Selasa, 08 April 2008

Revitalisasi Kelautan dan Perikanan Sulut Cari Apa?.

Sumber : http://www.suaramanado.com/view_berita.php?id=209
Oleh: Jahja Alotia


KETIKA Gubernur Sinyo Harry Sarundayang (SHS) menabu ’genderang’ revitalisasi di Pantai Moinit Minahasa Selatan, ketika itu pulalah saya mulai mengartikan gubernur pertama pilihan rakyat ’bumi nyiur melambai’ ini membagi berkat bagi masyarakatnya. Menariknya, itu dilakukan SHS tepat dihari ulang tahunnya yang ke-62.


Nyanyian segar revitalisasi perikanan gubernur SHS, kuat terdengar bahkan hingga ke-ujung Tagulandang (Sitaro), Marore (Sangihe) dan Miangas Talaud). Teman saya, seorang nelayan pernah mengungkapkan rasa senangnya saat mendengar mata pencahariannya (nelayan) mendapat perhatian serius Gubernur SHS.

”Ternyata torang nyanda salah pilih gubernur,” kata Nusa Mayampo, nelayan pesisir Rainis Talaud, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Sayangnya, samudera yang sering didatanginya,- sumber penghidupan keluarganya, rentan dengan penjarahan hasil-hasil laut oleh kapal-kapal asing.


Triliunan Rupiah Raib dari Sarundayang

Masih hangat dalam ingatan, Agustus 2007 silam, staf ahli Gubernur, mantan Kadis Perikanan Sulut, Ir FL Kaunang mengungkapkan, Sulut rugi 3–5 triliun setiap tahun, akibat illegal fishing (pencurian ikan).

Pencurian ikan dengan angka kerugian yang mencengangkan itu, terjadi di dalam wilayah ’kekuasaan’ Gubernur SHS. Jumlah kerugian sebesar itu, merupakan angka yang cukup besar kalau dipakai untuk belanja daerah.

Catatan penting sekaligus merupakan tantangan bagi gubernur SHS dan warga ’Kawanua’ dengan semangat revitalisasi perikanannya, diantaranya meminimais terjadinya illegal fishing.

Pun wilayah yang menjadi korban maraknya illegal fishing dapat dipastikan terjadi di perairan laut gugusan Kepulauan Nusa Utara -, meliputi, Talaud, Sangihe dan Sitaro.

Padahal, kesepakatan FKPPS (Forum Koordinasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ) Nasional 2004 yang di evaluasi kembali pada FKPPS di Manado (06-09 Desember 2006) lalu, diantaranya banyak menyentil soal elemen pengawasan akibat maraknya illegal fishing.

Disamping itu, lingkup dan implementasi tugas dan tanggungjawab pengawas perikanan, hingga kini belum dapat diejawantahkan dengan baik oleh instansi teknis, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Sulut.

Kita tak semestinya menunggu umpan bola lagi, mengingat fenomena overfishing kian kuat terjadi wilayah perikanan kita. Untuk itu, perlu dihindari dan jangan melonggarkan lalulintas kita diramaikan dengan seliweran kapal-kapal illegal di wilayah perikanan kita.

Fenomena illegal fishing yang terjadi, diwarnai dengan banyak varian serta trik dan intrik nelayan asing. Seperti contoh kasus, terlihat ratusan rumpon-rumpon (ponton) asing dipasang berjejeran di sepanjang laut NKRI.

Menariknya, itu terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Saat patroli pengawas lewat, rumpon-rumpon asing itu seperti raib begitu saja. Setelah ditelisik, ternyata pemilik-pemilik rumpon itu tahu kalau patroli lewat dijalur laut itu 2 bulan sekali. Caranya ternyata rumpon dipasang tali-tali panjang, yang sewaktu-waktu dapat ditarik (digandeng) sesuai keinginan mereka.

Untuk itu, koordinasi antar instansi dari TNI AL, TNI AU, Polisi Perairan, Bea Cukai, KPLP, Syahbandar, pelibatan masyarakat harus segera digelar.

Mengingat hingga kini Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut sepertinya kurang kental melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait itu.


Tingkatkan Pengawasan Perikanan

Wilayah laut Nusa Utara di bibir Pacific yang berbatas langsung dengan beberapa negara jiran ini, terbilang sangat kaya dengan Sumber Daya Ikan (SDI) -, meski fenomena overfishing yang cukup ditakuti kian terasa.

Hingga kini wilayah laut Nusa Utara masih sangat longggar dari pengawasan kita. Karenanya, tak heran kalau kapal-kapal asing acapkali terlihat lalu-lalang, dan dengan mudahnya mengeruk hasil-hasil laut kita.

Permasalahan tersebut terus mencuat karena tak disangkal lagi kalau tingkat pengawasan perairan kita masih sangat kurang. Stamina rendah ini dipastikan terkait ketersediaan armada pengawas yang tidak optimal, sehingga memberi kesempatan luas terjadinya illegal fishing di perairan yuridiksi nasional kita.

Luasnya wilayah perairan Nusa Utara disertai makin maraknya eksploitasi SDI secara liar oleh kapal-kapal asing, memaksa kita untuk harus memiliki kapal-kapal patroli untuk mengawasi wilayah laut Kepulauan Nusa Utara.

Sementara target Departemen Kelautan dan Perikanan pada 2009 nanti, yakni harus ada 40 unit armada kapal pengawas di wilayah Indonesia Timur. Kesemua armada pengawas tersebut, menurut rencana dikendalikan dari pelabuhan Samudera Bitung, Sulut.

Pentingnya pengadaan kapal pengawas ini dilakukan untuk mencegah kerugian sumber daya laut di wilayah Sulut yang lebih besar, akibat pencurian ikan. Hebatnya, para pelaku kejahatan di tengah laut dilengkapi dengan armada operasi yang cukup memadai. Dengan menggunakan kapal cepat, mereka melakukan aktivitas kegiatan ditengah laut tanpa bisa dijamah, apalagi menangkapnya.

Untuk itu, armada patroli berkecapatan rata-rata 27 knot dilengkapi radar, kompas magnetik, radio komunikasi, dan ruang tahanan, sekurang-kurangnya 3 unit yang rutin melayari perairan laut Nusa Utara.

Padahal, hasil kesepakatan FKPPS NASIONAL 2004 & 2006 diantaranya merekomendasikan soal Pengawasan dan Penegakan hukum di wilayah perikanan kita.

Hingga 2006 silam, tercatat ada 43 perusahaan perikanan yang beroperasi di Sulut, ada yang terancam tutup karena kesulitan bahan baku.

Fenomena buruk itu, apakah Sulut mampu tampil sebagai pemain utama Perikanan di wilayah Timur Indonesia?, sementara Rp 3-5 triliun raib secara sia-sia?


Segitiga Emas Nusa Utara

Gugusan Kepulauan Nusa Utara yang meliputi Sangihe Talaud dan Sitaro, nampaknya solusi utama revitalisasi perikanan di Sulut. Sungguh suatu tawaran menarik dan bermakna universal sebuah revitalisasi perikanan bagi warga Nusa Utara.

Dan ini mungkin jawaban komplit atas pertanyaan yang sementara di kaji oleh Ir Xandra Lalu MSi bersama para stafnya di Dinas Perikanan Sulut yang kini tengah gencar menangani perluasan sektor kelautan dan perikanan.

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kabupaten Sangihe dan Talaud pernah di datangi sejumlah pengusaha asing. Mereka menawarkan diri untuk melakukan investasi perikanan, asalkan pemerintah memberi beberapa jaminan kemudahan dalam rangka investasi. Diantaranya, one stop service berfungsi optimal, dan mereka tidak dikenai dengan banyak pungutan-pungutan yang tak dapat di pertanggungjawabkan (Pungutan Liar).

Menurut rencana, investor tidak saja hanya mendirikan pabrik pengalengan ikan skala besar -, tetapi juga mau membantu kemudahan kepada masyarakat nelayan penangkap ikan. Para investor bahkan bersedia mendirikan plasma-plasma yang melibatkan seluruh insan perikanan (nelayan) di wilayah Sangihe, Talaud dan Sitaro dengan sistem sentralistik perikanan dari hulu sampai hilir.

Sungguh tak mengherankan kalau pengusaha melirik gugusan ”segitiga emas Nusa Utara” (Sangihe, Talaud dan Sitaro) untuk investasi perikanan. Kawasan itu, memang sejak dulu terkenal sebagai salah satu kantong perikanan yang belum difungsikan, malah sebaliknya terkesan dibiarkan dijarah kapal asing.

Terkait upaya penerimaan daerah dan memacu ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakatnya, memaksa untuk segera dilakukan ’revolusi biru’ di ”segitiga emas Nusa Utara” untuk menunjang revitalisasi perikanan yang dicanang Gubernur SHS di Sulawesi Utara.

Bahkan revitalisasi perikanan Sulut dipusatkan di ”segitiga emas Nusa Utara”, kini tak lagi hanya sebatas usul. Negeri maritim dengan ketersediaan SDI yang cukup besar bernama Nusa Utara, bukan lagi dalam bentuk materi kampanye politik belaka. Tetapi itu sudah merupakan kenyataan, meski data deposit SDI-nya tak pernah dibeber instansi teknis, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan.

Pun ’revolusi biru’ seperti yang dimaksud penulis, yakni berkisar soal orientasi penataan sistem perikanan dan kelautan -, biar sejalan dengan makna revitalisasi Perikanan seperti yang diharapkan gubernur SHS.

Melihat potensi SDI di sepanjang ”segitiga emas Nusa Utara” itu, disamping kesempatan kerja warga terbuka,- juga mampu mendongkrak penerimaan bagi daerah. Tak hanya itu, meski belum ada data konkrit deposit SDI di Nusa Utara, tapi diyakini mampu memasok kebutuhan sebagian besar kebutuhan pasar dunia,- yang nota bene mendatangkan devisa kelak.

Harus disadari minat asing untuk melakukan investasi sektor Perikanan dan Kelautan di Nusa Utara kian lebar. Satu hal yang pasti, karena potensi perikanan yang dipunyai Nusa Utara mampu mengangkat nama Sulut menjadi salah satu pemain dunia di sektor perikanan dan kelautan.

Pendeknya tinggal menunggu dukungan ekonomis dan dukungan politis dari pemerintah kita. Sementara peluang dan kesempatan itu tetap saja ada, tergantung komitmen kita dan kesepahaman dunia internasional.

Pun peluang dan kesempatan itu kini didepan mata kita, yakni pertemuan negara-negara maritim sejagat, atau World Ocean Summit 2009 (WOS) di Manado.

Peluang dan kesempatan yang langkah ini, sekiranya dipergunakan maksimal oleh insan perikanan dan kelautan kita, berhubung ”main dikandang” sendiri.

Di WOS-2009 itu, sekiranya rekomendasi perikanan dan kelautan kita berhasil menelorkan ”Deklarasi Manado” yang tentunya menguntungkan sektor kelautan dan perikanan kita.

Buah tangan deklarasi itu diharapkan tak hanya sebatas pernyataan diatas kertas seperti yang tampak selama ini. Tapi selebihnya menjadi kebijakan nyata dan menyeluruh, sehingga kelautan dan perikanan Sulut, tak terpuruk.***

(Penulis: Pemerhati Masalah-Masalah Sosial EKonomi & Politik)

Tidak ada komentar: