Sabtu, 08 Juni 2013

Reinventarisasi pulau-pulau kecil terluar

Tanggal : 13 Juni 2007
Oleh : Ketut Wikantika dan Rahma Hanifa
BERITA AMBALAT menjadi berita utama di media cetak maupun elektronik beberapa waktu lalu. Blok Ambalat khususnya “Block ND6 dan Block ND7” yang luasnya hampir sama dengan luas Jawa Barat menjadi pusat perhatian karena diklaim oleh Malaysia sebagai bagian dari wilayahnya. Dan Malaysia pun tidak sekedar klaim karena berdasarkan peta wilayah Malaysia tahun 1979 telah memasukkan Ambalat ke dalam wilayah Malaysia serta berdasarkan the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone 1958, the Continental Self Convention 1958. Tetapi klaim Malaysia ditolak tegas Indonesia karena tidak mengakui peta wilayah Malaysia tahun 1979 (peta ini juga digunakan oleh Malaysia dalam mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan), dan seharusnya Malaysia tidak menggunakan the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone 1958, melainkan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 khususnya pasal 83 karena Indonesia dan Malaysia sama-sama telah meratifikasinya. Selain itu, menurut pakar hukum laut internasional, Hasyim Djalal, Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim Malaysia merupakan kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan Timur. Antara Sabah, Malaysia, dan kedua blok itu terdapat laut dalam yang tak mungkin bisa dikatakan bahwa kedua blok itu kelanjutan alamiah Sabah. Kelanjutan alamiah dari daratan merupakan kewenangan negara atas wilayah laut yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Untuk itu, Indonesia harus dapat membuktikan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur bukan kelanjutan alamiah dari Sabah tetapi merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur. Pada dasarnya penetapan batas laut antar negara (maritime delimitation) harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan bilateral atau multilateral bukan bersifat unilateral. Perlu dicatat bahwa sengketa Ambalat tidak bisa diajukan ke Mahkamah Internasional jika salah satu negara menolaknya.

Konvensi Hukum Laut Internasional 1982

Secara formal, Indonesia telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai Negara Kepulauan yang secara tertulis tertuang dalam konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (United Nations Convention On the Law Of the Sea) pada tahun 1982, dan telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang No. 17 tahun 1985. Sebagai konsekuensinya, Indonesia mempunyai tanggungjawab untuk memperjelas dan menegaskan batas wilayahnya dalam bentuk peta dengan skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan disertai referensi datum geodetis yang diperlukan, menggambarkan perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen wilayah perairan Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan mendepositkannya pada Sekretaris Jenderal PBB. Hingga kini, wilayah laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Vietnam, India, Papua New Guinea, Palau, Timor Leste dan Australia, yang kesemuanya belum dapat diselesaikan. Batas wilayah dikatakan jelas dan tegas jika batas tersebut telah memiliki kepastian hukum dan batas tersebut dapat diukur serta diwujudkan dalam bentuk peta. Dalam mewujudkan ketegasan batas wilayah diperlukan survei pemetaan yang baik dan benar serta memenuhi standar dan aturan kartografis. Survei pemetaan ini dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran secara langsung ke lapangan ke wilayah melalui survei darat maupun laut, dengan survei udara, atau secara tidak langsung dengan menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh.

Arti strategis pulau-pulau terluar Indonesia

Banyak sengketa wilayah laut yang terjadi di beberapa negara di dunia yang memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya bahkan sampai menimbulkan perang, seperti antara Inggris dan Argentina yang memperebutkan kepulauan Malvinas. Kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia, merupakan pengalaman buruk Indonesia, karena disini terlihat bahwa Indonesia belum bisa mengelola dengan baik keberadaan pulau-pulau kecil termasuk karang-karang yang ada pada terluar wilayah Indonesia. Selain sebagai bukti kuat batas wilayah negara, pulau-pulau dan karang-karang tersebut juga mempunyai prospek yang menjanjikan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Ini berarti bahwa penanganannya tidak hanya dibebankan kepada Departemen Pertahanan dan Keamanan, TNI, Kepolisian, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Departemen Luar Negeri saja tetapi juga terkait dengan departemen lain seperti Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Oleh sebab itu perlu adanya sinergi antar departemen dan instansi terkait dalam pengelolaan pulau-pulau dan karang terluar Indonesia melalui promosi pariwisata, program transmigrasi, pembangunan pusat ekonomi baru. Banyak sekali pulau-pulau kecil yang mempunyai panorama pantai sangat indah dan alami sehingga ini merupakan aset yang sangat berharga dalam pengembangan pariwisata Indonesia khususnya pariwisata bahari. Departemen Pariwisata dan Kebudayaan bekerjasama dengan instansi terkait dapat mempromosikan keberadaan pulau-pulau indah tersebut untuk wisatawan domestik maupun mancanegara. Selama ini program perpindahan penduduk dari Jawa, Madura dan Bali biasanya menuju pulau-pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) dan berorientasi ke arah pertanian. Kenapa pola ini tidak dikombinasi dengan perpindahan penduduk ke pulau-pulau kecil terluar Indonesia sehingga secara geografis pemerataan distribusi penduduk Indonesia tetap tercapai dan bahkan tercapainya tujuan lain seperti pertahanan dan keamanan. Aktivitas penduduknya pun tidak hanya berorientasi pada pertanian saja tetapi juga perikanan. Dengan adanya penduduk di pulau-pulau terluar tersebut maka tidak mungkin akan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang memberikan dampak terhadap perekonomian nasional.

Studi kasus Indonesia-Singapura

Menurut Pasal 47 Ayat 1 UNCLOS, Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya, mencakup lebar (batas) Laut teritorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen. Garis pangkal kepulauan merupakan garis pangkal lurus yang ditarik menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau dan karang-karang terluar yang digunakan untuk menutup seluruh atau sebagian dari Negara Kepulauan. Penarikan garis pangkal lurus kepulauan dilakukan dengan memperhatikan tatanan letak kepulauan atau kelompok pulau-pulau yang letaknya berurutan dan bersambungan secara beraturan, oleh karena itu penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat dilakukan menyimpang dari arah konfigurasi umum kepulauan. Pengertian konfigurasi umum kepulauan merupakan pengertian yang tujuannya identik dengan pengertian arah umum pantai dan dimaksudkan untuk mencegah perluasan laut teritorial suatu negara dengan cara yang tidak sewajarnya. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh negara Indonesia adalah daerah perbatasannya dengan Singapura, dengan belum selesainya penetapan garis batas Indonesia-Singapura. Garis batas ini dibuat dalam tiga segmen yaitu garis-garis batas di sebelah barat, tengah, dan timur Singapura. Saat ini, garis batas yang sudah diselesaikan adalah di segmen tengah yang dibuat pada tahun 1972-1973. Permasalahan lain yang dihadapi adalah reklamasi Singapura. Data menunjukkan bahwa 25 tahun yang lalu luas Singapura hanyalah 527 kilometer persegi. Pada tahun 1998 luasnya sudah bertambah menjadi 674 kilometer persegi. Sampai dengan tahun 2010 Singapura menargetkan luas wilayahnya mencapai 834 kilometer persegi. Hal ini menjadi masalah karena di timur dan barat belum ada garis batas. Citra satelit Landsat-ETM (Enhanced Thematic Mapper) yang direkam pada 2 April 2002 digunakan untuk mengevaluasi batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura. Pulau-pulau terluar Indonesia yaitu Pulau Karimun Kecil, Nipa, Pelampong, Karang Helen Mars, Karang Benteng, Batu Berhanti, Pulau Nongsa, Tg Sading dan tg Berakit, yang berbatasan dengan Singapura diidentifikasi dengan citra satelit Landsat-ETM. Gambar 1 menunjukkan hasil dijitasi penarikan garis pangkal berdasarkan citra satelit Landsat-ETM. Masalah yang cukup krusial dalam pemisahan darat dan air adalah pada banyaknya awan dan kabut yang terdapat pada citra. Tetapi hal ini dapat diatasi jika mengkombinasikannya dengan data satelit SAR (synthetic aperture radar). Hal lain yang juga cukup sulit adalah identifikasi karang yang masuk definisi pulau. Identifikasi karang dilakukan dengan membandingkan citra satelit dengan Peta Garis Pangkal Wilayah Negara Kepulauan Indonesia, Laut Natuna dan Selat Malaka; Selat Singapore skala 1:200.000, Tahun 1999, dari Bakosurtanal. Hal lain yang perlu juga diperhatikan dalam menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh dalam penentuan batas wilayah laut adalah karakteristik pasang surut wilayah yang dikaji. Bagaimanapun juga, teknologi satelit penginderaan jauh dapat meminimalkan penggunaan waktu dan biaya dalam melakukan survei pulau-pulau serta karang terluar Indonesia. Monitoring keberadaan pulau-pulau dan karang tersebut pun dapat dilakukan dengan teknologi ini yaitu dengan data time series. Dengan adanya sistem inventarisasi pulau-pulau dan karang terluar Indonesia secara sistematik maka pengelolaannya akan lebih mudah baik yang terkait dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun untuk tujuan lainnya seperti pengembangan daerah wisata bahari, program transmigrasi maupun tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru. Mudah-mudahan tidak ada lagi sengketa batas wilayah negara seperti kasus Ambalat, dan tidak ada lagi keraguan pemerintah Indonesia untuk memperhatikan dan membangun pulau-pulau terluar di wilayah Indonesia.