Sabtu, 29 Desember 2007

Pembentukan Kabupaten Kutai Pesisir: Sebuah Perjuangan (2)

Tanggal : 29 Desember 2007
Sumber : http://www.tribunkaltim.com/Hotline/Pembentukan-Kabupaten-Kutai-Pesisir-Sebuah-Perjuangan-2.html
Oleh: Nasruddin *)


KEDUDUKAN ibukota bukan hanya sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga memainkan peran strategis sebagai pusat pertumbuhan untuk mendorong perkembangan dan kesejahteraan di kecamatan-kecamatan di sekitarnya.

Selama ini, penentuan lokasi ibukota suatu daerah otonom seringkali didasarkan pada sumber daya dan potensi yang dimiliki, sehingga kemudian lokasi tersebut dijadikan sebagai pusat dari segala kegiatan daerah yang bersangkutan, baik kegiatan pemerintahan, kegiatan ekonomi, dan lain-lain, atau merupakan kawasan campuran.

Dasar teoritisnya, adalah teori konsentrik yang memusatkan segala aktivitas di satu lokasi. Pola semacam ini mungkin saja bisa lebih efisien dan efektif, tapi di masa mendatang, pemusatan semua kegiatan dalam satu lokasi berpotensi menimbulkan kesenjangan, bahkan kerusakan ekologis yang berkepanjangan. Karena itulah, dalam pengkajian yang dilakukan Tim Kerja Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hendaknya dicari pendekatan alternatif untuk menentukan lokasi ibu kota. Pendekatan yang diharapkan bisa lebih proyektif, obyektif, efektif dan efisien sehingga tidak menimbulkan permasalahan lanjutan di masa mendatang.

Pendekatan yang dimaksud disini adalah pendekatan kompleks wilayah (regional complex) yang menekankan pada physical phenomenon dan human phenomenon. Pendekatan kompleks wilayah (regional complex) hendaknya didasarkan pada analisis intraregional (potensi wilayah) dan interregional (fungsional wilayah). Pendekatan tersebut diharapkan menghasilkan suatu zonasi (pewilayahan) dengan kompetensi tertentu.

Pusat-pusat kegiatan disebar dalam beberapa wilayah (zonasi), sehingga semua wilayah kecamatan memiliki keunggulan komparatif masing-masing wilayah. Harapannya masing-masing kecamatan memiliki daya saing yang melengkapi di antara wilayah kecamatan lainnya (komplementaritas). Konsep ini mulai dicanangkan di beberapa negara Asia Tenggara misalnya Thailand dengan peristilahan ”one tamboon one product” satu desa satu produk, dan jika diterapkan di wilayah calon kabupaten Kutai Pesisir dapat diistilahkan ”one district one product” satu kecamatan satu produk yang unggul.

Harapan dari konsep komplementaritas di atas yakni bahwa masing-masing kecamatan memiliki daya saing yang tinggi dari wilayah kecamatan lainnya sehingga semua elemen wilayah dapat tumbuh dan berkembang secara harmonis menuju masyarakat yang produktif, unggul dan berdaya guna. Konsep di atas tentunya tidak akan dapat terealisasi secara baik jika tidak ditunjang oleh daya pikir dan wawasan konsep yang luas dari pemegang kebijakan pemerintahan baru serta peran masyarakat diwilayah masing-masing kecamatan diwilayah calon Kabupaten Kutai Pesisir nantinya.

Jika kita amati bersama dari beberapa tahapan perjuangan untuk pemekaran tentunya peran masyarakat wilayah pesisir bersama tim sukses memiliki peran strategis dalam mewujudkan cita-cita perjuangan, karena rintangan-rintangan dalam hal persepsi atau opini masyarakat tentunya berbeda-beda dalam memaknai sebuah perjuangan pemekaran hingga penempatan posisi ibu kota.

Pemikiran serta sikap kedewasaan dari masyarakat di masing-masing wilayah kecamatan hendaknya diaktualisasikan dengan tetap menjaga harmonisasi masing-masing wilayah dan mendukung semua hasil dari kajian-kajian akademik empirik yang telah dan akan dihasilkan. Kajian mengenai pemekaran dan penempatan ibu kota kabupaten, karena bagaimanapun kualitas dari sebuah kajian akademik jika tidak ditunjang dari sikap dan pemikiran yang dewasa dari masyarakatnya tentunya apa yang telah dihasilkan tidak akan memiliki nilai apa-apa. (*/Habis)

*) Penulis: Pemerhati Pemekaran Wilayah Pesisir Kutai Kartanegara, Pasca sarjana UGM, Program Sains Geografi, Konsentrasi Pembangunan Wilayah

Jumat, 14 Desember 2007

Laut,Kemakmuran, dan Kedaulatan

Tanggal : 14 Desember 2007
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/laut-kemakmuran-dan-kedaulatan.html

Kendati Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 secara geoekonomi dan geopolitik sangat penting bagi kemakmuran dan kedaulatan Indonesia, namun kita baru memperingatinya sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000.

Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keppres No 126/2001 kemudian mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember, sebagai hari nasional. Tanpa Deklarasi Djoeanda, luas laut Indonesia hanya 2 juta km2dan potensi kekayaan alamnya hanya sekitar 30% dari potensi yang kita miliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau Nusantara. Sehingga, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional) yang memisahkan satu pulau dengan lainnya, memisahkan kita,dan ini berarti ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Kita patut bersyukur bahwa Ir H Djoeanda, perdana menteri pada waktu itu, dengan berani mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sesempit seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Sebaliknya, wilayah laut Indonesia meliputi seluruh perairan laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Deklarasi Djoeanda tidak serta-merta mendapat dukungan masyarakat dunia. Amerika Serikat dan Australia menolak mentahmentah. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi para penerusnya seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, Dr Hasyim Djalal,dan lainnya,deklarasi yang berisikan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) tersebut diterima masyarakat dunia, dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea/UNCLOS) 1982.


Peran Strategis Laut

Berkat rahmat Allah SWT melalui Deklarasi Djoeanda, wilayah laut Indonesia, termasuk ZEEI, menjadi 5,8 juta km2 atau tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia.

Karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan satu dari tiga pilar utama bangunan NKRI: (1) Kesatuan kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, (2) Kesatuan kenegaraan yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, dan (3) Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djoeanda 13 Desember 1957. Selain geopolitik, laut juga memiliki peran geokonomi yang sangat vital bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya (SDA) terbarukan seperti perikanan,terumbu karang,hutan mangrove, rumput laut, dan produkproduk bioteknologi;

SDA tak terbarukan seperti minyak dan gas bumi,timah,bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya; energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion (OTEC); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.Lebih dari itu, laut juga berperan sentral dalam pengendalian dinamika iklim global, siklus hidrologi, siklus biogeokimia,penetral limbah,dan sistem penunjang kehidupan (life-supoorting systems) lain yang membuat sebagian besar permukaan bumi layak dan nyaman dihuni manusia.

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi,(6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional. Secara keseluruhan, potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor kelautan diperkirakan mencapai USD500 miliar (Rp4.500 triliun) per tahun atau sekitar enam kali lipat APBN 2007,atau satu setengah kali PDB saat ini.

Adapun kesempatan kerja yang dapat diserap oleh kesebelas sektor ekonomi tersebut mencapai 30 juta orang. Lebih dari itu, bila kapasitas ekonomi serta pertahanan dan keamanan (hankam) Indonesia kuat, lalu lintas perdagangan global dan dinamika pertahanan kawasan Asia-Pasifik akan dapat kita kendalikan untuk kemaslahatan bersama. Jangan heran bila kapitalis global (negara dan korporasi multinasional) dengan berbagai tipu muslihat mereka (seperti jebakan utang, liberalisasi perdagangan, privatisasi, pencabutan subsidi,menempatkan para komprador antek mereka sebagai pejabat tinggi negara, dan menjauhkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat) bekerja mati-matian agar Indonesia tetap miskin dan lemah kekuatan hankamnya (Stiglitz, 2002; Perkins, 2006; Sardar, 2007).


Terobosan Pembangunan Kelautan

Posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis serta kekayaan laut yang berlimpah sejatinya merupakan keunggulan komparatif Indonesia yang harus kita transformasikan menjadi keunggulan kompetitif yang mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi tinggi (rata-rata di atas 7% per tahun), berkualitas, dan berkelanjutan. Untuk mewujudkannya, keempat kebijakan dan program terobosan (breakthrough) berikut mesti segera dilaksanakan.

Pertama, penegakan hukum dan kedaulatan di laut dengan cara menyelesaikan seluruh masalah perbatasan wilayah laut, pemberantasan semua kegiatan ilegal, penanggulangan kegiatan yang merusak lingkungan dan SDA, serta penguatan dan pengembangan kekuatan hankam laut. Kedua, menerapkan tata ruang kelautan nasional secara konsisten untuk menjamin kepastian dan efisiensi investasi serta kelestarian ekosistem laut. Ketiga, peningkatan produktivitas, efisiensi, dan daya saing kesebelas sektor ekonomi kelautan secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Keempat,kebijakan politik-ekonomi (fiskal-moneter, perdagangan, hukum, keamanan, otonomi daerah, infrastruktur, ilmu pengetahuan dan teknologi, perpajakan, dan ketenagakerjaan) harus dibuat kondusif bagi tumbuh kembangnya ekonomi kelautan. Dengan menerapkan keempat agenda pembangunan kelautan tersebut secara cerdas, profesional, dan ikhlas, potensi ekonomi kelautan yang bagai “raksasa tidur” niscaya dapat kita transformasikan menjadi realitas kemajuan dan kemakmuran bangsa. Bila kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut menjadi makmur, otomatis akan menjadi sabuk pengaman (security belt) yang dapat memperkokoh kedaulatan NKRI.

Lebih dari itu, pusat-pusat kemakmuran kelautan yang tersebar di seluruh Nusantara sekaligus dapat memecahkan problem kronis nasional lain, terutama kesenjangan pembangunan antarwilayah, urbanisasi, dan brain drain. Semoga Peringatan Hari Nusantara 13 Desember tahun ini menjadi momentum untuk kita bangkit menjadi bangsa besar yang maju, makmur, dan berdaulat melalui pendayagunaan sumber daya kelautan. Jales Veva Jaya Mahe!(*) Rokhmin Dahuri Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB

Kamis, 13 Desember 2007

Daerah Terpencil Menanti Perhatian

Tanggal : 13 Desember 2007
Sumber :
http://2tech.biz/opini/politik-hukum/daerah-terpencil-menanti-perhatian-525/

Oleh Agung Setyahadi dan Aryo Wisanggeni Genthong


Daerah terpencil identik dengan daerah tertinggal. Dari sudut standar kehidupan masyarakat secara umum, penduduk daerah terpencil mengalami keterbatasan dalam perumahan, makanan, pakaian, akses pendidikan, akses pelayanan kesehatan, sarana transportasi, energi, telekomunikasi, serta kesempatan kerja.

Di Indonesia, mayoritas daerah terpencil berada di Indonesia bagian timur seperti Maluku dan Papua. Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal mencatat ada 17.649 desa tertinggal tersebar di seluruh Indonesia. Desa tertinggal itu adalah desa yang belum memiliki jaringan listrik, jalan, dan kesehatan. Data rekapitulasi Desa Tertinggal tahun 2006 menunjukkan, persentase terbesar desa tertinggal berada di Irian Jaya Barat (81,29 persen) dan Papua (82,38 persen). Adapun desa tertinggal di Maluku Utara mencapai 65,81 persen dan di Maluku ada 62,77 persen.

Kisah Delfina (56) mungkin bisa menjadi gambaran. Penduduk desa pesisir di Morotai Selatan Barat, Pulau Morotai, Halmahera Utara, Maluku Utara, itu sudah berbulan-bulan mengalami menstruasi tanpa henti. Tubuhnya makin lemah dan kurus. Ia tidak tahu penyakitnya karena tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan di desanya. Ia menduga kena malaria. Karena itu, ia meminum ramuan tradisional dari kulit kayu dan dedaunan. Namun, Delfina tak kunjung sembuh.

Saat tim dokter Puskesmas Keliling Perairan Halmahera Utara singgah di desanya, barulah diketahui Delfina menderita tumor rahim. Dokter segera merawat dan merujuk Delfina ke Rumah Sakit Umum Daerah Tobelo.

Kepala Puskesmas Keliling Perairan Donny Makangiras yang memimpin tim itu juga mendapati Ruslan (4), penduduk Desa Dadasuli, Loloda Kepulauan, Halmahera Utara, yang kakinya bengkak bernanah. Kaki kiri bocah itu segera dibedah, nanah sebanyak 0,5 liter dikeluarkan. Ruslan nyaris cacat kaki jika infeksi itu tidak segera ditangani.

Kasus-kasus kesehatan itu tersembunyi dalam kepasrahan masyarakat pulau-pulau terpencil. Kondisi mereka membaik saat kapal Puskesmas Keliling Perairan Mini Lega menyinggahi pulau-pulau terpencil itu. Puskesmas keliling ini mendukung kegiatan puskesmas daratan dengan mengunjungi wilayah terisolasi.

Sayangnya, keterbatasan dana operasional membuat puskesmas keliling itu hanya mengunjungi kampung atau desa di tepi pantai di wilayah Halmahera Utara sebulan sekali.

Kendala geografis menyulitkan masyarakat mengakses layanan kesehatan yang berada di ibu kota kecamatan dan kabupaten. Selain jaraknya sangat jauh, tidak mudah mencari alat transportasi yang memadai untuk menantang keganasan gelombang laut yang bisa setinggi 4 meter. Sebagai gambaran, sewa perahu dari Pulau Selaru ke Saumlaki, MTB, dengan waktu tempuh dua jam mencapai Rp 2,5 juta, sedangkan dari Pulau Taliabu ke Pulau Sanana, Kepulauan Sula, Maluku Utara, perlu Rp 15 juta.

Sebaliknya, tenaga medis tidak bisa berkunjung ke pulau-pulau terpencil itu karena tidak memiliki kapal yang memadai. Sejak tahun 2006 Departemen Kesehatan meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk daerah terpencil dan tertinggal serta daerah perbatasan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Di wilayah-wilayah "sulit" diupayakan puskesmas terapung dan puskesmas keliling untuk "menjemput bola".

Nasib serupa dialami penduduk Papua. Kondisi geografi dan minimnya sarana transportasi mengganggu pelayanan kesehatan. "Dari alokasi Dana Otonomi Khusus Papua, tahun 2006 dilakukan proyek pengadaan obat sebanyak lima ton. Tapi hingga pertengahan Januari 2007, 1,5 ton obat masih berada di Jayapura," tutur Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pegunungan Bintang Darius Salamuk.

Pelayanan kesehatan di Pegunungan Bintang dilaksanakan oleh tujuh dokter umum, 31 bidan, dan 97 perawat. Para tenaga medis itu melayani 88.529 jiwa penduduk Pegunungan Bintang (Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2005). Kabupaten Pegunungan Bintang belum memiliki rumah sakit, pasien yang membutuhkan penanganan rumah sakit harus dirujuk ke Jayapura.

Di Puncak Jaya kondisi pelayanan kesehatan sedikit lebih baik. Kabupaten seluas 10.852 kilometer persegi ini memiliki sebuah rumah sakit umum daerah.

Pendidikan

Masyarakat kepulauan dan daerah terpencil juga dihadapkan pada masalah kualitas sumber daya manusia yang rendah dan kemiskinan. Selain tenaga medis, guru juga enggan ditempatkan di daerah terpencil. Di Maluku umumnya di satu sekolah hanya ada satu atau dua guru.

Persoalan besar juga terjadi di Pegunungan Bintang. Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pegunungan Bintang Emanuel Yopeng mengeluhkan banyak guru yang meninggalkan tempat tugas. "Bagaimana kami mau bersikap tegas. Perumahan dinas bagi mereka belum ada. Kalau mereka dipecat, belum tentu ada orang lain yang mau menggantikan," kata Yopeng.

Selain itu, mahalnya biaya pengangkutan barang dengan pesawat membuat para pegawai negeri sipil (PNS) di Pegunungan Bintang dan Puncak Jaya terlambat menerima tunjangan beras. "Kami sudah dua tahun tidak menerima jatah beras. Sudah dua kali kami berunjuk rasa, belum ada hasil," tutur seorang guru, Ignasius Sasaka.

Akibat keterbatasan itu, tidak mengherankan jika kualitas sumber daya manusia di daerah-daerah itu relatif rendah. Pada gilirannya, dari segi ekonomi, masyarakat lokal selalu kalah dengan para pendatang.

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua JA Djarot Soetanto, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2006 menunjukkan, dari total penduduk Papua usia lebih dari 10 tahun sebanyak 1,497 juta jiwa, 437.477 orang di antaranya belum pernah bersekolah. Dari jumlah itu sebanyak 343.737 jiwa tinggal di kawasan pegunungan tengah. Kawasan ini paling terisolasi di Papua, namun paling padat penduduk. Kawasan itu meliputi Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yahukimo, Paniai, dan Puncak Jaya.

Biaya tinggi

Masyarakat di daerah terpencil juga harus menanggung biaya hidup yang sangat mahal, sementara penghasilan mereka sangat kecil.

Nelayan di Pulau Wetar, Maluku, harus membeli solar dengan harga Rp 10.000 per liter, minyak tanah Rp 5.000 per botol isi 60 mililiter, beras kualitas medium Rp 10.000 per kilogram. "Sebaliknya, hasil bumi dan laut dihargai murah oleh para pedagang karena dipotong biaya transportasi," ujar Simon Moshe Maahuly, mantan camat Pulau Wetar.

Di Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, Papua, harga beras Rp 25.000 per kilogram, solar atau bensin Rp 25.000 per liter, minyak tanah Rp 10.000 per liter. Di Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, harga barang rata-rata lebih mahal Rp 1.000 dibandingkan dengan di Mulia. Misalnya, beras Rp 30.000 per kilogram.

Oksibil dan Mulia tidak memiliki jalan darat yang menghubungkan dengan ibu kota kabupaten/kota lain. Keduanya hanya bisa dijangkau dengan pesawat ukuran kecil dan sedang. Separuh barang di Mulia diangkut dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dengan biaya kargo pesawat Rp 11.000 per kilogram. Separuh lain didatangkan langsung dari Jayapura, ibu kota Papua, dengan biaya kargo Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per kilogram. Barang di Oksibil juga didatangkan dari Jayapura.

Kehidupan masyarakat di daerah terpencil sudah sepantasnya memperoleh perhatian yang lebih baik dari pemerintah. Tanpa upaya khusus dan serius untuk meningkatkan akses pada transportasi, kesehatan, dan pendidikan, saudara-saudara kita di Maluku dan Papua akan terus merasa dianaktirikan.

Sumber: Kompas

Minggu, 09 Desember 2007

Sisi Lain Perubahan Iklim

Tanggal : 09 Desember 2007
Sumber : http://www.mimbar-opini.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2571
Oleh Håkan Björkman


Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan karbondioksida --yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global. Semua itu memang terjadi, tetapi itu baru merupakan separuh cerita. Bangsa Indonesia juga akan menjadi korban utama perubahan iklim. Bila tidak segera belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini, jutaan rakyat akan menanggung akibat buruknya.

Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.

Beberapa ancaman utama perubahan iklim terhadap rakyat miskin, pertama, sumber nafkah. Pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa masyarakat paling miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkahnya di bidang pertanian atau perikanan. Sumber-sumber pendapatan yang didapat dengan cara itu jelas sangat dipengaruhi oleh iklim. Apakah itu di perkotaan ataukah di perdesaan mereka pun umumnya tinggal di daerah pinggiran yang rentan terhadap kemarau panjang, misalnya, terhadap banjir dan longsor.

Terlalu banyak atau sedikit air merupakan ancaman utama perubahan iklim. Dan ketika bencana melanda mereka nyaris tidak memiliki apa pun untuk menghadapinya.

Kedua, kesehatan. Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota. Akibat lanjutannya, masyarakat rawan terkena penyakit menular lewat air seperti diare dan kolera.

Suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru, menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah.

Ketiga, ketahanan pangan. Wilayah-wilayah termiskin juga cenderung mengalami rawan pangan. Beberapa wilayah sudah amat rentan terhadap berubah-ubahnya iklim. Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di Nusa Tenggara Timur, misalnya, sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah di seluruh provinsi ini.

Keempat, air. Pola curah hujan yang berubah-ubah juga mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Di wilayah pesisir, kesulitan air tanah disertai kenaikan muka air laut juga akan memungkinkan air laut menyusup ke sumber-sumber air bersih.

Adaptasi

Apa yang dapat kita lakukan terhadap semua ini? Sejauh ini, perhatian terhadap perubahan iklim terutama difokuskan pada mitigasi dan utamanya pada upaya-upaya untuk menurunkan karbon dioksida. Semua tindakan ini penting, tetapi bagi masyarakat termiskin, yang hanya punya andil kecil terhadap emisi gas tersebut, prioritas yang paling mendesak adalah menemukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi lingkungan hidup yang baru ini, yakni beradaptasi.

Meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah adaptasi, banyak yang telah berpengalaman dalam adaptasi ini. Orang-orang yang tinggal di daerah yang rawan banjir, misalnya, sejak dulu sudah membangun rumah panggung. Para petani di wilayah yang sering mengalami kemarau panjang sudah belajar untuk melakukan diversifikasi pada sumber pendapatan mereka. Misalnya dengan menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan dan dengan mengoptimalkan penggunaan air yang sulit didapat atau bahkan berimigrasi sementara untuk mencari kerja di tempat lain.

Yang masih perlu dilakukan sekarang ini adalah mengevaluasi dan membangun di atas kearifan tradisional yang sudah ada itu untuk membantu rakyat melindungi dan mengurangi kerentanan sumber-sumber nafkah mereka.

Prioritas

Terkait dengan adaptasi, ada beberapa prioritas yang dapat disoroti. Pertama, adaptasi dalam pertanian. Para petani, antara lain, sudah perlu mempertimbangkan berbagai varietas tanaman, disertai dengan pengelolaan dan cara penyimpanan air yang lebih baik. Langkah itu sebaiknya ditunjang oleh perkiraan cuaca yang lebih akurat dan dan relevan yang dapat membantu mereka menentukan awal musim tanam dan panen.

Kedua, adaptasi di wilayah pesisir. Penduduk yang menghadapi masalah kenaikan muka air laut dapat melakukan tiga strategi umum, yakni membuat perlindungan dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon mangrove; mundur, dengan bermukim menjauh dari pantai, atau melakukan penyesuaian yaitu dengan beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain.

Ketiga, adaptasi untuk penyediaan air. Kita akan perlu menerapkan pengelolaan sumber air yang lebih terpadu dengan melestarikan ekosistem disertai perbaikan waduk-waduk dan infrastruktur lainnya.

Keempat, adaptasi untuk bidang kesehatan. Dengan lingkungan hidup yang lebih sulit nanti, kita perlu memperkuat layanan dasar kesehatan masyarakat. Dan, karena iklim yang lebih panas akan memungkinkan penyebaran nyamuk-nyamuk ke wilayah-wilayah baru, diperlukan suatu sistem pengawasan kesehatan yang lebih andal untuk memonitor penyebaran penyakit seperti malaria dan deman berdarah dengue.

Kelima, adaptasi untuk wilayah perkotaan. Di seluruh wilayah negeri ini, khususnya di wilayah pesisir dan kota yang rawan dilanda banjir, kita membutuhkan berbagai strategi yang lebih andal untuk mengurangi risiko perubahan iklim.

Keenam, adaptasi dalam pengelolaan bencana. Di negeri yang memang rawan bencana ini, perubahan iklim makin mendesakkan pentingnya pengelolaan yang cermat terhadap bencana. Alih-alih hanya merespons setelah bencana terjadi, yang mesti dicapai adalah mengurangi risiko dan membuat persiapan untuk menghadapi bencana sebelum bencana itu terjadi.

Adaptasi dengan cakupan dan skala yang seluas ini sudah jelas di luar jangkauan apa yang selama ini kita anggap sebagai masalah-masalah lingkungan. Seluruh departemen dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim di dalam semua program mereka berkenaan dengan persoalan-persoalan besar seperti ketahanan pangan, pemeliharaan jalan raya, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota.

Namun, ini bukanlah tugas pemerintah pusat belaka, melainkan harus menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga-lembaga non-pemerintah, serta pihak swasta.

Indonesia juga harus mampu mengandalkan bantuan internasional. Bukan saja untuk mitigasi, melainkan juga pada berbagai tindakan yang akan dibutuhkan untuk membantu masyarakat termiskin menghadapi akibat dari berbagai kondisi cuaca yang makin tidak menentu dan makin ekstrem. Pemanasan global merupakan tanggung jawab global.

Namun, bagaimanapun, satu-satunya cara bagi kita semua untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah dengan beralih ke bentuk-bentuk pembangunan yang lebih berkelanjutan, belajar untuk hidup dengan cara-cara yang menghargai dan serasi dengan lingkungan hidup kita.

Mulai dari desa yang paling terpencil hingga ke perkotaan yang paling modern kita semua merupakan satu kesatuan sistem alam yang kompleks dan rentan terhadap berbagai kekuatan alam. Begitu iklim berubah, kita mesti berubah pula dengan cepat.***

Penulis, Country Director, UNDP Indonesia.

Rabu, 05 Desember 2007

Kejayaan Maritim Indonesia

Tanggal : 5 Desember 2007
Sumber : http://epajak.org/search/kerajaan+maritim
Oleh Laksamana TNI Sumardjono

Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra….

Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang kini hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?"

Sebagai bangsa bahari, negeri ini seharusnya mempunyai visi kelautan, direfleksikan dalam pembangunan berwawasan bahari, termasuk menguatkan armada laut (niaga dan militer).

Zaman keemasan

Menengok masa keemasan nusantara, sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh menggunakan kapal bercadik. Mereka ke utara mengarungi lautan, ke barat memotong Lautan Hindia hingga Madagaskar, ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Kerajaan maritim terbesar di nusantara diawali Kerajaan Sriwijaya (683-1030 M). Petualang Tiongkok, I Tsing, mencatat, Shih Li Fo Shih (Sriwijaya) adalah kerajaan besar yang mempunyai benteng di Kotaraja, armada lautnya amat kuat. Guna memperkuat armada dalam mengamankan lalu lintas perdagangan melalui laut, Sriwijaya memanfaatkan sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya, yang kini disebut "kekuatan pengganda".

Runtuhnya Sriwijaya disusul naiknya Kerajaan Majapahit (1293-1478 M) yang semula agraris. Majapahit lalu berkembang menjadi kerajaan maritim setelah Gajah Mada menjadi mahapatih. Dengan Sumpah Palapa, Gajah Mada bercita-cita menyatukan nusantara dan diangkatlah Laksamana Nala sebagai Jaladimantri yang bertugas memimpin kekuatan laut Kerajaan Majapahit. Dengan armada laut yang kuat, kekuasaan Majapahit amat luas hingga keluar nusantara.

Kejatuhan Majapahit diikuti munculnya Kerajaan Demak. Kebesaran Kerajaan Demak jarang diberitakan. Kekuatan maritim Kerajaan Demak dibuktikan dengan mengirim armada laut sebanyak 100 buah kapal dengan 10.000 prajurit menyerang Portugis di Malaka. Pemimpin armada itu adalah Pati Unus yang bergelar Pangeran Sabrang Lor. Meski berteknologi sederhana, Demak mampu mengerahkan pasukan dan perbekalan dari utara Pulau Jawa menuju semenanjung Malaka.

Sejarah itu menggambarkan kehebatan armada niaga, keandalan manajemen transportasi laut, dan armada militer yang mumpuni dari beberapa kerajaan di nusantara yang mampu menyatukan wilayah luas dan disegani bangsa lain. Dengan armada niaga yang besar, kerajaan bersosialisasi dan membawa hasil alam sebagai komoditas perdagangan ke negeri lain. Dan untuk menjaga keamanan, kerajaan memiliki armada laut yang kuat.

Sayang, beberapa kerajaan besar itu jatuh bukan karena serangan lawan, tetapi karena "perang saudara". Kondisi itu dimanfaatkan kekuatan asing untuk menguasai wilayah ini. Dengan mempelajari kondisi kerajaan dan kultur penguasa di nusantara, kekuatan asing mampu menduduki negeri ini dengan menjauhkan penghidupan masyarakat dari laut. Masyarakat digiring untuk kembali menjadi petani. Lama-kelaman armada laut kerajaan menjadi kecil. Kesempatan ini dimanfaatkan kekuatan asing, seperti Portugis, Inggris, dan VOC, untuk ganti menguasai laut nusantara. Dengan terdesaknya raja-raja ke pedalaman dan dikuasainya berbagai pelabuhan oleh asing, sejak saat itu paradigma maritim kita diubah penjajah, menjadi bangsa agraris.

Bangsa pelaut

Sejarah menyakitkan itu dibaca para pejuang kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, ketika bangsa ini baru mulai hidup di alam kemerdekaan, para pemimpin kita sadar atas kondisi geografis dan kejayaan masa lampau sebagai bangsa bahari.

Saat membuka Institut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan, "…usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya…, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal… bukan! tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri ".

Hal ini dibuktikan Soekarno. Tahun 1960-an kekuatan Angkatan Laut Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan komposisi 234 kapal perang terdiri dari sebuah kapal penjelajah (cruiser), 12 kapal selam, 7 kapal perusak (destroyer), 7 fregat, dan beberapa jenis kapal perang lain. Dalam usia kemerdekaan yang masih muda, para pemimpin telah memfokuskan kekuatan militer berdasarkan konstelasi geografis. Dengan kekuatan militer, bangsa ini mampu mengusir Belanda yang saat itu masih mempertahankan Irian Barat.

Mengapa Belanda meninggalkan Irian Barat tanpa pertempuran? Terlepas dari upaya diplomasi politik saat itu, jawaban kuatnya adalah kuat dan solidnya TNI, terutama kekuatan lautnya. Besarnya armada laut dengan persenjataan canggih saat itu, mampu mengangkut pasukan dalam jumlah besar, siap melaksanakan pertempuran laut. Maka, saat itu, Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi.

Seiring perjalanan waktu dan akibat kondisi ekonomi yang berbeda serta perhatian pada maritim berkurang membuat kekuatan laut kita mencapai antiklimaks. Peralatan alutsista rontok, menjadi besi tua. Armada niaga kita pun bernasib sama. Meski tak laik, dipaksa melaut sehingga kadang terjadi kecelakaan.

Menuju AL yang kuat

Kini keadaan relatif membaik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, terutama Pasal 3 Ayat (2) menyatakan, pertahanan negara disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Artinya, pemimpin Indonesia menyadari, laut berikut segala aktivitas di dalamnya dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Bagi TNI AL, ini merupakan tantangan, menjaga keamanan perairan dari gangguan ataupun ancaman kedaulatan. Untuk itu, dibutuhkan Angkatan Laut yang kuat dan upaya menuju ke arah itu telah dimulai.

Saat ini telah dibeli empat korvet kelas Sigma dari Belanda, sebuah kapal sudah tiba di Tanah Air, KRI Diponegoro-365, sisanya masih diselesaikan. Dari Korea juga telah datang dua kapal LPD, disusul segera dua lainnya yang masih dibangun. Meski anggaran menjadi kendala, dengan perencanaan yang baik mudah-mudahan kapal-kapal lain akan menyusul memperkuat kekuatan penjaga laut kita. Kita berharap perhatian dalam aspek maritim tidak hanya tertumpu pada pembangunan kekuatan angkatan laut, tetapi mampu mengembalikan Indonesia sebagai negara bahari.

Bangsa yang memiliki karakter bahari tidak harus diartikan bangsa yang sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan, tetapi bangsa yang menyadari kehidupan masa depannya bergantung pada lautan. Intinya, selalu menoleh, menggali, dan memanfaatkan laut sebagai tulang punggung bangsa dan negara.

Laksamana Sumardjono Kepala Staf TNI Angkatan Laut

Sumber : KCM

Selasa, 04 Desember 2007

Potensi Tak Berkembang, Masyarakat Tetap Tertinggal

Tanggal : 4 Desember 2007
Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20071204140236


KabarIndonesia
- Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Ketapang Drs. Hasurungan Siregar ditemui di ruang kerjanya saat mempersiapkan penyelenggaraan Hari Bahari Nusantara tahun 2007 mengungkapkan bahwa, Kabupaten Ketapang merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak pulau, pesisir dan lautan. Pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil adalah adanya dinamisasi dan tuntutan dunia internasional untuk menjaga keanekaragam
an hayati Indonesia.


"Melalui Hari Bahari Nusantara tahun 2007 ini kita perlu mensosialisasikan dan memperkenalkan kepada masyarakat tentang, pentingnya pelestarian sumberdaya alam laut, pesisir dan pulau-pulau kecil," katanya menurut Siregar, pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil selama ini memang didasarkan adanya isu-isu strategis. Isu-isu tersebut diantaranya adalah masalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik penggunaan ruang, penurunan kualitas lingkungan pesisir, potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang belum dimanfaatkan secara optimal, penanganan pulau-pulau di daerah perbatasan serta pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan yang belum optimal. "Sebenarnya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sejatinya merupakan kawasan yang secara hayati sangat produktif, "Sangat mengenaskan ibarat tikus yang mati di lumbung padi. Para masyarakat pesisir tersebut menderita kemiskinan di daerah yang sebenarnya mempunyai potensi besar untuk peningkatan taraf hidup mereka. Hal ini disebabkan karena rendahnya kualitas SDM, terbatasnya akses terhadap sumber modal, teknologi, informasi dan pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil" lanjutnya.

Para nelayan kecil menurutnya sangat rentan terhadap eksternalitas sektor ekonomi seperti penurunan produktivitas ikan akibat eksploitasi berlebihan atau kerusakan ekosistem. Perilaku konsusmtif dari sebagian nelayan juga mem-persulit upaya pengentasan kemiskinan. Selama ini masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdiri dari nelayan, pembudidaya, pemasaran ikan dan pengolah hasil laut, serta masyarakat pesisir lainnya menggantungkan kehidupannya dari sumber daya kelautan dan perikanan.

Sabtu, 01 Desember 2007

Menyelamatkan Terumbu Karang Indonesia

Tanggal : 1 Desember 2007
Sumber : http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Opini&rbrk=&id=25020

Oleh Fransiskus Saverius Herdiman


Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, khususnya di laut. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2002, luas area sebaran terumbu karang di Indonesia diperkirakan sampai 51 persen dari total area perairan Indonesia dan 18 persen dari total jenis hewan karang yang dikenal dapat kita jumpai di perairan Indonesia. Dari hasil penelitian terakhir pun Indonesia dengan kekayaan hayati lautnya masuk dalam segitiga emas terumbu karang dunia, atau yang lebih dikenal dengan nama "Coral Triangle".

Ekosistem terumbu karang yang kompleks merupakan tempat hidup pelbagai makhluk hidup seperti ikan, invertebrata, dan juga tumbuhan tingkat rendah seperti algae. Kekayaan seperti ini juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem terumbu.

Namun, terumbu karang akhir-akhir ini dalam kondisi yang sangat rusak. Kerusakan ini juga dipicu oleh tingginya permintaan terhadap terumbu karang. Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa perdagangan ikan dan karang sebagai hewan akuarium laut bernilai jutaan dolar. Jika kita melihat data yang disajikan CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), sejak tahun 1996 sampai tahun 2005 Indonesia menjadi penyedia terbesar karang hidup di dunia.

Hasil survei kondisi terumbu karang yang dilakukan sejak tahun 2002 sampai 2006 mempelihatkan penurunan kondisi terumbu karang dan penurunan sebaran terumbu dari tahun ke tahun. Saat ini wilayah-wilayah yang diperbolehkan memanfaatkan karang untuk diperdagangkan kondisinya semakin parah. Walaupun demikian, jumlah kuota karang yang boleh diperdagangkan tidak berubah secara signifikan setiap tahunnya.

Perubahan musim yang tidak menentu selang waktu lima tahun terakhir menyebabkan naiknya suhu air laut dan perubahan arus. Pengamatan terakhir yang dilakukan menyebutkan, anomali air laut ini menyebabkan kematian massal karang dan perubahan waktu ruaya ikan.

Terumbu karang yang juga diketahui sebagai salah satu penyuplai oksigen dunia menjadikan usaha konservasi dan pelestarian terumbu karang harus segera dilaksanakan. Hewan karang yang bersimbiosis dengan algae (baca: zooxantella) dapat menghasilkan oksigen jauh lebih cepat daripada sebidang hutan. Hutan yang semakin berkurang jumlahnya dan sebagai salah satu negara dengan luasan tutupan terumbu karang terbesar di dunia, mengharuskan pelestarian terumbu karang Indonesia tidak dapat dikompromi ulang dan harus dilaksanakan dengan segera dan terencana.


Manajemen Lestari

Banyak usaha konservasi yang telah dan tengah dilakukan untuk menyelamatkan terumbu karang Indonesia oleh lembaga nasional dan internasional. Sayangnya, tidak semua usaha konservasi ini dapat dijalankan dengan sukses yang berkelanjutan. Kadang kala aktivitas konservasi berkonflik dengan kebutuhan ekonomi masyarakat. Penyampaian pemahaman tentang konservasi yang tidak tepat memberikan arti konservasi yang salah di masyarakat. Akibatnya, banyak nelayan yang lebih mengutamakan kebutuhan mereka terlebih dahulu daripada pemanfaatan yang lestari.

Manajemen pemanfaatan sumberdaya yang lestari sangat dibutuhkan oleh masyarakat pesisir saat ini. Tentu saja harus diingat bahwa Indonesia yang majemuk ini memiliki ciri khas masing-masing serta keunikannya. Pendekatan manajemen yang lestari ini dapat diambil dari kebijaksanaan tradisional suatu daerah (traditional wisdoms). Masyarakat juga merasa ikut serta dalam usaha konservasi wilayahnya dengan keikutsertaannya dalam penyusunan strategi pemanfaatan wilayah dan diharapkan dapat meminimalisasi kemungkinan terjadi konflik. Tentu saja, peraturan yang jelas dan penegakan hukum secara nasional juga diperlukan untuk mendukung manajemen tersebut. Jika tidak ada peraturan nasional yang jelas dan rinci serta penegakan hukum yang adil, masyarakat akan selalu merasa dirugikan dan motivasi untuk berpartisipasi pun akan hilang.

Perubahan iklim secara global yang terjadi pun tentu saja tak luput dari perhatian para ahli yang melakukan pelestarian terumbu karang. Anomali yang terjadi di laut seperti peningkatan suhu, perubahan salinitas dan naiknya level air laut semakin menyulitkan proses pemulihan karang di beberapa tempat di Indonesia, walaupun efek pemanasan global pada kelangsungan hidup terumbu karang telah terlihat dalam satu dekade terakhir ini. Kekurangpedulian dan ketidakseriusan dalam penanganan pelestarian terumbu karang yang ditambah pula dengan aktivitas manusia yang semena-mena dalam melakukan eksploitasi terumbu karang dan sumber dayanya ini, seperti membuang sampah dan limbah ke laut, pengerukan pasir secara liar dan tidak teratur, bahkan sampai aktivitas pariwisata yang kurang terncana, menyebabkan semakin terpuruknya kondisi laut dan terumbu karang Indonesia.

Pembahasan tentang penyelamatan, pelestarian serta konservasi terumbu karang pada Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (UNCCC 2007) yang akan dilaksanakan di Bali nanti diharapkan dapat memberikan pemahaman, penyadaran serta aksi penyelamatan dan pelestarian terumbu karang, khususnya di Indonesia.

Penulis adalah Pegiat Konservasi Terumbu Karang, Penerima beasiswa United Nations Environment Programme (UNEP)-World Conservation Monitoring Centre.

Kamis, 29 November 2007

Pemulihan Kawasan Pesisir Bukan dengan Reklamasi

Tanggal : 29 November 2007
Sumber : http://www.suarapublik.org/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=28


Jakarta, Kompas - Ekosistem di kawasan pesisir Indonesia dalam kondisi kritis ditandai dengan laju kerusakan mangrove yang tak terkendali. Rusaknya ekosistem di pesisir sudah menuai ongkos sosial dan lingkungan berupa bencana banjir, abrasi, intrusi air laut, dan rusaknya biota di perairan. Berdasarkan catatan Departemen Kehutanan, di sepanjang garis pantai Indonesia yaitu, 81.000 kilometer sejatinya ditumbuhi ekosistem mangrove seluas 9,36 juta hektar (9.361.957,59 hektar).

Akan tetapi, hasil identifikasi Dephut tahun 2000, hanya tersisa 2,5 juta hektar (2.548.209,42 hektar) mangrove yang kondisinya tergolong baik. Dengan demikian, areal mangrove yang rusak sudah mencapai sekitar 70 persen.

Mangrove berperan sebagai peredam gelombang laut dan angin, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimentasi.

Potret kerusakan pesisir, termasuk ekosistem mangrove, sudah bisa dirasakan dampaknya ketika banjir akibat gelombang pasang air laut terjadi di utara Jakarta awal pekan ini.

Tegakan bakau yang bisa disaksikan saat ini hanya terlihat sedikit di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke dan kawasan taman wisata alam Angke Kapuk, yang luas tegakkan bakaunya tinggal sekitar 9 hektar, yang secara ekologis tidak lagi bisa berfungsi

Penyebab kerusakan kawasan pesisir selama ini yaitu karena reklamasi, pencemaran, konversi menjadi tambak, juga penebangan bakau untuk dijadikan arang.

Akan tetapi, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan sembilan pengembang justru tengah merealisasikan proyek mercusuar reklamasi pantai utara Jakarta.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 telah menyatakan ketidaklayakan lingkungan proyek tersebut. Namun, Pemprov dan DPRD tetap bersikeras mengizinkan proyek itu.

Reklamasi tersebut akan menguruk pantai sedalam delapan meter, selebar dua kilometer dari garis pantai, dan sepanjang 30 km kawasan pesisir. Rencananya, di atas lahan reklamasi itu akan digunakan untuk berbagai kegiatan bisnis dan perumahan penduduk untuk 750.000 jiwa.

Bukan Reklamasi

Khalisah Khalid dari Walhi Jakarta mengatakan, proyek itu hanya akan menuai kerugian ekologi hingga Rp 3,499 triliun dan menggusur 125.000 nelayan.

Muhammad Ilman dari Wetland International menegaskan, pemulihan kawasan pesisir tidak bisa dijawab dengan reklamasi. Hal itu justru akan memperparah kondisi pesisir.

Bambang Supiyanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan juga mengatakan, pemulihan kawasan pesisir, khususnya di Jakarta, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan ekonomi. "Sebab tidak sepadan dengan ongkos akibat dampaknya. Namun, pemeliharaan lingkungan itu masih dianggap cost center," ujarnya.

Direktur Pemukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Basah Hernowo mengatakan, merujuk Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pencabutan dan pembatalan izin, bahkan pembongkaran bangunan bisa dilakukan bila properti merugikan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Baik pemberi izin maupun penerima izin bisa dikenakan sanksi pidana denda bahkan penjara bila properti memang merusak lingkungan.

Pemprov Mengakui

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengakui adanya kesalahan perencanaan tata ruang di masa lalu. "Saat ini, kita mengadapi konsekuensi dari naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Tidak perlu saling menyalahkan tata ruang di masa lalu tetapi kita harus mencari cara untuk mengatasinya," kata Fauzi.

Saat ini, Jalan Tol Prof Sedijatmo, Bandara Soekarno-Hatta pada kilometer 27 masih menghadapi ancaman banjir dari kawasan tambak rakyat akibat air laut pasang. Namun, dalam jangka pendek PT Jasa Marga masih belum berniat membangun tanggul pembatas tepian tambak dan jalan tanah. Rabu siang (28/11), titik lokasi awal meluapnya air tambak karena laut pasang ke jalan tol hanya ditutup dengan tumpukan deretan karung berisi tanah setinggi 20 sentimeter.

Korban Masih Terlantar

Sementara itu, Sekitar 300 warga RT 06 / RW 01 Kamal Muara Penjaringan Jakarta Utara yang mengungsi di tenda darurat akibat banjir Senin lalu kondisinya cukup memprihatinkan. Bantuan air minum serta obat-obatan masih minim sehingga mengakibatkan puluhan balita terserang penyakit.

"Hingga hari ini, kami hanya mendapat satu bantuan dos air minum kemasan gelas. Bahkan, obat-obatan sama sekali kami belum dapat. Padahal banyak balita sudah sakit demam, diare dan gatal-gatal," ujar Ketua RT 06/01, Muksin.

Warga juga mengeluh karena tidak bisa lagi mencari nafkah. "Saya sudah tidak punya uang lagi karena tiga hari tidak melaut," ujar Udin (42) warga RT 2 / RW 1 Dadap Kosambi.

Sementara itu, sebagian besar nelayan di Muara Baru tinggal di RT 19 dan RT 20, yang merupakan wilayah terparah dari sembilan RT yang ada di sana. Sekitar 20 rumah di wilayah itu rusak.

Untuk mengatasi banjir di Jakarta Utara yang ditimbulkan limpasan gelombang air pasang, Fauzi Bowo mengatakan, polder untuk mengatasi limpasan gelombang air pasang seharusnya berlapis sehingga mampu menampung dan memompa air kembali ke laut, saat mulai surut. Cara itu meniru sistem di Belanda. (SF/ECA/WIN/A04/A05/A08/)

Sumber. Kompas

Kamis, 22 November 2007

Pemanasan Global dan Adaptasi Pertanian

Tanggal : 22 september 2007
Sumber : http://2tech.biz/opini/pertanian/pemanasan-global-dan-adaptasi-pertanian-24/


Luas total daratan Indonesia 1,9 juta kilometer persegi, terbagi atas 17 ribu pulau. Luas lautan mencapai 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona ekonomi eksklusif. Ibukota negara dan hampir semua ibukota provinsi berada di wilayah pantai dan 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir dengan panjang pantai total sekitar 81 ribu kilometer. Secara geografis, posisi Indonesia semacam ini rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Bagi Indonesia, dampak perubahan iklim akibat pemanasan global sudah lama kita rasakan. Jika dulu kita diajarkan musim kemarau berlangsung April-Oktober dan musim penghujan terjadi November-Maret, sekarang tidak lagi. Riset jangka panjang (Irianto, 2003) menyimpulkan, sejak 1990-an musim kemarau mengalami percepatan 4 dasarian (40 hari), dan musim hujan bisa mundur sampai 4 dasarian. Artinya, kemarau menjadi lebih lama 80 hari dan hari hujan berkurang 80 hari dari kondisi normal. Sedang penurunan curah hujan maksimum mencapai 21 milimeter selama 21 dasarian (210 hari).

Cuaca kian kacau, bahkan sulit diprediksi. Periode musim hujan dan musim kemarau kian kacau, sehingga pola tanam, estimasi produksi pertanian, dan persediaan pangan sulit diprediksi. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius akan menurunkan produksi pertanian Cina dan Banglades 30 persen pada tahun 2050. Dengan model IPCC, Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur rata-rata 0,10-0,3 derajat celsius per dekade.

Kenaikan suhu bumi akan membawa dampak ikutan yang luar biasa, yang tidak satu pun sendi kehidupan manusia dan makhluk hidup terbebas darinya. Produksi pangan menurun, fluktuasi dan ditribusi ketersediaan air terganggu, hama dan penyakit tanaman serta manusia menggila. Perubahan iklim akhirnya mengancam keberlanjutan kehidupan.

Pertanian Indonesia sudah merasakan dampaknya. Tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk telah memicu banjir, termasuk di area sawah. Sebagai gambaran, rentang 1995-2005, total padi yang terendam banjir seluas 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya puso. Sawah yang kekeringan seluas 2.131.579 hektare, 328.447 hektare di antaranya gagal panen. Tahun lalu, 189.773 hektare dari 577.046 hektare padi gagal panen karena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 4,6 ton gabah per hektare, pada 2006 gabah yang hilang 872.955 ton.

Indonesia dan negara berkembang lain bukanlah penyumbang terbesar pemanasan global. Penyebab pemanasan global adalah negara-negara maju. Penduduk AS, Kanada dan Eropa yang hanya 20,1 persen dari total warga dunia mengonsumsi 59,1 persen energi dunia. Sementara warga Afrika dan Amerika Latin yang 21,4 persen dari populasi dunia hanya mengonsumsi 10,3 persen. Ketidakadilan ini hendak dikoreksi Protokol Kyoto, tapi sayang sampai sekarang protokol ini tak efektif karena boikot AS dan Australia.

Pertemuan Conference of the Parties (COP) 13 Desember 2007 di Bali menjadi penting untuk merumuskan aturan baru pascaberakhirnya Protokol Kyoto pada 2012. Di luar itu, adaptasi dan mitigasi di masing-masing negara harus terus dilakukan. Untuk pertanian Indonesia, cara-cara bertani harus disesuaikan dengan situasi yang berkembang. Tanpa adaptasi, perubahan iklim akan berisiko besar. Tidak hanya produksi pangan menurun, di saat yang sama, petani akan jatuh miskin, tenaga kerja sektor pertanian menganggur, jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tak terbendung lagi. Ini akan membiakkan kerawasan sosial dan masalah baru di kota.

Mengurangi emisi
Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya ketahanan pangan, lalu kita menjadi tergantung pada pangan impor. Petani harus diyakinkan bahwa praktik bercocok tanam perlu diubah. Dengan varietas, cara tanam, dan sistem pengairan tertentu, petani bisa mengurangi emisi salah satu GRK, gas metana (CH4), dari sawah. Hasil penelitian pengaruh cara pengelolaan padi terhadap emisi CH4 di Jakenan, Jawa Tengah (Setyanto dan Abubakar, 2006), menunjukkan varietas IR-64, Memberamo, dan Way Apo Buru yang ditanam dengan pindah bisa menekan emisi CH4 berturut-turut 60 persen, 35 persen, dan 38 persen dibanding varietas Cisadane.

Secara ekonomi, Memberamo dan Way Apo Buru yang ditanam dengan cara tabur benih langsung merupakan teknologi mitigasi gas metana yang terbaik karena bisa memberi keuntungan berturut-turut 81 dolar AS dan 82 dolar AS per hektare serta mengurangi emisi CH4 sebesar 21 persen dan 29 persen. Menjadi tugas Departemen Pertanian, terutama penyuluh di lapangan, untuk meyakinkan petani agar beralih dari IR64, varietas yang banyak ditanam saat ini. Memberamo dan Way Apo Buru bukan saja efektif menekan emisi metana, tapi memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (7-9 ton per hektare) dan berumur genjah.

Di wilayah-wilayah yang lebih kering, cuaca lebih panas, petani perlu mengganti jenis tanaman yang lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu di wilayah-wilayah yang airnya amat terbatas atau lahan kering yang mengandalkan tadah hujan. Sistem pengairan sawah tidak lagi dilakukan dengan penggenangan terus-menerus, tapi cukup macak-macak. Dari uji coba lapangan, cara ini ternyata lebih hemat air dan tidak menurunkan produksi.

Terobosan lain adalah memberi informasi cuaca kepada petani selama musim tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara spesifik. Informasi cuaca sudah tersedia, bahkan kualitas prediksi cuaca terbukti lebih valid (Tempo, 6-12/8/2007). Persoalannya tinggal memperbaiki informasi cuaca dan membuatnya komunikatif, terutama bagi petani. Sejauh ini, pemanfaatan informasi cuaca masih didominasi sektor penerbangan dan militer. Bagaimana membuat petani tidak hanya bisa mengakses, tapi juga membaca cuaca dengan bahasa mereka menjadi persoalan yang perlu segera dicarikan jalan keluar. Dengan cara-cara ini petani bisa terhindar dari kerugian sekaligus menekan emisi metana.

Senin, 29 Oktober 2007

Tanggal : 29 Oktober 2007
Sumber : http://www.beritamaritim.com/berita/01/04.shtml


Pelabuhan mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting dalam pergerakan dan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Sejak awal perkembangan ekonomi dunia, pelabuhan dalam bentuknya yang paling sederhana pun telah memerankan diri sebagai faktor penting pergerakan ekonomi yang ditandai pertukaran arus barang atau logistik.

Di Indonesia, perkembangan kuantitas dan kualitas pelabuhan juga semakin menunjukkan kecenderungan yang menggembirakan. Hampir di setiap kawasan atau daerah yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dinamis, bisa dipastikan hadir pelabuhan pantai yang menopang perkembangan tersebut.

Bahkan, sejumlah pelabuhan perintis sengaja dihadirkan di suatu kawasan untuk mendinamisasi perkembangan perekonomian di wilayah tersebut, termasuk daerah terkait yang dekat dengan pelabuhan. Pelabuhan perintis, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan infrastrukturnya, mesti dipahami dalam konteks pemerataan pertumbuhan ekonomi antarwilayah atau antardaerah dalam rangka memperkecil ketimpangan antarkawasan.

Kenyataan bahwa Indonesia adalah negeri kepulauan dengan sendirinya menjadikan peran dan fungsi pelabuhan sangat penting. Pentingnya keberadaan pelabuhan itu kian terasa terutama ketika perdagangan antardaerah atau antarpulau hanya akan memperlihatkan skala ekonomis dan efisiensinya bila ditunjang moda transportasi laut.

Dalam konteks globalisasi, Indonesia dirasa sangat perlu menghadirkan pelabuhan berkelas internasional atau pelabuhan utama (hub port) di beberapa titik, yang diproyeksikan akan menjadi pintu penting kontak perdagangan (ekspor-impor) dengan beberapa negara tetangga.

Terkait hal itu, memang tidak serta-merta di setiap daerah mesti ada pelabuhan, apalagi bila jarak antarpelabuhan itu terlalu dekat dan volume perdagangannya relatif masih kecil. Sebab, pada dasarnya keberadaan pelabuhan itu justru untuk semakin mengefisienkan perdagangan sehingga harga barang tidak semahal bila perpindahannya menggunakan moda transportasi lain.

Revitalisasi

Dalam kaitan inilah perlu dilakukan revitalisasi berbagai pelabuhan dan seleksi, sehingga diperoleh peta pelabuhan di Tanah Air yang daya saing dan efisiensinya tinggi. Pada gilirannya, Indonesia sebagai negeri kepulauan bisa mengambil dan mendapat manfaat optimal dari transportasi laut, perdagangan, eskpor-impor, dan jasa kepelabuhanan lainnya.

Sudah barang tentu pelabuhan-pelabuhan kecil yang mempunyai prospek cerah tetap harus didukung. Akan tetapi, bentuk dukungan itu harus bisa membuat pelabuhan bersangkutan pada suatu kurun waktu tertentu bisa mandiri, dalam arti mampu membiayai dirinya dengan pendapatan dari jasa-jasa kepelabuhanan.

Pengalaman penulis, PT Pelabuhan Indonesia? (Pelindo) III yang mengelola dan memiliki sejumlah pelabuhan di beberapa daerah, memperlihatkan setiap pelabuhan di bawah BUMN ini memiliki kekuatan dan kapasitas yang demikian beragam serta potensi barang yang juga bermacam-macam.? Berbagai pelabuhan tersebut tersebar di sejumlah pulau dan pada akhirnya membentuk jaringan transportasi dan perdagangan.

Penulis sendiri berpendapat, untuk mendapatkan jaringan yang kuat, paling tidak perlu dilakukan langkah sebagai berikut di lingkungan Pelindo III. Pertama, melakukan seleksi terhadap jumlah pelabuhan yang dikelola, sehingga Pelindo III hanya akan mengelola pelabuhan yang memang mempunyai potensi tinggi.

Selain itu, perlu pembatasan jumlah pelabuhan untuk perdagangan langsung ke luar negeri. Dalam hal ini, pembatasan dikaitkan dengan potensi dan keragaman barang di pelabuhan dimaksud. Dalam kaitan Pelindo III, pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan internasional adalah Tanjung Perak untuk peti kemas dan curah serta Tanjung Emas, Kotabaru, Tanjung Intan, dan Benoa untuk pariwisata.

Sementara itu, pelabuhan yang tidak terbuka untuk perdagangan internasional diarahkan sebagai pendukung pelabuhan terbuka agar terdapat konsentrasi volume yang cukup tinggi untuk diangkut ke luar negeri. Hal ini akan menarik untuk melakukan pelayaran langsung.

Yang juga tidak kalah penting adalah untuk menggerakkan distribusi barang domestik, maka Pelindo III perlu mengajak perusahaan pelayaran nasional terutama BUMN, untuk menjadi pengangkut barang-barang dari dan ke pelabuhan.?

Kedua, untuk menopang keseluruhan upaya merevitalisasi pelabuhan sebagai faktor penting dalam perdagangan barang diperlukan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM). Pelindo III mau tak mau harus menjadikan SDM-nya sebagai aset terpenting untuk mendinamisasi kinerjanya.

Ketiga, agar Pelindo III sebagai BUMN bisa memiliki kinerja semakin bagus, perlu penerapan prinsip good corporate governance (GCG) yang ketat dan disiplin dalam pelaksanaannya. Dengan GCG, Pelindo III akan lebih berpeluang menjadi perusahaan yang memiliki standar pelayanan dan kinerja bertaraf internasional.

Dengan demikian, Pelindo III jelas akan berpotensi menjadi salah satu BUMN kepelabuhanan yang terbaik di Tanah Air. (Bisnis Indonesia 29/10/2007, Oleh Didiek Harijanto, General Manager Pelabuhan Tanjung? Intan (Pelindo III), Cilacap, Jateng). ►bmi

Rabu, 17 Oktober 2007

Teluk Penyu jadi objek wisata alternatif

Tanggal : 17 Oktober 2007
Sumber : http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11056&Itemid=53

CILACAP - Walaupun tidak lagi menjadi objek wisata favorite, tetapi musim Lebaran kali ini Pantai Teluk Penyu Cilacap masih menjadi objek wisata alternatif bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini jelas berbeda dengan beberapa tahun silam.

Sebelum lima tahun terakhir, Teluk Penyu selalu menjadi tujuan wisata Lebaran masyarakat yang datang dari berbagai pelosok di Cilacap maupun luar daerah. Seiring dengan perkembangan jaman, Teluk Penyu semakin dikesampingkan masyarakat menyusul banyaknya obyek wisata baru di wilayah Eks Karesidenan Banyumas yang menawarkan berbagai fasilitas berkelas nasional.

Sebagai konsekuensinya, Teluk Penyu yang kini hanya menawarkan wisata pantai memang harus rela menjadi alternatif saja. Sejumlah taman hiburan yang turut ditawarkan, rupanya tidak juga mampu memikat pengunjung.

Kepala UPTD Obyek Wisata, Dinas Pariwisata Cilacap Dwi Goro Waluyo mengakui kondisi ini salah satunya akibat promosi yang kurang maksimal. "Di samping promosi, Teluk Penyu memang butuh pembenahan dan penambahan fasilitas. Kami mengakui fasilitas sebagai daya tarik untuk pengunjung memang minim.

Kami terus mengusahakan, berhasil tetapi butuh proses. Mudah - mudahan tahun depan akan ada fasilitas yang lebih memadai sebagai sarana rekreasi," tandas Dwi Goro Waluyo.

Kosong
Sebagai contoh, lapangan yang berada di sebelah utara pintu masuk, kini dibiarkan kosong, padahal dulu selalu penuh dengan berbagai aneka permainan dan hiburan masyarakat. Untuk yang ini kata Dwi ada persoalan tekhnis dengan pihak ketiga yang menyebabkan lapangan menjadi kosong. Selain panorama pantai, dinas pariwisata menawarkan hiburan dangdut di lapangan tersebut.

Hasil pantauan, walaupun cuma sebagai alternatif tetapi Teluk Penyu tetap dipadati arus wisatawan sejak pukul 07.00 hingga menjelang Maghrib. Data yang ada di loket penjualan tiket, sejak H plus 1 (Minggu (14/10) sampai Selasa kemarin, rata-rata jumlah pengunjung mencapai 15 ribu orang.

Rertibusi dari pengunjung yang masing-masing dikenakan tiket Rp 2.500 per orang ini, menurut Dwi Goro cukup melampaui target pendapatan wisata selama musim Lebaran yakni Rp 170 juta. Jumlah tersebut juga diyakini bisa untuk melampaui target pendapatan wisata Teluk Penyu dan Benteng Pendem yang tahun 2007 dipatok sebesar Rp 355 juta. ady/Pr

Senin, 03 September 2007

Indonesia Harus Reorientasi Jati Diri Sebagai Bangsa Maritim

Tanggal : 3 September 2007
Sumber : http://www.sarwono.net/berita.php?id=571

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa menjadi bangsa yang tangguh. Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar, seperti halnya Inggris dan Amerika Serikat, kalau saja orientasi pembangunannya sesuai dengan jati diri sesungguhnya sebagai bangsa maritim.

Hal tersebut disampaikan penasihat Dewan Maritim Indonesia (DMI) Sarwono Kusumaatmadja saat menjadi inspektur upacara Pelantikan dan Kenaikan Tingkat Tahun 2007-2008 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pelayaran Pembangunan, Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu, 1 September 2007.

“Karena problem jati diri bangsa ini, generasi muda Indonesia cenderung kurang berminat belajar mengenai pengelolaan sumber daya kelautan. Akibatnya bangsa kita sulit menjadi bangsa maritim yang tangguh,” kata Sarwono di hadapan Taruna-Taruni SMK Pelayaran Pembangunan yang mengikuti upacara tersebut.

Problem jati diri bangsa ini, lanjut Sarwono, menyebabkan hingga saat ini masih terjadi tumpang tindih kewenangan Departemen Perhubungan (Dephub) dan Departemen Kelutan dan Perikanan (DKP).

“Dalam hal sertifikasi kelautan misalnya. Hal itu yang membuat pelaut Indonesia lebih memilih sertifikasi kelautan internasional dari pada nasional,” katanya.

Menurut Sarwono, agar bisa menjadi bangsa maritim yang tangguh diperlukan reorientasi jati diri bangsa --yang terlanjur berpola pikir sebagai masyarakat agraris-- menuju pola pikir masyarakat maritim.

“Kita harus serius membangun kekuatan ekonomi, budaya, dan militer yang berorientasi pada pemanfaatan sumber daya kelautan karena potensi yang kita miliki sangat besar,” tutur Sarwono.

Senin, 27 Agustus 2007

Pantun Dalam Nyanyian Anak Pesisir Sumatera Timur

Tanggal : 27 Agustus 2007
Sumber : http://www.waspada.co.id/Seni-Budaya/Budaya/Pantun-Dalam-Nyanyian-Anak-Pesisir-Sumatera-Timur.html

Oleh Prof. H. Ahmad Samin Siregar

Kebudayaan etnik atau suku bangsa seperti Jawa, Bali, Mandailing maupun kebudayaan asing seperti Belanda, Jerman dan Perancis atau adat-budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur tentu tidak dapat berkembang tanpa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan lainnya. Saling pengaruh itu terjadi karena adanya komunikasi yang intensif di antara bangsa dan di antara etnik atau suku bangsa hingga kebudayaan/kesenian itu berkembang dalam masyarakat dan lingkungannya.

Demikian juga halnya dengan kebudayaan Melayu Pesisir Sumatera Timur dalam arti keseluruhannya tanpa meninggalkan kejiwaan dan kepribadian Melayu tersebut. Perpaduan mesra di antara kebudayaan
dapat pula ditemukan di dalam seni budaya Jawa yang sepintas lalu tampaknya berlandaskan kepada kebudayaan Hindu atau Sansekerta. Namun, tidak pernah pula dikatakan bahwa "tari Serimpi" ataupun "tari Legong" itu merupakan tari Hindu.

Tarian-tarian itu tetap tari Indonesia yang berasal dari suku Jawa. Jadi, pengaruh budaya apa pun yang datang dan masuk ke dalam budaya nasional dan etnik perlu dijaga dan diawasi agar "keaslian" budaya dan bahasa dari etnik itu dapat terjaga dengan baik. Oleh karena itulah, inti sari budaya, seni dan adat Melayu Pesisir Sumatera Timur itu akan tetap langgeng dan tidak berobah walaupun kulitnya mengalami perobahan karena sentuhan komunikasi menurut situasi, zaman, dan keadaannya. Hakikat dan isi budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur itu akan selalu tetap dan tidak akan berobah. Masalah ini dapat dilihat dan diketahui dengan jelas melalui pantun Melayu Pesisir Sumatera Timur seperti, /Adat penuh tidak melimpah/Adat berdiri tidak berkurang/Adat terapung tidak hanyut/Adat terendam tidak basah/.

1Keaslian adat budaya etnik Melayu Pesisir Sumatera Timur itu antara lain dipantulkan melalui kepribadiannya yang menggambarkan: (1) Jiwa beradat dan etika Melayu; (2) Bentuk dan gaya Melayu; (3) Bahasa, sastra dan pakaian Melayu; (4) Adanya perasaan kekuatan batin/gaib yang menguasai diri masyarakat Melayu yaitu kepercayaan kepada agama dan mistik; (5) Kegemaran masyarakat Melayu kepada ketertiban, perikemanusiaan, keindahan, kesenian, dan toleransi; (6) Kebiasan berbicara masyarakat Melayu dengan sopan santun; (7) Masyarakat Melayu selalu menyatakan sesuatu secara melingkar atau menyindir dan tidak langsung; dan (8) Pembawaan masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur ini amat suka mencontoh dan menyesuaikan sesuatu yang dapat dihandalkan.


Kedelapan kepribadian ini telah menunjukkan bahwa masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur itu sangat mudah menerima pengaruh, yang baik dan positif, dari etnik atau bangsa lainnya. Pergaulan antara etnik Melayu Pesisir Sumatera Timur ini dengan etnik atau bangsa lainnya itu dengan segera dapat menimbulkan kerja sama yang erat karena adanya saling pengertian. Namun dari semua itu, secara singkat dapat dikatakan bahwa ciri-ciri khas Melayu Pesisir Sumatera Timur ini ialah a). Sifat regionalnya "adat"; b) Sifat nasionalnya "budaya" dan c) Sifat universalnya "agama Islam".

Ketiga ciri khas ini dapat pula dikaitkan dengan pantun dua kerat berikut ini, /Cencang pampas/Bunuh balas/. Pantun dua kerat ini telah menunjukkan tentang sikap dan sifat masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur itu yang mempunyai aturan dan tata tertib dalam permasalahan kehidupan.(Guru Besar USU, Medan)

Bersambung....

Kamis, 23 Agustus 2007

Menakar Ulang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

Tanggal : 23 Agustus 2007
Sumber : http://indoprogress.blogspot.com/2007/08/menakar-ulang-hak-pengusahaan-perairan.html
Oleh : M.Riza Damanik


BELUM selesai dengan pro-kontra dari penetapan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan lahirnya Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWP-PPK), yang disahkan pada tanggal 26 Juni 2007 lalu. Tidak berbeda dengan UUPM, UUPWP-PPK-pun mengeluarkan gebrakan baru, satu di antaranya adalah Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3).

Dalam UU tersebut disebutkan, HP-3 merupakan hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut (Pasal 16), dengan masa waktu pengusahaan hingga 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali (Pasal 19). Dalam catatan panjang sejarah Indonesia, ini kali pertama negara memberikan landasan hukum atas pengusahaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Setidaknya, ada tiga hal mendasar yang perlu ditakar ulang dalam pemberian hak tersebut. Pertama, aspek pemenuhan hak atas perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana. Sudah menjadi pengetahuan setiap orang, bahwa wilayah Indonesia terletak di sepanjang jajaran gunung api (yang dikenal dengan ring of fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia rawan bencana. Sebut saja bencana tsunami Aceh dan Yogyakarta, bencana banjir dan abrasi hampir di seluruh desa-desa pesisir, serta gelombang tinggi yang akhir-akhir ini semakin kerap melanda perairan Indonesia. Semua itu memberikan isyarat betapa rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terhadap bencana.

Mencermati hal tersebut, sudah seharusnya UU ini mengedepankan prinsip perlindungan dan perlakuan khusus terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana. Keberadaan HP-3 dinilai akan menjadi kontra produktif dengan semangat negara dalam menjamin perlindungan dan keselamatan rakyat.

Diberikannya jaminan perlindungan atas penguasaan kawasan rentan bencana kepada pelaku usaha – dalam luasan dan waktu tertentu – justru akan membatasi peran pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Belum lagi, tidak ada jaminan dari pemegang HP-3 untuk memenuhi tanggung-jawab mutlak (sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup) atas dampak negatif yang ditimbulkan, seperti yang kerap terjadi pada sektor lain, seperti pertambangan dan kehutanan.

Kedua, menakar untuk siapa sebenarnya sertifikat HP-3 diberikan. Dengan komposisi kemiskinanan yang masih mendominasi, serta taraf pendidikan yang juga masih sangat rendah, menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya tradisional masuk ke dalam skema sertifikasi seperti yang diharapkan UU. Budaya birokrasi yang rumit, dan cenderung mahal mengisyaratkan penguasaan kegiatan usaha oleh pemilik modal besar justru akan mendominasi, sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara, dan kemampuan pemodal memenuhi kebutuhan sertifikasi tersebut.

Ketiga, menakar intensitas konflik perikanan terkait hak kepemilikan. Charles dalam bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) menyebutkan, debat mengenai hak kepemilikan mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol perikanan. Konflik ini sendiri cenderung, di antaranya, disebabkan perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, di antaranya: open-access, manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi.

Keberadaan HP-3 disela-sela mekanisme pengelolaan yang bernuansa sektoral, desentralisasi, industrialisasi, serta diperhadapkan pada kebutuhan atas pengakuan eksistensi pengelolaan masyarakat, justru akan menjadi stimulus dalam meningkatnya intensitas konflik terkait hak kepemilikan. Apalagi, dengan keistimewaan yang dimiliki oleh sertifikat HP-3 yang dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan ke bank (Pasal 20).

Sudah sepatutnya Indonesia sebagai negara kepulauan, menjadikan sektor kelautan sebagai garda terdepan penyelamatan bangsa. Keberadaan HP-3 yang lebih besar mudharat-nya dari manfaat sewajarnya ditakar ulang. Dengan begini, lahirnya UUPWP-PPK, dapat dijadikan momentum pembenahan arah pembangunan kelautan nasional.***

M. Riza Damanik, Manager Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI.

Senin, 06 Agustus 2007

Konsumsi Ikan Menjamin Sehat dan Cerdas

Tanggal : 6 Agustus 2007
Sumber : http://www.tribun-timur.com/view.php?id=47511&jenis=Opini
Oleh: Syamsul Rahman, Dosen Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian UIM Mantan Anggota Hipermaju Sulbar

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Barat (Sulbar) melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, telah memecahkan Rekor Musium Rekor Indonesia (Muri) pada acara pembakaran ikan sepanjang 4,36 km di jejar sepanjang Jl Yos Sudarso Mamuju Rabu 25 Juli lalu.

Jumlah ikan yang dibakar sekitar tujuh ton. Rekor Muri sebelumnya dipegang oleh Kabupaten Kapuas, dengan panjang tempat pembakaran ikan 3,083 km.

Kegiatan ini dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan, Fredy Numberi, dan sejumlah pejabat jajaran Kementerian Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Acara ini merupakan ajang kampanye dan realisasi dari program nasional yang telah dicanangkan DKP, gerakan memasyarakatkan ikan (Gemarikan), yang dirangkaikan dengan perlombaan menyiapkan berbagai menu yang berasal dari bahan baku ikan dan lomba masakan ikan tradisional.

Melalui even seperti ini, perlu dilakukan pengenalan kepada masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi ikan, termasuk melalui ekspose pemecahan rekor Muri seperti acara tersebut.


Potensi Perikanan

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17 ribu, memiliki panjang pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Aurstralia yang mencapai panjang pantai sekitar 81 ribu km.

Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi laut, Indonesia mempunyai sumber daya laut yang besar, baik sumber daya hayati maupun nonhayati.

Selain perairan laut, luas daratan Indonesia juga "menyimpan" perairan tawar yang cukup luas. Sebagaimana perairan laut, perairan tawar pun menyimpan potensi sumber daya alam yang tidak sedikit, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Melihat potensi perairan dan sumber daya manusia serta sumber daya ikan yang ada, maka budidaya ikan di Indonesia cukup prospektif, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor.

Prospektifnya pasar ikan dapat dilihat dari terus meningkatnya jumlah penduduk dan makin sadarnya konsumen untuk mengonsumsi ikan. Mengonsumsi ikan dapat meningkatkan kesehatan dan kecerdasan bagi seseorang, sesuai standar yang dipersyaratkan.

Potensi sumberdaya ikan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar 15,95 juta hektare, terdiri atas potensi air tawar 2,23 juta hektare, air payau 1,22 juta hektare, dan budidaya laut 12,14 juta hektare.

Sedangkan pemanfaatan potensi sumber daya itu hingga kini masing-masing baru mencapai sekitar 10,1 persen untuk budidaya air tawar, 40 persen budidaya air payau, dan 0,01 budidaya laut.

Angka sementara produksi total perikanan budidaya secara nasional pada 2005 sebesar 1,8 juta ton. Mengingat pemanfaatan potensi perikanan budidaya yang masih demikian rendah, maka diperlukan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan produksi ikan yang permintaan pasarnya sangat besar. Ikan hasil budidaya di Indonesia, baik ikan air tawar maupun ikan laut, semakin berpeluang untuk bersaing dengan ikan hasil budidaya dari negara lain. Iklim di Indonesia lebih kondusif untuk budidaya ikan.

Sebagai negara yang kaya dengan hasil laut dan mempunyai berbagai macam produk perikanan, Indonesia berpeluang membangun kualitas manusia yang sehat dan cerdas melalui Gemarikan.
Namun, masyarakat Indonesia kurang banyak mengkonsumsi ikan yang kaya akan protein ini. Budaya mengkonsumsi ikan belum menjadi gaya hidup banyak keluarga di negeri ini.


Tingkat Konsumsi

Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang saat ini diperkirakan telah mencapai 215 juta jiwa, maka meningkat pula kebutuhan pangan.

Itu berarti luasnya laut dan perairan umum Indonesia merupakan sebuah "lumbung" pangan nasional yang setiap saat siap dimanfaatkan secara optimal.

Sumber daya ikan di Indonesia diperkirakan 6,7 juta ton per tahun atau sekitar tujuh persen dari total potensi lestari ikan laut dunia. Akan tetapi tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih rendah. Hingga tahun 2006, rata-rata mencapai 25,03 kg per kapita per tahun.

Meskipun meningkat 4,5 persen dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 23,95 kg, jumlah ini belum mencapai standar yang di persyaratkan oleh organisasi pangan dunia (FAO), 30 kg per kapita per tahun.
Dibanding dengan negara- negara Asia lainnya, tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih jauh ketinggalan. Jepang (mencapai 110 kg), Korea Selatan (85 kg), Malaysia (45 kg), dan Thailand (35 kg).

Rendahnya tingkat konsumsi ikan tersebut diakibatkan karena masih adanya anggapan di kalangan masyarakat, bahwa makan ikan kurang bergengsi, atau identik dengan kemiskinan, bahkan ada anggapan sebagian masyarakat yang menyatakan, mengonsumsi ikan terlalu banyak akan mengakibatkan cacingan atau alergi.

Padahal protein yang terdapat dalam ikan sangat diperlukan manusia karena lebih mudah dicerna, juga mengandung asam amino dengan pola hampir sama dengan asam amino yang terdapat dalam tubuh manusia. Selain itu, protein ikan juga terdiri atas asam amino asensiall yang tidak mudah rusak selama pemasakan, dan lebih lengkap dibandingkan dengan sumber protein hewan.


Sehat Cerdas

Negara Jepang adalah salah satu penghasil ikan di dunia dan ikan telah menjadi makanan utama, seperti halnya nasi di Indonesia. Ikan telah menjadi bagian dari menu sehari-hari masyarakat Indonesia, namun hanya sekadar sebagai pelengkap menu hidangan.

Banyak di antara kita hanya tau, bahwa ikan itu baik bagi kesehatan dan enak rasanya. Namun, kita tidak mengerti kandungan apa di dalam ikan yang dapat membuat badan menjadi sehat dan cerdas, seperti yang dialami oleh orang-orang Jepang.

Ikan kaya akan asam yang disebut Omega 3 yang berfungsi membantu untuk membersihkan racun di dalam jantung dan tubuh, dengan meningkatkan proses anti penggumpalan darah.

Omega 3 mampu mencegah dan mengurangi terjadinya penumpukan kolesterol dan melekatnya bintik-bintik darah dalam pembuluh darah. Orang yang banyak mengonsumsi ikan mempunyai resiko lebih kecil terkena penyakit jantung dan stroke.

Selain dapat mencegah penyakit jantung dan stroke, Omega 3 dapat mencegah penyakit kanker, diabetes, asam urat, rematik, bahkan mengatasi jerawat. Pada ibu hamil, sangat dianjurkan untuk mengonsumsi banyak ikan karena dapat membantu pertumbuhan otak bayi, selain meningkatkan kecerdasan dan daya pikirnya.

Selain itu mengonsumsi banyak ikan bagi ibu hamil dapat menghindari bayi premature atau berat badannya di bawah standar. Sampai bayi beranjak dewasa pun, pengenalan terhadap konsumsi ikan harus tetap dilanjutkan. Ikan memang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh, dan sebagai sumber energi.

Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa ikan mengandung banyak protein. Namun absorpsi protein dari ikan lebih banyak dibandingkan daging sapi atau ayam. Hal ini disebabkan karena ikan mempunyai serat protein yang lebih pendek dari pada serat-serat daging sapi atau ayam, yang mempermudah pencernaan.

Ikan juga sangat baik bagi orang yang mengalami kesulitan pencernaan. Untuk itu, mulailah mengonsumsi ikan hari ini dan setidaknya makanlah ikan minimal tiga kali seminggu atau setiap hari dengan menu yang bervariasi. Ini akan berimplikasi pada kesehatan dan kecerdasan. (***)

Konsumsi Ikan Menjamin Sehat dan Cerdas

Tanggal : 6 Agustus 2007
Sumber : http://www.tribun-timur.com/view.php?id=47511&jenis=Opini
Oleh: Syamsul Rahman, Dosen Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian UIM Mantan Anggota Hipermaju Sulbar

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Barat (Sulbar) melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, telah memecahkan Rekor Musium Rekor Indonesia (Muri) pada acara pembakaran ikan sepanjang 4,36 km di jejar sepanjang Jl Yos Sudarso Mamuju Rabu 25 Juli lalu.
Jumlah ikan yang dibakar sekitar tujuh ton. Rekor Muri sebelumnya dipegang oleh Kabupaten Kapuas, dengan panjang tempat pembakaran ikan 3,083 km.
Kegiatan ini dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan, Fredy Numberi, dan sejumlah pejabat jajaran Kementerian Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Acara ini merupakan ajang kampanye dan realisasi dari program nasional yang telah dicanangkan DKP, gerakan memasyarakatkan ikan (Gemarikan), yang dirangkaikan dengan perlombaan menyiapkan berbagai menu yang berasal dari bahan baku ikan dan lomba masakan ikan tradisional.
Melalui even seperti ini, perlu dilakukan pengenalan kepada masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi ikan, termasuk melalui ekspose pemecahan rekor Muri seperti acara tersebut.

Potensi Perikanan
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17 ribu, memiliki panjang pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Aurstralia yang mencapai panjang pantai sekitar 81 ribu km.
Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi laut, Indonesia mempunyai sumber daya laut yang besar, baik sumber daya hayati maupun nonhayati.
Selain perairan laut, luas daratan Indonesia juga "menyimpan" perairan tawar yang cukup luas. Sebagaimana perairan laut, perairan tawar pun menyimpan potensi sumber daya alam yang tidak sedikit, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Melihat potensi perairan dan sumber daya manusia serta sumber daya ikan yang ada, maka budidaya ikan di Indonesia cukup prospektif, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor.
Prospektifnya pasar ikan dapat dilihat dari terus meningkatnya jumlah penduduk dan makin sadarnya konsumen untuk mengonsumsi ikan. Mengonsumsi ikan dapat meningkatkan kesehatan dan kecerdasan bagi seseorang, sesuai standar yang dipersyaratkan.
Potensi sumberdaya ikan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar 15,95 juta hektare, terdiri atas potensi air tawar 2,23 juta hektare, air payau 1,22 juta hektare, dan budidaya laut 12,14 juta hektare.
Sedangkan pemanfaatan potensi sumber daya itu hingga kini masing-masing baru mencapai sekitar 10,1 persen untuk budidaya air tawar, 40 persen budidaya air payau, dan 0,01 budidaya laut.
Angka sementara produksi total perikanan budidaya secara nasional pada 2005 sebesar 1,8 juta ton. Mengingat pemanfaatan potensi perikanan budidaya yang masih demikian rendah, maka diperlukan langkah-langkah untuk mendorong peningkatan produksi ikan yang permintaan pasarnya sangat besar. Ikan hasil budidaya di Indonesia, baik ikan air tawar maupun ikan laut, semakin berpeluang untuk bersaing dengan ikan hasil budidaya dari negara lain. Iklim di Indonesia lebih kondusif untuk budidaya ikan.
Sebagai negara yang kaya dengan hasil laut dan mempunyai berbagai macam produk perikanan, Indonesia berpeluang membangun kualitas manusia yang sehat dan cerdas melalui Gemarikan.
Namun, masyarakat Indonesia kurang banyak mengkonsumsi ikan yang kaya akan protein ini. Budaya mengkonsumsi ikan belum menjadi gaya hidup banyak keluarga di negeri ini.

Tingkat Konsumsi
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang saat ini diperkirakan telah mencapai 215 juta jiwa, maka meningkat pula kebutuhan pangan.
Itu berarti luasnya laut dan perairan umum Indonesia merupakan sebuah "lumbung" pangan nasional yang setiap saat siap dimanfaatkan secara optimal.
Sumber daya ikan di Indonesia diperkirakan 6,7 juta ton per tahun atau sekitar tujuh persen dari total potensi lestari ikan laut dunia. Akan tetapi tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih rendah. Hingga tahun 2006, rata-rata mencapai 25,03 kg per kapita per tahun.
Meskipun meningkat 4,5 persen dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 23,95 kg, jumlah ini belum mencapai standar yang di persyaratkan oleh organisasi pangan dunia (FAO), 30 kg per kapita per tahun.
Dibanding dengan negara- negara Asia lainnya, tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih jauh ketinggalan. Jepang (mencapai 110 kg), Korea Selatan (85 kg), Malaysia (45 kg), dan Thailand (35 kg).
Rendahnya tingkat konsumsi ikan tersebut diakibatkan karena masih adanya anggapan di kalangan masyarakat, bahwa makan ikan kurang bergengsi, atau identik dengan kemiskinan, bahkan ada anggapan sebagian masyarakat yang menyatakan, mengonsumsi ikan terlalu banyak akan mengakibatkan cacingan atau alergi.
Padahal protein yang terdapat dalam ikan sangat diperlukan manusia karena lebih mudah dicerna, juga mengandung asam amino dengan pola hampir sama dengan asam amino yang terdapat dalam tubuh manusia. Selain itu, protein ikan juga terdiri atas asam amino asensiall yang tidak mudah rusak selama pemasakan, dan lebih lengkap dibandingkan dengan sumber protein hewan.

Sehat Cerdas
Negara Jepang adalah salah satu penghasil ikan di dunia dan ikan telah menjadi makanan utama, seperti halnya nasi di Indonesia. Ikan telah menjadi bagian dari menu sehari-hari masyarakat Indonesia, namun hanya sekadar sebagai pelengkap menu hidangan.
Banyak di antara kita hanya tau, bahwa ikan itu baik bagi kesehatan dan enak rasanya. Namun, kita tidak mengerti kandungan apa di dalam ikan yang dapat membuat badan menjadi sehat dan cerdas, seperti yang dialami oleh orang-orang Jepang.
Ikan kaya akan asam yang disebut Omega 3 yang berfungsi membantu untuk membersihkan racun di dalam jantung dan tubuh, dengan meningkatkan proses anti penggumpalan darah.
Omega 3 mampu mencegah dan mengurangi terjadinya penumpukan kolesterol dan melekatnya bintik-bintik darah dalam pembuluh darah. Orang yang banyak mengonsumsi ikan mempunyai resiko lebih kecil terkena penyakit jantung dan stroke.
Selain dapat mencegah penyakit jantung dan stroke, Omega 3 dapat mencegah penyakit kanker, diabetes, asam urat, rematik, bahkan mengatasi jerawat. Pada ibu hamil, sangat dianjurkan untuk mengonsumsi banyak ikan karena dapat membantu pertumbuhan otak bayi, selain meningkatkan kecerdasan dan daya pikirnya.
Selain itu mengonsumsi banyak ikan bagi ibu hamil dapat menghindari bayi premature atau berat badannya di bawah standar. Sampai bayi beranjak dewasa pun, pengenalan terhadap konsumsi ikan harus tetap dilanjutkan. Ikan memang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh, dan sebagai sumber energi.
Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa ikan mengandung banyak protein. Namun absorpsi protein dari ikan lebih banyak dibandingkan daging sapi atau ayam. Hal ini disebabkan karena ikan mempunyai serat protein yang lebih pendek dari pada serat-serat daging sapi atau ayam, yang mempermudah pencernaan.
Ikan juga sangat baik bagi orang yang mengalami kesulitan pencernaan. Untuk itu, mulailah mengonsumsi ikan hari ini dan setidaknya makanlah ikan minimal tiga kali seminggu atau setiap hari dengan menu yang bervariasi. Ini akan berimplikasi pada kesehatan dan kecerdasan. (***)