Tanggal : 13 Desember 2007
Sumber :
http://2tech.biz/opini/politik-hukum/daerah-terpencil-menanti-perhatian-525/
Oleh Agung Setyahadi dan Aryo Wisanggeni Genthong
Daerah terpencil identik dengan daerah tertinggal. Dari sudut standar kehidupan masyarakat secara umum, penduduk daerah terpencil mengalami keterbatasan dalam perumahan, makanan, pakaian, akses pendidikan, akses pelayanan kesehatan, sarana transportasi, energi, telekomunikasi, serta kesempatan kerja.
Di Indonesia, mayoritas daerah terpencil berada di Indonesia bagian timur seperti Maluku dan Papua. Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal mencatat ada 17.649 desa tertinggal tersebar di seluruh Indonesia. Desa tertinggal itu adalah desa yang belum memiliki jaringan listrik, jalan, dan kesehatan. Data rekapitulasi Desa Tertinggal tahun 2006 menunjukkan, persentase terbesar desa tertinggal berada di Irian Jaya Barat (81,29 persen) dan Papua (82,38 persen). Adapun desa tertinggal di Maluku Utara mencapai 65,81 persen dan di Maluku ada 62,77 persen.
Kisah Delfina (56) mungkin bisa menjadi gambaran. Penduduk desa pesisir di Morotai Selatan Barat, Pulau Morotai, Halmahera Utara, Maluku Utara, itu sudah berbulan-bulan mengalami menstruasi tanpa henti. Tubuhnya makin lemah dan kurus. Ia tidak tahu penyakitnya karena tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan di desanya. Ia menduga kena malaria. Karena itu, ia meminum ramuan tradisional dari kulit kayu dan dedaunan. Namun, Delfina tak kunjung sembuh.
Saat tim dokter Puskesmas Keliling Perairan Halmahera Utara singgah di desanya, barulah diketahui Delfina menderita tumor rahim. Dokter segera merawat dan merujuk Delfina ke Rumah Sakit Umum Daerah Tobelo.
Kepala Puskesmas Keliling Perairan Donny Makangiras yang memimpin tim itu juga mendapati Ruslan (4), penduduk Desa Dadasuli, Loloda Kepulauan, Halmahera Utara, yang kakinya bengkak bernanah. Kaki kiri bocah itu segera dibedah, nanah sebanyak 0,5 liter dikeluarkan. Ruslan nyaris cacat kaki jika infeksi itu tidak segera ditangani.
Kasus-kasus kesehatan itu tersembunyi dalam kepasrahan masyarakat pulau-pulau terpencil. Kondisi mereka membaik saat kapal Puskesmas Keliling Perairan Mini Lega menyinggahi pulau-pulau terpencil itu. Puskesmas keliling ini mendukung kegiatan puskesmas daratan dengan mengunjungi wilayah terisolasi.
Sayangnya, keterbatasan dana operasional membuat puskesmas keliling itu hanya mengunjungi kampung atau desa di tepi pantai di wilayah Halmahera Utara sebulan sekali.
Kendala geografis menyulitkan masyarakat mengakses layanan kesehatan yang berada di ibu kota kecamatan dan kabupaten. Selain jaraknya sangat jauh, tidak mudah mencari alat transportasi yang memadai untuk menantang keganasan gelombang laut yang bisa setinggi 4 meter. Sebagai gambaran, sewa perahu dari Pulau Selaru ke Saumlaki, MTB, dengan waktu tempuh dua jam mencapai Rp 2,5 juta, sedangkan dari Pulau Taliabu ke Pulau Sanana, Kepulauan Sula, Maluku Utara, perlu Rp 15 juta.
Sebaliknya, tenaga medis tidak bisa berkunjung ke pulau-pulau terpencil itu karena tidak memiliki kapal yang memadai. Sejak tahun 2006 Departemen Kesehatan meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk daerah terpencil dan tertinggal serta daerah perbatasan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Di wilayah-wilayah "sulit" diupayakan puskesmas terapung dan puskesmas keliling untuk "menjemput bola".
Nasib serupa dialami penduduk Papua. Kondisi geografi dan minimnya sarana transportasi mengganggu pelayanan kesehatan. "Dari alokasi Dana Otonomi Khusus Papua, tahun 2006 dilakukan proyek pengadaan obat sebanyak lima ton. Tapi hingga pertengahan Januari 2007, 1,5 ton obat masih berada di Jayapura," tutur Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pegunungan Bintang Darius Salamuk.
Pelayanan kesehatan di Pegunungan Bintang dilaksanakan oleh tujuh dokter umum, 31 bidan, dan 97 perawat. Para tenaga medis itu melayani 88.529 jiwa penduduk Pegunungan Bintang (Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2005). Kabupaten Pegunungan Bintang belum memiliki rumah sakit, pasien yang membutuhkan penanganan rumah sakit harus dirujuk ke Jayapura.
Di Puncak Jaya kondisi pelayanan kesehatan sedikit lebih baik. Kabupaten seluas 10.852 kilometer persegi ini memiliki sebuah rumah sakit umum daerah.
Pendidikan
Masyarakat kepulauan dan daerah terpencil juga dihadapkan pada masalah kualitas sumber daya manusia yang rendah dan kemiskinan. Selain tenaga medis, guru juga enggan ditempatkan di daerah terpencil. Di Maluku umumnya di satu sekolah hanya ada satu atau dua guru.
Persoalan besar juga terjadi di Pegunungan Bintang. Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pegunungan Bintang Emanuel Yopeng mengeluhkan banyak guru yang meninggalkan tempat tugas. "Bagaimana kami mau bersikap tegas. Perumahan dinas bagi mereka belum ada. Kalau mereka dipecat, belum tentu ada orang lain yang mau menggantikan," kata Yopeng.
Selain itu, mahalnya biaya pengangkutan barang dengan pesawat membuat para pegawai negeri sipil (PNS) di Pegunungan Bintang dan Puncak Jaya terlambat menerima tunjangan beras. "Kami sudah dua tahun tidak menerima jatah beras. Sudah dua kali kami berunjuk rasa, belum ada hasil," tutur seorang guru, Ignasius Sasaka.
Akibat keterbatasan itu, tidak mengherankan jika kualitas sumber daya manusia di daerah-daerah itu relatif rendah. Pada gilirannya, dari segi ekonomi, masyarakat lokal selalu kalah dengan para pendatang.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua JA Djarot Soetanto, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2006 menunjukkan, dari total penduduk Papua usia lebih dari 10 tahun sebanyak 1,497 juta jiwa, 437.477 orang di antaranya belum pernah bersekolah. Dari jumlah itu sebanyak 343.737 jiwa tinggal di kawasan pegunungan tengah. Kawasan ini paling terisolasi di Papua, namun paling padat penduduk. Kawasan itu meliputi Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, Paniai, dan Puncak Jaya.
Biaya tinggi
Masyarakat di daerah terpencil juga harus menanggung biaya hidup yang sangat mahal, sementara penghasilan mereka sangat kecil.
Nelayan di Pulau Wetar, Maluku, harus membeli solar dengan harga Rp 10.000 per liter, minyak tanah Rp 5.000 per botol isi 60 mililiter, beras kualitas medium Rp 10.000 per kilogram. "Sebaliknya, hasil bumi dan laut dihargai murah oleh para pedagang karena dipotong biaya transportasi," ujar Simon Moshe Maahuly, mantan camat Pulau Wetar.
Di Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, Papua, harga beras Rp 25.000 per kilogram, solar atau bensin Rp 25.000 per liter, minyak tanah Rp 10.000 per liter. Di Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, harga barang rata-rata lebih mahal Rp 1.000 dibandingkan dengan di Mulia. Misalnya, beras Rp 30.000 per kilogram.
Oksibil dan Mulia tidak memiliki jalan darat yang menghubungkan dengan ibu kota kabupaten/kota lain. Keduanya hanya bisa dijangkau dengan pesawat ukuran kecil dan sedang. Separuh barang di Mulia diangkut dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dengan biaya kargo pesawat Rp 11.000 per kilogram. Separuh lain didatangkan langsung dari Jayapura, ibu kota Papua, dengan biaya kargo Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per kilogram. Barang di Oksibil juga didatangkan dari Jayapura.
Kehidupan masyarakat di daerah terpencil sudah sepantasnya memperoleh perhatian yang lebih baik dari pemerintah. Tanpa upaya khusus dan serius untuk meningkatkan akses pada transportasi, kesehatan, dan pendidikan, saudara-saudara kita di Maluku dan Papua akan terus merasa dianaktirikan.
Sumber: Kompas