Kamis, 29 November 2007

Pemulihan Kawasan Pesisir Bukan dengan Reklamasi

Tanggal : 29 November 2007
Sumber : http://www.suarapublik.org/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=28


Jakarta, Kompas - Ekosistem di kawasan pesisir Indonesia dalam kondisi kritis ditandai dengan laju kerusakan mangrove yang tak terkendali. Rusaknya ekosistem di pesisir sudah menuai ongkos sosial dan lingkungan berupa bencana banjir, abrasi, intrusi air laut, dan rusaknya biota di perairan. Berdasarkan catatan Departemen Kehutanan, di sepanjang garis pantai Indonesia yaitu, 81.000 kilometer sejatinya ditumbuhi ekosistem mangrove seluas 9,36 juta hektar (9.361.957,59 hektar).

Akan tetapi, hasil identifikasi Dephut tahun 2000, hanya tersisa 2,5 juta hektar (2.548.209,42 hektar) mangrove yang kondisinya tergolong baik. Dengan demikian, areal mangrove yang rusak sudah mencapai sekitar 70 persen.

Mangrove berperan sebagai peredam gelombang laut dan angin, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimentasi.

Potret kerusakan pesisir, termasuk ekosistem mangrove, sudah bisa dirasakan dampaknya ketika banjir akibat gelombang pasang air laut terjadi di utara Jakarta awal pekan ini.

Tegakan bakau yang bisa disaksikan saat ini hanya terlihat sedikit di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke dan kawasan taman wisata alam Angke Kapuk, yang luas tegakkan bakaunya tinggal sekitar 9 hektar, yang secara ekologis tidak lagi bisa berfungsi

Penyebab kerusakan kawasan pesisir selama ini yaitu karena reklamasi, pencemaran, konversi menjadi tambak, juga penebangan bakau untuk dijadikan arang.

Akan tetapi, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan sembilan pengembang justru tengah merealisasikan proyek mercusuar reklamasi pantai utara Jakarta.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 telah menyatakan ketidaklayakan lingkungan proyek tersebut. Namun, Pemprov dan DPRD tetap bersikeras mengizinkan proyek itu.

Reklamasi tersebut akan menguruk pantai sedalam delapan meter, selebar dua kilometer dari garis pantai, dan sepanjang 30 km kawasan pesisir. Rencananya, di atas lahan reklamasi itu akan digunakan untuk berbagai kegiatan bisnis dan perumahan penduduk untuk 750.000 jiwa.

Bukan Reklamasi

Khalisah Khalid dari Walhi Jakarta mengatakan, proyek itu hanya akan menuai kerugian ekologi hingga Rp 3,499 triliun dan menggusur 125.000 nelayan.

Muhammad Ilman dari Wetland International menegaskan, pemulihan kawasan pesisir tidak bisa dijawab dengan reklamasi. Hal itu justru akan memperparah kondisi pesisir.

Bambang Supiyanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan juga mengatakan, pemulihan kawasan pesisir, khususnya di Jakarta, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan ekonomi. "Sebab tidak sepadan dengan ongkos akibat dampaknya. Namun, pemeliharaan lingkungan itu masih dianggap cost center," ujarnya.

Direktur Pemukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Basah Hernowo mengatakan, merujuk Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pencabutan dan pembatalan izin, bahkan pembongkaran bangunan bisa dilakukan bila properti merugikan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Baik pemberi izin maupun penerima izin bisa dikenakan sanksi pidana denda bahkan penjara bila properti memang merusak lingkungan.

Pemprov Mengakui

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengakui adanya kesalahan perencanaan tata ruang di masa lalu. "Saat ini, kita mengadapi konsekuensi dari naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Tidak perlu saling menyalahkan tata ruang di masa lalu tetapi kita harus mencari cara untuk mengatasinya," kata Fauzi.

Saat ini, Jalan Tol Prof Sedijatmo, Bandara Soekarno-Hatta pada kilometer 27 masih menghadapi ancaman banjir dari kawasan tambak rakyat akibat air laut pasang. Namun, dalam jangka pendek PT Jasa Marga masih belum berniat membangun tanggul pembatas tepian tambak dan jalan tanah. Rabu siang (28/11), titik lokasi awal meluapnya air tambak karena laut pasang ke jalan tol hanya ditutup dengan tumpukan deretan karung berisi tanah setinggi 20 sentimeter.

Korban Masih Terlantar

Sementara itu, Sekitar 300 warga RT 06 / RW 01 Kamal Muara Penjaringan Jakarta Utara yang mengungsi di tenda darurat akibat banjir Senin lalu kondisinya cukup memprihatinkan. Bantuan air minum serta obat-obatan masih minim sehingga mengakibatkan puluhan balita terserang penyakit.

"Hingga hari ini, kami hanya mendapat satu bantuan dos air minum kemasan gelas. Bahkan, obat-obatan sama sekali kami belum dapat. Padahal banyak balita sudah sakit demam, diare dan gatal-gatal," ujar Ketua RT 06/01, Muksin.

Warga juga mengeluh karena tidak bisa lagi mencari nafkah. "Saya sudah tidak punya uang lagi karena tiga hari tidak melaut," ujar Udin (42) warga RT 2 / RW 1 Dadap Kosambi.

Sementara itu, sebagian besar nelayan di Muara Baru tinggal di RT 19 dan RT 20, yang merupakan wilayah terparah dari sembilan RT yang ada di sana. Sekitar 20 rumah di wilayah itu rusak.

Untuk mengatasi banjir di Jakarta Utara yang ditimbulkan limpasan gelombang air pasang, Fauzi Bowo mengatakan, polder untuk mengatasi limpasan gelombang air pasang seharusnya berlapis sehingga mampu menampung dan memompa air kembali ke laut, saat mulai surut. Cara itu meniru sistem di Belanda. (SF/ECA/WIN/A04/A05/A08/)

Sumber. Kompas

Kamis, 22 November 2007

Pemanasan Global dan Adaptasi Pertanian

Tanggal : 22 september 2007
Sumber : http://2tech.biz/opini/pertanian/pemanasan-global-dan-adaptasi-pertanian-24/


Luas total daratan Indonesia 1,9 juta kilometer persegi, terbagi atas 17 ribu pulau. Luas lautan mencapai 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona ekonomi eksklusif. Ibukota negara dan hampir semua ibukota provinsi berada di wilayah pantai dan 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir dengan panjang pantai total sekitar 81 ribu kilometer. Secara geografis, posisi Indonesia semacam ini rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Bagi Indonesia, dampak perubahan iklim akibat pemanasan global sudah lama kita rasakan. Jika dulu kita diajarkan musim kemarau berlangsung April-Oktober dan musim penghujan terjadi November-Maret, sekarang tidak lagi. Riset jangka panjang (Irianto, 2003) menyimpulkan, sejak 1990-an musim kemarau mengalami percepatan 4 dasarian (40 hari), dan musim hujan bisa mundur sampai 4 dasarian. Artinya, kemarau menjadi lebih lama 80 hari dan hari hujan berkurang 80 hari dari kondisi normal. Sedang penurunan curah hujan maksimum mencapai 21 milimeter selama 21 dasarian (210 hari).

Cuaca kian kacau, bahkan sulit diprediksi. Periode musim hujan dan musim kemarau kian kacau, sehingga pola tanam, estimasi produksi pertanian, dan persediaan pangan sulit diprediksi. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius akan menurunkan produksi pertanian Cina dan Banglades 30 persen pada tahun 2050. Dengan model IPCC, Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur rata-rata 0,10-0,3 derajat celsius per dekade.

Kenaikan suhu bumi akan membawa dampak ikutan yang luar biasa, yang tidak satu pun sendi kehidupan manusia dan makhluk hidup terbebas darinya. Produksi pangan menurun, fluktuasi dan ditribusi ketersediaan air terganggu, hama dan penyakit tanaman serta manusia menggila. Perubahan iklim akhirnya mengancam keberlanjutan kehidupan.

Pertanian Indonesia sudah merasakan dampaknya. Tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk telah memicu banjir, termasuk di area sawah. Sebagai gambaran, rentang 1995-2005, total padi yang terendam banjir seluas 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya puso. Sawah yang kekeringan seluas 2.131.579 hektare, 328.447 hektare di antaranya gagal panen. Tahun lalu, 189.773 hektare dari 577.046 hektare padi gagal panen karena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 4,6 ton gabah per hektare, pada 2006 gabah yang hilang 872.955 ton.

Indonesia dan negara berkembang lain bukanlah penyumbang terbesar pemanasan global. Penyebab pemanasan global adalah negara-negara maju. Penduduk AS, Kanada dan Eropa yang hanya 20,1 persen dari total warga dunia mengonsumsi 59,1 persen energi dunia. Sementara warga Afrika dan Amerika Latin yang 21,4 persen dari populasi dunia hanya mengonsumsi 10,3 persen. Ketidakadilan ini hendak dikoreksi Protokol Kyoto, tapi sayang sampai sekarang protokol ini tak efektif karena boikot AS dan Australia.

Pertemuan Conference of the Parties (COP) 13 Desember 2007 di Bali menjadi penting untuk merumuskan aturan baru pascaberakhirnya Protokol Kyoto pada 2012. Di luar itu, adaptasi dan mitigasi di masing-masing negara harus terus dilakukan. Untuk pertanian Indonesia, cara-cara bertani harus disesuaikan dengan situasi yang berkembang. Tanpa adaptasi, perubahan iklim akan berisiko besar. Tidak hanya produksi pangan menurun, di saat yang sama, petani akan jatuh miskin, tenaga kerja sektor pertanian menganggur, jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tak terbendung lagi. Ini akan membiakkan kerawasan sosial dan masalah baru di kota.

Mengurangi emisi
Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya ketahanan pangan, lalu kita menjadi tergantung pada pangan impor. Petani harus diyakinkan bahwa praktik bercocok tanam perlu diubah. Dengan varietas, cara tanam, dan sistem pengairan tertentu, petani bisa mengurangi emisi salah satu GRK, gas metana (CH4), dari sawah. Hasil penelitian pengaruh cara pengelolaan padi terhadap emisi CH4 di Jakenan, Jawa Tengah (Setyanto dan Abubakar, 2006), menunjukkan varietas IR-64, Memberamo, dan Way Apo Buru yang ditanam dengan pindah bisa menekan emisi CH4 berturut-turut 60 persen, 35 persen, dan 38 persen dibanding varietas Cisadane.

Secara ekonomi, Memberamo dan Way Apo Buru yang ditanam dengan cara tabur benih langsung merupakan teknologi mitigasi gas metana yang terbaik karena bisa memberi keuntungan berturut-turut 81 dolar AS dan 82 dolar AS per hektare serta mengurangi emisi CH4 sebesar 21 persen dan 29 persen. Menjadi tugas Departemen Pertanian, terutama penyuluh di lapangan, untuk meyakinkan petani agar beralih dari IR64, varietas yang banyak ditanam saat ini. Memberamo dan Way Apo Buru bukan saja efektif menekan emisi metana, tapi memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (7-9 ton per hektare) dan berumur genjah.

Di wilayah-wilayah yang lebih kering, cuaca lebih panas, petani perlu mengganti jenis tanaman yang lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu di wilayah-wilayah yang airnya amat terbatas atau lahan kering yang mengandalkan tadah hujan. Sistem pengairan sawah tidak lagi dilakukan dengan penggenangan terus-menerus, tapi cukup macak-macak. Dari uji coba lapangan, cara ini ternyata lebih hemat air dan tidak menurunkan produksi.

Terobosan lain adalah memberi informasi cuaca kepada petani selama musim tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara spesifik. Informasi cuaca sudah tersedia, bahkan kualitas prediksi cuaca terbukti lebih valid (Tempo, 6-12/8/2007). Persoalannya tinggal memperbaiki informasi cuaca dan membuatnya komunikatif, terutama bagi petani. Sejauh ini, pemanfaatan informasi cuaca masih didominasi sektor penerbangan dan militer. Bagaimana membuat petani tidak hanya bisa mengakses, tapi juga membaca cuaca dengan bahasa mereka menjadi persoalan yang perlu segera dicarikan jalan keluar. Dengan cara-cara ini petani bisa terhindar dari kerugian sekaligus menekan emisi metana.