Senin, 18 Desember 2006

Bakorkamla, ”Coast Guard”, Keamanan Maritim

Tanggal : 18 Desember 2006
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0612/18/opi01.html
Oleh
Alman Helvas Ali

Dalam beberapa waktu terakhir, wacana pembentukan Penjaga Pantai (Coast Guard) di Indonesia mengemuka di kalangan terkait. ALRI bersama para pemangku kepentingan di laut sebagai salah satu penggagas berupaya mensosialisasikan tentang pembentukan Penjaga Pantai kepada pihak-pihak terkait, sebagaimana dilakukan dalam seminar tentang Pendirian Penjaga Pantai pada 13 Desember 2006 di Jakarta. Wacana pembentukan Penjaga Pantai sendiri tidak lepas dari konteks keamanan maritim di kawasan Asia Pasifik pasca 11 September 2001, khususnya di perairan yurisdiksi Indonesia.

Namun di sisi lain, pemerintah telah membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2005. Secara sepintas akan timbul banyak pertanyaan tentang eksistensi Bakorkamla dikaitkan dengan wacana pembentukan Penjaga Pantai. Tulisan ini akan membahas tentang penataan ulang manajemen keamanan nasional di laut dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.

Sudah menjadi kelaziman bahwa isu keamanan maritim tidak saja melibatkan institusi militer (baca: AL), namun juga lembaga sipil. Pelibatan lembaga sipil bukan karena ketidakmampuan AL, namun karena ada aspek-aspek dalam keamanan maritim yang secara teknis tidak berada dalam yurisdiksi Angkatan Laut. Salah satu bentuk nyatanya adalah eksistensi Penjaga Pantai di berbagai negara yang bertugas dalam bidang keamanan dan keselamatan pelayaran.

Praktek serupa sebenarnya sudah diakomodasi dalam ketentuan hukum di Indonesia sejak dahulu, misalnya dalam Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO), Staatsblad 1939 No.442. Dalam TZMKO 1939 yang masih berlaku hingga hari ini (kecuali pasal tertentu), kewenangan di bidang keamanan dan keselamatan pelayaran diberikan kepada AL dan Jawatan Pelayaran. Namun seiring dengan berjalannya waktu, banyak undang-undang lain yang lahir di kemudian hari tidak mengacu kepada TZMKO 1939, sehingga membuat manajemen keamanan nasional di laut carut marut.


Kegagalan Bakorkamla

Sebagai contoh, setidaknya ada 12 instansi saat ini yang beroperasi di laut dan ada gelagat instansi-instansi darat lainnya akan pula melebarkan kewenangannya ke laut. Padahal di sisi lain, secara yuridis rezim hukum di darat tidak sama dengan rezim hukum di laut, sehingga tidak secara otomatis hukum yang berlaku di darat berlaku pula di laut. Penting untuk dipahami bahwa rezim hukum laut menganut bendera kapal sebagai subyeknya, bukan warga negara.

Manajemen semakin kacau setelah terbit Peraturan Presiden No.81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Berdasarkan pengalaman di masa lalu, Bakorkamla tidak akan efektif menangani keamanan maritim karena dia hanya lembaga koordinasi. Eksistensi Bakorkamla tidak menghilangkan kewenangan instansi laut untuk beroperasi di laut dan di situlah kunci kegagalan Bakorkamla lama yang dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Hankam/Pangab, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung pada 1972.

Namun kegagalan Bakorkamla di masa lalu sepertinya tidak menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk menata kembali manajemen keamanan nasional di laut. Justru sebaliknya pemerintah membuat Bakorkamla baru yang dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden. Apabila dikaji secara mendalam, secara operasional tidak ada perbedaan antara Bakorkamla 1972 dengan Bakorkamla 2005 sebab lembaga itu tetap mengandalkan aset operasional pada instansi yang sudah lama eksis. Perbedaannya antara Bakorkamla 1972 dengan Bakorkamla 2005 hanyalah pada dasar hukum yang berkonsekuensi pada anggaran.

