Timur Indonesia) yang operationable perlu diketahui dengan tepat akar masalah penyebab ketertinggalan KTI. Gunar Myrdall, seorang ekonom Swedia menjelaskan, penyebab kumulatif ketertinggalan suatu daerah dengan pendekatan geografis yang berkaitan dengan berkembangnya dual economy. Ia memaparkan bagaimana terbentuknya proses kesenjangan yang terjadi melalui migrasi tenaga kerja, pergerakan modal, dan perdagangan.

Dalam paparannya tentang proses penyebab kumulatif dan sirkuler ketertinggalan. Ia memulai dengan contoh dua wilayah yang telah mencapai suatu tahap proses pembangunan dan menunjukkan kesamaan baik dari segi income per capita maupun tingkat produktivitas, kemudian diasumsikan muncul stimulan, baik yang bersifat endogen maupun eksogen. Stimulan tersebut akhirnya menghasilkan disekulibrium di daerah yang satu dibandingkan dengan daerah lainnya. Kekuatan ekonomi dan sosial cenderung akan memperkuat situasi disebulibrium, faktor endogen dan eksogen secara terus-menerus mendorong daerah tersebut untuk terus berkembang. Dampaknya, daerah lain mengalami pengurasan sumber daya, baik sumber daya manusia, modal, dan sumber daya alam sebagai konsekuensi tarikan dari daerah yang mengalami perkembangan spektakular.

Kesenjangan ini akan semakin terus melebar antara daerah yang satu dan yang lainnya. Daerah yang lebih maju memiliki kesempatan membangun human capital, physical capital, dan social capital lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Tabel di bawah ini dapat digunakan untuk mengilustrasikan kesenjangan antara KBI (Kawasan Barat Indonesia) dan KTI.

Studi yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Studi Kebank-sentralan Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa wilayah-wilayah paling maju dan memiliki daya saing tinggi di Indonesia berada di Jawa dan Bali, sedangkan untuk wilayah Sumatera hanya Sumatera Utara (peringkat 12), satu tingkat di atas median. Wilayah Sulawesi memiliki daya saing moderat, untuk wilayah Papua, Maluku dan Nusa Tenggara semuanya berada di bawah median.
Dengan demikian dapat dikatakan motor penggerak percepatan pembangunan di KTI sebenarnya adalah wilayah Sulawesi. Dalam studi disebutkan bahwa Kalimantan Timur menduduki peringkat kedua (2) dari segi daya saing daerah, predikat tersebut lebih dikarenakan adanya sentra ekonomi eksploratif, yaitu tambang berupa gas alam dan sektor kehutanan yang relatif uncoupling dengan kegiatan ekonomi masyarakat.

Tabel di bawah ini memaparkan peta daya saing per wilayah, di mana bila dicermati ternyata motor penggerak perekonomian di KTI saat ini dan di masa mendatang adalah Sulawesi.

Untuk ke depan, daerah terutama provinsi harus mempunyai wawasan kerjasama wilayah dan networking agar laju pembangunan dalam satu wilayah tidak menimbulkan ketimpangan pada satu sisi, dan pada sisi lain untuk mencegah terjadinya kesenjangan pertumbuhan antar-wilayah yang akhirnya akan menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat. Selain itu para kepala daerah dituntut mempunyai visionary leadership, yaitu kemampuan untuk menciptakan dan mengartikulasikan visi masa depan daerah menjadi realistik, kredibel dan menarik sehingga mampu menimbulkan empati masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama

Dalam masyarakat yang masih kental nuansa paternalistiknya, visionary leadership dapat dijadikan wahana untuk membangun social capital. Social capital dalam ilmu politik, sosiologi dan antropologi dipahami sebagai seperangkat norma, jaringan, dan organisasi di mana melalui itu orang dapat mengakses power dan resources dan melaluinya pembuatan keputusan dan formulasi kebijakan dibuat. Pada tataran mikro ekonomi social capital menyempurnakan berfungsinya pasar. Pengertian social capital sering direduksi sebagai a set of 'horizontal association' between people: social capital consist of social networkd (network civic engagement) dan diasosiasikan dengan norma yang mempunyai efek terhadap produktivitas masyarakat. Fungsi utama dari social capital adalah memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk mendapatkan mutual benefit dari sesama anggota atau asosiasi.

Suatu contoh keberhasilan skema pinjaman untuk kelompok, mulai dari Tontine di Afrika Barat hingga Grameen Bank di Bangladesh bisa berhasil karena anggota mempunyai informasi yang lebih lengkap dan akurat tentang sesama anggota dibandingkan bank itu sendiri. Jaringan anggota pengguna pinjaman kelompok memiliki informasi yang sangat komplit tentang reputasi masing-masing anggotanya, dan berhasil mengembangkan embedded alert system dalam organisasi sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam penggunaan pinjaman.

Perilaku yang tidak terkoordinasi atau perilaku opportunistic yang dilakukan oleh pelaku ekonomi sering membuat kegagalan pasar. Perilaku opportunistic ini terjadi akibat informasi yang tidak sempurna atau adanya insentif yang lebih besar untuk melakukan pelanggaran akibat lemahnya penegakan hukum. Perilaku oportunistik ini dapat diatasi dengan adanya asosiasi yang kuat yang memungkinkan terciptanya interaksi berulang antar-anggota, yang mana akan meningkatkan trust. Cohesive association menciptakan trust dan reciprocity dalam kelompok.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang citizen centered, Kepala Daerah dituntut memiliki kemampuan untuk menjelaskan visinya kepada siapa saja, mitra kerja, masyarakat, dan dunia usaha. Ini penting untuk membangun kerjasama dan networking. Kemampuan ini harus diikuti dengan perilaku yang konsisten dan komitmen mewujudkan visi. Visionary leadership ini penting untuk membangun social capital dan menjaga agar tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (trust in government), yaitu suatu level of confidence dari warga negara terhadap pejabat negara dan pejabat publik bahwa mereka menjalankan tugasnya atas nama publik tetap tinggi. Menurunnya tingkat kepercayaan ini biasanya berkaitan dengan merosotnya kinerja ekonomi, runtuhnya kohesi sosial, dan pemerintah yang tidak efektif.

Studi yang dilakukan Annen (2002) diperoleh temuan bahwa ada hubungan yang signifikan antara social capital dan kinerja ekonomi. Kualitas social capital ditunjukkan oleh sejauhmana reputasi kerjasama dan kualitas network (jaringan) - ini diukur dengan inklusivitas networks. Kelangsungan kerjasama dalam social network ditentukan juga oleh kualitas komunikasi. Untuk memperkuat dan meningkatkan efektivitas kinerja jaringan penggunaan teknologi komunikasi menjadi penting, teknologi komunikasi ini akan memberikan wadah bagi content komunikasi, dan memberikan ruang bertukar informasi yang pada gilirannya akan mendorong ke arah keterbukaan yang pada akhirnya akan menciptakan trust.

Aliansi dan kerjasama selalu melibatkan trust, dalam kerangka percepatan pengembangan KTI, penguatan jaringan kerjasama adalah menjadi kebutuhan, untuk itu perlu keterbukaan dan trustworthiness, baik di tingkat pemerintah daerah maupun masyarakat untuk membangun kerjasama. Sulawesi Incorporated adalah cita-cita bersama, hanya dapat diwujudkan bila masyarakat dan pemerintah daerah mampu membangun trust yang bersifat timbal balik, dan mampu melakukan mobilisasi sumber secara ekstensif serta mampu membangun jaringan yang beragam (diversity networks). Bila ini bisa diwujudkan berarti mampu membangun entrepreneurial infrastructure. Entrepreneurial infrastructure ini merupakan modal untuk melakukan aliansi dan sinergi sumber-sumber pembangunan.

Keberhasilan kerjasama ini akan tergantung pada derajat pemahaman bersama apa tujuan yang hendak dicapai dan apa benefit yang akan diperoleh. Ini penting sebagai platform kerjasama. Dalam konteks penciptaan keunggulan daya saing lestari (sustainable competitive advantage) Pemerintah Provinsi Se-Sulawesi menggunakan pendekatan the resource-based view, bahwa dimilikinya sumber-sumber ekonomi, yang berupa reputasi pemerintah daerah dan komoditas unggulan yang diarahkan sebagai brand daerah dapat menjadi pemicu daya saing Sulawesi.

Dalam ekonomi klasik, sumber kemakmuran adalah tanah, tenaga kerja dan modal. Kini, mesin kemakmuran itu adalah kerja, yang mewujud ke dalam bentuk teknologi, inovasi, ilmu pengetahuan, know-how, kreativitas, dan informasi. Dalam era pemerintahan wirausaha, pengelolaan pemerintahan sama sebangun dengan pengelolaan usaha. Pemerintah perlu membangun, menyempurnakan, melindungi, dan memperbarui pengetahuan yang dimilikinya, untuk meningkatkan kecepatan dalam memberikan pelayanan agar seirama dengan kebutuhan dunia usaha. Aliansi dan sinergi menjadi kebutuhan agar bisa saling berkomunikasi dan mempertukarkan pengalaman, wawasan ini yang harus dikembangkan di lingkungan birokrasi dan masyarakat. Tuntutan dunia usaha terhadap pelayanan pemerintah semakin meningkat, tidak ada satu pun pemerintah atau pemerintah daerah yang mampu secara sendirian memenuhi pelayanan yang sesuai dengan keinginan dunia usaha. Aliansi, mau tidak mau, harus dilakukan bila tidak ingin daerah menjadi terisolasi dan tertinggal. ALiansi dikonsepsikan sebagai suatu perjanjian organisasional dan pelaksanaan kebijakan bersama dalam bentuk jaringan. Aliansi pemerintah provinsi se-Sulawesi adalah didedikasikan untuk memacu sektor agrobisnis dan agroindustri.

Dalam konteks membangun sinergi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi se-Sulawesi, output yang diharapkan adalah terwujudnya brand bagi masing-masing komoditas unggulan dan meningkatnya kapabilitas daerah. Ke depan diharapkan akan muncul di tingkat dunia komoditas unggulan, seperti Makassar Cocoa, Gorontalo Corn, Palu Cashew nut, Menado Coconut yang menjadi benchmarking komoditas sejenis di dunia.

Ini sejalan dengan pemikiran Philip Kotler dan kawan-kawan dalam bukunya The Marketing of Nations yang menyatakan bahwa kebijakan suatu negara yang berbasis pada pemahaman yang mendalam tentang perilaku produser, distributor, dan konsumen dalam pasar adalah bagian dari branding of nations.
Potensi dan keanekaragaman itu tidak akan tampak jika tidak disertai dengan pembangunan branding yang kuat dan bereputasi. Branding ini memberikan jalan bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan reputasi dan pengakuan melalui perceived value dari pelanggannya.

Membangun brand adalah sebuah proses yang berkesinambungan, output-nya adalah reputasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ammon pada 1995 dan 1997, Cuningham 1997, dan Martin & Kettner 1996, menghasilkan temuan bahwa pemerintah daerah yang mampu memiliki keunggulan daya saing, yaitu yang mampu mencapai kinerja di atas normal pada pelbagai bidang ternyata adalah mereka yang memiliki reputasi sebagai penyelenggara pemerintahan yang baik (good governance). Pencapaian dan pengelolalan daya saing lestari, menurut para penganut resource based view, adalah fungsi dari core resources dan capabilities (antara lain, know-how, culture, dan strategi) yang mana oleh organisasi digunakan sebagai modal bersaing dalam lingkungan yang sifatnya given.

Persaingan antar-wilayah akan semakin ketat dalam menarik investasi, kebijakan-kebijakan probisnis yang menarik memerlukan kerjasama antara pemerintah daerah, seperti penyediaan infrastruktur, akses pasar, akses ke sentra produksi. Melalui aliansi pemerintah daerah bisa secara bersama-sama membuat kebijakan yang bersifat lintas daerah untuk menarik investasi atau untuk mengembangkan secara simultan komoditas unggulan di daerah tersebut dengan derajat risiko yang semakin berkurang karena dipikul bersama.

Aliansi dapat meningkatkan kecepatan mengakses pasar. Pemerintah Daerah dapat membantu perusahaan-perusahaan yang ada di daerahnya untuk menjual produk atau jasanya ke luar daerah atau dalam daerah itu sendiri lebih cepat karena adanya networking. Aliansi yang memberlakukan kebijakan yang sama pada satu kawasan memungkinkan pelaku usaha lebih mudah memperluas jaringannya. Perusahaan akan merasa nyaman berusaha dan akhirnya kegiatan ekonomi daerah meningkat yang membawa dampak bagi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah.