Minggu, 31 Agustus 2008

Kelautan dan Perikanan Berpotensi Sumbang Rp 750 Triliun

Tanggal: 31 Agustus 2008
Sumber: Kompas. Minggu, 31 Agustus 2008
JAKARTA, MINGGU - Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) mengungkapkan, sektor kelautan dan perikanan berpotensi memberikan sumbangan terhadap anggaran negara sebesar Rp 750 triliun dari rencana APBN 2009 lebih dari Rp 1.000 triliun.

Ketua Umum HNSI, Yusuf Sholichien di Jakarta, Sabtu (30/8) mengatakan, sumbangan sektor kelautan dan perikanan terhadap anggaran negara sebesar itu bisa direalisasikan jika pengolaannya dilakukan secara maksimal serta mendapatkan perhatian dari pemerintah. "Hingga saat ini perhatian pemerintah terhadap sektor kelautan dan perikanan masih sangat minim sehingga kontribusi terhadap pendapatan negara juga rendah. Dari anggaran 100 miliar dollar AS dari kelautan bisa 75 miliar dollar," katanya di sela Wisuda Program Diploma 4 Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta, Angkatan 40. Dikatakannya, saat ini kontribusi sektor kelautan dan perikanan baru sekitar 10 persen dari total anggaran belanja negara. Menurut dia, potensi ekonomi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia sebenarnya sangat besar tidak hanya berasal dari hasil tangkapan ikan namun juga sumber daya mineral ataupun kekayaan alam lainnya di laut. Namun, tambahnya, karena minimnya perhatian pemerintah terhadap sektor ini maka potensi yang besar itu banyak yang hilang dan tidak bisa dimanfaatkan oleh negara maupun masyarakat Indonesia.

Dia mencontohkan, setiap tahun Indonesia kehilangan hasil senilai Rp 30-RP 40 triliun akibat penangkapan ikan secara ilegal baik dilakukan oleh nelayan asing maupun dari dalam negeri. "Indonesia merupakan negara bahari dengan luas lautan mencapai dua per tiga luas tanah air, seharusnya sektor kelautan dan perikanan mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah," katanya. Yusuf mengungkapkan, pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang Paripurna DPR pada 15 Agustus 2008 lalu memperlihatkan rendahnya perhatian pemerintah pada sektor kelautan dan perikanan.

Dalam pidato pengantar nota keuangan dan RAPBN 2009 itu, menurut dia, sama sekali tidak menyinggung pembangunan sektor kelautan dan perikanan ataupun kehidupan nelayan sementara sektor lain seperti pertanian, kesehatan dan pendidikan mendapat perhatian yang tinggi. "Bahkan anggaran pembangunan untuk sektor kelautan dan perikanan juga sangat kecil dibanding sektor pertanian. Ini diskriminasi, " kata Purnawirawan angkatan laut ini. Sementara itu Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi dalam pidatonya di hadapan 334 wisudawan mengatakan, saat ini produk perikanan menjadi salah satu andalan bagi devisa negara.

Menurut dia, pertumbuhan ekspor produk perikanan Indonesia selama lima tahun terakhir (2003-2007) mengalami kenaikan rata-rata 8,23 persen. Posisi nilai ekspor produk perikanan Indonesia di pasar dunia pada tahun 2006 menduduki peringkat 10 dengan pasar utama Amerika, Jepang dan Eropa. Berdasarkan catatan Departemen kelautan dan perikanan (DKP) selama tiga tahun terakhir volume ekspor produk perikanan Indonesia yakni 857.992 ton dengan nilai 1,91 miliar dollar AS pada 2005. Kemudian naik menjadi 926.478 ton pada 2006 senilai 2,10 miliar dollar AS dan pada 2007 mencapai 2,30 miliar dollar AS meskipun dari volume turun menjadi 837.783 ton

Jumat, 22 Agustus 2008

Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional

Tanggal: 22 Agustus 2008
Sumber: http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0808/ 22/opi01. html
Oleh : M Riza Damanik

Adalah Aliman seorang nelayan Banten yang tewas diempas gelombang Laut Jawa, di awal Januari 2008 lalu. Entah karena tidak sempat mendengar peringatan Badan Meteorologi dan Geofisika akan bahaya gelombang tinggi yang menerpa Selat Sunda dan Perairan Jawa—atau justru sudah mendengar—namun tiga minggu tidak melaut akibat gelombang tinggi menjadi alasan yang tidak relevan di tengah keterdesakan kebutuhan hidup keluarga. Aliman dan keluarganya adalah satu dari ribuan bahkan jutaan nelayan Indonesia yang kurang beruntung tersebut.Sejumlah peristiwa; perubahan iklim, gelombang pasang, tsunami, banjir, kenaikan harga BBM dan langkanya minyak tanah dan solar, telah berhasil menghentikan hampir seluruh kegiatan perikanan nelayan tradisional dan tanpa adanya dukungan nyata dari negara untuk membenahinya dan meminimalisasi dampak yang disebabkannya; dan bahkan di banyak kasus seolah diabaikan (by omission). Dalam catatan sejarah pergerakan Indonesia, perjuangan nelayan tidak terekam jejaknya dengan jelas. Namun terlepas dari samarnya rekam jejak perjuangan nelayan dalam catatan sejarah, faktanya perjuangan nelayan terus menggelinding menuju satu tujuan yakni terbebasnya dari kemiskinan. Konon, jauh sebelum negeri ini merdeka, nelayan dengan kelompok-kelompok komunitasnya menjadi simbol kuatnya negeri bahari—Nusantara. Dengan berbekal kebersamaan, terbentuk unit-unit usaha yang berada tepat pada pelabuhan-pelabuhan strategis, yang menjadi pusat perdagangan, bahkan tempat bongkar-muat dan transaksi perdagangan komoditas lokal (seperti rempah-rempah) yang dihasilkan petani dan nelayan Indonesia. Paradigma DaratNamun kini, cerita ini bak cerita usang. Bahkan tidak ada dalam mozaik sejarah kebangkitan bangsa kini. Kemunduran ekonomi pun terjadi, sejalan dengan perhatian para penguasa negeri yang berpindah ke wilayah daratan dan semakin masuk ke wilayah pedalaman—era Mataram melanjutkannya— hingga kemampuan dan teknologi kelautan yang telah dikuasai ratusan tahun sebelumnya ditinggalkan secara perlahan-lahan.Armada nelayan, armada perang, dan armada dagang tidak lagi menjadi fokus. Kultur pedalaman inilah yang selanjutnya diwariskan dan dan dikokohkan oleh Orde Baru (Orba). Paradigma pembangungan kelautan telah bergeser menjadi “paradigma pedalaman”. Mulai dari kebijakan politik ekologis konservasi laut yang anti nelayan, kebijakan industeri yang menempatkan perairan pesisir sebagai kantung-kantung pembuangan limbah, kebijakan moderenisasi alat tangkap—hingga penggunaan alat tangkap trawl di wilayah tangkap tradisional—yang semua menjadi bagian kelam kebijakan negara yang merugikan nelayan tradisional Indonesia. Keterpurukan ini diikuti pula dengan sistem pendidikan dan doktrinasi sosio-kultural yang tidak menempatkan arah pembangunan negeri kepulauan sebagai landas pikir dan tindak. Akibatnya, nelayan pun jauh dari kebutuhan akan pendidikan, dan tertinggal dalam aktivitas politik. Ditambah lagi, politik orientasi pertahanan keamanan yang juga mengandalkan “paradigma darat” dengan indikasi kekuatan di darat lebih dominan ketimbang kekuatan di laut. Akibatnya, ruang laut justeru dikuasai oleh kapal-kapal asing yang setiap saat mengeruk sumber daya perikanan kita, padahal dalam sebuah kesempatan seorang pemikir kebangsaan pernah mengatakan, melalui daratan Indonesia hanya mampu menemukan provinsi, atau bahkan tidak lebih dari 3 negara yang bersandingan langsung dengannya. Berbeda melalui laut, Indonesia bisa menemukan banyak negara, dan bahkan sejumlah benua lain di muka bumi.Salah satu sektor sumber daya yang diutamakan dalam liberalisasi perdagangan adalah sektor perikanan, yang justru paling rentan. Lembaga Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa 70 persen stok ikan komersial telah mengalami over-exploitation. Mengapa tidak, lebih dari 2,6 miliar masyarakat dunia atau 20 persen protein hewani masyarakat dunia berasal dari ikan. Sektor ini merupakan sumber utama lapangan pekerjaan, pangan dan pendapatan. Bisa dibayangkan, antara tahun 1994-2004, ekspor bersih negara berkembang tumbuh dari 4,6 miliar dolar AS menjadi 20,4 miliar dolar AS. Namun di sisi yang lain, FAO juga memperkirakan jutaan masyarakat dunia yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari adalah mereka yang hidup dari kegiatan perikanan. Lalu kemana sesunguhnya sumberdaya perikanan tersebut termanfaatkan?Organisasi Nelayan Nasional Agenda liberalisasi sektor perikanan telah memaksa Indonesia untuk menambah produksi perikanannya hingga 12,73 juta ton pada tahun 2009, yang merupakan rentetan target ekspor perikanan sebesar 2,8 miliar dolar AS di tahun yang sama. Apa yang salah dari hal tersebut? Penetapan target kuota perikanan yang ambisius, telah memberikan keleluasaan sektor industi untuk menguasai kegiatan perikanan Indonesia. Sejumlah regulasi dalam “mematangkan” agenda privatisasi sudah disiapkan. Sebut saja UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memandatkan pengusahaan perairan pesisir pada sektor swasta (termasuk asing) hingga lebih dari 20 tahun. Juga lahirnya keputusan menteri yang mengisyaratkan pemberian izin beroperasinya trawl di perairan Indonesia. Hal ini tidak hanya telah mengancam kebutuhan ikan dalam negeri, juga turut mengkebiri fitrah nelayan dan petambak tradisional Indonesia. Menjelang 63 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (1945-2008), tepatlah kiranya mengambil pelajaran dari gerakan nelayan selama ini, utamanya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya. Mempercayakan agenda tersebut kepada penyelenggara negara dalam waktu yang cukup panjang, telah menghantarkan agenda kesejahteraan nelayan pada nomor akhir dari prioritas negara, bahkan tidak banyak pemimpin negeri yang berani lantang menyuarakan pentingnya perubahan yang fundamental. Hadirnya Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI) yang digagas oleh lebih dari 17 organisasi nelayan kepulaun diawal tahun 2008 lalu, dapat dipandang sebagai jawaban dari kegelisahan yang telah mengkristal di seluruh penjuru negeri. Terapi yang ditawarkan adalah hadirnya semangat solidaritas dan kemandirian gerakan nelayan nusantara; serta pentingnya mengawali pendidikan masif bagi seluruh nelayan Indonesia. Pilihan akhirnya, hanya dengan organisasi nelayan yang solid, cerdas dan mandiri, keluarga nelayan Indonesia bisa bangkit dari keterpurukannya.Chalid Muhammad, seorang tokoh muda Indonesia pernah mengatakan bahwa karakter nelayan adalah mereka yang pantang mundur dan tunduk kepada segala bentuk ketidak-adilan. Dengan begitu, sebagai pahlawan dalam pemenuhan protein utama anak-anak bangsa kedepan, nelayan sepatutnya mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lainnya di negeri bahari Indonesia. Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sekaligus Anggota Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI).

Selasa, 12 Agustus 2008

Selamatkan Subun binatang Laut Yang Terancam Punah

Tanggal : 9 Agustus 2008
Sumber : Mukhtar A.Pi


Menurut salah seorang yang tergabung dalam Forum Illegal Fishing Indonesia yaitu M. Sugihartono, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Batanghari Jambi(UNBARI) dan Staf pengajar pada Jurusan Perikanan UNBARI mengatakan Di Jambi ada suatu kawasan khusus yang didiami oleh binatang laut (Sumbun: nama daerah,Solen grandis:nama ilmiah) masih ada di Jambi, yang kita ketahui di Cina sudah menjadi Fosil.
Namun demikian untuk daerah tersebut belum ada penetapan atau peraturan seperti DPL (daerah perlindungan Laut) oleh pihak instansi terkait, karena pada musim tertentu April - Agustus merupakan musim sumbun ada.
Penangkapan, Ekploitasi belum ada peraturan untuk itu, terutama ukuran yang boleh di tangkap. kegiatan ini, bila musim di ekploitasi oleh masyarakat secara besar-besaran dan di jual hingga ke mancanegara (singapura)dan anehnya sebagian kecil dari masyarakat jambi sendiri yang mengenal itu sumbun.Mohon kiranya DKP yang menangani ini bersama, kita lestarikan, dikhawatirkan hal yang sama akan terjadi seperti di Cina (Fosil).
Menuurut (Prezant, 1998) species Subun binatang Laut Yang Terancam Punah masuk dalam Subclass Heterodonta, Superfamily Solenoidae, Family Solenidae, and biasa di sebut Razor shells. Solen mempunyai sekitar 65 species, tersebar di Indonesia, Thailand, China and Australia. Di Thailand disebut Hoi lord. Menurut dosen sy, di Thailand solen tidak mengenal musim, setiap saat bisa di tangkap,& dimanfaatkan untuk Seafood di restoran2. Harga /kg di pasar sekitar 60bath (Rp.18.000).
Masalah keamanan ikan Indonesia tidak hanya di illegal fishing, banyak Sumberdaya laut kita lolos dengan harga murah, apalagi secara illegal, lewat darat maupun udara & yang lebih nampak mungkin kasus pada SD pertanian...

Tugas mengamankan SD Ikan, bukan hanya bagi petugas keamanan seperti TNI&DKP, mengingat wilayah NKRI yg memang sangat luas serta keterbatasan personil & peralatan. Alangkah lebih baik apabila instansi terkait mempunyai & mendukung kebijakan untuk menambah & memperbaharui kapasitas nelayan Indonesia agar mampu mencari ikan sampai daerah perbatasan. apabila berjalan maka insya Allah secara otomatis laut Indonesia akan aman, kesejahteraan nelayan meningkat serta dpt mengurangi angka penggangguran.
saya mendukung pelestarian species tersebut pak, sehingga perlunya penelitian ttg solen serta pengaturan dalam pemanfaatannya, insya Allah akan tetap lestari dan bermanfaat sampai anak cucu kita....

(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari)

Ratusan Spesies Terumbu Karang Terancam Punah

Tanggal : 9 Agustus 2008
Sumber : Mukhtar A.Pi

Sedikitnya 600 atau 75 persen dari sekitar 800 spesies terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia. Namun, lebih dari separuh spesies di Indonesia terancam punah akibat kerusakan terumbu karang yang mencapai 65 persen di kawasan seluas 51.000 meter persegi di seluruh Nusantara.

Di Bali, lokasi yang mengalami kerusakan berdasarkan penelitian The Nature Conservancy adalah Pantai Sanur (Denpasar). Adapun terumbu karang di lokasi lain, seperti Pantai Amed (Karangasem) , Nusa Penida (Klungkung), Tejakula (Buleleng), dan Serangan (Denpasar), berangsur membaik.

Senior Advisor Marine Science Indonesia Marine Program Office Conservation International, Mark Erdmann, di Denpasar, Senin (28/7), mengatakan, perlu ada gerakan untuk mengingatkan para pelaku industri pariwisata yang mulai membahayakan biota laut.

Kebakaran

Semak belukar seluas 5 hektar di petak 36 K, juga semak belukar dan 10 pohon pinus di petak 36 H seluas 0,35 hektar di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terbakar. Kawasan itu merupakan wilayah penambangan pasir dan batu Jurangjero.

Api mulai tampak hari Minggu (27/7) pukul 17.00 dan berhasil dipadamkan pada Senin pukul 11.00. Kepala TNGM Tri Prasetyo mengatakan, pihaknya masih berjaga-jaga untuk mengantisipasi timbulnya kebakaran kembali di area itu dan mencari penyebabnya.

Kawasan lereng Gunung Merbabu di Kabupaten Magelang juga terbakar. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu Wilayah II Anggit Haryoso mengatakan, kebakaran terjadi pada Senin petang. Hingga pukul 20.00, api belum dapat dipadamkan. Belum diketahui luas area yang terbakar. (AYS/EGI) Denpasar, Kompas -
Pengirim : Mukhtar, A.Pi Forum Illegal Fishing Indonesia.

Batas Wilayah Laut Tidak Sesuai Lagi

Tanggal : 9 Agustus 2008
Sumber :
Mukhtar A.Pi

Menurut Salah seorang yang tergabung dalam Forum Illegal Fishing yang berdomisili di Samarinda, saat ini saya sedang melanjutkan study di Department Aquatic Science, Faculty of Scieance at Burapha University Thaliand, mengatakan, berbagai permasalahan Kelauatan di Indonesia batas wilayah laut kita saat ini sudah tidak sesuai dengan penetapan pada saat deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang juga menjadikan dasar untuk menjadi Negara kepulauan (Archipelagic State) yang selanjunya di akui secara international pada 10 Desember 1982 dan dengan adanya ZEE dimana Indonesia sangat di untungkan. akan tetapi semua itu hanya sebuah sejarah yang disimpan rapih dalam museum atau arsip belaka, belakangan ini telah terjadi pergeseran luas wilayah lautan Indonesia yang tidak kita sadari, jika dilakukan perhitungan kembali akan nampak negitu luas wilayah laut kita yang berkurang.
hal ini disebabkan adanya adanya klaim negara-negara tetangga berdasarkan sejarah dan reklamasi, seperti Singapura yang melakukan reklamasi pantai dengan memanfaatkan pasir dari kepulauan Riu untuk memperluas wilayah daratan mereka yang secara otomatis batas laut pun akan berubah, lepasnya Timor Leste dari Negara Kesatuan RI, kekalahan Indonesia di Denhag Belanda pada saat memperebutkan Sipadan dan Ligitan yang di menangkan oleh Malaysia. yang kesemua itu sangat berdampak pada daerah penagkapan ikan.....
yang mendapat kerugian dan penderitaan adalah nelayan RI yang selama ini melakukan penangkapan ikan di wilayah perbatasan sering di tangkap oleh Polisi atau Angkatan Laut Negara Tetangga dengan alasan melewati batas wilayah, yang sesungguhnya Nelayan kita mengkalim itu masih wilayah RI (mungkin dulu)... seperti penangkapan kapal nelayan NTT oleh polisi laut Ustralia yang langsung di tenggelamkan, pengkapan Nelayan Indonesia di oleh patroli angkatan Laut Malaysia dengan alasan melanggar perbatasan.. .. ini semua perlu disikapi oleh pemerintah.. . dengan melakukan pemetaan batas wilayah laut yang sesungguhnya dan disosialisasikan kepada Negara Tetangga, dan kepada para Nelayan sehingga kasus penagkapan dengan alasan yang tiak jelas dapat dihindari. Irman.
(Pengirim : Mukhtar, A.Pi Kepala Satker PSDKP Kendari)

Senin, 11 Agustus 2008

Nasib Batas wilayah laut kita........ ......... ......?

