Rabu, 11 Oktober 2006

Korvet Canggih, Kekuatan Laut Indonesia

Tanggal : 11 Oktober 2006
Sumber : http://gunaryadi.blogsome.com/2006/09/26/korvet-canggih-kekuatan-laut-indonesia-dan-geopolitik-regional/
Oleh Gunaryadi

Penulis sedikit merinding menyaksikan 2 dari 4 korvet SIGMA-class yang dipesan TNI-AL di dok-kering milik “Schelde Naval Shipbuildings” di Vlissingen. Betapa tidak, kapal yang dibangun di bawah koordinasi dan supervisi Satgas Yekda Korvet TNI-AL di Belanda tersebut, berdiri gagah dalam tahap “sentuhan-akhir” yang secara resmi diberi nama KRI Diponegoro (365) dan KRI Hasanuddin (366) oleh Menhan Juwono Sudarsono, 16 September 2006.

Kehadiran korvet ini membawa secercah harapan memperkuat armada TNI-AL. Meskipun sudah termasuk “too little, too late”, kehadiran 4 kapal patroli dengan daya-jelajah “green-water” serta daya-pukul memadai itu cukup menggembirakan.

Dengan panjang 90,71 meter dan lebar 13,02 meter, kapal yang didesain modern dan memiliki karakteristik “siluman” (stealth) itu mampu melaju dengan kecepatan maksimum 28 knot.

Untuk menghadapi ancaman permukaan, udara dan bawah-air, korvet tadi dilengkapi dengan alutsista standar di kelasnya. Diantaranya mencakup rudal permukaan-ke-udara Mistral, rudal anti-kapal Excocet MM40, meriam atomatis Melara kaliber 76 mm, senapan-mesin Vector12 kaliber 20 mm, torpedo 3A 244S Mode II/MU 90, decoy TERMA SKWS, serta berbagai instrumen pengindera-dini yang canggih, termasuk sebuah helipad di punggungnya.

Meskipun kapal ini memiliki kemampuan tempur, tetapi misi utamanya akan difokuskan untuk menjaga keutuhan wilayah, kekayaan maritim dan dasar laut, patroli perairan, menangkal penyelundupan, bajak laut, pencurian ikan, operasi penyelamatan, dan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia.

Melihat dari dekat membuat kita yakin bahwa desain dan visi pembangunan kapal dengan harga-dasar sekitar €140 juta ini adalah untuk menjawab tantangan dan ancaman maritim hingga 25 tahun ke depan.

Memprihatinkan: Kekuatan Laut Kita
Kita tidak bisa membantah realita bahwa Indonesia adalah negara maritim yang terdiri dari hampir 20.000 pulau, 93.000 kilometer per segi laut-pedalaman, dan luas wilayah keseluruhannya menurut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mencapai 7,9 juta kilometer per segi. Klaim luas terakhir ini tidak terlepas dari prinsip wilayah Indonesia yang mencakup “tanah dan air”, serta doktrin kesatuan politik dan keamanan nusantara (archipelagic).

Sebagai negara terbesar di ASEAN, bagaimana postur kekuatan alutsista TNI-AL kontemporer diukur dari kekuatan kapal? Saat ini TNI-AL memiliki kurang dari 200 kapal dari berbagai jenis. Padahal kebutuhan minimal kita adalah 300 kapal; kebutuhan normalnya 1.000 kapal; dan kebutuhan idealnya 2.000 untuk memantau dan mengawal seluruh titik wilayah laut Indonesia. Dengan kekuatan yang ada saat ini, kekuatan laut kita sangat memprihatinkan. Dengan selesainya korvet keempat 2009 nanti masih belum begitu signifikan menambah kapabilitas kuantitatif TNI-AL karena sudah banyak pula kapal berusia-lanjut yang perlu diganti.

Geopolitik Regional
Dengan penduduk lebih dari 200 juta, kondisi geografis Indonesia yang membujur di persilangan 2 samudera: Hindia dan Pasifik, serta kekayaan laut dan dasar laut melimpah, negara ini memiliki nilai yang sangat strategis. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa-jauh signifikansi geopolitis tadi didukung oleh postur kekuatan maritim kita.

Dibanding rasio wilayah laut yang harus dikawal, kekuatan laut Indonesia berada di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, dan ketinggalan jauh dari Australia. Secara teknologi, armada laut negara-negara tetangga tadi juga lebih maju dan mutakhir. Disamping itu, dari sisi anggaran pertahanan, magnitude kemampuan kita masih kecil.

Padahal potensi ancaman maritim sangat besar. Dari sisi pencurian ikan saja, sebelum 2004 Indonesia kehilangan sekitar Rp 36,5 trilyun per tahun. Dengan kebijakan yang lebih tegas, akhirnya kerugian negara berhasil ditekan menjadi sekitar Rp 18,2 trilyun per tahun.

Sedangkan menurut “International Maritime Bureau” (IMB), dari 445 serangan bajak-laut terhadap kapal komersial tahun 2003, 121 terjadi di wilayah laut Indonesia. Dalam perompakan yang paling sering terjadi di Selat Malaka itu, 20 pelaut terbunuh, 350 disandera, dan 70 hilang.

Belum lagi ancaman navigasi, pencurian benda arkeologi laut, penyelundupan kayu gelondongan, BBM dan manusia, penyebaran senjata pemusnah-massal, kerusakan lingkungan laut, serta sangketa pemilikan pulau dengan beberapa negara tentangga.

Mengingat posisi geopolitis, potensi ancaman, dan kekuatan laut Indonesia saat ini, seyogyanya peningkatan armada laut dan maritim kita hingga mencapai kapabilitas “green-water navy”, mendapat prioritas mendesak. Konsekuensinya adalah penambahan alokasi anggaran, peningkatan performa personil dan kerjasama dengan elemen hankam lainnya. Dalam konteks peningkatan kapabilitas maritim tadi, pembangunan korvet yang sedang berlangsung tersebut adalah kebijakan yang sangat tepat dan strategis. ***

Tidak ada komentar: