Senin, 07 April 2008

Lima Persoalan Hak Perairan Pesisir

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0706/15/opi01.html
Oleh Suhana

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang “dikejar” untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RUU PWP-PPK) menjadi sebuah undang-undang. Suatu terobosan maju yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR dalam upaya melakukan pengelolaan sumber daya pesisir secara bertanggung jawab.

Wilayah pesisir memiliki keberagaman potensi sumber daya alam yang tinggi yang dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pengembangan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat. Maka semua pihak hendaknya sama-sa-ma mengkritisi dan memberikan ma-sukan terhadap RUU tersebut agar pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah pesisir itu ke depan benar benar memberi kemakmuran bagi masyarakat dan tetap memperhatikan berkelanjutan sumber daya.

Ada permasalahan besar di beberapa pasal dalam RUU tersebut, yang akan berdampak kepada nasib masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional, dan juga kelestarian sumber daya pesisir. Permasalahan tersebut ada pada pasal pasal yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Padahal dalam beberapa draf RUU PWP-PPK sebelumnya keberadaan pasal-pasal yang mengatur HP3 tersebut tidak muncul.

Oleh sebab itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk sama-sama meninjau kembali keberadaan pasal-pasal tersebut dalam RUU PWP-PPK. Hal ini sangat penting karena menyangkut kepentingan masyarakt pesisir dan kelestarian sumber daya.

Dalam Pasal 17 RUU PWP-PPK disebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya pesisir untuk kegiatan usaha dapat diberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir selama 20 tahun. Hak tersebut diberikan kepada sebuah badan hukum atau perorangan (Pasal 18). Sementara itu dalam Pasal 19 dijelaskan bahwa HP3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut, kolom air, dasar laut dan tanah di bawahnya dalam batasan tertentu.

HP-3 ini mirip dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sudah dijalankan oleh Departemen Kehutanan, dan menurut catatan beberapa lembaga penelitian menyebutkan bahwa HPH-lah yang menjadi salah satu “biang keladi” kerusakan hutan di Indonesia. Oleh sebab itu jangan sampai HP-3 di sektor kelautan dan perikanan menjadikan sektor ini menjadi lebih terpuruk lagi.


Akses terhadap Pesisir

Dalam mengrikitisi permasalahan HP3 tersebut penulis memiliki lima pertanyaan, yaitu pertama, apa yang menjadi dasar penentuan jangka waktu pemberian izin sampai 20 tahun? Apakah pertimbangan keuntungan usaha bagi para pemilik HP3 atau pertimbangan kelestarian sumber daya pesisir.

Penulis melihat bahwa pertimbangan keuntungan usaha yang akan diperoleh para pemilik HP3 dan pemerintah terlihat sangat dominan dalam penentuan jangka waktu 20 tahun tersebut. Karena dalam kurun waktu 20 tahun tersebut tidak mungkin para pemilik ijin HP3 memikirkan untuk mengembalikan kelestarian sumber daya. Para pemilik izin HP3 akan berpikir bagaimana mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan dari HP3 tersebut. Padahal keberlanjutan usaha di wilayah pesisir sangat tergantung kepada keberadaan sumber daya yang ada.

Kedua, apakah pendekatan HP-3 dapat dijalankan di sektor perikanan?. Perlu ditegaskan bahwa sumber daya hutan dan ikan karakteristiknya berbeda, sumber daya hutan bersifat menetap sehingga mudah dikontrol. Akan tetapi sumber daya ikan bersifat dinamis.

Misalnya, bagaimana mengatur hak pengusahaan sumber daya ikan tuna yang memiliki migrasi tinggi, padahal sumber daya tersebut dibeberapa wilayah pesisir kawasan timur Indonesia menjadi sumber daya utama tangkapan nelayan. Dengan demikian, HP-3 sangat sulit untuk diterapkan di sektor perikanan dan kelautan.

Ketiga adalah apakah setiap HP-3 berlaku untuk semua sumber daya yang ada di wilayah pesisir? Seperti kita ketahui bahwa sumber daya yang ada di wilayah pesisir tersebut meliputi sumber daya ikan, pariwisata bahari, migas, perhubungan dan jasa kelautan. Kalau dilihat dari Pasal 19 terlihat bahwa semua sumber daya tersebut akan dikuasai oleh satu pemegang HP-3. Kalau hal ini terjadi jelas tidak akan efektif, karena sampai saat ini masing-masing sumber daya tersebut masih dikelola oleh departemen yang berbeda-beda dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda pula.

Keempat, apakah nelayan tradisional memiliki hak akses terhadap wilayah pesisir yang telah dikuasai oleh seseorang/badan usaha yang memiliki izin HP3? Seperti diketahui bahwa wilayah tangkap komunitas nelayan tradisional berada di wilayah pesisir, dengan demikian apabila nelayan tidak memiliki hak akses terhadap wilayah HP3 nasib nelayan akan semakin terpuruk. Apalagi diperparah dengan belum jelasnya upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional.


Batalkan HP3

Kelima, wilayah mana saja yang boleh dijadikan wilayah HP-3? Apakah wilayah perairan pesisir yang dibawah pengawasan masyarakat tradisional/adat dapat dijadikan wilayah HP-3? dimana di wilayah perairan tersebut umumnya sumber daya ikannya terjaga dengan baik.

Dan apabila HP-3 diperbolehkan di wilayah tersebut maka konflik horizontal di tingkat masyarakat pesisir akan terus meningkat. Perlu diketahui bahwa para pengusaha yang mendapatkan HP-3 tentunya menginginkan wilayah HP-3 –nya berada di wilayah yang memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah dan terjaga dengan baik.

Berdasarkan kelima pertanyaan tersebut maka langkah yang mungkin untuk dilakukan, yaitu membatalkan kembali pasal-pasal yang mengatur HP-3 di sektor kelautan dan perikanan (Pasal 17, 18 dan 19). Hal ini disebabkan, selain keempat hal tersebut diatas, penulis melihat bahwa pemerintah saat ini masih berorientasi kepada peningkatan pendapatan nasional dan daerah (PAD), belum melihat kelestarian sumber daya sebagai kepentingan utama dalam pengelolaan wilayah pesisir saat ini.

Pendekatan HP-3 sangat rawan diselewengkan oleh para penguasa baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu juga ketidakjelasan sistem kelembagaan HP-3 yang akan dikembangkan, dapat memperkeruh konflik perebutan sumber daya ikan di wilayah pesisir yang sampai saat ini masih berlangsung.

Hemat penulis, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya mengembalikan sistem perizinan pemanfaatn sumber daya pesisir kepada mekanisme yang telah diatur dalam beberapa undang-undang yang telah ada. Misalnya, untuk pemanfaatan sumber daya ikan diatur oleh UU No 31 Tentang Perikanan dan Peraturan Menteri Kelautan No 17 Tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Begitu juga dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pesisir lainnya.

Sementara itu, untuk menjaga kesinergisan antar masing-masing kepentingan terkait dengan perijinan tersebut, maka sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh UU pesisir tersebut harus lebih komprehensip. Dengan demikian keberadaan Bab VII RUU PWP yang mengatur masalah organisasi pengelola wilayah pesisir dapat lebih dipertajam dan diperkuat lagi.

Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB).

Tidak ada komentar: