Jumat, 30 Maret 2007

Pengembangan Energi Angin Memungkinkan

Tanggal : 30 Maret 2007
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0703/30/humaniora/3417621.htm


Bogor, Kompas - Pemanfaatan tenaga angin sebagai sumber energi di Indonesia bukan tidak mungkin dikembangkan lebih lanjut. Di tengah potensi angin melimpah di kawasan pesisir Indonesia, total kapasitas terpasang dalam sistem konversi energi angin saat ini kurang dari 800 kilowatt.

"Kecepatan angin di wilayah Indonesia umumnya di bawah 5,9 meter per detik yang secara ekonomi kurang layak untuk membangun pembangkit listrik. Namun, bukan berarti hal itu tidak bermanfaat," kata Kepala Penelitian dan Pengembangan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Nenny Sri Utami, membacakan pidato Menteri ESDM saat membuka seminar Teknologi dan Pemanfaatan Energi Angin sebagai Peluang Usaha Baru di Bogor, Rabu (28/3).

Di seluruh Indonesia, lima unit kincir angin pembangkit berkapasitas masing-masing 80 kilowatt (kW) sudah dibangun. Tahun 2007, tujuh unit dengan kapasitas sama menyusul dibangun di empat lokasi, masing-masing di Pulau Selayar tiga unit, Sulawesi Utara dua unit, dan Nusa Penida, Bali, serta Bangka Belitung, masing-masing satu unit.

Menurut Kepala Subdirektorat Usaha Energi Baru dan Terbarukan Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) ESDM Kosasih Abbas, mengacu pada kebijakan energi nasional, maka pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) harus mampu menghasilkan 250 megawatt (MW) pada tahun 2025.


Peta potensi angin

Salah satu program yang harus dilakukan sebelum mengembangkan PLTB adalah pemetaan potensi energi angin di Indonesia. Hingga sekarang, Indonesia belum memiliki peta komprehensif, karena pengembangannya butuh biaya miliaran rupiah.

Potensi energi angin di Indonesia umumnya berkecepatan lebih dari 5 meter per detik (m/detik). Hasil pemetaan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada 120 lokasi menunjukkan, beberapa wilayah memiliki kecepatan angin di atas 5 m/detik, masing-masing Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Pantai Selatan Jawa.

Adapun kecepatan angin 4 m/detik hingga 5 m/detik tergolong berskala menengah dengan potensi kapasitas 10-100 kW.

"Agar lebih bermanfaat dan tepat sasaran, harus ada data potensi energi angin yang kontinu dan akurat di lokasi terpilih dengan lama pengukuran minimal satu tahun," kata Soeripno Martosaputro dari Lapan.


Menggerakkan pompa air

Sejak empat tahun lalu, salah satu lembaga swadaya masyarakat memanfaatkan kincir angin untuk menggerakkan pompa air di beberapa wilayah, seperti di Indramayu, Jawa Barat. Hingga kini, sudah 40 kincir angin berdiri di beberapa kota/kabupaten.

"Biaya investasinya sekitar Rp 60 juta hingga beroperasi. Dengan kecepatan angin kurang dari 3 meter per detik, air yang dapat dipompa sekitar 2,7 meter kubik per jamnya," kata pengembang kincir angin untuk energi pompa air Hasan Hambali. Produknya diberi nama energi gratis (EGRA).

Salah satu kincir angin EGRA yang pertama ada di Indramayu digunakan untuk mengairi kebun mangga seluas 10 hektar. Sebelum menggunakan teknologi kincir angin, air yang dipompa menggunakan mesin diesel menghabiskan biaya solar Rp 132.000 per hari. Kini, biaya pemeliharaan kincir sekitar Rp 500.000 per tahun. (GSA)

Sabtu, 24 Maret 2007

Menuju Forum Maritim Asean

Tanggal : 24 Maret 2007
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0703/24/opi01.html

Salah satu agenda Rencana Aksi Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community) adalah membentuk Forum Maritim ASEAN yang didasarkan pada Deklarasi Bali Concord II (2003) dan Vientiane Action Program 2004-2010. Dalam rangka menyiapkan kontribusi Indonesia guna mengisi agenda Forum Maritim ASEAN, Departemen Luar Negeri pada 21 Maret 2007 mengadakan pertemuan kelompok ahli untuk menghimpun saran dan masukan menyangkut isu tersebut. Tulisan ini akan membahas tentang kesiapan partisipasi Indonesia dalam mengisi agenda Forum Maritim ASEAN.

Forum Maritim ini nantinya merupakan suatu wadah baru di dalam ASEAN sebagai tempat untuk melakukan kerja sama kawasan menangani isu-isu maritim. Pembentukan forum tersebut didasari oleh pemikiran bahwa kerja sama bidang maritim ASEAN selama ini belum ditangani secara komprehensif. Ide pembentukan Forum Maritim sebagai salah satu agenda Masyarakat Keamanan ASEAN, membutuhkan waktu yang panjang sebelum bisa diterima oleh semua negara ASEAN untuk diwujudkan.

Sebagai negara yang menduduki dua pertiga perairan Asia Tenggara, sudah pasti Indonesia mempunyai kepentingan yang lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya dalam isu maritim di kawasan. Pertanyaannya adalah bagaimana kesiapan nyata partisipasi Indonesia dalam mengisi agenda Forum Maritim ASEAN? Menyangkut pertanyaan tersebut, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi perhatian bersama.

Pertama, kepedulian maritim. Kepedulian maritim (maritime awareness) merupakan kata kunci bagi setiap bangsa untuk berjaya dalam dunia maritim. Kepedulian maritim tidak berbanding lurus dengan wilayah geografis yang didominasi perairan, namun lebih ditentukan oleh adanya kepedulian pada masyarakatnya terhadap laut. Sebagai contoh, China yang secara geografis merupakan negara kontinental, kini mulai mengarah sebagai negara maritim, antara lain ditandai munculnya armada niaga negara itu di tengah dominasi perusahaan pelayaran multinasional asal negara-negara Barat.


