Senin, 07 April 2008

URGENSI “NATIONAL OCEAN DEVELOPMENT POLICY” (NODEP)

Sumber : http://pksplipb.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=42&Itemid=49
Oleh
Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS

Pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir selalu diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) dalam pembangunan ekonomi nasional. Dengan posisi semacam ini bidang kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan, bukan menjadi arus utama (mainstream) dalam kebijakan pembangunan ekonomi Nasional. Kondisi ini menjadi ironis mengingat hampir 75 % wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar serta berada pada posisi geopolitis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia- sebuah kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik secara ekonomi dan politik. Sehingga secara ekonomi-politis sangat logis jika bidang kelautan dijadikan tumpuan dalam pembangunan ekonomi nasional.

Dengan demikian secara ekonomi dalam konteks makro pada tataran kebijakan pembangunan nasional, sudah selayaknya bidang kelautan menjadi arus utama dalam kebijakan ekonomi nasional. Sedangkan, secara politik semangat menjadikan sektor kelautan sebagai basis ekonomi nasional harus didukung oleh visi dan konsensus bersama semua pengambil kebijakan di negeri ini baik pada tataran eksekutif (termasuk militer dan polisi), legislatif, yudikatif serta didukung oleh segenap komponen bangsa Indonesia. Dengan demikian untuk Pembangunan Kelautan diperlukan national ocean development policy (NODEP) dengan didukung oleh tiga pilar pembangunan kelautan yaitu kebijakan kelautan nasional (National Ocean Policy-NOP), kebijakan ekonomi kelautan nasional (national ocean economic policy - NOEP) dan pemerintahan kelautan nasional (national ocean governance - NOG) yang komprehensif memandang laut sebagai pemersatu wilayah, kesatuan politik dan ekonomi.

Pilar Pembangunan Kelautan tersebut merupakan kebijakan-kebijakan dalam rangka mendayagunakan dan memfungsikan laut secara bijaksanaan yang didukung oleh pemanfaatan daratan untuk kepentingan publik dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan masyarakat (maximize social well-being). Kebijakan pembangunan Kelautan Nasional (NODEP) sebagai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana yang didukung pilar-pilar ekonomi sumberdaya daratan yang tangguh untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social well being). NODEP merupakan payung bagi pembangunan Indonesia yang terintegrasi antara pembangunan lautan dan daratan secara bijaksana dengan sasaran utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat kecil yang harus mendapat perhatian utama.

Berdasarkan hal tersebut perlu dibangun visi baru dalam pembangunan ekonomi Indonesia yakni visi ekonomi kelautan atau OCEAN ECONOMICS yang selanjutnya akan kami sebut sebagai OCEANOMICS. Visi ini mengedepankan pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumberdaya kelautan (ocean based resource) secara bijaksana dengan didukung oleh pilar-pilar ekonomi sumberdaya daratan (land based resource) yang tangguh dan mampu bersaing dalam kancah kompetisi global antar bangsa guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Visi tersebut dituangkan dalam Kebijakan Ekononomi Kelautan Nasional (NOEP)

Visi ini sangat penting karena didukung fakta bahwa dalam tahun 1998 kontribusi PDB menurut lapangan usaha adalah pertanian 12,62 %, pertambangan dan penggalian 4,21 %, industri manufaktur 19,92 %, jasa-jasa 41,12 % dan kelautan 20,06 % (Kusumastanto 2003). Fakta ini seharusnya dapat mendobrak kemapanan pemikiran tradisional dan beralih pada pemikiran bahwa laut adalah tumpuan masa depan ekonomi Indonesia – “Laut Masa Depan Kita Bersama”.

Dari bidang kelautan tersebut, sektor pertambangan minyak dan gas memberikan kontribusi terbesar, diikuti industri maritim, perikanan dan pariwisata bahari, namun demikian bila dibanding dengan negara lain didunia misalnya Cina yang lautnya hanya separuh Indonesia, sektor kelautannya memberi kontribusi 48,40 %, Jepang 54% sehingga seharusnya kita bisa mengikuti jejak mereka untuk melihat laut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.

Selain itu juga tantangan pembangunan kelautan pasca pemilu 2004 akan semakin besar. Oleh sebab itu NODEP menjadi penting keberadaanya. Tiga tantangan besar yang akan dihadapi pemerintahan pasca pemilu 2004 adalah pertama, pemberlakuan International ship dan port security code (ISPS Code) pada 1 Juli 2004 dalam bidang perhubungan laut akan berdampak terhadap perdagangan perekonomian bangsa Indonesia. Mengingat jumlah pelabuhan dan kapal internasional Indonesia baru sebagian kecil saja yang bisa mendapatkan sertifikat internasional tersebut. Padahal hampir 90 persen lebih jalur ekspor-impor Indonesia dilakukan lewat laut. Kedua, batas waktu klaim landas kontinen di luar 200 mil laut sampai 350 mil laut pada Septeber 2009. Seandainya Indonesia sampai batas waktu tersebut belum mengajukan klaim atas landas kontinen kepada komisi Landas kontinen PBB maka landas kontinen tersebut menajadi milik internasional dan bahkan bisa di klaim oleh negara lain. Konsekuensi hilangnya landas kontinen tersebut adalah hilangnya sumberdaya alam yang terdapat di wilayah dan yang paling utama adalah menyangkut keamanan negara. Ketiga, rehabilitasi lahan pesisir dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sebagian besar lahan di wilayah pesisir telah terdegradasi yang disebabkan oleh pencemaran, abrasi pantai dan sedimentasi. Terdegradasinya lahan pesisir tersebut berdampak terhadap rusaknya ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir serta semakin menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Karena pada umumnya mereka sangat menggantungkan hidupnya dari sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Selain itu juga dalam upaya merehabilitasi lahan pesisir tersebut harus di barengi dengan adanya penegakan hukum yang tegas terhadap para perusak lingkungan di wilayah pesisir tersebut.

Kebijakan Yang Komprehensif

Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan suatu formulasi Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional (NODEP) yang integral dan komprehensif sebagai payung kebijakan bagi semua instansi yang terkait pembangunan bidang kelautan. Formulasi kebijakan yang dimaksud tentunya diharapkan akan semakin memperkuat jati diri kita sebagai Bangsa Bahari. Sebab kita ketahui bahwa sejarah kemajuan peradaban bangsa Indonesia yang dibangun dari kehidupan masyarakat yang sangat tergantung dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Namun ironisnya sejak era kemerdekaan sampai dengan saat ini belum ada kebijakan mengelola kelautan secara terpadu dibawah satu koordinasi yang baik.

Fokus pembangunan bidang kelautan cukup luas yaitu terdiri dari berbagai sektor ekonomi. Namun selama ini pembangunan yang memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan tidak dilakukan oleh satu koordinasi lembaga negara tetapi dilakukan secara parsial oleh sekitar 18 institusi/lembaga negara setingkat departemen seperti Departemen Pertahanan, Perhubungan, Energi, Pariwisata, Industri dan Perdagangan, Kelautan dan Perikanan, Keuangan, Lingkungan Hidup, Kimpraswil, TNI AL, Koperasi dan UKM dan sebagainya.

Bila melihat konstruksi pembangunan kelautan yang ada saat ini, maka tanggungjawab pembangunan kelautan pasca pemilu 2004 tidak bisa sepenuhnya dipikul oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Sebab tolok ukur pembangunan kelautan harus dilihat dari kemajuan berbagai sektor ekonomi yang memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan. Namun demikian keberhasilan pembangunan kelautan sangat tergantung dengan keputusan politik baik dari eksekutif maupun legislatif dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan kelautan nasional. Sebab peran serta tanggungjawab eksekutif dan legislatif ini sangat menentukan arah dan kapasitas pembangunan kelautan.

Untuk menjadikan kelautan sebagai leading sector dalam pembangunan ekonomi, maka pendekatan kebijakan yang dilakukan harus mempertimbangkan keterkaitan antar sektor ekonomi dalam lingkup bidang kelautan dan non kelautan. Dalam hal ini perencanaan pembangunan melibatkan peran antar institusi pemerintah pusat dan daerah, sehingga sangat diperlukan hubungan antar lembaga negara dan lembaga pemerintah (inter-governmental organisations-IGO) yang bersifat koordinatif dan saling mendukung baik di pusat dan daerah, selain itu dalam implementasinya, stakeholder diberikan suasana yang kondusif untuk melakukan investasi dan menjalankan aktivitas ekonomi secara efisien dan efektif.

Sementara lingkup tanggungjawab legislatif adalah memberikan guideline hukum dalam pembangunan kelautan. Perundang-undangan di bidang kelautan perlu disusun dan ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum dan akan menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan sumberdaya kelautan. Dukungan legislatif terhadap eksekutif dalam menyusun rencana anggaran pembangunan yang terkait dengan bidang kelautan sangat penting untuk meningkatkan kapasitas pembangunan kelautan nasional. Dengan kondisi tersebut maka Pemerintahan Kelautan Nasional (NOG) sangat vital untuk dikembangkan agar dapat dibangun good governance dan clean government. Peran dan tanggungjawab eksekutif dan legislatif ini sangat menentukan arah dan kapasitas pembangunan kelautan dalam konteks otonomi daerah menjadi sangat penting mengingat berbagai berbagai keterbatasan daerah.

Kebijakan pemerintah diarahkan untuk mengembangkan keterpaduan pengembangan institusi dan program-programnya baik melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) serta Departemen terkait lainnya memerlukan dukungan keputusan ekonomi politik serta proses perubahan yang mendasar di tingkat kebijakan makro ekonomi nasional. Tetapi, keputusan politik tersebut, tidak hanya sampai pada pembentukan departemen tersebut, tetapi harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara yang dituangkan dalam Pilar Pembangunan Kelautan.

Tidak ada komentar: