Senin, 04 April 2005

Potensi Tersembunyi "Marine Carbon Sink" Benua Maritim Indonesia

Tanggal : 4 April 2005
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0504/18/ilpeng/1690866.htm
Oleh
Edvin Aldrian

Potensi serap karbon oleh laut dikenal dengan potensi biogeokimia laut. Ilmu yang diterapkan dalam pemahaman ini merupakan gabungan ilmu dari berbagai disiplin ilmu.

Selain pemahaman ilmu biologi, geologi, dan kimia, juga diperlukan pemahaman ilmu kelautan, meteorologi, fisika dinamik, dan inderaja.

Ilmu kelautan diperlukan untuk memahami proses dinamika laut seperti arus laut, ilmu meteorologi diperlukan untuk mengetahui proses dinamika atmosfer lokal yang mendorong dinamika di laut. Ilmu fisika dinamik diperlukan untuk pemahaman sifat dinamika di laut dan atmosfer di atasnya, sedangkan teknologi inderaja diperlukan untuk mengetahui kandungan plankton baik phyto dan zooplankton serta micro biota lainnya dipermukaan yang merupakan agen penyerap karbon utama di muka laut.

>small 2small 0<>

Gas-gas rumah kaca yang terserap di atmosfer akan diserap oleh proses fotosintesis plankton dan turun ke dasar samudra setelah berasosiasi dengan elemen berat hasil metabolisma di tubuh plankton tersebut.

Proses sederhana ini terjadi di permukaan laut dan membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk proses fotosintesa dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung pertumbuhan plankton di permukaan laut.

Dua zat penting yang mendukung keberadaan populasi plankton adalah zat nitrat dan fosfat. Selain itu, juga dikenal peran dari silika dan zat besi. Keberadaan zat nitrat dapat diketahui dengan data satelit inderaja seperti data AVHRR (Advance Very High Resolution Radiometer).

Sebagai sumber nutrisi utama, sumber nitrat dan fosfat dapat dari proses dinamika di lautan seperti proses upwelling, tambahan dari partikel yang terbang seperti debu dari gurun pasir dan letusan gunung berapi, atau dari sumbangan polusi industri manusia yang bermuara di laut.

Dari data di atmosfer telah diketahui bahwa letusan gunung berapi selalu berfungsi menurunkan suhu di atmosfer secara global, meski penelitian belum mencapai kesimpulan peran dari debu gunung berapi terhadap produksi plankton serta metabolismanya di permukaan laut.

Pengetahuan tentang peran logam berat seperti besi dalam upaya pendinginan global oleh proses metabolisme plankton di permukaan laut barulah dimengerti dalam dekade terakhir.

Adalah almarhum John Martin yang memperkenalkan hipotesa besi (the Iron Hypothesis) dalam proses pendinginan global pada tahun 1989.

Salah satu hipotesa yang merupakan tantangannya kepada dunia dalam mengatasi masalah pemanasan global adalah sesumbarnya yang dapat menghadirkan era es (the ice age) kembali di muka bumi apabila dia diberikan setengah tanker biji besi.

Biji besi itu akan ditaburi di lautan Pasifik dan akan menambah populasi plankton dengan drastis dan menyebabkan meningkatnya penyerapan karbon dari atmosfer.

John Martin tidak pernah membuktikan kebenaran teori besinya karena lebih dahulu meninggal akibat kanker prostat. Pada tahun yang sama John meninggal, 1993, eksperimen untuk membuktikan teori John Martin dilakukan oleh beberapa peneliti di sekitar kepulauan Galapagos di Samudra Pasifik.

Hasil dari berbagai penelitian, yang mendukung teori John Martin, di kepulauan tersebut diterbitkan dalam sebuah edisi khusus jurnal kelautan terkemuka dunia yaitu Deep Sea Research pada tahun 1998 dan dibuat untuk mengenang John Martin.

>small 2small 0<>

Namun, angka tersebut ternyata hanya separuh dari CO>subscript<2>res<>res<>

Menurut Christopher L Sabine, peneliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), secara keseluruhan, antara tahun 1800 hingga 1994, lautan menyerap 118 miliar metrik ton karbon yang sebelumnya dibuang ke udara.

Kembali ke benua maritim Indonesia, produksi plankton dan perannya terhadap produktivitas ikan bagi kepentingan penangkapan ikan di Indonesia telah lama dibahas.

Akan tetapi, dampak produksi populasi plankton terhadap proses biogeokimia di lautan Indonesia belum dikaji atau dijadikan pembahasan.

Kekurangan minat serta pakar yang mendalami hal ini menjadi permasalahan tersendiri. Padahal pengkajian hal baru ini sangat diperlukan dalam melihat potensi serap karbon lautan Indonesia.

Pada bulan Maret 2004, pantai teluk Jakarta tiba-tiba memerah yang dikenal dengan istilah gelombang merah (red tide). Perkembangan ini lebih dikarenakan tingginya polutan zat-zat berat hasil limbah industri yang bermuara di teluk tersebut.

Keberadaan limbah berat itu telah meningkatkan populasi ganggang merah (red algae) yang pada akhirnya memerahkan teluk. Tanpa diketahui dan dibahas lebih lanjut, sebenarnya pada saat itu logam berat hasil limbah telah dikonsumsi oleh red algae dan melalui proses metabolisme telah diendapkan ke dasar laut.

Peristiwa lokal tersebut sebenarnya membuktikan kebenaran teori John Martin dalam skala kecil, meski tidak ada kajian sama sekali mengenai kemungkinan penyerapan gas rumah kaca atau siklus karbon dalam proses gelombang merah tersebut.

Penyerapan karbon oleh lautan tidak hanya dapat dilakukan dengan cara menebar polutan seperti logam berat di atas. Karena efek negatif yang mungkin ditimbulkan dari penebaran polutan tersebut seperti pengrusakan di dasar laut akibat meningkatnya kandungan logam berat yang diendapkan.

Proses lain yang mungkin adalah dinamika di laut yang menyebabkan terjadinya upwelling. Upwelling adalah dinamika lautan di mana terjadi kenaikan masa air dari dasar laut ke permukaan.

Upwelling membawa konsekuensi menaiknya nutrisi dari dasar laut ke permukaan. Salah satu indikasinya adalah meningkatnya populasi ikan setelah terjadinya upwelling. Ikan tersebut berkumpul bukan karena meningkatnya nutrisi dari dasar laut, tetapi karena meningkatnya plankton dan hewan kecil yang menegak nutrisi tersebut, dan plankton serta hewan kecil tersebut merupakan makanan utama ikan-ikan yang lebih besar.

Selain upwelling, peristiwa sebaliknya yaitu downwelling juga berguna bagi siklus karbon di permukaan laut yaitu mempercepat sirkulasi arus laut dari permukaan ke laut dalam yang membantu mempercepat proses pengendapan karbon.

Melalui dinamika di atmosfer dan permukaan laut dapat diketahui daerah-daerah yang berpotensi terjadinya upwelling dan downwelling. Hal ini dapat diketahui dari pola angin dan morfologi dasar laut.

Ada dua hal penting yang perlu disadari dalam dinamika atmosfer dan laut yang merupakan potensi utama dari benua maritim Indonesia.

Pertama adalah sirkulasi atmosfer yang bersifat musiman sehingga terjadi sirkulasi yang terus-menerus sepanjang tahun secara bolak balik. Potensi angin musiman ini menyebabkan terjadinya wilayah khusus downwelling atau upwelling pada musim-musim tertentu. Selain dinamika musiman atmosfer tersebut, dinamika di laut dalam benua maritim Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya sirkulasi laut global yang melalui wilayah Indonesia.

Sirkulasi global yang dikenal sebagai arus sabuk lintas dunia (the Great Conveyor Belt) melalui wilayah Indonesia yang dikenal sebagai arus lintas Indonesia (Arlindo). Arlindo merupakan aliran arus terus-menerus dari Samudra Pasifik ke Samudra Indonesia dan merupakan saluran air permukaan yang mengumpul di daerah kolam hangat di sebelah utara Pulau Papua.

>small 2small 0<>

Dengan menggabungkan informasi kelautan dan iklim seperti di atas beserta kajian proses biogeokimia yang terjadi dapat memberikan gambaran potensi laut benua maritim Indonesia dalam menyerap karbon dari gas-gas rumah kaca.

Hasil kajian ini merupakan masukan penting dan amunisi utama bagi Indonesia dalam perdagangan karbon dunia. Perlu diketahui, memasukkan unsur penyerapan laut dalam perdagangan emisi tidak lazim dilakukan pada pelaksanaan protokol Kyoto, hal ini tidak lain dikarenakan tidak adanya inisitatif dari negara kepulauan seperti Indonesia.

Berhubung perdagangan emisi akan dihubungkan dengan remisi karbon berupa insentif yang mungkin diterima sebuah negara, maka kajian potensi kelautan Indonesia dalam menyerap karbon harus segera dilakukan dan dimasukkan dalam perhitungan emisi lokal disamping penyerapan oleh hutan.

Edvin Aldrian Peneliti UPTHB-BPPT, Peraih International Young Scientist START Award 2004


Tidak ada komentar: