Senin, 07 April 2008

Benturan Pengaturan Pesisir dan Pulau Kecil


Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0804/05/opi01.html
Oleh Akhmad Solihin

Beberapa pekan terakhir ini, sektor kelautan dan perikanan diramaikan oleh kontroversi terhadap aturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPK) yang tertuang pada UU No. 27 Rahun 2007. Beberapa aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat nelayan mendesak UU tersebut direvisi.

Utamanya atas Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Tapi, apakah hanya isu HP3 yang perlu disikapi di UU No. 27/2007? Tentu saja tidak, karena masih ada beberapa pasal lainnya yang menjadi perhatian publik, baik dari stakeholder perikanan sendiri maupun dari institusi negara lainnya. Sejak awal, urusan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memang menyedot perhatian berbagai pihak, karena kewenangan atasnya yang dikuatkan dengan undang-undang, tersebar di beberapa institusi negara.

Akibatnya adalah, terjadilah tumpang tindih peraturan perundang-undangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berujung pada konflik kewenangan antar institusi negara. Ironisnya, konflik kewenangan ini berujung pada meningkatnya kerusakan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk menuntaskan kompleksitas permasalahan ini, maka dikeluarkanlah UU No. 27/2007 dengan maksud menjadi payung hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir dan PPK.
Aturan yang tertuang pada UU No. 27/2007 tidak hanya disinyalir bertentangan dengan undang-undang yang lain. Tetapi, juga pasal-pasal didalamnya bertentangan satu dengan yang lain.

Pertama, aturan mengenai keterlibatan stakeholder dalam penyusunan dokumen perencanaan yang tertuang pada Pasal 14. Di dalam kegiatan penyusunan perencanaan pada UU No. 27/2007 terdapat kejanggalan, dimana ada perbedaan aktor dalam tahap usulan dan tahap mekanisme penyusunan.

Pada tahap usulan penyusunan Rencana Strategi, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi hanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha. Sementara pada tahap mekanisme penyusunan Rencana Strategi, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dilakukan dengan melibatkan masyarakat.

Artinya, peran dunia usaha sangat besar dalam kegiatan perencanaan, karena kalangan dunia usaha berhak mengusulkan keempat dokumen perencanaan tersebut, sementara masyarakat hanya terlibat dalam mekanisme penyusunan perencanaan. Dengan demikian, apakah mungkin ada skenario untuk memangkas peran masyarakat dalam proses pengusulan keempat dokumen perencanaan?


Kenapa Harus Dua?

Kedua, UU No. 27/2007 versus UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU No. 27/2007 mengamanatkan pengesahan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) melalui suatu Peraturan Daerah. Begitu juga dengan UU No. 26/2007 yang mengamanatkan pengesahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota melalui suatu Peraturan Daerah.

Keduanya sama-sama berlaku 20 tahun dan ditetapkan oleh Peraturan Daerah. Keduanya sama-sama digunakan untuk arahan pemanfaatan, baik pemanfaatan ruang maupun pemanfaatan sumber daya.

Kenapa harus ada dua peraturan daerah mengenai tata ruang, yaitu RTRW Provinsi/Kabupaten dan RZWP3K. Mengapa tidak bisa satu saja peraturan daerah yang pengaturannya mencakup RTRW Provinsi/Kabupaten dan RZWP3K. Juga penyusunan dokumen arahan perencanaan pemanfaatan dibuat satu saja melalui ketetapan satu peraturan daerah. Hal ini tidak hanya menghindari konflik tata ruang, tetapi juga untuk menekan biaya.

Ketiga, kontraversi HP3. Pada UU No. 27/2007, kegiatan pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP3 yang meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. Dengan demikian, batasan HP3 sangat luas, dari dasar hingga permukaan. Meskipun diberikan batasan lama pengusahaan dan harus sesuai dengan dipersyaratkan (teknis, administratif, dan operasional), aturan ini menimbulkan polemik di masyarakat.

Adanya pemberian HP3 ini dikhawatirkan menimbulkan konflik antar sektor, karena masing-masing sektor akan merasa berhak atas sumberdaya yang ada. Setidaknya ada beberapa lembaga yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir dan PPK, yaitu: pertambangan (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, pariwisata (Kementrian Budaya dan Pariwisata), hutan mangrove (Departemen Kehutanan), perikanan (DKP), dan pelayaran (Departemen Perhubungan).


Mengusir Nelayan

Keberadaan HP3 dikhawatirkan bisa dipakai untuk “mengusir” nelayan dari wilayah laut yang selama ini dijadikan tempat penangkapan ikan. Kekhawatiran tersebut dikarenakan adanya kekosongan hukum di dalam UU No. 27/2007 mengenai hak nelayan dalam penangkapan ikan, khususnya nelayan kecil.

Aturan HP3 itu pun sebenarnya bertentangan dengan Pasal 61 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Karena nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia. Begitu juga dengan pembudidaya ikan kecil. Secara hukum kedua kelompok masyarakat kecil ini telah mendapatkan jaminan oleh UU No. 31/2004.

Keempat, ketidakkonsistenan penunjukan lembaga penyidik. Kegiatan penyidikan yang tertuang dalam UU No. 27/2007 hanya menunjuk pada institusi Kepolisian dan PPNS tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK. Dengan demikian, dalam hal ini PPNS di sini adalah berasal dari DKP.

Ada dua hal penting yang patut dicermati terkait dengan ditunjuknya dua institusi tersebut, yaitu (1) ada institusi TNI AL yang ditunjuk melakukan penyidikan, sebagaimana yang tertuang pada UU No. 31/2004 dan (2) pada masing-masing undang-undang, kata PPNS merujuk pada lembaga yang menaunginya. Dengan demikian, PPNS yang tertuang pada UU No. 27/2007 menafikan peran PPNS di departemen lain. Begitu juga dengan peran TNI AL yang dikukuhkan oleh UU No. 31/2004 dinafikan oleh UU No. 27/2007.

Agar UU No. 27/2007 berlaku efektif sebagaimana yang diharapkan dalam rangka menjamin terselenggaranya pengelolaan wilayah pesisir dan PPK yang berkelanjutan serta menjamin kesejahteraan masyarakatnya, maka ada dua hal yang perlu dilakukan.

Pertama, Pemerintah harus segera membuat peraturan pelaksana sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UU No. 27/2007, dari peraturan pemerintah, peraturan presiden hingga peraturan menteri. Ini agar tidak menimbulkan multitafsir dan kebingungan di masyarakat. Kedua, Pemerintah melakukan revisi terhadap UU No. 27/2007, khususnya pada beberapa pasal yang menimbulkan kontraversi dan yang berbenturan dengan undang-undang yang lain. Dengan demikian, di samping melakukan sosialisasi UU No. 27/2007 secara terus-menerus, Pemerintah juga harus melakukan kedua agenda tersebut.


Penulis adalah peneliti pada PKSPL IPB dan dosen di Dept. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB.

Tidak ada komentar: