Senin, 07 April 2008

PARADIGMA KOMUNITAS DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN

Sumber : http://www.acehinstitute.org/opini_sulaiman_tripa_paradigma_komunitas_pembangunan_kelautan.htm

Oleh: Sulaiman Tripa (Penulias & Pegiat Kebudayaan)


DALAM pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Brasil pada 1992, lahir konsensus sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Pengrusakan lingkungan karena eksploitasi berlebihan mulai dirasakan mengganggu keberlanjutan pembangunan global.

Ada satu masalah dari perkembangan itu, bahwa negara-negara berkembang terus disudutkan karena dinilai tak mampu menjaga lingkungannya.

Dalam sidang World Trade Organization (WTO) di Cancun, Meksiko (2005), negara maju jelas mempersalahkan kemiskinan dan kebutuhan ekonomi dalam kerusakan lingkungan hidup.

Fenomena itu susah untuk dilawan karena pada kenyataannya ada dua hal yang harus dihadapi pada waktu bersamaan oleh negara berkembang: Pertama, membuktikan bahwa negara berkembang tidak bersalah atas kerusakan lingkungan; Kedua, angka kemiskinan tidak ada hubungan langsung dengan kerusakan lingkungan.


Kemiskinan dan globalisasi


Kemiskinan sebenarnya sangat dipengaruhi kekuatan modal global. Memberikan utang, bukan jawaban untuk kemiskinan. Utang akan membuat kesenjangan antara negara miskin dengan negara kaya kian menjadi-jadi. Apalagi sebuah negara yang berutang, senantiasa harus menyesuaikan kebijakan di negaranya sesuai dengan pesanan negara yang memberi utang.

Negara maju menghidupkan perusahaan transnasional di mana-mana. Hal ini seringkali dilakukan dengan mengejar keuntungan lewat eksploitasi alam. Pada saat yang sama, mereka membantu sejumlah dana untuk menjaga lingkungan hidup sehingga tampak mereka seperti malaikat–sedang negara berkembang tidak dapat menolak dari tuduhan kesalahannya.

Kemiskinan menjadi alasan negara maju menuduh negara berkembang telah merusak lingkungan. Padahal, kemiskinan di negara berkembang, termasuk Indonesia, juga akibat proses global. Kemiskinan merupakan akibat dari proses pemiskinan. Kekuatan modal internasional merasionalisasikan kemiskinan lewat order gagasan para intelektual bahwa seolah-olah pemberantasan kemiskinan itu terhambat karena lokalitas. Padahal jelas tidak demikian, karena kemiskinan berkaitan dengan relasi sosial, ekonomi dan budaya yang berakibat pada kemiskinan.

Akhir-akhir ini, intelektual pro-liberalisme sangat berperan dalam mempercepat proses pelucutan peran negara sebagai pelindung rakyat dan hak-haknya. Akibatnya, negara jadi mengabaikan tugasnya sebagai pelindung hak-hak rakyat sebagaimana diamanahkan konstitusi.

Dalam kasus pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang berakibat pada ketidakmampuan nelayan untuk menutupi besarnya biaya produksi, dapat menjadi salah satu contoh. Kompensasi hasil pencabutan subsidi untuk nelayan, sangat tidak sebanding dengan kemiskinan itu sendiri. Belum lagi korupsi yang masih sistemik di Indonesia menambah keraguan bahwa pencabutan subsidi akan berhasil mengurangi angka kemiskinan dengan melakukan subsidi silang dan berbagai program bantuan.

Kebijakan yang memihak kepada pasar (tekanan struktural) membuat Indonesia ikut serta mengejar produksi dan produktivitas hasil alam dengan mengatasnamakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan usaha mengatasi krisis ekonomi.

Dalam konteks kelautan, pemberian izin kapal asing dianggap sebagai salah satu pemasukan potensial bagi negara. Tapi dalam kenyataannya menampakkan kebijakan pro-pasar dan meminggirkan nelayan lokal. Umumnya, kapal asing itu memakai trawl yang anti terhadap paradigma pembangunan yang berkelanjutan, sedangkan nelayan lokal anti trawl dan sangat menjunjung konsep pembangunan keberlanjutan.