Eksistensi Bakorkamla adalah salah satu kendala bagi pembentukan Penjaga Pantai. Apalagi ada pemikiran di sebagian kalangan bahwa penataan ulang manajemen keamanan nasional di laut secara operasional berarti penyederhanaan aktor yang berkecimpung di laut. Secara ekstrim cukup hanya dua aktor yang berperan dalam mengamankan kepentingan nasional di laut, yaitu AL dan Penjaga Pantai.

Penjaga Pantai adalah lembaga sipil yang berada di bawah Menteri Perhubungan yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan pelayaran. Secara tradisional, Penjaga Pantai merupakan kekuatan cadangan AL, sehingga tak aneh bila mempunyai kemiripan tradisi, tanda pangkat, penyebutan pangkat dan lain sebagainya dengan AL.


Proses Legislasi

Malaysia yang menarik pelajaran tentang kegagalan Bakorkamla di Indonesia, membentuk suatu institusi sipil tunggal semacam Penjaga Pantai yang bernama Maritime Enforcement Agency (MEA). Pembentukan MEA di Malaysia merupakan satu paket penataan manajemen keamanan lautnya, karena ada sekitar 11 instansi yang dilebur jadi satu di dalam organisasi baru. Peleburan 11 instansi itu sudah pasti melalui pula proses legislasi di parlemen, karena undang-undang di Malaysia tentang kewenangan di laut tidak jauh berbeda dengan Indonesia yaitu melibatkan banyak instansi.

Berangkat dari pemikiran bahwa instansi sipil yang menangani keamanan dan keselamatan pelayaran ke depan di Indonesia hanyalah Penjaga Pantai, DPR perlu diberikan pemahaman yang benar tentang kondisi manajemen keamanan nasional di laut saat ini yang carut marut. Hal ini sangat mendasar karena DPR merupakan salah satu aktor penting dalam penataan ulang manajemen keamanan nasional di laut. Singkatnya, perlu peran DPR untuk mengubah sekitar 12 undang-undang yang mengatur tentang kewenangan instansi di laut.

Proses legislasi di DPR akan merupakan proses yang panjang dan melelahkan, karena sudah pasti ada aktor tertentu yang tidak rela “ditendang” dari laut meskipun dia bukan aktor laut. Masalah kini kembali ke DPR, partai politik dan pemerintah sendiri, apakah semuanya sepakat menata kembali manajemen keamanan nasional di laut? Semestinya ketiga pihak ini setuju karena agendanya terkait dengan kepentingan nasional, kecuali kalau memang ada pihak tertentu yang sudah merasakan ”manisnya” laut sehingga resisten terhadap ide tersebut.

Sebagai simbol negara di laut, Pengawal Pantai harus mempunyai kewenangan hukum yang kuat. Direktorat Penjagaan dan Penyelamatan (dulu Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai/KPLP) yang oleh sebagian pihak digadang-gadang sebagai embrio Pengawal Pantai hanya memiliki kewenangan hukum yang sangat terbatas. Di situlah pentingnya peran DPR dalam proses legislasi untuk menata ulang manajemen keamanan nasional di laut.

Penulis adalah analis kekuatan laut dan keamanan maritim.

Minggu, 10 Desember 2006

Dampak Sirkulasi Air Pendingin Terhadap Ekosistem Laut

Tanggal : 10 Desember 2006
Sumber : http://lautanku.wordpress.com/category/opini/
Oleh Putri

Satu lagi seminar yang saya hadiri saat di Indonesia bulan kemarin. Seminar “Dampak Sirkulasi Air Pendingin terhadap Ekosistem Laut” yang diadakan oleh Jurusan Teknik Lingkungan ITB bekerja sama dengan PT Power Indonesia (anak perusahaan PLN) dan sebagai pelaksananya adalah Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ini bertempat di Aula Barat ITBmendadak juga :D pada tanggal 23 November 2006. Pada seminar ini saya hanya sebagai pendengar, itupun

Latar belakang seminar ini adalah rencana pembangunan kelistrikan Indonesia khususnya di Jawa, Madura, dan Bali dengan target total 10000 MW. Wow..bukan suatu yang kecil kan? Dan itu akan diimplentasikan ke banyak PLTU yang akan dibangun sepanjang pantai barat pulau Jawa hingga ke Bali. Sementara kita tahu sistem pembangkit listrik tenaga uap memerlukan air pendingin sebagai penggerak turbin dan hasil pembuangan yang keluar adalah air dengan suhu yang meningkat dapat lebih dari 8-10°C, yang tentunya meninggkat dari suhu air laut sekitarnya.

Inti dari seminar ini bertujuan untuk melihat seberapa besar limbah panas buangan dari suatu sistem PLTU dan bagaimana akibatnya terhadap lingkungan laut itu sendiri. Keterbatasan yang ada adalah belum adanya ketentuan batas baku mutu air limbah panas ini dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia. Dari banyaknya sebab dan akibat, serta keterbatasan itu yang diinginkan adalah pertimbangan penentuan batas baku mutu air limbah panas, solusi pengurangan dampak negatifnya hasil buangan limbah panas tersebut beserta perhitungan nominal jika solusi diberikan.

Tidak semua materi akan saya ulas disini, karena terus terang saya tidak punya ilmu tentang mesin pembangkit listrik ini, sehingga tidak banyak tahu. Demikian juga mengenai perhitungan secara ekonomis, untung dan ruginya pengelolaan yang dilakukan PT Power Indonesia dengan kenaikan setiap 1°C air lautnya. Berhubung saya bidangnya ‘cuma’ modelling oseanografi, maka tentang model yang ingin saya ulas disini. Jika ada yang berminat pembahasan yang lain, saya dapat CD semua presentasinya. Bisa diminta via email ke saya atau ke panitianya langsung (hehe.. )

Ada 2 peserta memberikan pendekatan hasil perhitungan penyebaran limbah panas ini berdasarkan model matematika 2D yang salah satunya dilakukan di Program Studi OseanografiDr. Dadang K. Mihardja dan tim Dr. Hang Tuah dari Jurusan Sipil (atau Teknik Kelautan ya? saya gak yakin..hehe harap maklum dah lama tidak berhubungan dengan orang dari jurusan lain) ITB. Untuk perairan laut Jawa pendekatan model 2D ini masih bisa diterima karena daerah perairan dangkal dan dapat dikatakan tercampur sempurna. Demikian juga tenaga penggerak angin yang relatif konstan di perairan laut Jawa sesuai musim yang berlangsung. oleh tim

Namun menjadi lain jika ada ketidakseimbangan akibat temperatur air yang dibuang lebih tinggi dibandingkan dengan air laut sekitar dalam hitungan waktu (debit outletnya). Tentunya hal lain yang menjadi penting harus kita tinjau adalah mixing zone daerah percampuran akibat temperatur tinggi yang rasanya kurang tepat jika ditinjau hanya menggunakan model 2D. Percampuran vertikal perlapisan juga akan menjadi signifikan. Belum lagi interaksi dengan atmosfer yang dapat dikatakan perubahan per waktu (jam-nya) bisa menjadi penting, dimana suhu udara, kelembaban, besarnya kecepatan angin termasuk faktor yang dominan didaerah mixing ini. Perubahan densitas air laut sendiri akan berubah akibat penambahan suhu air buangan ini ke laut, yang tentunya juga dapat mengubah sirkulasi air lautnya.

Di perairan bagian barat (Selat Sunda) hingga sepanjang selatan Pulau Jawa yang termasuk Samudra Hindia (laut dalam), tentunya pendekatan dengan 2D menjadi lebih tidak signifikan lagi. Model 3D baroklinik sangat diperlukan disini, sehingga tinjauan perubahan densitas, perubahan kecepatan angin, dan perubahan sirkulasi air lautnya dapat disimulasikan dengan baik dan mendekati kondisi fisik air lautnya.

Pertimbangan seperti itu rasanya diperlukan untuk memberikan informasi lingkungan yang lebih akurat.

(note : tidak ada foto dari seminar ini, karena mendadak dan kebetulan tidak bawa kamera)