Sabtu, 29 Oktober 2005

Industri Kelautan Terancam Ambruk

Tanggal : 29 Oktober 2005
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0510/29/sh01.html
Oleh Kristanto Hartadi

Jakarta – Pakar kelautan dan perikanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Tridoyo Kusumastanto menilai sektor kelautan kita terancam ambruk.

Untuk menyelamatkannya, harus segera dilakukan pembenahan melalui kebijakan ekonomi makro Kabinet Indonesia Bersatu. Selain itu birokrasi bidang kelautan dan perikanan juga perlu dibenahi.
Hal itu dikemukakannya dalam diskusi terbatas dan buka puasa bersama dengan tema "Setahun Pemerintahan SBY-JK: Evaluasi Sektor Perikanan dan Kelautan", di gedung Sinar Harapan, Jakarta, pekan ini. Panelis lain yang hadir adalah: Prof Dr Bungaran Saragih, Ir. Sumiaryoso Sumiskun (Ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), Capt. Henk Lumenta, SH, LLM, Ir Wisnu Wijaya (aktivis kelautan), Dr Tommy Purwaka dari Forum Ekonomi Kelautan (Forek), dan sejumlah anggota Ocean Watch.

Menurut Tridoyo, kebijakan ekonomi makro Kabinet Indonesia Bersatu lebih berorientasi kepada pasar bebas dan sangat kurang berpihak kepada ekonomi rakyat, serta kurang mendorong pembangunan sektor riil sumber daya yang terbarukan seperti perikanan dan pertanian.

"Itulah sebabnya, ketika harga minyak dunia mencapai US$ 70, harga BBM dalam negeri langsung dinaikkan demi mengurangi defisit di APBN, namun sama sekali tidak ada langkah untuk mengurangi beban utang luar negeri atau bagaimana mengembalikan dana-dana BLBI," katanya.
Kebijakan yang demikian, kata Tridoyo, sangat berpengaruh terhadap bidang kelautan dan perikanan, terutama sektor riil , yakni perikanan tangkap, budi daya, industri pengolahan, UMKM bidang kelautan yang merupakan basis ekonomi rakyat di pesisir dan pulau-pulau kecil.

"Saya menilai birokrasi kita di level atas, menengah maupun bawah tidak peka terhadap bidang itu, tidak ada sense of crisis, bahkan terdapat proses perencanaan yang memungkinkan munculnya para pencari rente melalui mekanisme proyek di pusat maupun daerah," katanya.

Dia menilai tidak ada upaya yang komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sektor perikanan dan kelautan, tidak ada upaya menyiapkan kebijakan dalam mengantisipasi perubahan lokal, regional dan global, khususnya terkait dengan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Tidak Terukur

Dia juga menilai kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan dan perikanan sering menghasilkan output yang tidak terukur, misalnya apa output pemberantasan illegal fishing pada perikanan nasional.

Bahkan DKP juga tidak mampu mempengaruhi kebijakan ekonomi makro yang terkait dengan pembangunan kelautan (terutama departemen-departemen yang menjadi anggota Dewan Maritim) sehingga kepentingan sektor dan masyarakat tidak terkawal dengan baik.

"Contoh paling nyata adalah turunnya anggaran untuk DKP dan kurang efektifnya langkah DKP menghadapi kenaikan harga BBM yang sangat berdampak pada kehidupan masyarakat nelayan/petani ikan maupun pengusaha. Proses pengkerdilan seperti ini merupakan kondisi yang menghambat kemajuan pembangunan kelautan," tegasnya.

Menurut Tridoyo selama tiga minggu terakhir ini nelayan di berbagai daerah seperti Gresik, Lamongan, Sendangbiru, Cidaun, Bitung, Benoa, Belawan, Cilacap, Pangandaran dan berbagai daerah basis perikanan lainnya sudah menghentikan aktivitas melaut.

Hal yang sama dialami oleh UMKM kelautan seperti pengolahan ikan asin, ikan kering dll akibat kekurangan bahan baku. Hal yang sama juga dialami industri pengolahan ikan dan pengalengan yang kini sudah di ambang gulung tikar.

Menghadapi situasi ini, Tridoyo mengharap ada revitalisasi birokrasi di DKP sebagai ujung tombak industri ini, mulai dari tengah dan bawah, dan revitalisasi politik kelautan melalui perjuangan menghadapi pihak-pihak yang tidak membela kepentingan nelayan, petani ikan, petani pembudidaya ikan dan pelaku UMKM kelautan di berbagai pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dia juga mendorong segera disusun UU Kelautan untuk menyelaraskan dan mengatur berbagai aturan yang saat ini tumpang tindih, belum ada visi untuk menggabungkan kebijakan kelautan dengan daratan.


Asas "Cabotage"

Sementara itu, praktisi kelautan dan ahli hukum laut Capt. Henk Lumenta, SH, LLM, mengatakan guna membenahi masalah ini, harus segera diupayakan agar pembangunan armada kapal segera terwujud melalui penerapan asas cabotage seperti tertuang dalam Inpres No 5/2005. "Bagaimana kita akan membangun idustri maritim kalau tidak punya kapal?

Jadi modal dasarnya adalah harus memiliki kapal, itulah mengapa kita harus menerapkan asas cabotage, dan semua negara di dunia mengetahui asas cabotage adalah sesuatu hal mendasar yang harus dilakukan oleh negara maritim," katanya. Asas cabotage adalah kewajiban bagi semua kapal menggunakan bendera Indonesia bila beroperasi di perairan Nusantara.

Menurut Henk, bidang maritim harus ditangani secara khusus (lex specialis) demi melindungi dan mengamankan kekayaan laut kita digabung dengan aspek keamanan. "Tanpa kapal sendiri, semua kegiatan di laut akan mandek dan tidak efisien. Berbagai kerugian di laut akibat ketidak efisienan dan pencurian sumber daya alam kita setiap tahun mencapai US$ 50 miliar, sama dengan APBN kita," katanya.

Wisnu Wijaya, mantan eksekutif sejumlah perusahaan perikanan besar yang kini memilih bergiat bersama nelayan kecil di Aceh, mengatakan betapa kebijakan yang dikembangkan untuk membantu para nelayan korban tsumani di Aceh asal-asalan dan sekadar memenuhi target.

"Bayangkan, semua berlomba membangun kapal bagi para nelayan, tapi tidak dipikirkan kalau nanti mereka sudah berproduksi hasilnya mau disimpan dimana, karena di sana tidak ada cold storage. Kemudian pasarnya di mana karena jelas daya beli juga tidak besar. Kalau kapal-kapal itu mengalami kerusakan mesin apakah tersedia suku cadangnya?" katanya.

Bahkan, dia memperlihatkan sejumlah bukti bahwa kapal-kapal bantuan bagi nelayan yang disediakan oleh Departemen Sosial ternyata asal saja pembuatannya, menggunakan kayu berkualitas buruk, sehingga risiko rusak atau kecelakaan di laut sangat besar.


Tidak Efisien

Ketua HNSI Sumiaryoso Sumiskun, mengatakan kalau pernah dilaporkan bahwa nilai ekspor perikanan kita tahun 2004 mencapai US$ 5 miliar itu bohong, karena pada kenyataannya nilai itu tidak lebih dari US$ 1,6 miliar. Kalau iklim industri perikanan kita kondusif, maka investasi asing pasti masuk. Sehingga yang harus dilakukan adalah: undang presiden untuk duduk bersama dan mendiskusikan masalah ini.

Sebab, industri perikanan dan kelautan kita sangat tidak efisien, misalnya: pembangunan kapal-kapal nelayan kita menggunakan bahan-bahan yang kurang bermutu sehingga risiko kecelakaan di laut sangat besar, penggunaan mesin mobil untuk kapal juga berbahaya, karena seharusnya yang digunakan adalah marine engine. Begitu pun pungutan di laut sangat banyak. Sebuah kapal ikan harus membayar 14 pos pungutan liar di laut dalam perjalanan dari Muara Baru sampai ke Merak.

Jadi, katanya, kalau sekarang para nelayan kita menjerit ketika harus melaut dengan harga solar yang mendekati harga internasional, maka itu memperlihatkan ada yang tidak efisien pada sektor perikanan kita, karena di berbagai belahan dunia mana pun, para nelayan menangkap ikan dengan BBM harga internasional.

Karenanya, dia mendesak agar segera diakhiri egoisme sektoral di bidang perikanan ini karena sudah sangat gawat situasinya, katanya seraya menambahkan. Inpres No 5/2005 harus terus diurai lagi, jangan berhenti. (kristanto hartadi)

Kamis, 13 Oktober 2005

Geliat Perikanan Dan Kelautan Dalam Perkreditan Bank Di Kalsel

Tanggal : 13 Oktober 2005
Sumber : http://www.indomedia.com/bpost/102005/13/opini/opini1.htm
Oleh: Duddy Iskandar MBM PhD


Menyikapi perkembangan ekonomi Kalsel yang tumbuh sedikit moderat beberapa tahun belakangan dan terakhir mencatat 4,91 persen per tahun pada 2004, Pemprop Kalsel mulai membangun lebih banyak kesempatan berusaha bagi masyarakat dengan menyediakan peluang di berbagai sektor usaha yang belum banyak digarap.

Dalam lima tahun terakhir, salah satu sektor yang giat dikembangkan adalah pertanian subsektor perikanan dan kelautan. Bahkan acungan jempol patut ditujukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel yang selama beberapa tahun terakhir aktif mengembangkan potensi perikanan dan hasil laut, serta membina masyarakat usaha kecil dan menengah untuk menggairahkan usaha di bidang perikanan dan kelautan.

Selama lima tahun hingga akhir 2004, produksi penangkapan ikan meningkat rata-rata sebesar 3,2 - 4 persen per tahun. Walaupun produksi perikanan air tawar justru menurun 1,5 - 2 persen per tahun, namun produksi perikanan darat (inland fisheries) meningkat cukup tajam dan mencatat angka 12,6 - 13,2 persen per tahun. Ini seiring pembangunan dan perluasan kolam ikan yang tumbuh sebesar 10,2 - 10,5 persen per tahun.

Untuk menggalakkan minat masyarakat dalam berusaha di bidang perikanan dan kelautan, pemprop dan kabupaten/kota mulai mengenalkan teknik budidaya ikan kerapu (groupers) dan rumput laut di Pulau Laut, Kotabaru. Rencana pengenalan informasi tentang teknik budibaya ikan kerapu dan rumput laut ini, didahului pembangunan kolam percontohan untuk proyek eksperimen di Kabupaten Kotabaru. Hanya, bibit ikan kerapu masih didatangkan dari Stasiun Percobaan Penetasan Bali (Bali Hatchery Experiment Station) yang bekerja sama dengan ahli dari JICA (Japan International Cooperation Agency).

Produksi udang dengan tiga sistem produksi di Kalsel, dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan angka menggembirakan. Angka kontribusi tertinggi disumbang produksi udang laut yang mencatat porsi lebih dari 80 persen, sedangkan udang tambak hanya sekitar lima persen dan sisanya udang air tawar. Dalam dasawarsa yang sama, dari sisi pertumbuhan produksi, pertambakan udang mencatat peningkatan rata-rata lebih 17 persen per tahun. Sedangkan produksi udang laut meningkat lebih dari tujuh persen per tahun, tetapi produksi udang air tawar justru menurun sekitar tujuh persen per tahun. Daerah penyumbang produksi udang terbesar adalah Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru yang ketiganya memiliki area kolam air payau terbesar. Di tiga daerah ini, total area pertambakan udang terus meningkat dan hingga akhir 2004 mencatat lebih 100 hektare kolam baru.

Di sisi lain, budidaya rumput laut seharusnya juga dipandang sebagai industri yang menjanjikan. Konsumsi industri carrageenan dunia terhadap rumput laut terus meningkat secara signifikan, yaitu lebih 100.000 ton (kering) per tahun. Di pasar internasional, Indonesia masih harus bersaing dengan negara lain, khususnya Filipina sebagai produsen eucheuma terbesar di dunia. Filipina memasok sekitar 21 persen dan Indonesia 15 persen dari total permintaan dunia terhadap carrageenan bearing weeds. Sayangnya, hingga saat ini produk rumput laut dari Kalsel belum dapat memenuhi permintaan pasar tersebut.

Ini menunjukkan pasar dunia masih terbuka bagi Indonesia, dan budidaya rumput laut sangat menjanjikan. Meskipun secara teknis budidayanya relatif mudah, namun untuk kepentingan pasar lebih luas, petani perlu memperoleh bantuan teknis berupa penyuluhan teknik budidaya pengembangan rumput laut sesuai standar kualitas yang diminta pasar. Budidaya rumput laut ini sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Kotabaru.

Pusat pasar lokal untuk rumput laut adalah Surabaya (Jatim) dan Takalar (Sulsel). Melihat permintaan lokal, pasar Surabaya lebih dapat menyerap produk Kotabaru karena jenis yang saat ini banyak diproduksi adalah eucheuma untuk carrageenan. Sementara yang diminta Takalar jenis gracilaria, digunakan sebagai bahan utama pembuatan agar-agar. Dengan adanya dua pasar lokal yang berbeda, budidaya rumput laut di Kotabaru berpotensi besar dikembangkan untuk pasar lokal tanpa harus khawatir bersaing dengan Takalar. Dalam jangka panjang, budidaya rumput laut di Kotabaru seharusnya dapat memasok kebutuhan pasar dunia.

Satu hal yang perlu dicatat dari seluruh kinerja perikanan dan kelautan adalah, secara rasio produksi udang terus menurun dibanding produksi perikanan lain. Dalam lima tahun terakhir, rasio produksi udang terus turun hingga sekitar enam persen per tahun untuk spesies udang windu, putih, dogol dan barong. Sedangkan rasio produksi udang tersebut terhadap produksi perikanan lain turun sekitar delapan persen. Untuk udang galah, tawar, grogo dan lainnya turun dua persen per tahun. Secara total, produksi udang dari kedua kelompok spesies dimaksud terhadap produksi perikanan laut lainnya turun sekitar tiga persen per tahun. Ini menunjukkan, penanganan produksi udang di Kalsel perlu diintensifkan, karena secara nasional produk udang Kalsel sudah dikenal luas. Di sisi lain, produksi perikanan terutama ikan laut, terus menunjukkan angka yang menggembirakan.

Menyikapi pertumbuhan permintaan dunia pada hasil perikanan dan kelautan serta peningkatan produksinya, satu hal yang harus dicermati adalah sikap kehati-hatian petani terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pengawetan produk. Tercatat, Uni Eropa menolak ekspor subsektor perikanan dan kelautan Indonesia karena terbukti menggunakan bahan pengawet berbahaya (hazardous material) seperti formalin, borax, pewarna untuk bahan tekstil dan lainnya sebagai campuran bahan pengawet ikan dan hasil laut lain. Untuk itu, pengembangan industri subsektor perikanan dan kelautan Kalsel harus mewaspadai penggunaan bahan berbahaya tersebut dan penyuluhan intensif kepada petani sehingga produksinya tidak terbuang sia-sia karena tidak diterima pasar, termasuk pasar dalam negeri.


Pembiayaan Perbankan

Budidaya perikanan termasuk udang dan rumput laut yang terus menggeliat, tidak dapat dilepaskan dari pembangunan prasarana dan sarana pengembangan produksi. Dalam konteks makro, pemprop dan atau kabupaten/kota perlu menyediakan sarana transportasi, kelistrikan dan air bersih yang memadai. Tujuan utamanya, pembentukan harga (pricing measures) dan menciptakan daya saing produk serta mengundang investasi baik domestik maupun asing.

Strategi pricing yang diawali dari aktivitas petani memerlukan unsur efisiensi untuk mengangkat daya saing produk, sehingga pada saatnya menjadi layak dijual ke pasar dengan harga kompetitif. Di lain pihak, mengingat potensi subsektor ini dapat dikembangkan di area yang tersedia seluas 48.596 hektare dari total luas 53.382 hektare area air payau untuk tambak udang dan area yang sangat luas di sepanjang pantai Kalsel untuk budidaya perikanan laut dan sisi selatan dan timur Pulau Laut untuk rumput laut, maka teknik budidaya subsektor ini menjadi kunci sukses pengembangan.

Teknik budidaya perikanan menjadi sangat penting untuk menjamin bahwa petani telah menjalankan kegiatan usahanya secara benar, produktif dan ‘aman’. Dari sini secara sinergi seharusnya produk perikanan dan kelautan Kalsel dapat membangun keunggulan komparatif relatif terhadap propinsi lain dan negara pesaing. Beberapa faktor komparatif yang dimiliki adalah fakta, pemprop telah membangun fasilitas pengembangan perikanan berupa: Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan di Banjarbaru; Infrastruktur penanganan kualitas produk berupa Pasar Ikan di Desa Handil Bakti, Kabupaten Barito Kuala; Pelabuhan khusus pendaratan ikan di Kecamatan Kintap, Tala; Jalan menuju lokasi budidaya air payau relatif cukup baik dari segi ekonomi.

Meskipun beberapa fasilitas penunjang subsektor perikanan dan kelautan telah dibangun, namun mengingat potensi besar yang belum digarap maka pemprop perlu memprogram pengembangan budidaya perikanan dan hasil laut lebih intensif, selain yang sudah ada di pantai Kintap dan Pagatan. Beberapa lokasi potensial untuk pengembangan subsektor ini: 1. Untuk sub-subsektor perikanan: a. Perikanan laut: Muara Sungai Barito hingga Aluh-aluh Besar, Kurau, Tabonio, Takisung, Batakan, daerah Tanjung Selatan hingga Jorong, Asam-asam, Sebamban, Pagatan, daerah selatan Teluk Kemuning, Tanjung Saloka, daerah Rantau Panjang, Sungai Bali, Sungai Anyar, daerah utara Palawan, daerah tenggara Samalantakan; b. Perikanan tambak: Satui, sepanjang pantai Palawan, sepanjang pantai teluk Samalantakan. 2. Untuk aub-subsektor rumput laut: Sepanjang pantai laut Kotabaru dan Stagen.

Dari sisi pembiayaan, beberapa aspek perlu dipertimbangkan untuk meyakinkan sektor perbankan bahwa usaha di subsektor perikanan dan kelautan dapat menunjukkan konsistensi dan kelangsungan produksi. Beberapa aspek dimaksud, antara lain tetapi tidak terbatas, pada:

Pertama
, aspek konsistensi dan kelangsungan produksi yang diderivasi dari pemberdayaan sisi penyediaan bahan baku seperti bibit/benih dan teknis produksi, sehingga mampu menjadi awal pertimbangan kelangsungan pendapatan dari hasil penjualan produk. Dari sisi komersial, teknis produksi dapat dilihat, antara lain dari pertumbuhan produksi dan catatan kesehatan usaha dan produk usaha. Ini didasari pertimbangan, industri perikanan dan kelautan Kalsel masih dianggap sebagai infant industry. Alasannya, walaupun usaha perikanan dan kelautan sudah ada sejak dahulu, tetapi perhatian serius dari pemprop dan kabupaten/kota belum dominan dibandingkan terhadap sektor ekonomi lain. Secara formal, pengelolaan subsektor perikanan dan kelautan baru muncul di pemerintahan nasional sejak lima tahun lalu. Oleh karena itu, metoda pengelolaan subsektor ini terutama di Kalsel, masih diwarnai pengelolaan secara tradisional dan berskala kecil. Namun ini tidak berarti mengecilkan arti perusahaan pengolahan ikan dan hasil laut, yang bahkan telah memiliki cold storage di beberapa tempat di KalSel.

Kedua, metoda pricing yang tepat dan dapat bersinergi dengan aspek teknis produksi sehingga mampu menjadikan produk perikanan dan kelautan kompetitif di pasar. Hal inti dari product pricing sebagai pertimbangan perbankan dalam pembiayaan usaha adalah kemampuan pengusaha untuk memperoleh laba secara konsisten dan berkelanjutan dari produk yang dijual. Konsistensi dan kelangsungan perolehan laba merupakan jaminan pengembalian pembiayaan dari perbankan tidak akan mengalami gangguan, termasuk gangguan kelangsungan produksi. Oleh karena itu, secara makro industri perikanan dan kelautan perlu ditunjang infrastruktur produksi memadai dari pemprop dan kabupaten/kota termasuk pemeliharaannya, sehingga seluruh aspek produksi perikanan dan kelautan dapat dijalankan secara efisien (low cost economy).

Ketiga, salah satu aspek penting dalam penentuan kelayakan pembiayaan usaha oleh perbankan adalah pemasaran produk. Aspek ini meliputi lima faktor penting, yaitu produk berkualitas (product), kemasan menarik dan aman (packaging), program peningkatan diseminasi informasi produk (promotion), harga yang kompetitif (price), penempatan pada pasar dan lokasi yang tepat (placement). Dengan kelima aspek ini, produk usaha harus dapat dipasarkan secara berkesinambungan atau bahkan menciptakan pasar baru guna menjamin kelangsungan produksi. Hasil pemasaran harus dapat menciptakan tingkat penjualan produk yang meningkat secara berkelanjutan, sehingga memperoleh predikat diterima (accepted) pasar.

Pertimbangan perbankan untuk hal ini adalah perhitungan tingkat turn over produk (rasio perputaran produk per periode) yang harus dapat menunjang perolehan laba perusahaan, dan karenanya menjamin kelancaran pengembalian pembiayaan dari perbankan. Untuk industri yang tergolong infant di Kalsel, aspek pemasaran seharusnya dapat difasilitasi pemprop melalui program pengenalan pasar kepada pengusaha. Momen ini juga bagus untuk mencari tahu kebutuhan riil pasar terhadap kuantitas dan kualitas produk.

Keempat, aspek penting lain yang memungkinkan perbankan menyalurkan pembiayaan kepada subsektor perikanan dan kelautan adalah kejelasan identitas usaha. Identitas usaha merupakan hal biasa dalam dunia bisnis, terutama yang berhubungan dengan layanan perbankan. Bahkan untuk dapat memperoleh pasar, identitas usaha diperlukan guna menjamin kelangsungan pasokan kepada pasar. Identitas usaha yang berkaitan dengan pembiayaan perbankan melibatkan pengakuan dari berbagai instansi. Misalnya surat izin usaha, status kepemilikan lokasi (lahan) usaha, NPWP, yang diterbitkan instansi terkait. Identitas usaha berfungsi sebagai aspek hukum yang harus diperhitungkan dalam bisnis, dan berstatus sebagai brand name (merk) dari sisi kelayakan/bonafiditas/kredibilitas pengusaha.

Sebagai penutup, dapat dilihat ilustrasi perbandingan pembiayaan perbankan kepada sektor pertanian termasuk subsektor perikanan dan kelautan baik secara nasional maupun khusus Kalsel. Semoga pertumbuhan produksi subsektor perikanan dan kelautan Kalsel semakin sukses dan maju pesat. Amin.

Pengamat Ekonomi dan Pariwisata LPPM Ganusa Jakarta