Tanggal : 10 Agustus 2008
Sumber :
Mukhtar A.Pi

Irman Irawan
Burapha University of Thailand

kalau melihat berbagai permasalahan yang ada terutama Ilegal fishing, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mempertegas batas wilayah laut terhadap 10 negara tetangga diantaranya Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Papua Nugini dan Timor Leste. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya klaim terhadap kawasan laut oleh negara tetangga. sehingga tidak merugikan negara dan nelayan kita.

karena Perluasan landas kontinen ini memang dimungkinkan dan diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Conventions on the Law of the Sea, UNCLOS) Pasal 76. Dalam Konvensi ini dikatakan bahwa landas kontinen sebuah negara pantai (coastal state) dapat mencapai batas terluar tepian kontinennya atau sampai pada jarak 200 mil laut (M) dari garis pangkal (garis pantai) jika batas terluar tepian kontinennya tidak mencapai jarak 200 M. Selanjutnya dikatakan bahwa negara pantai juga bisa menambah landas kontinennya melebihi 200 M dari garis pangkal (Landas Kontinen Ekstensi, LKE). Jika menginginkan LKE, negara pantai tersebut harus mendelineasi batas terluar landas kontinen yang baru dan mengajukannya kepada Komisi PBB (Commission on the limits of the Continental Shelf, CLCS).

seperti Australia misalnya telah mengajukannya LKE kepada CLCS pada tahun 2004. Pengajuan ini nampaknya sudah mendapat rekomendasi/ persetujuan dari CLCS seperti yang diungkapkan Resources Minister, Martin Ferguson, di berbagai media. Tidak tanggung-tanggung, perluasan ini menjapai 2,5 juta km² yang diklaim setara dengan lima kali wilayah Prancis. Perluasan ini tentunya memungkinkan Australia untuk menambah potensi eksploitasi migas dan sumberdaya laut lainnya di masa depan. sementara Indonesia yang merupakan negara kepulauan belum melakukan atau mengajukan LKE ini (catatan mohon di koreksi bila ada data tantang pengajuan LKE ini karena sejauh ini saya belum mendapatkan informasi).. .

sehingga mengapa kasus pengakapan nelayan NTT oleh polisi air Australia yang terjadi beberapa waktu lalu kemungkinan Australian telah menglaim bahwa nelayan Indonesia telah melanggar batas wilayah... jika kita melihat kondisi waktu itu Nelayan kita berbekal dengan GPS yang mungkin menurut koordinat mereka masih di wilayah Indonesia... hanya kausus ini sulit untuk di tuntut karena Polisi Australia terlebih dahulu menghancurkan GPS yang ada sebagai barang bukti pembelaan.

Reklamasi Pantai yang dilakukan Pemerintah Singapura saat ini dengan menambah luas daratan kearah laut dengan memanfaatkan pasir dari kepulauan Riau boleh jadi mereka nantinya akan mengajukan LKE juga sehingga batas wilayah laut mereka akan berteambah pula demikian dengan Malaysia yang telah berhasil memenangkan Pulau Sipadan dan Ligitan. kemengan ini pemerintah kerajaan malaysia mengajukan pulau sipadan sebagai salah satu kandidat Pemilihan tujuh kajaiban dunia persi bukan buatan manusia, yang saat ini poling tersebut masih berlangsung.

Demikian pula dengan Timor leste dimana mereka lebih banyak bekerja sama dengan Australia yang sdh barang tentu mereka akan mengikuti negeri kanguru tersebut.... .istilah negara-negara. .. tetangga siapa yang cepat dia yang dapat dan pemerintah kita apakah hanya menunggu atau jaga gawang aja...
.... Sumber :