Dalam kenyataan ini, terlihat jelas kebijakan yang paradoks: antara eksploitasi sumberdaya perikanan untuk mengejar kebutuhan pasar sebagai konsep liberalisasi, dengan kepentingan lingkungan hidup di mana kalangan pro liberalisasi juga mengecam eksploitasi berlebihan yang berakibat terhadap kelestarian lingkungan berkelanjutan–yang mana eksploitasi itu juga sebagai kepentingan liberalisasi, lalu yang terakhir ini memberi bantuan yang berbentuk utang untuk merehab lingkungan yang telah dieksploitasi itu.

Artinya, eksploitasi itu untuk kepentingan liberalisasi, pada saat yang sama kepentingan liberal berlagak sebagai pahlawan dengan memberi utang memperbaiki lingkungan yang rusak karena eksploitasi berlebihan yang juga kepentingan mereka.


Paradigma komunitas untuk pembangunan berkelanjutan


Kelindan gurita liberalissasi itu harus dilawan. Pemerintah harus menempatkan community paradigm (paradigma komunitas) dan ekonomi kerakyatan pada posisi penting untuk membangun kesejahteraan dan mengatasi krisis ekonomi. Community paradigm-lah yang memikirkan tiga hal sekaligus: kesejahteraan nelayan, kelestarian dan keberlanjutan, dan kebangunan komunitas nelayan itu sendiri.

Sementara ekonomi kerakyatan, seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sistem yang mengutamakan partisipasi seluruh masyarakat dalam penyelenggaraan perekonomian.

Harus ada pula sebuah paradigma baru dalam mengatasi krisis lingkungan dengan lebih berpihak pada masyarakat. Pembangunan di Indonesia harus berbasis pada kepentingan, pengetahuan, dan cara-cara masyarakat lokal yang dimiliki secara tradisional dalam mengelola lingkungan.

Untuk kasus Indonesia, paradigma ini boleh dikatakan sebagai kemandirian lokal, yakni kemandirian yang dimiliki oleh suatu entitas tertentu tanpa memandang suku, agama, atau ras. Jadi melibatkan secara penuh masyarakat lokal dalam proses pembangunan daerah dan masyarakatnya.

Pertimbangannya, selain karena pengetahuan turun-temurun, juga karena tanggung jawab lebih besar bagi masyarakat lokal untuk menjaga entitasnya sendiri. Intinya, merekalah yang beranggapan bahwa merusak lingkungan kelautan berarti merusak kelanjutan hidup mereka sendiri.

Dalam pengelolaan hasil perikanan, kegiatan perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) dapat diwujudkan dalam nuansa lokal. Beberapa kajian menampakkan itu: Pertama, di daerah pesisir Lombok Barat bagian Utara (Lombok Utara) yang memiliki sejarah panjang dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan secara adat oleh masyarakat di sana.

Hasil studi Solihin (2002), menemukan bahwa pemanfaatan aturan lokal yang bernama awig-awig di daerah pesisir Lombok Utara dapat meminimalkan berbagai konflik yang sebelumnya kerap terjadi: (1) pelanggaran zona tangkapan, (2) nelayan lokal dan nelayan luar yang menggunakan alat tangkap yang sifatnya merusak. Konflik disebabkan oleh daerah tangkapan (fishing ground). Konflik juga sering terjadi akibat konflik orientasi seperti yang terjadi antara nelayan lokal yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dan nelayan luar yang menggunakan alat tangkap merusak.

Kedua, hasil studi Sulaiman Tripa (2002) di Lambada, Aceh Besar. Di sana ada sebuah lembaga persekutuan adat laot yang bernama panglima laot. Panglima laot inilah yang bertugas mempertahankan dan memelihara adat laot, yang di dalamnya diatur juga pengelolaan fungsi lingkungan hidup. Panglima laot memegang kekuasaan tentang pengaturan tempat penangkapan ikan, serta mengatur efektifnya aturan tentang hari-hari yang dilarang turun ke laut.

Dalam adat laot, yang sangat ditekankan adalah bahwa usaha memenuhi kebutuhan ekonomi harus seimbang dengan kelestarian habitat dan keberlanjutan ekosistem. Adanya larangan turun ke laut pada hari-hari tertentu seperti hari Jumat, hari raya, dan hari-hari besar Islam, tak harus dipandang sebagai konsekuensi dari prosesi adat semata. Akan tetapi, larangan itu juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan biota laut untuk beranak-pinak.

Ketiga, studi Sulaiman Tripa (2001) tentang keberadaan panglima laot yang melarang keras para nelayan untuk menebang manggrove atau membuang sesuatu yang bisa mencemari laut, atau yang berefek kepada keberadaan biota di laut. Pencemaran dapat berupa oli bekas, membuang sisa-sisa ikan atau sampah-sampah setelah memperbaiki kapal –di Aceh sering disebut dengan bot (boat). Pelaku perbuatan itu, bila bisa dibuktikan, akan dihukum oleh komunitas itu. Bentuk hukuman yang berlaku di sana, ada berupa sejumlah uang tertentu yang akan digunakan untuk kegiatan keagamaan dan sosial, juga bentuk hukuman di mana pelaku dalam jangka waktu tertentu tidak boleh melaut.

Keempat, kajian Sulaiman Tripa (2001) tentang perlunya penguatan community paradigm dalam membangun perikanan. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam paradigma ini adalah kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan, pendapatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat persekutuan, dan kebangunan komunitas lokal dalam persekutuan itu.

Keempat hasil studi tersebut di atas memang sangat terbatas. Akan tetapi minimal bisa menjadi gambaran bagaimana kesadaran nelayan lokal bila dibandingkan dengan nelayan luar. Memberi perlindungan kepada nelayan lokallah yang bisa mencapai keselamatan sektor perikanan maupun menutupi kebutuhan kesejahteraan, termasuk mengurangi angka kemiskinan masyarakat.


Otonomi dan pemberdayaan komunitas

Dalam konteks kelautan dan perikanan, sebenarnya menguatnya isu otonomi daerah dan desentralisasi dapat menjadi sebuah momentum. Terwujudnya reformasi, sejak 21 Mei 1998, seprematur apapun, dapat dibayangkan sebagai kembalinya ruh masyarakat lokal. Sudah ada jalur persekutuan yang dijamin UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan di Daerah, masing-masing 12 mil ke atas (pusat), 4-12 mil (provinsi) dan 4 mil (kabupaten dan kota).

Tapi otonomi pada kenyataannya terlihat seperti basa-basi: Pertama, izin kapal asing yang beroperasi di Indonesia diberikan oleh pusat dan beroperasi di seluruh Indonesia. Umumnya kapal-kapal itu memakai trawl dan berlabuh sampai ke pinggir pantai–pejabat daerah kecut karena izin itu dikeluarkan pusat sedangkan pengawasan lemah. Bukankah ini berarti pemerintah telah melakukan pelanggaran dengan (1) mengizinkan trawl beroperasi di Indonesia yang sudah dilarang dengan Keppres Nomor 39 Tahun 1980–sampai sekarang belum diubah atau dicabut, dan (2) tak memberi perlindungan kepada masyarakat otonom atas hak-hak dan kewenangan yang diatur dengan UU.

Kedua, bagaimana bisa daerah dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya perikanan, sementara izin menangkap ikan dengan alat-alat yang dilarang dan menguras segala bentuk sumberdaya perikanan, itu diberikan oleh pusat.

Ketiga, masyarakat lokal, dengan demikian tak mendapat perlindungan yang optimal untuk melaksanakan nuansa lokalnya dan mendapatkan hak-hak otonom yang telah di atur dengan ketentuan perundang-undangan. Argumen pertama dan kedua, kemudian menguatkan argumen ketiga bahwa di era otonomi, masyarakat lokal belum mendapat tempat sebagaimana mestinya.

Komunitas adat laot merupakan salah satu komunitas yang sangat penting dalam pembangunan di Indonesia. Dalam pembangunan ke depan, paradigma komunitas merupakan satu hal yang tak mungkin diabai. Dan kecenderungan itu berlangsung secara universal. Salah satu alasannya: anggota komunitas akan menjaga lingkungannya karena di sanalah mereka hidup.[]

1 komentar:

Amisha mengatakan...


Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut