Selasa, 29 Juli 2008

Pusat Riset Tsunami Minim Peralatan

Tanggal: 29 Juli 2008
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/29/00394956/pusat.riset.tsunami.minim.peralatan


Banda Aceh, Kompas - Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Muhammad Nazar didampingi Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Kuntoro Mangkusubroto, Senin (28/7), meresmikan Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana yang terletak di Gampong Pie, Ulee Lheue, Kota Banda Aceh. Lembaga tersebut nantinya akan menjadi pusat pemikiran dan penelitian mengenai bencana dan mitigasi tidak hanya untuk Indonesia, tetapi untuk dunia internasional.

Meski demikian, pusat riset yang baru didirikan itu minim peralatan penunjang kegiatan.

Kuntoro mengakui, pihaknya belum memasok banyak peralatan bagi pembangunan pusat riset itu karena semua program yang ada dan dijalankan belum terintegrasi dengan baik. Lembaga BRR, katanya, akan menyuplai alat yang dibutuhkan oleh pusat riset itu bila lembaga ini membutuhkannya.

”Teknologi terus berkembang,” kata Kuntoro singkat.

Kepala Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Dirhamsyah mengatakan bahwa saat ini pihaknya baru memiliki beberapa peralatan sederhana, seperti GPS (global positioning system), yang telah diterapkan di sembilan lokasi di seluruh wilayah Aceh.

Peralatan lainnya, kata Dirhamsyah, baru sebatas antena untuk penerima sinyal GPS dan beberapa komputer untuk mengolah data perubahan posisi peralatan GPS tersebut di lapangan.

Dia mengatakan, minimnya peralatan karena lembaganya bukan merupakan sebuah lembaga pengambil keputusan jika terjadi bencana alam, seperti tsunami. Lembaga tersebut berperan sebagai think tank yang akan memberikan berbagai pilihan kebijakan. (MHD)

Senin, 28 Juli 2008

Penebangan Liar Hutan Di Indonesia Sama Dengan "Harakiri"

Tanggal: 28 Juli 2008
Sumber: http://www.antara.co.id/arc/2008/7/28/penebangan-liar-hutan-di-indonesia-sama-dengan-harakiri


Yogyakarta (ANTARA News) - Penebangan liar hutan di Indonesia sebagai bentuk eksploitasi terhadap kekayaan sumberdaya alam yang sudah berlangsung lama, tanpa disadari berarti sama dengan melakukan "harakiri".

"Tanpa kita sadari, Indonesia tengah melakukan harakiri terhadap sumberdaya hutannya. Dan selama 30 tahun proses eksploitasi hutan nasional, justru terjadi peningkatan sejak era otonomi," kata Kepala Subdit Pemolaan dan Pengembangan Direktorat Konservasi Kawasan Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan, Ir. Wiratno MSc,di Yogyakarta, Selasa.

Eksploitasi terhadap hutan tropis semakin meningkat bahkan disertai dengan tindakan penebangan liar terjadi karena ketimpangan sebaran sumberdaya alam, selain gaya hidup boros di negara maju yang ditiru masyarakat dunia bahkan menjadi trend gaya hidup modern.

"Kondisi tersebut menyebabkan ada aliran energi dari selatan ke utara dan hutan adalah salah satu sumberdaya strategis yang diperebutkan dalam globalisasi seperti ini," katanya.

Menurut dia, teknologi satelit bahkan membuat negara-negara maju dapat dengan leluasa mengetahu kondisi kekayaan alam di negara lain, terutama yang terletak di belahan bumi bagian selatan.

Pada saat stok kayu di hutan tropis mulai menipis, terjadi perambahan hutan ke kawasan hutan konservasi termasuk di dalamnya taman nasional, seperti Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah atau di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Langkat Sumatera Utara.

"Penebangan kayu secara ilegal di TNGL dapat berjalan lancar karena didukung oleh modal yang kuat, tersedianya peralatan kerja dan tenaga kerja yang mudah didapat serta dilindungi oknum aparat, pejabat, dan lemahnya pengamanan polisi kehutanan di lapangan," ujarnya.

Ia mengatakan, rumitnya permasalahan dalam berbagai kasus penebangan liar, perlu mendapat dukungan dari pemerintah yang "legitimate" dan kuat, karena bila tidak maka harakiri hutan akan terus terjadi.

"Politik nasional harus berpihak pada konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan dan dikelola dengan nuansa investasi," lanjutnya.

Jika rehabilitasi dan konservasi tersebut tidak dapat dilakukan maka hutan Indonesia, yaitu yang berada di dataran rendah Sumatera diperkirakan akan habis pada 2015 dan di Kalimantan pada 2010.

Pada dasarnya, kata Wiratno, dampak kerusakan hutan tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya tetapi mampu melewati batas negara seperti banjir, tanah longsor, kebakaran dan kabut asap.

Sedangkan dampak berantai antara lain adalah menurunnya kesuburan tanah, hama, penyakit, dan kekeringan,katanya.(*)

Minggu, 27 Juli 2008

Sosialisasi Mitigasi Bencana Masih Kurang

Tanggal: 27 Juli 2008
Sumber: mailing list

Oleh: Djuni Pristiyanto


26/07/2008 08:11:44 YOGYA (KR) - Indonesia sering diterjang tsunami, namun kesiapan menghadapi bencana itu belum efektif. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman atau informasi tentang tsunami dan bahayanya. Karena itu pemerintah gencar melakukan sosialisasi tentang tsunami dan mitigasi atau tindakan mengurangi dampak bencana.

”Untuk peralatan dan teknologi antisipasi bencana kita cukup memadai. Yang kurang hanya sosialisasi kepada masyarakat,” kata Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departeman Kelautan dan Perikanan, Prof Dr M Syamsul Maarif MEng kepada wartawan, dalam acara workshop internasional pencegahan bencana gempa dan tsunami yang digelar di Hyatt Regency Yogyakarta, Selasa (22/7).

Syamsul menjelaskan, salah satu yang ditekankan dalam sosialisasi adalah membangun ketahanan masyarakat pesisir (coastal community resilience), sehingga mereka mampu mandiri dan punya kemampuan untuk survive. ”Upaya kami antara lain mendorong masyarakat agar mampu mencari pendapatan alternatif yang tak tergantung hasil laut,” jelas Syamsul.

Sementara Ketua Panitia workshop Dr Ir Subandono Diposaptono MEng menyatakan, bencana dahsyat tsunami yang mengguncang Aceh dan sekitarnya pada Desember 2004 telah mengubah paradigma penanganan bencana.

”Bencana itu membangun kesadaran masyarakat global, termasuk Indonesia, akan perlunya sistem peringatan dini tsunami (tsunami early warning system = TEWS),” ungkap Subandono.

Salah satu komponen TEWS adalah pelampung suar (buoy) yang juga dikenal sebagai tsunameter. Kawasan Indonesia membutuhkan sedikitnya 22 buoy, yang seluruhnya akan selesai terpasang akhir tahun ini. ”Dari 22 buoy tersebut, Indonesia melalui BPPT membuat 11 buah, 9 buah bantuan Jerman dan 2 dari AS,” kata Subandono.

Sedang Shigeo Takahashi dari Port and Airport Research Institute (PARI) Jepang mengutarakan rencana mengimplementasikan sistem penanganan bencana di Indonesia. ”Jepang yang dikelilingi zona subduksi sangat berpengalaman dalam menangani tsunami. Ada dua hal sangat penting yang perlu diimplementasikan di Indonesia, yaitu tindakan penanganan terjadinya tsunami khususnya yang berkaitan dengan struktur dan infrastruktur, serta monitoring penerapan TEWS,” paparnya. (*-4)-c
http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=172071&actmenu=36

Jumat, 25 Juli 2008

BBM NAIK, KAPAL IKAN ASING MERAJALELA

Tanggal: 25 Juli 2008
Sumber: http://mail.google.com/mail/?shva=1#inbox/11b5731974ba22b2
Oleh : Muhamad Karim
(Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim)

Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hampir 30 % berdampak pada sektor perikanan karena kapal asing semakin merajalela. Terbukti, pada akhir Mei 2008 kapal pengawasan berhasil menangkap 15 unit kapal asing di perairan Kepulauan Natuna. Bahkan, nelayan dari pantai selatan Jawa di Kabupaten Cianjur melaporkan maraknya kapal – kapal modern berbendera asing menangkap ikan dengan pukat harimau di perairan itu. Kedua peristiwa ini berlangsung pasca kenaikan BBM. Bukankah semuanya akan semakin menghancurkan sumberdaya perikanan kita? Apa penyebabnya dan kebijakan yang semestinya dilakukan?

Penyebab

Merajalelanya pencurian ikan pasca kenaikan BBM karena, pertama, armada perikaan rakyat maupun nasional praktis menghentikan aktivitasnya. Sebab, selain pasokan BBM terbatas dan dibatasi pembeliannya. Juga, biaya operasional penangkapan meningkat 30 – 40 % (termasuk BBM, makan dan minuman).

Kedua, armada perikanan skala besar mengalihkan wilayah penangkapannya ke wilayah pesisir demi menghemat BBM. Padahal, perairan pesisir sudah mengalami tangkap lebih (over exploitation). Akibatnya, mengancam sumber kehidupan nelayan tradisional. Juga, berpotensi menimbulkan konflik karena penyerobotan wilayah perikanan tradisional. Kasus semacam ini sudah terjadi di perairan pantai selatan Jawa khususnya daerah sekitar Kabupaten Cianjur. Nelayan tradisonal di daerah itu menemukan kapal-kapal asing bertonase besar dan berbendera asing menangkap ikan di perairan itu..

Ketiga, tidak adanya insentif pemerintah yang dapat menyelamatkan perikanan nasional yang amat bergantung pada ketersediaan BBM yang memadai. Umpamanya, mengapa pemerintah tidak memberikan subsidi khusus bagi nelayan? Padahal nelayan di negara-negara Uni Eropa semacam Belgia, Perancis justru menuntut subsidi BBM.

Keempat, kapal pengawas milik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan patroli TNI AL juga menggunakan BBM. Praktis kenaikan BBM juga mengurangi aktivitas pengawasannya..

Kelima, kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia menggunakan BBM yang disubsidi oleh negaranya seperti China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.

Wajar saja kapal asing merajalela mencuri ikan di perairan Indonesia. Kondisi ini berdampak luas karena sumberdaya kita akan terkuras habis dan kontribusi sektor perikanan akan menurun drastis.

Kebijakan

Maraknya pencurian ikan pasca kenaikan BBM tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang jelas agar stok sumberdaya perikanan nasional tidak terkuras habis dan aktivitas armada perikanan nasional tetap beroperasi. Kebijakannya; pertama, pemerintah memberikan insentif berupa subsidi khusus BBM bagi nelayan sehingga armada perikanan nasional tetap beroperasi. Mengapa? Sebab, komponen biaya terbesar dalam operasional penangkapan adalah BBM. Amat mustahil dengan harga BBM sekarang, armada perikanan nasional beroperasi normal. Hal serupa juga dapat diberikan pada kapal pengawasan, agar tetap beroperasi. Semestinya, nilai subsidi sektor perikanan 5,74 triliun (35 %). Angka ini berdasarkan (i) asumsi kenaikan harga BBM dunia sebesar (US$ 120/barrel) atau US$ 0,75 (75 sen) per liter dan kenaikan rata-rata biaya operasional. Jika dikonversi dalam rupiah (kurs tengah Rp 9.323), maka harga BBM sebesar 12,3 juta kilo liter untuk kebutuhan perikanan mencapai Rp 16,40 triliun. Bila subsidinya 35 %, harga BBM untuk perikanan semestinya Rp 4.575 per liter. Mengapa pemerintah tidak berani memberikan insentif ini? Padahal China, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia melakukannya yang kapalnya mencuri ikan di perairan kita.

Kedua, pemerintah mengembangkan teknologi penangkapan ikan yang mampu menghemat penggunaan BBM. Umpamanya, mengembangkan (i) rumpon sehingga tidak perlu beroperasi berhari-hari mencari fishing ground ikan untuk menangkap ikan; dan (ii) budidaya perikanan laut (marine culture) berbasis ekosistem terumbu karang yang dinamakan sea farming yang memanfaatkan terumbu karang cincin (atol). Keduanya akan mengefisienkan penggunaan BBM, karena tidak perlu mengarungi lautan terlalu lama dan jauh. Cukup menangkap ikan di rumpon dan memanen ikan di karang atol.

Ketiga, mengembangkan pengawasan rakyat semesta berbasis penduduk yang bermukim di pulau - pulau kecil perbatasan (PPKB) dan wilayah pesisir serta pulau kecil yang berdekatan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pemerintah dapat memberikan pelatihan bagi mereka mengenai pemantauan kapal asing. Pemerintah juga memberi dukungan infrastruktur pengawasan misalnya Geographic Positioning System (GPS), kompas dan radar. Tak hanya itu. Dalam pengawasan ini perlu memberdayakan kearifan lokal masyarakat yang mampu membaca tanda-tanda alam, sehingga mendukung proses pengawasan. Hal ini penting karena perubahan cuaca, arus dan gelombang di lautan kerapkali sulit diprediksi. Apalagi perairan tersebut mengalami dinamika oseanografinya yang dinamis seperti perairan Aru, Arafura, Sulawesi bagian utara, Laut Cina Selatan dan Laut Banda.

Keempat, memberikan insentif dalam bentuk kompensasi kesehatan dan pendidikan bagi anak - anak nelayan tradisional yang orangtuanya berhasil melindungi fishing ground ikan dan ekosistem khas (misal; terumbu karang dan mangrove) secara mandiri. Pola ini selain meningkatkan produktivitas perikanan di suatu daerah. Juga, meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan anak nelayan yang bermukim di desa-desa pesisir.

Kelima, nelayan tradisional yang sukses mengelola dan melindungi fishing ground dan ekosistem khas secara mandiri, asetnya dinilai dalam bentuk saham. Pola ini merupakan cara mengkonsolidasikan nelayan tradisional (fish folk consolidation) agar memiliki hak akses dan aset atas sumberdaya kelautan secara berdaulat. Kongkritnya, model ini dapat diaplikasikan pada sistem rumpon dan Sea farming. Mengapa harus demikian? Sebab, selama ini pola-pola daerah perlindungan maupun konservasi laut belum memberikan hak akses dan kepemilikan aset kepada nelayan tradisional. Justru yang terjadi dalam UU No. 27 Tahun 2007 perairan pesisir diprivatisasi yang ujung-ujungnya menguntungkan pemilik modal saja. Model ini juga praktis menghemat BBM, karena mereka cukup datang dan menangkap ikan di wilayah yang dia kelola secara mandiri. Bisa saja ia menggunakan perahu motor tempel maupun perahu layar. Model ini pada gilirannya akan menciptakan kedaulatan nelayan atas sumberdaya pesisir, tanpa direcoki pemilik modal.

Pelbagai kebijakan yang diuraikan dalam artikel ini akan tidak sekadar mampu melindungi serbuan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Melainkan akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan tradisional sehingga keluar dari jeratan kemiskinan.


Senin, 21 Juli 2008

Pengerukan Pasir Laut Terus Marak

Tanggal : 21 Juli 2008
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/21/22010495/festival.perairan.pulau.makassar

MAKASSAR, SENIN-Festival Perairan Pulau Makassar 2008 di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, 18 - 21 Juli 2008 menyedot ribuan pengunjung.
Panitia mencatat 10.112 orang ambil bagian, mulai dari ritual budaya berupa, ritual laut (Tuturangiana Andaala), lomba renang antarpulau Makassar-Kota Bau-Bau, hingga atraksi parasailing, jetsky, banana boat, dan flying fish.
"Acara dirangkaikan pencanangan Gerakan Makan Ikan. Terhidang 22 ton yang dinikmati gratis pengunjung," ujar WaliKota Kota Bau-Bau MZ Amirul Tamim.
Ia menilai festival memberi nilai ekonomis bagi warga sekitar. Pengusaha jasa transportasi lintas Bau-Bau-Pulau Makassar misalnya, setiap hari memperoleh pendapatan Rp 1 juta per orang. Di sana beroperasi 217 perahu. (NAR)

Waspadai tinggi gelombang hingga 4 meter di laut jawa

Tanggal : 13 Juli 2008
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/13/21341829/waspadai.tinggi.gelombang.hingga.4.meter.di.laut.jawa

YOGYAKARTA, MINGGU - Badan Meteorologi dan Geofisika memprediksi akan terjadi kenaikan gelombang hingga empat meter mulai hari ini hingga 19 Juli mendatang di perairan Selatan Pulau Jawa. Dengan ketinggian ini, nelayan disarankan untuk tidak melaut.Menurut Kepala Seksi Data BMG Yogyakarta, Tiar Prasetya, untuk kawasan pantai di Yogyakarta, gelombang akan berfluktuasi mulai dari 2 hingga 2,50 meter di hari Senin (14/7) dan mencapai tiga hingga empat meter hingga seminggu kedepan. Gelombang setinggi 2 2,5 meter akan berbahaya bagi perahu nelayan dan kapal tongkang sedangkan yang 3 4 meter berbahaya bagi perahu nelayan, kapal tongkang, dan juga ferry."Naiknya gelombang laut terjadi karena peningkatan kecepatan angin dari Australia yang bertiup dari Timur ke Barat," ungkap Tiar, Minggu (13/7). Akibatnya, gelombang di beberapa perairan di Indonesia seperti di Samudera Hindia, Laut Aceh, Pantai Selatan Jawa Barat hingga Selatan Bali akan ikut naik. Untuk itu, selama seminggu ini, kata Tiar nelayan diharapkan tidak melaut dulu.Sementara itu di kawasan Pantai Trisik, Kulon Progo, aktivitas nelayan berlangsung seperti biasa. Bahkan, beberapa anak dan pengunjung tetap bermain di pantai. Ombak pun tidak tinggi seperti diperkirakan BMG.Joko Samudro, Ketua Tempat Pelelangan Ikan di Pantai Trisik yang kadang melaut mengatakan tidak ada gelombang setinggi empat meter. Ombak normal saja, tinggi tidak sampai satu meter, ungkapnya.Di kawasan ini ada 20 perahu nelayan yang beroperasi. Menurut Joko, kemarin ada tiga perahu yang melaut pukul 05.00 dan 14.00. Sedangkan nelayan lain tidak melaut dan lebih banyak beristirahat.SIN Sumber : Kompas

Rabu, 02 Juli 2008

Strategi Takalar Menuju 2012

OLEH: Ramah Praeska

MASALAH kemiskinan masih membelit pemerintah Takalar. Tahun ini, pemerintah setempat menyusun sejumlah program strategi penanggulangan kemiskinan. Ada enam kecamatan di wilayah pesisir menjadi sasaran program tersebut. Keenam kecamatan ini diklaim memiliki penduduk miskin terbesar di Takalar.

Keenam kecamatan itu adalah Kecamatan Galesong Utara, Galesong Selatan, Galesong, Sanrobone, Mappakasunggu, dan Mangarabombang. Hampir seluruh program satuan kerja perangkat daerah (SKPD) fokus keenam kecamatan tersebut.

Berupa apa program strategi itu? Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Takalar, Nirwan Nasrullah, menjelaskan, strategi utama penanggulangan kemiskinan dengan cara mengurangi beban hidup masyarakat pada sektor pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, perbaikan perumahan dan permukiman, serta infrastruktur (jalan, jembatan, irigasi, dan energi).

?Sektor tersebut plus penataan ruang wilayah dan pengembangan ekonomi lokal akan kami pusatkan di enam kecamatan pesisir pantai. Untuk pendidikan semua anak laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar hingga 100 persen pada tahun 2012 mendatang,? jelas Nirwan, 23 Juni lalu.

Untuk sektor perumahan dan permukiman, menurunkan proporsi penduduk tanpa akses sumber air minum hingga 50 persen pada 2012, penurunan proporsi penduduk tanpa akses sanitasi dasar hingga 50 persen pada 2012, dan berkurangnya perumahan kumuh hingga 50 persen hingga 2012 mendatang.

Selain itu, menerapkan program pendidikan dan kesehatan gratis, gerakan pengembangan beras, jagung, ubi kayu, dan rumput laut. ?Intinya ada gerakan pembangunan masyarakat desa pantai (gerbang masa depan). Sebab Pemkab Takalar mempunyai sasaran untuk mengurangi jumlah penduduk miskin pada 2013 mendatang hingga mencapai 7,9 persen,? papar Nirwan.

Bupati Takalar, Ibrahim Rewa, mengatakan, perlu ada penanganan terpadu berkesinambungan yang dilakukan SKPD untuk penanggulangan kemiskinan. Fokus perhatian adalah sarana air bersih dan pendidikan yang masih rawan di pesisir pantai.

?Program penanggulangan kemiskinan sudah harus berjalan dalam waktu enam bulan tersisa ini. Saya minta semua SKPD jalankan programnya mulai bulan depan,? tegas Ibrahim Rewa. (ramah@fajar.co.id)