Fokus Kepentingan

Di Indonesia, tingkat kepedulian maritim masih minim, baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun militer. Isu maritim dalam praktiknya belum mendapat perhatian besar dari berbagai kalangan, meskipun tidak sedikit mereka berwacana soal itu. Dengan kondisi demikian, apabila tak dilakukan pembenahan, sepertinya peluang Indonesia untuk mengambil keuntungan sebesar-sebesarnya dari Forum Maritim ASEAN perlu dikalkulasi ulang.

Kedua, kepentingan Indonesia. Tak dapat dibantah bahwa Indonesia mempunyai kepentingan besar dengan Forum Maritim ASEAN. Isu maritim di Asia Tenggara secara garis besar terbagi dalam bidang keselamatan navigasi, keamanan maritim, dan lingkungan. Pertanyaannya, pada bidang mana Indonesia akan memfokuskan kepentingannya di dalam forum tersebut?

Mengikuti pendapat yang berkembang dalam pertemuan kelompok ahli yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri, sepertinya ada dua kutub pendapat menyangkut fokus kepentingan Indonesia. Satunya adalah Indonesia memfokuskan diri pada isu-isu yang tidak sensitif, seperti kerja sama di bidang lingkungan.

Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa membawa isu-isu tidak sensitif ke dalam ASEAN akan lebih mudah disetujui secara konsensus oleh semua negara anggota, sementara isu-isu sensitif akan diagendakan pada tahap berikutnya.

Pendapat lainnya, menghendaki Indonesia sebaiknya menggarap isu-isu yang lebih sensitif, seperti pada bidang keselamatan pelayaran dan keamanan maritim. Pendapat demikian berdasarkan alasan bahwa dalam realitas, kedua bidang merupakan isu maritim utama di Asia Tenggara yang senantiasa mendapat perhatian dari dunia internasional.

Oleh karena itu, tidak dapat dibantah bahwa ada kepentingan nasional vital Indonesia yang dipertaruhkan di sana. Menurut pendapat itu, fokus kepentingan Indonesia pada bidang keselamatan pelayaran dan keamanan maritim tidak berarti mengabaikan isu lingkungan.

Ketiga, sikap politik Indonesia. Sudah jelas bahwa secara eksternal, sikap politik Indonesia adalah mendukung pembentukan Forum Maritim ASEAN. Namun, sikap politik eksternal tersebut harus diikuti dengan sikap politik internal yaitu membenahi masalah manajemen nasional di laut.

Manajemen nasional di laut merupakan isu krusial bagi Indonesia guna menjalin kerjasama maritim dengan pihak luar. Masalahnya adalah belum nampak keinginan politik dari pemerintah untuk membenahi manajemen nasional di laut.


Lembaga Super

Pekerjaan rumah Indonesia adalah menyelaraskan 13 undang-undang yang memberikan kewenangan kepada 10 instansi untuk bergerak di laut menjadi hanya dua instansi saja. Penyederhanaan manajemen nasional di laut bukan berarti menghapus kewenangan tiap instansi di bidang masing-masing, namun kewenangan tersebut khusus di laut dapat dilimpahkan kepada Pengawal Laut dan Pantai sebagai satu-satunya institusi sipil yang berwenang menangani keselamatan pelayaran, keamanan maritim dan lingkungan maritim.

Dalam konteks ini, Pengawal Laut dan Pantai berperan sebagai kepanjangan tangan dari instansi teknis, namun menyangkut aspek penyidikan tetap akan dilakukan di darat oleh instansi terkait. Pembenahan berikutnya adalah peninjauan kembali terhadap eksistensi Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Eksistensi Bakorkamla jilid kedua tidak diperlukan karena justru memperumit manajemen nasional di laut. Meskipun lembaga itu dipimpin oleh petinggi militer, akan tetapi efektivitasnya lemah karena dia hanya lembaga koordinasi. Selain itu, ada kesan bahwa Bakorkamla jilid kedua seolah-olah ingin memerankan diri sebagai lembaga super di laut dengan kewenangan yang sangat luas dan terkesan ingin mensubordinatkan instansi-instansi lain.

Selain ketiga hal tersebut, ada baiknya bila Indonesia tak melewatkan pula soal arsitektur keamanan kawasan. Dalam arsitektur keamanan kawasan, di Asia Tenggara terdapat organisasi regional selain ASEAN, yaitu Five Power Defence Arrangement (FPDA) yang beranggotakan Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura. Secara nyata, FPDA adalah aktor keamanan Asia Tenggara saat ini, di tengah eksistensi ASEAN yang selama 40 tahun terakhir berupaya menghindari kerja sama dalam isu-isu keamanan.

Bagi beberapa negara ASEAN, kehadiran FPDA memang menguntungkan mereka, namun dari persepsi beberapa pihak di Indonesia, FPDA menjadi semacam duri dalam daging di ASEAN. Menyangkut isu maritim, sejak 2004 FPDA telah memperluas perannya di kawasan dengan tajuk FPDA Extended Role On Maritime Terrorism.

Pertanyaannya adalah apakah nantinya tidak akan terjadi tumpang tindih kepentingan antara Forum Maritim ASEAN dengan FPDA, khususnya menyangkut isu sensitif seperti keamanan maritim? Sebagai pemilik perairan yang paling luas dan dengan jumlah penduduk terbanyak yang berkepentingan atas perairan tersebut, Indonesia harus bisa lebih keras berbicara.

Penulis adalah analis kekuatan laut dan keamanan maritim.