Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0510/29/sh01.html
Oleh Kristanto Hartadi
Jakarta – Pakar kelautan dan perikanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Tridoyo Kusumastanto menilai sektor kelautan kita terancam ambruk.
Untuk menyelamatkannya, harus segera dilakukan pembenahan melalui kebijakan ekonomi makro Kabinet Indonesia Bersatu. Selain itu birokrasi bidang kelautan dan perikanan juga perlu dibenahi.
Hal itu dikemukakannya dalam diskusi terbatas dan buka puasa bersama dengan tema "Setahun Pemerintahan SBY-JK: Evaluasi Sektor Perikanan dan Kelautan", di gedung Sinar Harapan, Jakarta, pekan ini. Panelis lain yang hadir adalah: Prof Dr Bungaran Saragih, Ir. Sumiaryoso Sumiskun (Ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), Capt. Henk Lumenta, SH, LLM, Ir Wisnu Wijaya (aktivis kelautan), Dr Tommy Purwaka dari Forum Ekonomi Kelautan (Forek), dan sejumlah anggota Ocean Watch.
Menurut Tridoyo, kebijakan ekonomi makro Kabinet Indonesia Bersatu lebih berorientasi kepada pasar bebas dan sangat kurang berpihak kepada ekonomi rakyat, serta kurang mendorong pembangunan sektor riil sumber daya yang terbarukan seperti perikanan dan pertanian.
"Itulah sebabnya, ketika harga minyak dunia mencapai US$ 70, harga BBM dalam negeri langsung dinaikkan demi mengurangi defisit di APBN, namun sama sekali tidak ada langkah untuk mengurangi beban utang luar negeri atau bagaimana mengembalikan dana-dana BLBI," katanya.
Kebijakan yang demikian, kata Tridoyo, sangat berpengaruh terhadap bidang kelautan dan perikanan, terutama sektor riil , yakni perikanan tangkap, budi daya, industri pengolahan, UMKM bidang kelautan yang merupakan basis ekonomi rakyat di pesisir dan pulau-pulau kecil.
"Saya menilai birokrasi kita di level atas, menengah maupun bawah tidak peka terhadap bidang itu, tidak ada sense of crisis, bahkan terdapat proses perencanaan yang memungkinkan munculnya para pencari rente melalui mekanisme proyek di pusat maupun daerah," katanya.
Dia menilai tidak ada upaya yang komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sektor perikanan dan kelautan, tidak ada upaya menyiapkan kebijakan dalam mengantisipasi perubahan lokal, regional dan global, khususnya terkait dengan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Tidak Terukur
Dia juga menilai kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan dan perikanan sering menghasilkan output yang tidak terukur, misalnya apa output pemberantasan illegal fishing pada perikanan nasional.
Bahkan DKP juga tidak mampu mempengaruhi kebijakan ekonomi makro yang terkait dengan pembangunan kelautan (terutama departemen-departemen yang menjadi anggota Dewan Maritim) sehingga kepentingan sektor dan masyarakat tidak terkawal dengan baik.
"Contoh paling nyata adalah turunnya anggaran untuk DKP dan kurang efektifnya langkah DKP menghadapi kenaikan harga BBM yang sangat berdampak pada kehidupan masyarakat nelayan/petani ikan maupun pengusaha. Proses pengkerdilan seperti ini merupakan kondisi yang menghambat kemajuan pembangunan kelautan," tegasnya.
Menurut Tridoyo selama tiga minggu terakhir ini nelayan di berbagai daerah seperti Gresik, Lamongan, Sendangbiru, Cidaun, Bitung, Benoa, Belawan, Cilacap, Pangandaran dan berbagai daerah basis perikanan lainnya sudah menghentikan aktivitas melaut.
Hal yang sama dialami oleh UMKM kelautan seperti pengolahan ikan asin, ikan kering dll akibat kekurangan bahan baku. Hal yang sama juga dialami industri pengolahan ikan dan pengalengan yang kini sudah di ambang gulung tikar.
Menghadapi situasi ini, Tridoyo mengharap ada revitalisasi birokrasi di DKP sebagai ujung tombak industri ini, mulai dari tengah dan bawah, dan revitalisasi politik kelautan melalui perjuangan menghadapi pihak-pihak yang tidak membela kepentingan nelayan, petani ikan, petani pembudidaya ikan dan pelaku UMKM kelautan di berbagai pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dia juga mendorong segera disusun UU Kelautan untuk menyelaraskan dan mengatur berbagai aturan yang saat ini tumpang tindih, belum ada visi untuk menggabungkan kebijakan kelautan dengan daratan.
Asas "Cabotage"
Sementara itu, praktisi kelautan dan ahli hukum laut Capt. Henk Lumenta, SH, LLM, mengatakan guna membenahi masalah ini, harus segera diupayakan agar pembangunan armada kapal segera terwujud melalui penerapan asas cabotage seperti tertuang dalam Inpres No 5/2005. "Bagaimana kita akan membangun idustri maritim kalau tidak punya kapal?
Jadi modal dasarnya adalah harus memiliki kapal, itulah mengapa kita harus menerapkan asas cabotage, dan semua negara di dunia mengetahui asas cabotage adalah sesuatu hal mendasar yang harus dilakukan oleh negara maritim," katanya. Asas cabotage adalah kewajiban bagi semua kapal menggunakan bendera Indonesia bila beroperasi di perairan Nusantara.
Menurut Henk, bidang maritim harus ditangani secara khusus (lex specialis) demi melindungi dan mengamankan kekayaan laut kita digabung dengan aspek keamanan. "Tanpa kapal sendiri, semua kegiatan di laut akan mandek dan tidak efisien. Berbagai kerugian di laut akibat ketidak efisienan dan pencurian sumber daya alam kita setiap tahun mencapai US$ 50 miliar, sama dengan APBN kita," katanya.
Wisnu Wijaya, mantan eksekutif sejumlah perusahaan perikanan besar yang kini memilih bergiat bersama nelayan kecil di Aceh, mengatakan betapa kebijakan yang dikembangkan untuk membantu para nelayan korban tsumani di Aceh asal-asalan dan sekadar memenuhi target.
"Bayangkan, semua berlomba membangun kapal bagi para nelayan, tapi tidak dipikirkan kalau nanti mereka sudah berproduksi hasilnya mau disimpan dimana, karena di sana tidak ada cold storage. Kemudian pasarnya di mana karena jelas daya beli juga tidak besar. Kalau kapal-kapal itu mengalami kerusakan mesin apakah tersedia suku cadangnya?" katanya.
Bahkan, dia memperlihatkan sejumlah bukti bahwa kapal-kapal bantuan bagi nelayan yang disediakan oleh Departemen Sosial ternyata asal saja pembuatannya, menggunakan kayu berkualitas buruk, sehingga risiko rusak atau kecelakaan di laut sangat besar.
Tidak Efisien
Ketua HNSI Sumiaryoso Sumiskun, mengatakan kalau pernah dilaporkan bahwa nilai ekspor perikanan kita tahun 2004 mencapai US$ 5 miliar itu bohong, karena pada kenyataannya nilai itu tidak lebih dari US$ 1,6 miliar. Kalau iklim industri perikanan kita kondusif, maka investasi asing pasti masuk. Sehingga yang harus dilakukan adalah: undang presiden untuk duduk bersama dan mendiskusikan masalah ini.
Sebab, industri perikanan dan kelautan kita sangat tidak efisien, misalnya: pembangunan kapal-kapal nelayan kita menggunakan bahan-bahan yang kurang bermutu sehingga risiko kecelakaan di laut sangat besar, penggunaan mesin mobil untuk kapal juga berbahaya, karena seharusnya yang digunakan adalah marine engine. Begitu pun pungutan di laut sangat banyak. Sebuah kapal ikan harus membayar 14 pos pungutan liar di laut dalam perjalanan dari Muara Baru sampai ke Merak.
Jadi, katanya, kalau sekarang para nelayan kita menjerit ketika harus melaut dengan harga solar yang mendekati harga internasional, maka itu memperlihatkan ada yang tidak efisien pada sektor perikanan kita, karena di berbagai belahan dunia mana pun, para nelayan menangkap ikan dengan BBM harga internasional.
Karenanya, dia mendesak agar segera diakhiri egoisme sektoral di bidang perikanan ini karena sudah sangat gawat situasinya, katanya seraya menambahkan. Inpres No 5/2005 harus terus diurai lagi, jangan berhenti. (kristanto hartadi)